Fanfic NARUTO Dibuang Sayang: HEART Chapter 4

Heart
Naruto © Masashi Kishimoto
Sindarin, Quenya Language © J.R.R Tolkien
Warning: Semi Canon. Rated T. Tragedy/Drama.
Pairing: NaruSakuSasu.
.
.
Chapter 4
Sang Mawar Merah
.
.
Nafas Naruto tersengal-sengal jadinya. Ia benar-benar ketakutan. Apakah wanita itu adalah hantu? Tapi kenapa dalam satu hari ini mengganggunya? Dia tahu Uchiha Madara masih hidup. Dan kalaupun dia juga adalah ninja—yang memakai jutsu tertentu—tetap saja Naruto tidak bisa melawannya dengan keadaannya yang seperti ini.
Mengapa masalah sepertinya tidak pernah berhenti menghampirinya?
“Naruto, telin le thaed.”[1] Suara itu kembali mengusiknya. Rupanya ia belum beranjak dari sana. Tapi kini wanita misterius itu berujar dengan bahasa yang sama sekali Naruto tidak mengerti.
“Apa yang kau bicarakan? Aku tak mengerti!” teriak Naruto sembari melihat di sekelilingnya. Kumpulan kelopak bunga mawar—dari bunga mawar pemberian Konan yang berguguran—bertebaran tak tentu arah. Mata biru langit Naruto menelisik kemana arah kelopak mawar itu pergi.
“Lasto beth nîn, tolo dan nan galad.” [2]
Naruto menutup kedua telinganya. Dia sudah cukup pusing dengan segala masalah yang menimpanya dan kini ada seorang wanita misterius yang selalu mengusiknya, “Berhenti—berhenti, menggangguku!” teriak Naruto tak keruan. Matanya kembali melirik ke arah kumpulan kelopak bunga mawar itu pergi. Dilihatnya mereka berkumpul—membentuk sosok seorang wanita. Perlahan sosok itu mulai menampakkan wujudnya. Naruto terpana melihat apa yang ia lihat di hadapannya. Sesekali ia usap matanya, barangkali dia salah lihat. Tapi pada akhirnya, tak sedikitpun ia mengedipkan matanya.
Dalam pekatnya gelap malam dan kerlipan cahaya bulan. Muncullah sesosok wanita cantik di depannya dalam bayangan.
Ya, dalam bayangan mungkin. Karena Naruto tahu jika ia menyentuhnya, pastilah sosok itu dapat ditembus olehnya. Tak mengerti apa yang tersedar di depannya. Dia bertanya-tanya siapakah wanita ini sebenarnya? Dan jika diperhatikan dengan baik, perawakan wanita itu seperti bukan manusia pada umumnya.
Wanita itu sungguh cantik rupawan. Cahaya pucat mengelilinginya. Kulit putih terpendam dalam balutan baju miko dengan corak mawar di bagian bawah gaunnya. Merah mawar rambutnya, terbelah pinggir memanjang hingga ke bagian pinggul. Mata scarlet-nya sayu tanpa kornea—nyaris seperti mata klan Hyuuga. Tapi yang berbeda, mata itu penuh kerlipan bintang di dalamnya. Memandang Naruto lembut dengan seulas senyumannya yang menawan. Kedua telinganya sedikit runcing di ujung daunnya. Kelopak bunga mawar yang bertebaran perlahan mengelilingi wanita itu—menciptakan pemandangan eksotik layaknya di padang berjuta mawar. Dia tidak muda maupun tua. Warna merah, memang sangat cocok dengan wanita itu. Membuat yang melihatnya berhalusinasi, bahwa dia laksana peri dari negeri dongeng yang Naruto pernah dengar ceritanya.
“Ka—kau siapa?” Tanya Naruto ketakutan. Melihat wajah Naruto yang pucat pasi, wanita itu pun mendekatinya. Naruto sedikit bergerak ke belakang menjauhi wanita itu, namun wanita itu tiba-tiba meraih kedua bahu Naruto.
“Tenanglah, Naruto. Aku tak akan menyakitimu.” Wanita itu tersenyum simpul sembari meremas pelan bahu Naruto. Naruto nyaris loncat dari tempat tidurnya karena walaupun wanita itu kelihatan transparan, ternyata sentuhannya dengan pasti dapat dirasakan oleh Naruto. Wanita itu kemudian sedikit membungkuk, membelai wajah Naruto dengan kedua tangan indahnya. Mata wanita itu sedikit berair. Ada perasaan aneh dibenak Naruto, rasa-rasanya ia mengenal belaian sayang ini. Namun siapa pemiliknya ia tidak ingat.
“Apa maksudmu tadi? Aku tak mengerti apa yang kau ucapkan. Lalu apa maumu?” Tanya Naruto memberanikan diri. Teka-teki di kegelapan yang ia ingin segera tahu jawabannya.
