Fanfic NARUTO Dibuang Sayang: HEART Chapter 7

HEART Chapter 7
Madara’s Attack

Naruto © Masashi Kishimoto
NaruSakuSasu, Semi-Canon, Rated T, Tragedy/Romance. Towards to adventure in the future.


“Selesai!” ucap Sakura lantang sembari tersenyum bangga. Ia berhasil meracik ramuannya untuk Sasuke dan Naruto dalam bentuk bubuk. Ia bersyukur bahwa pekerjaannya selesai lebih cepat dari yang ia rencanakan. Tinggal mengeringkan ramuannya saja.
Sebenarnya ia ingin cepat-cepat kembali ke desa tapi rasa kantuk menghalanginya untuk pulang malam ini. Hampir 10 jam non stop ia memeras otaknya, bereksperimen semalam suntuk. Tubuh dan otaknya memang perlu diistirahatkan untuk mengembalikan staminanya esok.
“Sepertinya aku baru bisa pulang besok pagi,.. Hoaahhmm…” ucapnya sembari menguap.
Sebelum beranjak dari meja, Sakura memandang dua botol—berisi obat di dalamnya—yang sedang ia genggam.
“Akhirnya aku bisa menyelamatkan kalian berdua, Naruto… Sasuke-kun…,” ujar Sakura sembari menitikkan airmata. Sakura dulu pernah pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti dia bisa menyelamatkan dua orang rekannya tersebut.
Seperti pesan terakhir Chiyo baa-sama kepadanya.
“Sakura, kali ini tolonglah orang yang kau anggap berharga bagimu. Dan bukan nenek sekarat… Kamu mirip sekali denganku. Karena tak banyak perempuan yang memiliki jiwa ksatria seperti itu… Kamu pasti akan menjadi kunoichi hebat melebihi gurumu…”
Dan sekarang ia bertekad untuk menepatinya. Kali ini dia tidak boleh gagal seperti kemarin. Sakura tak mau membayangkan bagaimana kalau hasil racikannya gagal menyembuhkan luka Sasuke dan Naruto. Ia berpikir se-optimis mungkin.
Lantas ia pun melenggangkan kakinya ke tempat tidur yang telah tersedia di laboratorium. Perlahan ia membuka jendela, melihat langit malam yang terlihat pucat, tak menampakkan keindahannya. Tak ada rembulan dan tak ada bintang yang biasa bertaburan. Mengapa malam seakan tak bergembira untuknya? Padahal hatinya kini sedang menanti kebahagiaan di esok hari. Kebahagiaan melihat dua orang yang berharga baginya bisa berkumpul lagi bersama-sama seperti yang telah lama diharapkannya.
Tapi masa depan tak selalu seirama dengan apa yang kita inginkan bukan?
Sakura pun menutup jendela dan segera membaringkan diri di atas tempat tidur. Ia sangat kelelahan dan dalam waktu sekejap saja Sakura langsung pergi ke alam mimpinya.

0o0o0o0o0

Awan nimbus telah datang, tapi masih segan membagi hujan pada bumi yang telah menantinya sejak lama. Ia hanya mendatangkan angin kencang yang mulai berhembus di desa Konoha. Sentuhannya membuat kulit merinding.
Malam itu terlihat lengang, penduduk desa jarang terlihat berlalu-lalang di jalan. Mereka telah kembali ke rumahnya masing-masing sejak pukul 8 malam. Angin kencang yang nyaris bisa disebut sebagai angin ribut itu memang membuat para penduduk enggan keluar dari rumahnya. Suasananya cepat membuat kantuk.
Tapi tidak bagi Uzumaki Naruto. Dia beberapa kali mencoba memejamkan matanya untuk terlelap tapi tidak bisa. Menghitung domba pun tak menghasilkan efek apa-apa. Bisa jadi ia sangat tegang karena operasi 2 jam lagi akan dilaksanakan. Naruto sedikit was was. Takut operasinya gagal atau tak berjalan dengan lancar.
Naruto memandang ke arah jendela. Rasa-rasanya ia ingin melenggang ke sana dan memandang bintang yang biasanya selalu menampakkan pesonanya di kala malam menjelang. Tapi apa daya kakinya tak mampu untuk melangkah. Bisa ia rasakan kedua kakinya lumpuh, mati rasa. Mungkin efek amaterasu yang membuatnya seperti ini. Efek serangan itu memang belum lindap dari tubuhnya. Namun Naruto tak memberitahukannya pada Tsunade karena disembuhkan pun tak ada gunanya. Untuk apa? Toh sebentar lagi ia akan meninggalkan dunia.
Tok! Tok!
“Ano… Shitsureishimasu, Naruto-kun.”
Naruto mendongakkan kepalanya ke arah pintu, lalu segera bangkit untuk duduk. Seseorang ternyata mengunjunginya. “Ya, silahkan masuk,” jawab Naruto.
Seseorang itu pun membuka pintu ruangan secara perlahan.
“Oh, Shizune-nee. Ada apa? Apa operasi akan segera dimulai?”
“Masih 2 jam lagi, tapi aku mau check keadaanmu dulu. Lagi pula ada yang ingin mengunjungimu, Naruto-kun.”
“Siapa?”
Shizune mempersilahkan seseorang yang lain—yang bersembunyi di balik tembok—untuk masuk ke dalam ruangan. Dan muncul sesosok gadis berambut ungu kebiru-biruan yang sedang menatap Naruto dengan bimbang. Seseorang yang tak Naruto sangka-sangka kehadirannya. Naruto sedikit terkejut dengan kedatangan Hinata di saat seperti ini. Pikirannya pun mengulang kejadian tempo dulu saat dia bertarung dengan Pain. Tapi terinterupsi karena sapaan pewaris klan Hyuuga itu.
“Ko—Konbanwa, Naruto-kun,” ucap Hinata terbata-bata.
Naruto tersenyum simpul. “Konbanwa, Hinata. Silahkan masuk.”
Hinata melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Lantas Naruto mempersilahkannya untuk duduk.
“A—Arigatou na, Naruto-kun,” ucap Hinata setelahnya.
Shizune masih berdiri di luar, pintu dibiarkan terbuka. Tapi dia tidak ada niat untuk mendengarkan percakapan antara Naruto dan Hinata. Untuk itu ia pergi sebentar ke ruangan di mana tim dokter sedang berkumpul. 30 menit lagi dia akan kembali ke ruangan Naruto.
Cukup lama Naruto dan Hinata saling membisu. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka berdua. Naruto sendiri bingung ingin membicarakan apa, tapi pada akhirnya ia mempunyai suatu hal yang ingin ia bicarakan.
“Kau pasti sudah tahu ‘kan, Hinata?’
Hinata langsung menyedarkan pandangannya ke wajah Naruto. Tapi ia tidak berani menatap Naruto lama-lama. Ia pun mengangguk sembari menunduk.
Naruto menyadari suasana yang tidak mengenakkan di antara mereka berdua. “Ah, Hinata. Hahaha… Apa boleh buat. Sasuke dalam keadaan sekarat karena dia melindungiku. Dan aku tak bisa diam saja melihat dia dalam keadaan yang seperti itu.” Naruto menggaruk-garuk belakang kepalanya sembari terkekeh-kekeh. Ia tahu sebenarnya ini bukanlah hal lucu, Naruto hanya ingin mengurangi ketegangan yang menyelimuti mereka berdua.
“Anata wa hontou ni yasashii, Naruto-kun,” ucap Hinata sembari menatap Naruto lekat-lekat.
Naruto tertegun melihatnya. Hinata kelihatan sangat tegar. Walaupun ia menyadari mata Hinata mulai berair tapi gadis itu menahannya agar tidak jatuh. Ia memberikan senyuman penuh ketulusannya pada Naruto. Dan anehnya kali ini dia tidak terbata-bata.
Naruto pun membalas senyuman Hinata. Lalu ia teringat ada perihal penting yang sebaiknya harus ia selesaikan sebelum dia pergi. “Hinata, waktu itu…terima kasih karena telah menolongku dari serangan Pain. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu.”
“Daijobu desu, Naruto-kun. Sakura-san langsung menyembuhkan lukaku pada waktu itu. Mungkin aku terlalu nekat, tetapi aku tidak bisa melihat kau dibawa lari oleh Pain.”
“Jadi Sakura-chan yang telah menyelamatkanmu? Aku baru mengetahuinya.” Naruto tersenyum sembari membayangkan gadis berambut pink itu.
“Ya. Tentunya pasti dia juga bisa menyembuhkan lukamu, Naruto-kun,” ucap Hinata yang sedang mengarahkan pandangannya ke kedua kaki Naruto yang tertutup selimut.