“Kau tidak mengerti bahasamu sendiri?” Wanita itu menatapnya lembut.
“Bahasaku?” Naruto berpikir sejenak, ia ingat betul, ia tidak pernah mendengar bahasa asing itu apalagi berbicara dengan dialeknya yang sangat aneh. “Aku—aku tidak pernah tahu bahasa itu. Kau siapa? Apa kau malaikat?” Wanita tersebut tertawa mendengar pertanyaan Naruto. Ya, Tuhan tawanya saja sungguh sangat merdu. Mana ada manusia yang memiliki gelak tawa seperti ini?
“Apa aku terlihat seperti malaikat bagimu?” Wanita itu kini balik bertanya.
Naruto menganggukkan kepalanya, “Karena kau terlalu cantik untuk dibilang hantu.” Wanita itu kembali terpingkal. Naruto keheranan melihatnya, karena apa yang diutarakan olehnya sama sekali bukan maksud untuk melucu.
“Kalau aku memang hantu lalu apa yang akan kau lakukan?” Tanya wanita itu kembali.
“Kalau kau berubah menjadi hantu? Ehm…aku pasti langsung pingsan.” Naruto menelan ludahnya sendiri. Pernyataan bodoh, begitu yang ada dibenaknya. Bagaimana kalau wanita ini benar-benar hantu dan menampakkan wajah aslinya di depan Naruto? Ia tidak sanggup membayangkan wajah elok itu berubah menjadi seram.
“Begitu?” Wanita itu tersenyum.
“Hai,” ujar Naruto sembari menganggukkan kepalanya perlahan. Sepertinya wanita ini adalah orang baik-baik. Naruto mulai sedikit tenang. Namun siapa wanita ini sebenarnya, Naruto tetap ingin tahu.
“Kau sudah besar, Naru-chan.” Ucap wanita itu membuat Naruto terkesiap. Belum ada orang yang selama ini memanggilnya begitu. Bahkan orang-orang terdekatnya saja—seperti Kakashi-sensei, Sasuke, dan Sakura—tidak ada yang pernah memanggilnya seperti itu. Dari semua omongannya, mengapa wanita ini seperti telah mengenalinya? “Dan sifatmu yang ingin tahu ini, sangat mirip denganku, Naru-chan.” Lanjut wanita itu yang kini mulai kembali berair matanya. Ia menatap seluruh bagian tubuh Naruto, lalu matanya berhenti di bagian kakinya. Wanita itu menatap miris bagian sana.
“Ke—kenapa kau menangis?”
Belum sempat wanita itu menjawab, derap langkah kaki seseorang terdengar berjalan menuju ruangan Naruto berada.
“Naruto, ada yang datang sepertinya. Aku harus pergi.”
“Tapi kau belum menja—”
“Tenang saja. Aku akan mengunjungimu kembali. Namárië.” [3] Dan wanita itu pun menghilang bersamaan dengan kemunculan orang lain di daun pintu ruangan tersebut. Orang itu ternyata adalah Sakura.
Naruto menggerutu dalam hatinya. Dia sedang tidak ingin melihat Sakura saat ini. Jika melihat wajah sendunya, itu hanya membuat Naruto makin sakit. Dia masih terbayang-bayang pemandangan yang baru saja dia lihat di ruangan Sasuke.
“Naruto, kau sudah bangun rupanya.” Sakura melangkah masuk ke ruangan Naruto. Ia perhatikan bawaan Sakura di tangan kanannya. Ternyata Sakura membawa semangkuk ramen panas. “Kau belum makan ‘kan seharian ini? Aku bawakan ramen untukmu. Aku suapi ya?” Sakura membuka bungkusan ramen tersebut.
Yang dia tidak ketahui, Naruto menatapnya nanar. Ia bawa matanya ke wajah Sakura. Sedu sedannya—yang Naruto lihat di ruangan Sasuke barusan—terlihat memberi jejak nelangsa di wajah ninja medis itu. Masih ia ingat dalam benaknya jeritan hati si bunga sakura yang kemudian membuatnya berpikir bahwa dialah pelaku utama penyebab komanya Sasuke. Naruto nyaris semaput, padahal sebenarnya ia butuh banyak waktu untuk mencari jalan keluar agar Sakura-chan-nya tidak meratap lagi. Naruto ingin mengakhiri kesedihan gadis yang dicintainya itu sedini mungkin. Namun ternyata gadis itu malah secepat ini menghampirinya. Naruto tahu betul Sakura pasti sangat kerepotan karena mengurusi dirinya dan Sasuke.
“Aku sedang tidak ada selera untuk makan ramen kali ini, Sakura-chan,” ucap Naruto dingin. Ia menatap ke arah depan dengan tatapan kosong. Mangkuk di tangan Sakura nyaris beranjak dari genggamannya ketika ia mendengar Naruto tidak memanggilnya seperti yang biasa Naruto lakukan. Suaranya begitu pelan tak punya semangat. Hal teraneh yang lain, Naruto menolak ramen? Padahal tadi pagi dia merengek minta dibelikan makanan favoritnya itu. Ini seperti bukan Naruto yang Sakura kenal. Tapi Sakura mengacuhkannya dan bersikap tenang.