Air muka Naruto seketika berubah. Ia sangat yakin Sakura pasti bisa menyembuhkannya. Tapi untuk seseorang yang lain…
“Itu pasti, Hinata,” balas Naruto. “Tapi… Ada satu orang yang ia ingin sembuhkan namun itu terlihat mustahil baginya. Karena itu aku yang akan menyembuhkan orang itu.”
Hinata tertegun, ia sangat tahu perasaan terpendam Naruto pada Sakura. Dan sikapnya yang bersikeras ingin membawa Sasuke pulang. Karena siapa yang sudi melepaskan sahabat sejati begitu saja? Bagi Naruto, Sasuke adalah darahnya—bagian dari kehidupannya. Teman seperjuangan, senasib sepenanggungan. Sedangkan Sakura adalah jantungnya—cinta matinya, tapi gadis berambut pink itu mencintai orang lain yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat Naruto sendiri. Lalu apalagi yang harus ditanyakan?
“Sasuke-kun?”
“Ya,” jawab Naruto sembari mengangguk pelan.
“Kau sangat mencintai Sakura-san, ya ‘kan Naruto-kun?”
Naruto tercenung mendengarnya. “Ka—Kau tahu, Hinata?”
“Hai,” jawab Hinata sembari menundukkan kepalanya.
“Go—Gomenasai, Hinata. Aku tidak bermaksud—.”
“Wakarimasu, Naruto-kun.” Hinata kemudian memalingkan wajahnya dari Naruto. Mukanya lalu bersemu merah. “Kau mengetahui perasaanku sebenarnya saja sudah sangat membuatku senang.”
“Eh?”
Hinata tersenyum kecil. “Aku juga pernah nyaris mengorbankan diriku untukmu. Lalu kau hendak mengorbankan dirimu untuk dua orang yang sangat berharga bagimu. Aku…sangat memahami hal itu, Naruto-kun...”
“Begitu?”
“Memang benar ada sebagian dari diriku yang tak ingin menginginkan kau pergi. Tapi pada akhirnya aku mengerti, yang harusku lakukan adalah merelakan kau pergi. Aku tak punya hak untuk memaksamu.”
Naruto nyaris mengigil mendengar pernyataan Hinata. Baru kali ini ia lihat ada seorang gadis yang memiliki perasaan sedalam itu kepadanya. Tentu Naruto sangat senang. Tapi sayangnya perasaan Naruto tidak seirama dengan perasaan Hinata terhadapnya.
“Hinata, aku yakin suatu hari nanti kau akan mendapatkan lelaki yang baik. Dan dia bisa membuat kau bahagia sampai kau menutup mata.”
“Ya, Naruto-kun,” ucap Hinata yang tiba-tiba tersedu-sedu. Airmatanya mulai turun membasahi pipinya. Bagaimanapun hal ini tak mudah bagi Hinata. Dia sendiri tidak yakin apakah bisa berpindah ke lain hati. Hinata hanya ingin menghibur Naruto disaat-saat terakhirnya untuk itu ia berusaha setegar mungkin.
Naruto menggenggam tangan kanan Hinata dengan kedua tangannya. “Terima kasih telah mencintaiku, Hinata.” Naruto tak mampu berucap lebih dari itu. Karena begitulah hatinya. Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Kemudian ia menyadari ada sesuatu yang beda pada diri Hinata. “Aku lihat sepertinya kau tidak terbata-bata lagi, Hinata.”
Lantas Hinata menyeka airmatanya. Ia tersenyum kecil. “Ya, Naruto-kun. Sejak saat kejadian itu, tak tahu mengapa aku bisa mengontrol kegagapanku. Walaupun hanya sedikit.”
Hinata lalu memperhatikan jam dinding di ruangan Naruto. Ia menyadari waktu kesempatan menjenguk sudah habis. Barusan dia diizinkan oleh Tsunade untuk menjenguk Naruto dan ia berjanji hanya 30 menit ia menjenguk . Malam sudah larut tapi niatnya ia memang ingin bermalam di rumah sakit mengikuti perkembangan operasi.
Sebelum ia pergi, Hinata mengeluarkan sebuah kalung ber-pendant batu aquamarine di tengahnya. “Naruto-kun, ini adalah kalung ibuku. Ini adalah jimat keberuntunganku. Aku percaya dia selalu melindungiku dikala aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku ingin kau memakainya.”
Batu biru laut aquamarine terlihat berkilauan di tangan Hinata. Naruto memperhatikannya secara saksama, ia merasa enggan untuk menerimanya. “Ano… Hinata. Sepertinya kalung itu sangat berharga bagimu. Aku tidak ingin mengambilnya. Aku tak bisa memakainya.”
“Kumohon, Naruto-kun. Tidak apa-apa. Aku ikhlas memberikannya padamu.”
“Bukannya aku tak ingin menerimanya. Rasanya kalung itu tak pantas terkubur bersamaku. Kalau itu memang kalung bertuah—yang bisa menyelamatkan seseorang, aku berharap kalung itu dapat menyelamatkan Sasuke.”
Hinata tertegun. “U—Untuk Sasuke-kun?”
Naruto mengangguk.
Hinata terlihat berpikir sejenak. Ia memang tidak terlalu mengenal Sasuke. Tapi kalung itu turun-temurun diwarisi di keluarga Hyuuga. Tidak boleh diberikan ke sembarang orang. Dia ingin memberikan kalung itu pada Naruto karena perasaan spesialnya pada the Kyuubi host itu. Tapi untuk Sasuke…dia ragu.
Naruto menyadari kebimbangan Hinata. “Hinata, aku tahu Sasuke masih sangat asing bagimu. Karena itu boleh aku memberitahukan suatu hal padamu?”
“Tentang apa, Naruto-kun?”
“Tentang dibalik pembantaian klan Uchiha…”

0o0o0o0o0

Operasi transplan jantung Naruto untuk Sasuke dilakukan secara diam-diam. Meski rumor telah tersebar para rookie 9 yang lain sudah tahu perihal ini. Namun mereka sulit sekali mendapatkan izin dari Tsunade untuk menjenguk Naruto. Naruto memang tak memiliki waktu banyak karena operasi ini terlalu mendadak dilaksanakan. Tapi apa mau dikata, mereka ingin bertemu dengan Naruto untuk terakhir kali.
Hinata tidak memberitahu pada Naruto kalau sebenarnya para rookie 9 sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, mengendap-endap seperti pencuri. Memasuki rumah sakit dari pintu belakang yang terpencil, tidak banyak dilalui orang. Apalagi malam-malam begini tempatnya sangat menyeramkan.
“Ugh… Kenapa kita ingin menjenguk Naruto harus diam-diam seperti maling begini? Lagipula aku tak menyukai tempat ini,” ucap Ino yang memeluk kedua bahunya sendiri sembari melihat di sekeliling jalan pintu masuk.
“Ya, apa boleh buat. Memang merepotkan sih. Tapi kalau ketahuan Hokage-sama itu bisa lebih merepotkan lagi. Hoaahhmm…,” ujar Shikamaru yang terlihat mengantuk. Ino langsung memukul kepalanya.
“Kau jangan tidur, Shikamaru!”
“Ck, aku belum tidur seharian tahu!”
“Ssstt, sudahlah kalian jangan bertengkar,” ucap Chouji yang jengkel melihat kedua teman se-timnya adu mulut. Itu karena dia tidak enak hati pada yang lain juga. Semua rela tidak tidur malam ini hanya untuk menjenguk Naruto. Jadi tidak ada salahnya ‘kan mereka tidak tidur hanya sehari? Toh mereka hanya punya waktu 30 menit sebelum operasi dimulai. Kadang Chouji ingin menjitak si pemalas ini juga karena kemasabodohannya.
Ya, bisa Chouji mengerti bukan maksud Shikamaru bersikap seperti itu. Dia hanya kesal pada Tsunade yang tidak mengizinkan mereka semua untuk menjenguk Naruto. Dia juga bingung mengapa hanya Hinata yang diizinkan, padahal mereka juga adalah temannya Naruto.
Mereka telah memasuki koridor utama. Chouji, Shikamaru, dan Ino berjalan paling depan. Neji, Tenten, Lee mengikuti di tengah-tengah. Sedangkan Kiba, Akamaru, dan Shino berada di belakangnya.
“Ano… Aku tidak mengerti mengapa Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Setahuku luka di kakinya masih bisa disembuhkan. Dan Sasuke…adalah seorang missing nin yang diincar-incar oleh desa tetangga. Lalu kenapa dia yang dipertahankan oleh Tsunade-sama?” Tenten memulai pembicaraan serius di antara mereka. Satu per satu dari mereka pun menjawab dengan persepsinya masing-masing.
“Aku juga tidak mengerti, mungkin karena klan Uchiha adalah salah satu klan hebat di Konoha. Tapi kalau begitu, aku sangat iba terhadap Naruto-kun,” jawab Lee yang matanya mulai berkaca-kaca. Sesekali ia usap matanya dengan bajunya. Neji dan Tenten hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Lee. Lee memang lelaki yang sensitif.
“Bisa jadi kau benar, Lee. Tapi kurasa Naruto ingin merubah takdir Sasuke. Aku dulu pernah berargumen dengannya tentang takdir, dan ia tampak optimis sekali bahwa takdir itu bisa dirubah. Yang tak habis kupikir, mengapa ia tidak mengubah takdirnya sendiri? Ia malah ingin merubah takdir si keparat itu,” ujar Neji sedikit emosi. Rupanya kata ‘takdir’ yang dulu sangat dia junjung tinggi pengaruhnya terhadap kehidupan, masih saja menggerayangi otaknya.
“Hh, si bodoh itu terlalu memikirkan orang lain hingga dirinya saja tidak ia hiraukan,” tukas Kiba yang menyilangkan kedua tangannya di dada. Kata-kata yang diucapakannya memang seakan menunjukkan bahwa ia tak peduli. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia sangat kehilangan sosok Naruto yang diam-diam menginspirasinya.
Sedangkan Shino tidak berkomentar. Dia hanya mengerenyitkan dahinya. Dan itu cukup untuk menginterpretasikan bahwa dirinya juga turut sedih dengan kejadian ini.
“Menurutku Naruto terlalu gegabah dan tidak memikirkan yang lainnya,” ujar Ino tiba-tiba.
Shikamaru langsung menatap tajam teman se-timnya itu.
“Dia tidak memikirkan perasaan Sakura. Aku tak berani membayangkan bagaimana reaksi Sakura nanti. Menurutku ini terlalu berlebihan.”
“Lalu bagaimana denganmu sendiri, Ino?” Tanya Shikamaru yang dari nada suaranya terlihat geram. Ia menatap nanar Ino.
“Ke—Kenapa kau menatapku seperti itu, Shika?”
“Kau tidak senang Sasuke bisa hidup kembali?”
“Apa maksudmu, Shika? A—Aku—.”
“Kau tidak tahu, Ino. Kalau hati laki-laki itu lebih patah dari hati perempuan! Itulah mengapa aku selalu bilang perempuan adalah makhluk yang merepotkan! Mereka ingin dimengerti, tapi sendirinya tak mau mengerti perasaan laki-laki!” bentak Shikamaru.
“Su—Sudahlah, Shika. Ini sudah malam, tidak baik jika—.”
“Damare, Chouji!” Shikamaru mulai naik pitam. “Aku hanya ingin mengeluarkan apa yang ada di benakku, yang terkurung selama bertahun-tahun.”
Shikamaru kembali menghadap Ino. “Kau tidak mengerti apa-apa tentang Naruto, Ino.”
Mata Ino mulai berkaca-kaca. Ia tak mengerti Shikamaru menjadi beringas.
“Hh, bukannya kau sangat terpukul mendengar Sasuke-kun-mu terlibat dalam organisasi kriminal Akatsuki? Bukannya kau menangis tersedu-sedu, Ino? Harusnya kau berterima kasih pada Naruto karena pada akhirnya Sasuke-kun-mu akan hidup kembali!”
Ino hanya diam membisu. Ia menundukkan kepalanya. Kali ini ia menangis.
“Jawab aku, Ino!”
Tenten melangkah ke sebelah Ino—mencoba menenangkan si rambut blondie dengan menyentuh bahunya. “Ano Shikamaru-kun. Aku kira Ino-chan tidak bermaksud untuk—.”
“Maaf, Tenten! Urusanku kali ini dengan Ino.” Shikamaru menarik tangan Ino menjauh dari yang lainnya.
Ino tetap menunduk. Tapi Shikamaru menyentuh dagu Ino dengan tangan kanannya. “Tatap aku, Ino.” Shikamaru mengangkat dagu Ino agar dia menatapnya.
Ino pun mendongakkan kepalanya. Seketika itu ia menggermang. Bisa dilihatnya airmuka Shikamaru. Kesedihan seakan merambat ke seluruh urat nadinya. Menipiskan kulit jangat, menyembul memperlihatkan gurat-gurat amarah yang kian tegang. Ino menggigit bibirnya sendiri. Ini kedua kalinya ia melihat wajah Shikamaru seperti itu. Pertama kali saat guru mereka—mendiang Asuma—tewas di tangan Akatsuki.
“Mengapa kau menganggap hal itu berlebihan?!” Shikamaru mulai menginterogasi Ino.
“Shikamaru, a—aku… Kau salah mempersepsikan kata-kataku. A—aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana Sakura nanti—.”
“Mungkin saja dia berteriak kegirangan karena Sasuke bisa hidup kembali.”
“Tidak, Shika! Sakura tidak mungkin se-egois itu!” Ino mulai menangis tersedu-sedu.
“Ck, mendokusai.” Shikamaru kemudian berjalan menuju jendela yang letaknya tak jauh dari tempat ia berpijak.
“Shikamaru…” ucap Chouji lirih. Ia mengerti mengapa Shikamaru tiba-tiba bersikap seperti ini. Sebenarnya ia bisa saja tak ambil pusing dengan kata-kata Ino tadi. Tapi Shikamaru sangat kelelahan hari ini. Lalu ia sangat kesal pada Tsunade yang tidak mengizinkan mereka untuk menjenguk Naruto. Dan alasan terakhir…
“Kalau kau di posisi Sakura apa yang akan kau perbuat, Ino?! Kau akan bilang itu berlebihan juga?!”
Ino menggelengkan kepalanya. Isakannya makin menjadi-jadi.
“Sedikit saja… Coba sedikit saja kau memikirkan teman laki-laki di sekitarmu juga, Ino. Kau terlalu terobsesi dengan si Uchiha brengsek itu!”
Pikiran Shikamaru kembali ke masa itu…
“Na—Naruto. Aku mohon kepadamu. Ini permintaan seumur hidupku. To—Tolong bawa Sasuke-kun kembali ke desa. Aku sudah membujuknya tapi tak berhasil. Hanya kau… Hanya kau yang mampu melakukannya.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang Naruto. Jadi jangan berkata yang macam-macam, Ino!”
“Kau sangat mencintai Sasuke ‘kan, Sakura-chan? Aku mengerti perasaanmu itu.” Naruto tersenyum, lantas mengacungkan ibu jari tangannya pada Sakura. Tenang saja, Sakura-chan. Ini adalah janji seumur hidupku.”
“Kau tak tahu mengapa Naruto nekat mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Itu bukan semata-mata karena Sasuke sahabatnya!”
Shikamaru mengepalkan tangannya yang menyentuh dinding. Tiba-tiba ia meninju dinding tersebut. “Semua ini… Semua ini gara-gara janji ITU!!”
Gigi Shikamaru bergemeretuk hebat. Tanpa ia sadari tangannya berdarah akibat aksinya tadi. Para anggota rookie 9 hanya bisa menatapnya lara. Janji? Siapa yang menjanjikan dan dijanjikan mereka sama sekali tidak tahu. Namun pada akhirnya Neji, dan Kiba menyadarinya.
“Shikamaru, jadi karena itu…” ucap Kiba lirih.
Waktu itu Shikamaru hanya menganggap pernyataan Naruto hanya sebagai angin lalu. Dia tidak menyangka Naruto benar-benar berniat untuk menepatinya. Lantas ia mulai melangkah menjauh. Ia tidak mau menambah runyam keadaan. Sekarang saja pikirannya sangat gundah gulana.
“Shikamaru, kau mau ke mana?” Tanya Chouji.
“Ke ruangan Naruto. Memangnya mau kemana lagi?”
Chouji memang sangat mengerti apa yang Shikamaru rasakan ssaat ini. Cemburu… Memang sangat menguras hati.
0o0o0o0o0o0