“Tapi kau belum makan seharian ‘kan, Naruto? Aku akan membantumu.” Sakura melanjutkan pekerjaannya lagi. Tersadar ia lihat, Naruto menatapnya dengan angkara murka. Sakura bergidik dibuatnya. Belum pernah Naruto memandanginya dengan tatapan tajam seperti ini.
“Tidak perlu, Sakura-chan. Nanti aku memakannya sendiri.” Naruto melanjutkan kalimat verbalnya, sementara Sakura meletakkan mangkuk berisi ramen ke meja yang ada di sebelah tempat tidur Naruto. “Yang paling penting sekarang, ada hal yang ingin kubicarakan padamu.”
Mata Sakura sedikit terbuka lebar. Airmukanya berubah seketika. Ia menjadi waswas dengan apa yang ingin Naruto utarakan. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak. Padahal baru saja dia menangis semalam di ruangan Sasuke.
“Ada apa, Naruto? Kau jadi sangat aneh,” ucap Sakura dengan terus memandangi mata sapphire yang tak kunjung menjauhinya. Ada yang lain dalam diri Naruto yang tak Sakura bisa tebak apa isinya. Lain kata lain perasaan, Sakura berusaha menyembunyikan ketegangannya dengan senyuman palsunya.
Naruto malah semakin menatapnya beringas. Senyuman palsu Sakura terbaca olehnya, “Kau tidak perlu memberiku senyum palsumu, Sakura-chan.”
Sakura tersentak. Ia terkejut dengan kata-kata yang Naruto utarakan. Ia takut senyuman palsunya disalahartikan oleh Naruto. Padahal bukan maksudnya untuk mengecewakan hati the Kyuubi Host itu. Dia tak melakukan hal yang menyakitkan hati Naruto ‘kan? Lalu mengapa Naruto menjadi naik darah seperti ini?
“Ma—maaf, Naruto. Aku tidak bermaksud apa-apa. A—Aku hanya kecapaian seharian ini.” Sakura menggigit jarinya. Ia tidak mau bilang penyebab yang sebenarnya mengapa dia sangat kelelahan hari ini. Beban yang ia miliki sangatlah berat. Biarlah ia rasakan sendiri, dia tidak mau membebani Naruto lagi dengan segala kesulitannya.
“Ya, aku tahu kau sedang kecapaian, Sakura-chan. Karena itu—” Naruto berhenti sejenak—menyedarkan matanya ke arah lain. Dia tidak mau memandangi Sakura.
“Karena itu apa, Naruto?” Tanya Sakura parau.
“Karena itu…Bisakah kau tidak mengurusiku lagi, Sakura-chan?”
Song Insert ‘Pergi dengan Indah by Kerispatih.’
Saatku tak mampu bertahan lagi…
Yang kumau hanya tak menyakitimu…
“Na—nani yattan da, Naruto? Tentu saja aku tak bisa begitu. Kau teman baikku, Naruto. Bagaimana bisa aku mengabaikanmu begitu saja?” Sakura mencoba berdalih. Ia kaget bukan main dengan permintaan tiba-tiba Naruto tersebut.
“Aku tidak apa-apa, Sakura-chan. Kau tak perlu khawatir. Meski tak bisa menjadi ninja lagi, tanpa kaki aku masih bisa hidup.” Naruto menatap kedua kakinya. “Tapi Sasuke…tanpa jantungnya dia akan meninggalkan kita.”
Biar saja kau tahu sendiri…
Cinta itu tak hanya mencari…kesenangan diri…
Sakura dibuatnya tersentak kembali. “Apa—apa maksudmu, Naruto? Wakanai… Sasuke-kun memang terluka parah. Tapi sekarang dia ba—”
“Berhenti membohongiku, Sakura-chan!” Naruto memotong kalimat Sakura dengan tiba-tiba. “Berhenti dengan segala omong kosongmu.” Ditatapnya Sakura dengan penuh kepedihan. Naruto memutuskan mengatakan semua perasaan pahit yang sebenarnya ia rasakan sejak lama. “Kau memang berbohong dengan maksud baik. Tapi itu hanya menambah kesakithatianku.”
Sakura langsung mematung, giginya bergemeletuk menahan dinginnya ucapan Naruto. “Naruto…anata wa?—”
Naruto menganggukkan kepalanya lesu. “Ya, aku tahu keadaan Sasuke, Sakura-chan. Aku tahu keadaan dia yang sebenarnya.” Naruto mengambil nafas sejenak. Ia tahu ini adalah keputusannya yang terkesan terburu-buru. Tapi dia sedang linglung karena semua masalah yang menimpanya. “Kau pasti menyadarinya ‘kan, Sakura-chan? Sasuke…lebih membutuhkanmu daripada aku.”
Butiran air mata mulai membasahi pipi Sakura. Ia tidak ingin menyakiti Naruto. Tapi mengapa yang semua ia putuskan nyaris selalu menggores hati teman baiknya itu?
“Tapi Naruto, kau—”
“Aku akan baik-baik saja, Sakura-chan.” Naruto kembali memotong kata-kata Sakura. Dia tidak ingin mendengarkan Sakura berdalih.
Saatku harus katakan perpisahan…
Yang kau mau hanya ku tetap bersamamu…
“Aku tahu kau sangat mencintai Sasuke…karena itu lupakanlah aku, Sakura-chan.”
Aku sangat mengerti sayangku
Tapi maafkan ini semua…harus berakhir.
“Kau tak perlu mencari obat untukku. Carilah pendonor jantung untuk Sasuke. Kau pasti bisa menemukannya.” Naruto mengepal erat tangannya. Entah mengapa ia benci dengan dirinya sendiri.
“Uso—Uso, Naruto. Naze?” Sakura menggelengkan kepalanya. Menggigit bibirnya dengan keras, berusaha untuk menahan air matanya agar tak mengalir deras.
Aku masih cinta…itu sebabnya ku pergi…
Ku masih sayang…itu sebabnya kuminta kau berpikir…
“Besok kau tidak perlu mengunjungiku lagi,” ucap Naruto lagi. Dia ingin mengakhiri semua. Ia ingin Sakura pergi dari hadapannya. Ia tak sanggup melihat Sakura terus menangis.
Cinta bukan buta…
Tapi cinta memahami…
Semoga hidup ini lebih berwarna bagi kita…
“Naruto, meski aku mencintai Sasuke. Tapi aku juga—”
“Damare, Sakura-chan! Aku tahu yang kau katakan kemarin di badai salju itu bohong!”
Meski harus terpisah…
Jauh…
Jauh…
PLAK!
Sakura melayangkan tamparan di pipi kanan Naruto.
“Kau bodoh, Naruto! Meski aku mencintai Sasuke-kun, bukan berarti aku harus mengabaikanmu!” umpat Sakura yang penuh linangan air mata di pipinya. Naruto menatapnya penuh kejut. Ia tak habis pikir mengapa Sakura malah menamparnya. Kemudian Sakura mengambil langkah seribu dari tempatnya.
“Sakura-chan, matte!”
Tapi yang dipanggil namanya telah menghilang dalam dekapan. Naruto nyaris mengejar Sakura, namun ia mengurungkan niatnya tatkala ia ingat keadaannya sendiri. Naruto langsung membantingkan tubuhnya sendiri ke tempat tidur.
“Kuso! Aku ingin mengurangi beban Sakura-chan. Tapi aku malah membuatnya menangis.” Naruto mengutuk dirinya sendiri. Ia memang paling tidak bisa mengerti perasaan seorang wanita. Meskipun dia telah lama berpetualang dengan Jiraiya, tetap saja baginya mengerti perasaan seorang wanita adalah hal yang paling sulit di dunia ini. Naruto sudah muak—sudah muak dengan semua hal yang menimpanya. Tiba-tiba terbersit sesuatu dalam pikirannya—yang dia terka hanya satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sasuke. Tapi dia cukup lelah untuk berpikir terlalu jauh—ia tumbang dalam alam mimpinya.
.
0o0o0o0o0
.
Sakura langsung mendobrak pintu rumahnya ketika sesampainya ia di sana. Ia tak pedulikan omelan orangtuanya yang sudah lama menunggu kedatangannya karena anaknya sudah cukup lama meninggalkan rumah. Sakura langsung berlari ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Ia kemudian menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dan menangis sejadi-jadinya.
Tak lama, ia kemudian menatap jendela kamarnya yang tertutup rapat. Perlahan Sakura membukanya. Semilir angin dingin, menyusup ke kamar kecilnya. Ia perhatikan rembulan yang menghiasi langit kelam di atas sana. Semuanya nyaris sama seperti saat itu—saat dimana Sasuke meninggalkan Konoha dan mengkhianati teman-temannya. Malam itu Sakura hendak menghentikan Sasuke dengan menyatakan perasaannya yang sebenarnya.
Tapi mujur memang tak mudah diraih, Sasuke tak menjawab perasaannya dan malah meninggalkan dia pingsan di bangku jalan. Hanya ucapan terima kasih yang keluar dari mulut pemuda tampan itu. Sakura—yang gagal membujuk Sasuke untuk tidak pergi—merasa tak mampu meraih binar harapannya. Karena itu ia meminta tolong Naruto untuk mengabulkan keinginannya. Keinginan terbesar dalam hidupnya—yang Sakura tahu—tak mudah untuk digenggam dengan tangannya sendiri. Namun kini semua nyaris mencapai klimaksnya.