Hinata melangkah pelan di koridor gelap menerawang, hanya sebagian lampu yang dinyalakan. Rumah sakit itu terlihat lengang saat malam telah larut.
Pembicaraannya tadi dengan Naruto cukup membuatnya terkejut. Dia tahu di dunia shinobi ini begitu banyak pertikaian. Pertikaian lalu menimbulkan rasa benci. Kebencian sudah biasa ia alami karena Hinata sendiri pernah mengalaminya. Ia dibenci oleh ayahnya karena kelemahannya. Ia dibenci oleh Neji karena ia adalah pewaris the main house-nya klan Hyuuga. Memang perihal-perihal tersebut telah lama berlalu. Tapi yang tak dia habis pikir adalah kebencian ternyata bisa berarah menuju kematian.
“Hinata, Sasuke hanyalah korban kebencian petinggi Konoha terhadap klan Uchiha. Konflik yang ada memang begitu rumit. Tapi penyelesaian yang mereka ambil itu terlalu sepihak. Karena itu Hinata, aku berharap sebagai pewaris klan Hyuuga kau bisa melindungi Sasuke dari ancaman para petinggi Konoha. Uchiha Itachi…tidaklah kejam seperti yang kebanyakan orang kira. Ia adalah seorang Uchiha sejati yang cinta akan kedamaian. Dan aku yakin sifatnya itu terdapat pula dalam diri Sasuke. Kau tahu ‘kan mengapa ia dalam keadaan seperti itu? Itu karena dia melindungiku…”
Hinata menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Kata orang sulit mewujudkan kedamaian di dunia seperti sekarang ini. Tapi kata-kata Naruto ini begitu menggugah sanubarinya.
“Seperti kata Ero-sennin kelak kita akan mencapai masa dimana manusia bisa mengerti satu sama lain...”
Seumpama itu benar adanya, perlahan Hinata bisa memahami kemelut yang terjadi. Meski pilu hatinya, Hinata bisa menerima kenyataan yang ada. Dan pada akhirnya yang ia ingin lakukan sekarang adalah memenuhi permintaan terakhir Naruto.
Kakinya melenggang ke ruangan tempat dimana Sasuke dirawat. Dua orang Anbu menjaga di depan pintu. Setelah berunding sebentar dengan mereka Hinata pun diperbolehkan masuk.
Ruangan itu begitu sesak dikarenakan bau rumah sakit yang menyengat. Lalu tabung-tabung besar oksigen berdiri di sana. Pernafasan Sasuke masih dibantu dengan alat pernafasan. Hinata memperhatikan mesin EKG yang ditempatkan tidak jauh dari tempat dimana Sasuke terbaring. Frekuensi detak jantung Sasuke begitu rendah. Ia pun melenggangkan kakinya mendekat ke arah Sasuke.
Keadaan Sasuke tidak jauh beda dengan waktu kemarin. Ia seperti mayat hidup dengan wajah piasnya. Kelopak matanya menghitam dikarenakan terlalu lama mengatup. Tiba-tiba Hinata merasa iba.
Lantas ia mengeluarkan sesuatu dari kantung kunai-nya. Ia pun menggenggam benda tersebut dan mengarahkannya pada Sasuke.
“Tadinya aku pikir kau hanyalah seorang missing-nin yang berbahaya bagi semua orang, Sasuke-kun.” Lalu ia membuka kunci kalung tersebut, merentangkan rantai peraknya dan mengkalungkannya di leher Sasuke.
“Banyak orang yang pantas hidup tapi mereka mati dan yang pantas mati malah hidup, tapi memang Tuhan yang berhak menentukan.” Kemudian Hinata mengkaitkan kunci kalung dan membenarkan letak pendant Aquamarine-nya di leher Sasuke.
“Dan aku pikir kau pantas untuk diberi kesempatan hidup, Sasuke-kun. Aku akan mendukung apa yang Naruto inginkan...”