Sasuke yang ia cinta dengan sepenuh hatinya memang telah kembali ke Konoha. Namun goresan takdir siapa yang tahu? Sasuke malah pulang dalam keadaan kritis yang Sakura tak mampu untuk menyembuhkannya. Dia akan pergi lagi dalam hidup Sakura. Namun Sakura paham, tidak mudah bagi Sasuke untuk kembali ke pangkuannya. Berkumpul seperti sedia kala, tertawa bersama—menangis bersama…senasib sepenanggungan. Masa-masa penuh warna pada saat tim tujuh berkumpul dulu, secepat inikah akan berakhir?
Satu-satunya cara adalah transplantasi jantung. Namun itu juga sulit untuk dilakukan, mengingat tak ada yang bersedia untuk mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Tadinya Sakura ingin melakukan hal gila dengan mendonorkan jantungnya sendiri untuk the Uchiha Prodigy. Tapi setelah ditelaah, jantung Sakura tidak cocok untuk Sasuke dikarenakan ketebalan katupnya yang sedikit berbeda. Oleh karena itu ia urungkan niatnya dan mulai mencari seseorang yang ingin mendonorkan jantungnya Sasuke ke desa-desa tetangga.
Sakura sedang kehabisan waktu. Niatnya ia ingin menyelamatkan Sasuke, tapi ia nyaris kehilangan waktu untuk menyelamatkan Naruto. Ya, hanya Naruto yang memiliki kesempatan untuk hidup. Bukan maksud hati Sakura mengabaikan temannya itu. Sakura hanya tak ingin kehilangan mereka berdua. Sakura tentu saja sulit untuk memilih dalam keadaan seperti ini. Kalau saja mereka berdua sehat-sehat saja akan lebih mudah baginya untuk menentukan sebuah pilihan. Tapi masalah yang sedang ia hadapi sungguh berbeda.
Dua orang lelaki itu mengisi ruang hatinya yang paling dalam. Meskipun tak pasti, dia menyadari perasaannya terhadap Naruto semakin lama semakin berlabuh mendekati dermaga kalbunya. Ya, Sakura mencintai keduanya. Namun cinta itu sangat sulit ia bagi seutuhnya kepada seorang saja. Karena mereka jatuh di dua belahan hatinya.
Sakura mengambil foto tim tujuh di meja yang berada di sebelah tempat tidurnya. Di sana ada Kakashi-sensei, Sasuke, dan Naruto. Ia membayangkan apabila salah satu diantara mereka telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Sakura menyadari…bahwa dia belum siap menghadapi semua ini.
“Aku…tidak bisa mengabaikan kalian berdua,” ujarnya.
Sakura meletakkan bingkai foto itu dalam pelukannya. Ia kemudian tertidur lelap ditemani desiran angin kalap yang masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. Ia perlu menghilangkan penat yang selama ini menimpanya. Sakura sudah memutuskannya dengan mantap. Kejadian tadi di ruangan Naruto, membuatnya sadar akan satu hal. Mungkin dia harus merelakan Sasuke-kun-nya pergi dari kehidupannya. Bukankah manusia memiliki batas kemampuannya untuk melawan takdir?
Tapi ada yang Sakura tidak ketahui. Ia akan mengalami satu hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Rasa perih itu akan lama menggerogotinya. Melebihi perihnya ketika Uchiha Sasuke meninggalkan Konoha. Hari-hari itu akan seperti neraka baginya.
.
0o0o0o0
.
Naruto tiba-tiba terbangun dalam tidurnya. Namun ia terjaga di tempat yang berbeda yang sama sekali tak ia kenal. Ia berbaring di atas dipan empuk di dalam paviliun terbuka yang dikelilingi pohon-pohon berwarna-warni. Daun-daunnya yang elok berserakan di sekitar paviliun. Sepertinya musim gugur sedang melanda tempat ini. Naruto melihat disekelilingnya. Kidungan burung pagi terdengar di penjuru tempat tersebut. Cahaya keemasan matahari menyelimuti area, sungguh menyejukkan mata walaupun terlihat berantakan.
Naruto bangkit dari dipan dan menemukan bahwa kakinya bisa digerakkan, mungkin bila mencobanya ia juga bisa berjalan. Tapi Naruto malah menggerutu, ia tahu pasti ini hanya sebuah mimpi.
Naruto mulai beranjak dari sana. Ia berjalan pelan menikmati pemandangan di sekitarnya. Tampaknya ia berada di atas salah satu tebing—yang mengapit sebuah lembah—yang ditumbuhi pohon-pohon rindang nan lebat. Jika dibandingkan dengan pepohonan yang ada di Konoha, pepohonan ini jauh lebih besar dan tinggi. Jeram-jeram kecil menghiasi tembok-tembok kokoh dua tebing. Jeram-jeram itu jatuh di sungai di bawahnya.
Naruto memperhatikan seluruh area di bawah kakinya. Ternyata di sana pemandangannya lebih elok lagi. Sebuah bangunan besar berdiri menantang menjulang nyaris menyaingi tinggi tebing di kakinya. Sepertinya bangunan itu adalah sebuah istana. Karena bangunan itu terlalu besar jika disebut sebagai rumah.
Naruto memperhatikannya dengan teliti, istana itu dikelilingi oleh paviliun-paviliun kecil yang nyaris sama bentuknya dengan paviliun dimana dia berbaring tadi. Pahat-pahatan daun terukir di dinding pualam istana. Altarnya tinggi dengan sebuah karpet merah yang digelar di tengah-tengahnya. Naruto mulai berkhayal, putri seperti apakah yang tinggal di istana megah itu? Ia tak peduli lagi apakah ini hanya mimpi atau kenyataan, yang jelas semua pemandangan yang diberikan oleh tempat ini sangat menghibur hatinya.
“Lembah yang indah…,” bisiknya.
Tapi ada yang masih membuat Naruto penasaran. Ia mulai merasakan wangi sedap bunga mawar yang menyengat hidungnya. Ia mengenal bau ini.
“Ini bau wanita itu,” ucap Naruto. Ia langsung mencari dimana bau itu berasal. Naruto berlari dan terus berlari hingga terdengar olehnya suara gemercik air yang cukup berisik. Ia melangkah perlahan ke depan. Ia buka matanya lebar-lebar. Rupanya terbentang luas sebuah lautan biru yang tak ada ujungnya. Angsa-angsa putih berterbangan kesana kemari seakan menari menyambut kedatangan dirinya. Yang Naruto sadari ada tiga pusaran air yang berputar menyatu dengan langit, nyaris seperti badai taifun. Pusaran air itu berputar kesana kemari tak tentu arah. Angsa-angsa itu mengikuti kemana pusaran air itu pergi. Sungguh aneh, Naruto tahu pusaran air itu laksana badai tapi sama sekali tak terlihat menakutkan bagi angsa-angsa tersebut. Mungkin mereka sedang mencari ikan segar di dalamnya.
Kemudian ia alihkan pandangannya ke sebelah kirinya. Dan ia temukan sang mawar merah berdiri di ujung tebing sembari memandangi lautan biru yang membentang di balik dua tebing kokoh. Naruto menyebutnya sang mawar merah karena ia tak mengetahui nama wanita itu. Naruto pun mendekatinya. Sang mawar merah menoleh ke arah Naruto, tersadar akan kehadiran si rambut blonde, ia pun tersenyum simpul.
“Naru-chan, im gelir ceni ad lín,” ujar wanita itu. Ia tetap berada dalam gaun merah miiko-nya. Sangat cocok dengan warna rambut panjangnya yang digerai indah.
“Sudah kubilang padamu, aku tak mengerti bahasa yang kau ucapkan,” ujar Naruto bersikap santai. Rasa-rasanya ia tak perlu santun kepada orang yang tak jelas juntrungannya. Kalau ada Sakura, ia pasti langsung meninju Naruto karena ketidaksopanan sikapnya.
“Artinya, senang bertemu denganmu lagi, Naru-chan,” sang mawar merah kembali tersenyum. Ia menatap laut biru yang berada di depannya. Kesunyian menyelimuti mereka. Ada banyak hal yang sebenarnya Naruto ingin tanyakan pada sang mawar merah, namun Naruto bingung untuk menanyakan hal mana dulu.
“Kau yang membawaku kesini ‘kan? Apa tujuanmu sebenarnya?”
Sang mawar merah menghela nafas perlahan. “Karena aku tahu, kau sedang dalam kesedihan yang mendalam,” jawabnya sembari memejamkan mata. Deburan ombak menerjang tebing yang melindungi lembah. Saling menyeru satu sama lain, membentuk sebuah instrumen abstrak namun sangat merdu didengar. Naruto tahu wanita ini pasti sedang asyik mendengarkan suara-suara indah ini.
“Bagaimana kau bisa tahu aku sedang punya masalah?” Naruto kembali menginterogasi sang mawar merah. Mata azure-nya tak pernah lepas menatap mata scarlet wanita yang masih membuatnya penasaran dengan segala kemisteriusannya.
“Hmm? Aku hanya mengikuti kata hatiku saja,” jawab sang mawar merah sambil tetap lurus menatap ke depan.
“Jadi kau telah mengenalku sebelumnya?”
“Ya, tentu saja.”
Naruto malah makin tambah pusing dengan jawaban-jawaban yang diberikan wanita yang ia tak ketahui asal-usulnya itu. Tapi ia cukup terhibur dengan adanya wanita ini. Karena dia telah membawa Naruto ke alamnya yang indah... Rasa-rasanya ia ingin selamanya berada di sini. Di tempat ini beban di pundaknya terasa lenyap. Tapi jika ia pergi, apakah dia bisa tinggal di sini? Atau inikah surga yang Tuhan janjikan bagi orang-orang yang mulia selama hidupnya?