0o0o0o0o0

“Naruto-kun, kita ke ruangan operasi sekarang,” ucap Shizune sesampainya ia di depan ruangan tempat Naruto dirawat.
Naruto mengangguk pelan.
Shizune lalu membantu Naruto untuk duduk di kursi roda. Lantas ia hendak mendorong kursi tersebut, namun dikejutkan oleh sesosok serba hitam yang berdiri di ambang pintu—yang bersandar di pinggirannya. Shizune langsung berdiri di depan Naruto.
“Ahh… Aku begitu salut kepadamu, Naruto. Ternyata kau hendak menyelamatkan seseorang dari klanku yang telah dihancurkan oleh desa busuk ini. Aku merasa tersanjung karenanya. Hahaha…”
Mata Naruto melebar seketika. Suara mengerikan ini… Dia tahu siapa pemiliknya. Keringat dingin pun bercucuran di pelipisnya, giginya bergemeretuk hebat. Naruto masih mempunyai rasa dendam pada orang ini. Ingin rasanya ia menghajar orang itu habis-habisan. Tapi sayang seribu sayang…keadaan tubuhnya saat ini tak memungkinkan dia untuk bertarung.
“Siapa kau?!”
Lalu orang itu berdiri menghadap Shizune dan Naruto, ia memperlihatkan bola mata kanannya yang berwarna merah.
“Sha—Sharingan?” ucap Shizune tergagap.
“Omae wa… Uchiha Madara…” Naruto menggenggam ganggang kursi dengan kuat.
“Ma—Madara? Uso… Bagaimana bisa?”
“Hh, aku tidak ada waktu untuk menjelaskan mengapa aku masih hidup. Lagipula aku sama sekali tak mengenalmu…”
Shizune hendak merapalkan sebuah jutsu untuk menyerang Madara. Tapi terlambat. Ia melesat cepat ke arah Shizune. Mendorong Naruto ke kiri hingga membentur dinding. Dan…
PRANGG!!!
Shizune terpental keluar jendela. Madara menendang perutnya dengan kuat. Kaca jendela menjadi pecah berkeping-keping karenanya. Ia pun terkapar, terbatuk-batuk akibat tendangan tadi.
Sai yang berada tak jauh dari pekarangan segera menghampiri Shizune. Ia tahu sebentar lagi operasi akan dimulai sehingga berniat untuk mengamankan proses operasi. Ia sedang duduk di pekarangan tak jauh dari kamar Naruto. Tapi tak ia sangka tamu tak diundang akan mengacaukan segalanya.
“Shizune-san!” teriak Sai. Kemudian ia membalikkan tubuh Shizune, syukurlah dia masih hidup karena kamar Naruto letaknya di lantai dasar, tapi sepertinya beberapa tulang rusuknya patah.
“Sa—Sai… Ta—Tasukete… Naruto…” Shizune mengeluarkan darah segar dari mulutnya.
“Apa yang sedang terjadi, Shizune-san?!”
Tapi mata Shizune mengatup perlahan. Ia pun tak sadarkan diri.
“Shizune-san!” Sai mencoba membangunkan Shizune dengan menepuk-nepuk bahunya. Tapi nihil. Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke ruangan Naruto berada. Sai tak mau gegabah, ia langsung mengeluarkan alat lukisnya dan mengirimkan pesan SOS untuk Tsunade. Setahu dia, Yamato dan Kakashi juga sedang berunding dengan the Slug Sannin saat ini di menara Hokage.
“Ninpou… Choujugiga.” Ia membuat tulisan SOS-nya menjadi seekor burung elang. Dan burung elang tersebut langsung melesat cepat ke menara Hokage.
Naruto mencoba untuk bangkit tapi sulit karena ia merasakan lengannya mati rasa. Mungkin karena benturan tadi. “Ku—Kuso! Apa yang kau inginkan sebenarnya, breng—.”
Sebelum Naruto selesai berbicara, Madara mencengkram leher Naruto—mendorongnya ke arah dinding—meninju perutnya hingga Naruto memuntahkan darah segar.
“Uhuk!!”
“Yang aku inginkan adalah sesuatu yang tersegel di sini,” ujar Madara sembari menguatkan tinjunya lebih dalam. Naruto ingin menjerit kesakitan, tapi tenggorokannya tak mampu mengeluarkan suara karena saking hebatnya rasa sakitnya itu.
“Fufufu… Sakit ‘kan? Tapi tenang saja, aku tak akan membunuhmu. Bisa-bisanya kau ingin mengorbankan dirimu untuk Sasuke. Hh, aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.”
“Si—Sialan!” umpat Naruto. Ia merasakan bahwa tubuhnya remuk redam tak berdaya. Pukulan Madara ke perutnya membuat sebagian dari kesadarannya lindap. Ia berusaha untuk tidak pingsan. Namun ia tidak kuat juga. Naruto pun perlahan kehilangan kesadarannya.
Madara menyeringai melihat pemandangan itu. “Fufufu… Kau lemah seperti biasa, Naruto. Aku dulu pernah hampir membunuhmu saat pertama kali kau lahir ke dunia. Dan sekarang kau tidak akan lolos dari maut lagi.”
“Ninpou… Choujugiga!”
RAWRR!!!
Madara langsung melihat ke arah jendela. Dua ekor singa lukisan menyerangnya. Ia dengan cepat menghindar ke kanan dengan membawa Naruto bersamanya.
“Ck, ada pengganggu rupanya.”
“Lepaskan, Naruto-kun!” ucap Sai lantang.
“Hm? Hanya satu orang? Mengapa Tsunade sangat bodoh begini. Dia meremehkan aku rupanya.”
“Jadi kau salah satu anggota Akatsuki waktu itu,” sahut Sai yang tak sedikit pun takut menghadapi ninja terkejam yang pernah ada itu. Ya, Sai ingat pernah bertemu dengannya waktu pencarian Sasuke tempo dulu.
“Heh, aku adalah ketua. Bukan anggota.”
“Hm?” Sai mengerenyitkan dahinya. “Aku tak peduli kau anggota atau ketua Akatsuki. Aku tak akan membiarkan kau membawa Naruto-kun!”
RAWRRR!!!!
Singa-singa itu menyerang Madara kembali. Madara menghindar merundukkan tubuhnya dan membuat singa-singa itu kembali wujud aslinya dengan tendangannya. “Huh? Jadi kau terbuat dari tinta? Jurus yang unik, tapi sama sekali tak berguna.”
Madara sedikit kerepotan dengan tubuh Naruto di bahunya. Tapi ia tak ada niat untuk melepaskan Naruto.
Sai mengarahkan pedangnya pada Madara dari atas dengan melakukan salto di udara. Tapi Madara lebih cepat, ia menarik pedang Sai dan membanting tubuh Sai ke lantai hingga ubinnya remuk. Madara belum puas, ia hendak menginjak Sai yang terlihat kesakitan. Namun Sai berhasil menghindar. Lantas Madara tak tinggal diam, dengan tangan kanannya ia meninju wajah Sai hingga ia membentur dinding.
“Ugh, Uhuk!!” Sai memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Madara menyeringai kejam. Ia mengambil kunai di balik jubahnya dan hendak melemparkannya pada Sai. Tapi sebelum itu…
“Raikiri!!”
“Haah, ternyata kau lagi, Kakashi Tapi tak apa. Aku juga ingin bermain sebentar dengan shinobi Konoha. Fufufu…” Madara kini menggunakan sunshin no jutsu untuk menghindar. Ia langsung berada di pekarangan rumah sakit. Dan tak disangkanya beberapa Anbu, Yamato dan Tsunade sudah berdiri di sana.
“Lepaskan Naruto, Madara!” teriak Tsunade garang. Ia mengepalkannya jarinya. ‘Sial, mengapa ia datang di saat-saat seperti ini? Aku terlalu lengah sehingga tak memprediksi kehadirannya,’ ungkapnya dalam hati.