“Tempat ini sangat indah. Aku jadi ingin sekali tinggal di sini.” gumam Naruto. Wanita itu berbalik memandanginya. Ekspresi wajahnya begitu tenang penuh perhatian. Membuat Naruto ingin menumpahkan semua kelu kesahnya pada wanita peri itu.
“Benarkah? Kau tak rindu akan kampung halamanmu?”
“Tentu saja aku akan selalu merindukannya!” teriak Naruto. Ia mungkin sedikit hiperbola karena wanita itu tetap tenang menghadapinya. “Em—maksduku…aku hanya berpikir jika aku mati nanti apa aku bisa tinggal di sini?”
Wanita itu tersenyum. “Mati? Kenapa kau berpikir begitu?”
“Apa kau malaikat yang akan menjemputku ke surga nanti?”
Wanita itu tertawa terbahak. Walau begitu, tawa lepasnya tetap saja sangat merdu didengar. “Aku malaikat? Tidak Naru-chan. Aku tidak jauh beda denganmu.” Sang mawar merah kembali menatap laut lepas di depannya. “Jadi kau berpikir bahwa kau akan mati karena ada aku yang sehari semalam mengganggumu? Kau pikir ini adalah surga?”
Naruto mengangguk kecil. Entah mengapa ia merasa pernyataannya barusan sangat konyol untuk diberitahukan pada sang mawar merah. Namun dia tidaklah asal sebut. Kematian adalah hal yang terngiang-ngiang di benaknya seharian ini. “Tapi aku memang berniat untuk mati,” ujar Naruto sembari menundukkan kepalanya.
Wanita itu segera mendekat ke arah Naruto. Mereka saling berhadapan satu sama lain. Disentuhnya dagu Naruto dengan jemari lentiknya. Ia mengangkat bagian itu secara perlahan. “Kenapa kau begitu putus asa?”
Naruto mulai mengingat insiden ketika terakhir kali ia bertarung dengan Sasuke. Insiden yang membawa sahabatnya nyaris jatuh ke dalam jurang kematian. Kemudian tangisan Sakura yang mengharapkan Sasuke sebagai pelipur laranya kembali. Naruto tahu hanya kepulangan Sasukelah yang akan membawa kebahagiaan untuk gadis yang dicintainya itu. Tapi kini ia mengerti…kalau janji seumur hidupnya dulu, tidak akan pernah bisa ia tepati jika ia hanya terpaku dalam tempat tidurnya.
Naruto tak mampu menjawab secara verbal pertanyaan sang mawar merah. Ia langsung jatuh ke dalam ratapannya. Airmatanya turun ke gundukan tanah hijau—tempat di mana ia memijakkan kakinya. Wajahnya tertunduk lesu. Bahunya naik turun karena saking terisaknya. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Sebagai laki-laki ia seharusnya tidak menangis di depan seorang wanita. Apalagi wanita ini sama sekali tidak pernah ia kenal sebelumnya.
Tiba-tiba kilatan cahaya membangunkannya. Naruto mendongakkan kepalanya—memandangi wanita itu sembari membuka matanya lebar-lebar. Sang mawar merah seperti mengeluarkan sebuah mantra dari bibirmya.
“Ú I vethed nâ i onnad. Nâ boe ú i. Esteliach nad, estelio han,” ucap wanita itu sembari menyentuh dada kiri Naruto. Namun entah mengapa tiba-tiba Naruto jadi mengerti apa yang ia ucapkan.
‘Ini bukan akhir dari segalanya…ini adalah permulaan. Kau tidak perlu melakukannya. Jika kau tak ada yang bisa kau percaya. Percayalah pada ini.’
“Maksudmu aku harus percaya pada kata hatiku sendiri?” Tanya Naruto. Wanita itu mengangguk pelan.
“Ya, Naruto. Ketika malam akan berakhir, kau mungkin akan menemukan terbitnya sang surya.” Cahaya kembali terpancar mengelilingi mereka. Wanita itu ternyata kembali membawa Naruto ke dunia aslinya. Dunia dimana saat ini ia sedang terlelap dengan nyenyaknya. Tubuh Naruto gemetaran. Sang mawar merah mengenggam tangan Naruto dengan erat sembari mengeluarkan kata-kata yang membuat hati Naruto tenang.
“Sst, Naru-chan. Tidur...tidurlah hingga fajar tiba,” bisiknya sembari mengusap dahi Naruto secara perlahan. Tubuh gemetar Naruto perlahan menghilang karena sentuhannya. Tadinya sang mawar merah ingin sekali memberitahukan siapa dirinya yang sebenarnya kepada Naruto.