0o0o0o0o0

“Ugh, dia menggunakan jurus itu lagi,” ucap Kakashi sembari memandang ke luar jendela. Lalu ia menemukan Sai yang tak sadarkan diri bersandar ke dinding. “Sai!” Kakashi memeriksa keadaan Sai. Tulang pipi dan tulang punggungnya retak. “Lukanya tak terlalu parah. Lebih baik aku mencari pertolongan medis. Sekalian ke ruangan Sasuke. Bisa jadi Madara hendak menculiknya juga.”
Kakashi meletakkan Sai di tempat tidur, ruangan Naruto menginap. “Semoga saja Tenzo dan Tsunade-sama sanggup menghadang Madara.” Kakashi langsung melesat cepat ke ruangan Sasuke berada.
Di tangga menuju ke lantai dua, Kakashi berpapasan dengan rookie 9 yang tadi mengendap-endap masuk ke rumah sakit Konoha.
Mereka langsung panik ketika Kakashi berada di hadapan mereka.
“Kalian sedang apa di sini?” ucap Kakashi sembari mengatur nafasnya yang tersengal.
Para rookie 9 terlihat kelimpungan mencari jawaban yang tepat. Tapi Kakashi sadar bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi mereka.
“Ah, sudahlah. Bagus kalian ada di sini. Shino dan Neji ikut aku ke ruangan Sasuke. Sisanya tolong kalian pergi ke ruangan Naruto di rawat. Ino, tolong obati luka Sai dan Shizune. Mereka tadi tak sadarkan diri karena diserang oleh Akatsuki.”
“A—Akatsuki?” Tanya para rookie 9 berbarengan.
Shikamaru langsung mengerti apa yang terjadi. Ia terbelalak kaget. “Naruto… Naruto dalam bahaya!” teriak Shikamaru yang langsung pergi ke ruangan Naruto dirawat.
“Tunggu, Shika!” sahut Chouji yang terkejut melihat Shikamaru meninggalkan mereka tanpa mendengarkan penjelasan Kakashi hingga selesai.
“Tidak apa-apa, Chouji. Shino, Neji, dan Lee ikut aku. Aku takut Madara akan menculik Sasuke juga. Sisanya, tolong kalian susul Shikamaru dan bantu Tsunade-sama untuk menghadang Madara. Jangan biarkan dia membawa Naruto! Nanti aku segera menyusul kalian,” ucap Kakashi.
“Hai, wakarimashita!” ucap Kiba, Ino, Tenten, dan Chouji berbarengan. Mereka langsung melesat cepat menyusul Shikamaru.

0o0o0o0o0o0

“Mokuton no jutsu!” Yamato membuat sebuah kurungan untuk menangkap Madara. Tapi dia mudah berpindah tempat karena Madara memiliki jurus yang sama seperti jikuukan no jutsu milik Hokage Keempat. Para Anbu, Yamato, dan Tsunade sedikit kewalahan menghadapi Madara. Terlebih Tsunade adalah ninja petarung jarak dekat. Ia sulit menyerang Madara dengan tinju dahsyatnya.
“Kalian pasti kecapaian ‘kan? Hahaha…!!!” ujar Madara sembari tertawa mengejek. Ia memang ingin mempermainkan shinobi-shinobi Konoha yang menghadangnya. Sebenarnya ia bisa saja menghilang dan langsung tiba di markas rahasianya lebih cepat.
“Tsunade-sama, kalau aku boleh berpendapat. Kita harus melakukan formasi untuk menyerang Madara. Semua serangan beruntun kita dengan mudah dihindarinya. Aku tak mengerti jutsu apa yang dia miliki. Tapi kalau seperti ini terus cakra kita terbuang dengan sia-sia,” ucap Yamato tersengal-sengal.
Tsunade menatap garang Madara. Ia sedang memikirkan tak tik untuk mengalahkannya. Yang jelas ia tak akan membiarkan Madara membawa Naruto pergi dari desanya.
“Kenapa menatapku seperti itu, Senju Tsunade? Hh, tatapan matamu sedikit mengingatkanku dengan rival abadiku, Senju Hashirama. Jadi kau adalah cucunya eh? Fufufu…”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. Ia sebenarnya tak suka mendiang kakeknya diolok-olok Madara. Tapi ia memilih untuk tidak mempedulikan ucapan Madara. Ia tahan emosinya agar tidak meledak. Itu hanya akan mengganggu konsentrasinya saja.
“Hm… Jadi hanya segini saja kekuatan para shinobi Konoha? Heh, aku tidak menyangka kali—… Ugh, ada apa dengan tubuhku?” tiba-tiba Madara merasakan tubuhnya menjadi kaku, sulit untuk dikendalikan. Tubuhnya bergetar hebat. Ia memaksakan kepalanya menengadah ke bawah. Ia sadar ada yang aneh dengan bayangannya sendiri. “Jurus ini… Jurus klan Nara.”
“Yep, kagemane no jutsu sukses.”
“Shikamaru!” teriak Tsunade kegirangan. Ia sangat senang dengan kehadiran pewaris klan Nara itu disaat-saat genting seperti ini. Rupanya ia tak sendirian, di belakangnya berdiri Chouji, Kiba, dan Lee yang siap dengan posisi menyerangnya masing-masing.
“Cih, ternyata aku ditangkap oleh anak ingusan,” ucap Madara dengan nada suara santai.
Tsunade tidak tinggal diam. Ia segera memanfaatkan hal ini dengan maju menyerang Madara.
“Chouji, Kiba, Lee, cepat bantu Godaime-sama. Aku hanya bisa menahannya selama 5 menit. Tapi kalian jangan gegabah menyerangnya,” ucap Shikamaru yang tetap fokus dengan jurusnya.
“Hyaattt!!!!” Tsunade hendak mengirim bogem mentah pada wajah Madara. Tapi ketika ia lihat mata sharingan Madara, ada yang aneh dengan tatapannya. Tsunade memperlambat tubuhnya untuk maju.
“Ya, taktik yang bagus. Tapi sepertinya kalian lupa dengan kemampuanku yang lain.”
Mata Tsunade terbuka lebar. Ia menghindar dengan cepat ke arah kanan. Sebelum itu dia meneriakkan sesuatu pada anak buahnya di belakang. “Kalian semua!! Cepat menghindar!!!”
“Amaterasu!”
Lalu api hitam dengan cepat berkobar, membakar area pekarangan rumah sakit Konoha yang luas. Tsunade memandangnya ngeri.
Shikamaru jadi hilang fokus terhadap jurusnya. Baru kali ini ia lihat api hitam layaknya api neraka yang panasnya sangat terasa di kulit. Dia langsung mengerti ini adalah jurus rahasia klan Uchiha.
“Hahaha… Aku bebas!” Madara makin mempererat genggamannya pada tubuh Naruto yang dia bawa di pundaknya. Ia berpindah ke dahan pohon yang menghadap ke rumah sakit.
“Ugh, sial,” umpat Shikamaru.
“Mokuton no jutsu!”
ZRATT!!! ZRATT!!! ZRATT!!!
Yamato menumbuhkan beberapa pepohonan di titik api hitam yang menyala-nyala. Api itu pun padam seketika.
“Jurusmu memang mirip dengan Hashirama, tapi tetap saja kau kalah jauh darinya. Hahaha…”
Yamato menatap nanar Madara. Ya, memang benar dia sangat kecapaian karena tadi sudah banyak mengeluarkan jurus pohon andalannya. Lagipula dia tidak memiliki gen asli klan Senju, jadi wajar saja dia mudah kelelahan.
Para shinobi Konoha belum menyerah. Mereka mewanti-wanti apa yang akan Madara lakukan selanjutnya. Mereka sangat berhati-hati menyerang Madara karena bisa-bisa Naruto ikut terkena serangan mereka juga.
0o0o0o0o0