“Belum saatnya kau tahu siapa aku, Naru-chan,” ucapnya sembari berdiri hendak beranjak dari ruangan Naruto berada. “Kalau itu pilihanmu, tentu saja aku tak bisa menghentikannya.” Dirinya pun nyaris menghilang dalam bayangan. Tapi sebelum pergi ia berujar. “Namun setiap ibu…mempunyai kekuatan untuk melindungi anaknya.”
Sang mawar merah pun lenyap bersama kedatangan surya di ufuk timur.
.
0o0o0o0
.
Pagi sekitar pukul sepuluh, Tsunade mengunjungi Naruto kembali. Kali ini dia yang bertugas memeriksa keadaan Naruto karena Sakura telah memulai aktivitasnya untuk meracik obatnya. Ia hanya memiliki waktu 4 hari sebelum luka di kaki Naruto bertambah parah. Tsunade mempercayakan perihal ini kepada Sakura. Meskipun rasanya berat sebelah, tapi hanya Naruto yang memiliki kesempatan untuk hidup.
Tsunade berjalan memasuki ruangan di mana Naruto berada. Rupanya ia sudah bangun dan duduk di atas kasurnya. Memandang langit di luar jendela yang kala itu berawan. Sepertinya musim hujan akan tiba.
“Ohayou, Naruto!” sapa Tsunade. Naruto langsung menoleh ke arahnya.
“Ohayou, Tsunade-baba,” balas Naruto sembari tersenyum lemah. Tsunade sedikit tercengang melihatnya. Keadaan Naruto sedikit berantakan dibandingkan dengan hari kemarin. Ia lesu tak ada gairah. Namun keadaan kamarnya lebih parah lagi. Tsunade melihat pecahan vas bunga bereserakan di bawah jendela. Ia nyaris shock melihat pemandangan di ruangan Naruto. Kelopak bunga mawar merah bertebaran dilantainya.
“Naruto, kenapa kamarmu berantakan begini?” Tanya Tsunade yang perlahan mendekatinya.
“Hmm? Semalam jendela kubiarkan terbuka lebar. Angin besar tiba-tiba masuk. Lalu vas bunga itu pun terhempas dan bunga mawar jatuh berguguran,” jawab Naruto sembari menunjuk ke arah kepingan vas bunga itu.
“Begitu?” Tsunade sedikit bingung. Padahal seingat dia tidak ada badai tadi malam meskipun hari ini terlihat mendung, “Ya sudah, nanti kupanggilkan penjaga untuk membersihkannya.” Tsunade membuka mangkuk berisi bubur ditangannya. “Kau sarapan dulu ya, Naruto.”
Naruto menggelengkan kepalanya. “Nanti saja, Baba; aku sudah kenyang. Baru saja aku menghabiskan buah-buahan, sayuran yang diberikan Sai. Dan juga Sakura-chan tadi malam membelikan aku ramen.”
Tsunade memperhatikan bungkusan bekas buah-buahan dan ramen yang tergeletak di meja sebelah Naruto. Dan benar saja, semua isinya telah lenyap. Tsunade menatap Naruto dengan raut muka penuh rasa heran. Naruto sedikit aneh hari ini.
“Baiklah kalau begitu.” Tsunade meletakkan bungkusan yang dibawanya ke meja satu lagi. Memang ada dua meja yang mengapit kasur Naruto. Ia keluarkan semua isi bungkusan itu.
“Tsunade-baba, ada…yang ingin kubicarakan padamu,” ujar Naruto sembari menatap the Slug Sannin di sampingnya. Sementara yang disebut namanya sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
“Apa, Naruto? Katakan saja,” ucap Tsunade. Ternyata ia membawa obat luka bakar untuk Naruto dari racikannya sendiri. Tsunade menyimpannya ke dalam botol. Satu persatu tiga botol dia letakkan rapi di atas meja. Namun ketika akan meletakkan botol terlakhir…
“Aku…ingin mendonorkan jantungku untuk Sasuke.”
PRAANNNGGG!!!
Botol obat yang Tsunade bawa terlepas dari genggamannya. Ia langsung menatap Naruto dengan tubuh gemetaran. \

Bersambung…

Maaf cliffhanger hehe. Btw terlalu lama ‘kah alurnya? Atau malah sebaliknya?…
Para reviewers n readers pada penasaran sama siapa wanita itu? Ya kisi-kisinya sudah saya berikan ^^. Lha itu kenapa bisa ada bahasa LOTR di sini? Wkwkwkw… Jawabannya akan saya berikan nanti.

Okay review please ^^

GLOSARY
“taken from the Fellowship of the Rings dialogs and phrases from arwen-undomiel.com”
1. telin le thaed : Aku datang untuk menolongmu.
2. Lasto beth nîn, tolo dan nan galad : Dengarkan suaraku, kembalilah ke cahaya.
3. Namárië (Quenya Language) : Selamat tinggal

Share:

1 komentar

  1. biarkan jantungku berada pada orang yang engkau cintai, :'(

    ReplyDelete