Kakashi, Shino, dan Neji telah sampai di ruangan Sasuke. Mereka terkejut melihat kehadiran Hinata di sana.
“Hinata-sama, apa yang sedang anda lakukan di sini?” Tanya Neji.
Hinata tercenung melihat mereka. “Neji-niisan, Kakashi-sensei, Shino-kun. Aku hanya menjenguk Sasuke-kun. Ada apa? Kenapa wajah kalian terlihat panik?”
“Akatsuki hendak menangkap Naruto. Tsunade-sama dan yang lainnya sedang bertarung dengannya,” jelas Kakashi.
“A—Apa?!” Hinata hendak berlari keluar dari ruangan tapi Neji menahannya.
“Hinata-sama, aku tidak akan membiarkan anda berbuat seenaknya seperti waktu itu! Anda, nyaris terbunuh di tangan ketua Akatsuki!”
“Ta—Tapi, Neji-niisan. Naruto-kun…”
“Tidak ada tapi-tapi! Kalau ada apa-apa denganmu, Hiashi-sama juga pasti akan terpukul!”
Hinata mulai menangis. Ia tidak menyangka Akatsuki akan menyerang Konoha lagi. Lantas ia pun mengalihkan wajahnya ke Sasuke. Dilihatnya batu aquamarine yang berkerlip di dada Sasuke, padahal tak ada satu pun sinar di sana. Hinata menjadi pesimis, apakah kekuatan kalung bertuah itu hanya isapan jempol belaka?

0o0o0o0o0

“Aku baru sadar ternyata banyak orang di sini. Fufufu… Aku sebenarnya ingin bermain-main sebentar, tapi rasanya capai juga. Sudah waktunya untuk pulang kalau begitu.”
“Jangan lari, Madara!” teriak Tsunade. Ia memandang iba Naruto. Pikirannya kini berkecamuk, ia tak tahu harus berbuat apa. Tsunade mengerti Madara adalah shinobi yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Tidak sebanding dengan dirinya.
“Hahaha… Tsunade. Setelah aku mengekstrak kyuubi, desa kalian ini akan kuhancurkan menjadi debu dengan bijuu-bijuu yang telah kukumpulkan. Aku tidak akan lari! Kali ini rencanaku pasti berhasil. Bersiaplah! Dan tak ada satu pun dari kalian yang bisa menghalangiku. Tidak akan ada seseorang yang menyelamatkan kalian seperti Yondaime dulu. Hahahaha!!!”
Kemudian pusaran angin mengitari Madara, perlahan sosoknya menghilang dari dedaunan yang melingkarinya. Madara menghilang dari pandangan mereka
“Kalian semua akan mati tak bersisa,” itu yang Madara ucapkan setelah kepergiannya.
“Ugh, aku akan segera melakukan pertemuan. Yamato! Kumpulkan semua Jounin. Kau juga Shikamaru, kumpulkan semua Chuunin. Panggil mereka ke atap menara Hokage. Desa akan kuumumkan siaga 1! Aku tidak akan membiarkan dia berhasil mengekstrak kyuubi,” ucap Tsunade yang langsung melesat cepat ke menara Hokage

0o0o0o0o0

Sementara di sebuah tempat di mana sungai kecil mengalir di antara dua tebing tinggi yang di tumbuhi pepohonan… Sang mawar merah sedang menatap dahan mawar yang bunga-bunganya berguguran, menghitam ke tanah.
“Nee-sama, ada apa? Kau terlihat aneh.”
Mata scarlet itu memandang nadir adik sepupunya dengan wajah mengkisut. Bisa ia rasakan jantungnya berdetak cepat. Ia mengerti pertanda ini.
“Naruto… Dia dalam bahaya!”
“Nee-sama, kau mau ke mana?”
“Ikut aku, Rin! Kita harus menyelamatkan Naruto.”

Bersambung…

Gomenasai elven telat bgt ni updatenya =__=. Laptop bolak-balik di servis. Alhamdulillah sekarang dah betul. Trus sama fighting scenenya juga rada susah hehe.
Chapter ini sengaja elven buat panjang dari biasanya. Semoga reader tidak pusing ngebacanya. Elven usahakan chapter depan update cepet. Masih liburan soalnya. ^^
Okay, review please ^^

Share:

1 komentar

  1. ANJIRR BANYAK BANGET SIH -,- JADI MALES BACANYA KALO KEK GINI

    ReplyDelete