Cerpen Dibuang Sayang: Nyanyian Tak Pernah Mati

Nyanyian Tak Pernah Mati

Jika manusia bisa memilih, tentunya mereka akan lebih memilih kehidupan yang membuatnya riang sepanjang waktu. Tanpa khawatir tentang hari esok yang merupakan misteri, penuh teka-teki, dan jebakan-jebakan ilusi. Tak jarang karena jebakan itu banyak manusia yang lena lalu tergelicir ke dasar jurang sedalam-dalamnya, namun hanya beberapa saja yang bisa keluar dari kegelapan sana…

Ah, miris. Mengapa mereka tak punya semangat dalam mengarungi bahtera hidup? Anugrah Tuhan yang paling indah ini. Padahal lahir dan batin sudah terpuaskan dengan hasrat duniawi. Mereka terjebak pada kesenangan yang terlalu diekspresikan secara berlebihan tanpa mengingat kodrat mereka sendiri. Bukankah senang dan sedih itu adalah cobaan dari Tuhan, Sahabat?

Tapi apakah kalian pernah temukan orang-orang yang tak pernah kita bayangkan jalan hidupnya begitu berat sampai hati ini terasa sesak memikirkannya, namun memberikan pembelajaran berharga pada kita, bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini jika kita mau berpikir dengan saksama.

Seperti sebuah cerita yang akan kusampaikan padamu sekarang, Sahabat. Cerita tentang seorang anak yang mencari keadilan untuk mendapatkan hak yang sama dengan teman-teman sebayanya. Tentang seorang anak yang melagu hingga dendangannya terdengar sampai ke pelosok negeri. Tentang perjuangan sejati melawan sakit, terasing di tanah kelahiran sendiri tanpa tahu siapa keluarganya. Dan tentang sebuah nyanyian yang tak pernah mati…

~o0o~

Lagi-lagi terperangkap pada suasana yang sama. Hidup yang statis, tak ada dinamika apa-apa. Selayaknya nada do re mi fa so la si do, barangkali jika diibaratkan hidupnya itu hanya berkutat pada nada do saja.

Anton menghirup nafas dalam-dalam, ingin keluar dari kungkungan terali kayu yang telah lama berdiri di sekelilingnya. Bosan, adik angkatnya yang biasa bermain dengannya sedang bersekolah. Sementara Anton tidak bersekolah karena suatu alasan. Bukan karena ia malas atau enggan berkomunikasi dengan banyak orang. Tapi ia merasa tak enak hati, ia takut diabaikan lagi.

Kemudian suara lembut nan syahdu menyebut namanya dengan sukacita. Ah suara itu rupanya… Tanpa ragu Anton memalingkan wajahnya ke sumber suara. Di sana bunda Barbara berdiri dengan airmuka sejuk, memintanya untuk datang ke meja makan karena sudah waktunya makan siang.

Anton pun segera beranjak dari jendela yang menjadi tempat tepekurnya setiap hari. Apalagi setelah bunda Barbara bilang dia memasak masakan kesukaan Anton.

Bunda Barbara tersenyum manis. Semangat Anton langsung naik ke nada si. Senyuman terindah dari seorang ibu yang paling hebat sepanjang masa. Tanpa pikir lagi, ia mengambil langkah seribu menuju meja makan.

Bunda Barbara tertawa lepas, ia senang melihat anak angkatnya itu begitu riang. Ia lalu terlihat berpikir, rencananya ingin merubah hidup Anton walau kesempatan yang ada hanya satu berbanding seratus. Tapi ia ingin di sisa hidup Anton—yang hanya Tuhan yang tahu— memberikan sesuatu yang berharga pada anak tersayangnya itu.

Anton menyantap hidangannya dengan lahap, ia tidak menyadari bunda Barbara sama sekali belum menyantap hidangannya. Bunda Barbara terlihat menguatkan diri untuk mengatakan rencananya, namun inilah waktu yang sangat tepat.

Tiba-tiba Anton tersedak ketika mendengar pertanyaan bunda Barbara yang mengatakan apakah ia ingin bersekolah.

Kaget melihat reaksi Anton, bunda Barbara langsung segera beranjak ke tempat duduk Anton, menepuk punggung lalu membantunya untuk minum.

Anton terang saja terkejut, karena selama ini ia hanya berdiam diri di rumah. Tepekur memandangi dunia luar yang menurutnya sangat asing. Sekolah? Tentu saja ia mau, terlebih bunda Barbara ingin menyekolahkan dirinya ke sekolah musik, tapi apakah ia akan mampu melewati hari-hari yang melelahkan nan menyedihkan itu?

Lalu hening itu datang lagi, selama ini Anton selalu merasa sendiri. Memikul segalanya yang berat itu di pundak kecilnya sejak lahir. Karena hanya bunda Barbara keluarga yang ia miliki saat ini. Ia tak pernah tahu tentang keberadaan orangtuanya sejak menatap bengisnya dunia.

Acquired Immune Deficiency Syndrome. Padahal di dunia ini banyak sekali penyakit berbahaya yang mematikan si penderita. Tapi seperti tidak ada ampun untuk penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome bagi manusia sendiri. Mereka diasingkan, mereka dikucilkan, mereka dianggap gila padahal tidak gila, dan yang lebih menyedihkan…ah, kata-kata itu tidak pantas untuk disebutkan.

Anton bukanlah anak yang mudah menyerah, tapi dia mencoba berpikir realistis. Ia adalah anak yang cukup mengerti tentang kehidupan di umurnya yang sudah sepuluh tahun ini. Menurutnya ia sudah cukup merepotkan bunda Barbara.

Bunda Barbara tidak tinggal diam, ia berusaha meyakinkan Anton untuk belajar musik di sekolah yang memiliki akreditasi bagus. Bakat menyanyi Anton sudah ia tunjukkan sejak kecil. Dan bunda Barbara yang tidak memiliki ilmu tentang olah vokal tidak ingin Anton menjadi katak dalam tempurung.

Anton menatap lekat-lekat wajah lembut ibu paling hebat sedunia itu. Bagaimana ia bisa lupa bahwa sebenarnya ia tidak sendirian? Bidadari cantik yang dikirimkan untuknya—yang menjadi penjaganya—itu adalah kekuatannya.
Mata Anton seketika terlihat membara. Akhirnya telah ia putuskan, ini adalah waktu yang tepat untuk berubah.

Ketika bunda memutuskan untuk memalsukan surat kesehatan Anton, Anton pun meminta agar surat itu diberikan seadanya saja, menurutnya tidak ada yang harus disembunyikan

Mata bunda Barabara mulai berair, ia mafhum anak angkat tersayangnya ini tidak mudah menyerah. Selama empat tahun lebih mengurusnya, ia jarang sekali terlihat bersusah hati dan mengeluh. Sejak pertama kali melihatnya di panti asuhan ia langsung jatuh hati pada anak ini, ada yang istimewa darinya. Karena itu kali ini ia akan membantu Anton untuk mengejar cita-citanya.

~o0o~

Bunda Barbara sudah memprediksi sebelumnya pasti kepala sekolah musik Santa Angel tidak akan menyetujui Anton untuk bersekolah di sana. Tanpa dites bakatnya terlebih dahulu, melihat riwayat kesehatan Anton kepala sekolah langsung menolak. Tentunya ia langsung naik pitam dan menggebrak meja kepala sekolah tersebut hingga retak. Bunda Barbara tidak terima dengan diskriminasi yang dilakukan orang tua itu pada anak angkatnya. Hanya karena dia mengidap penyakit yang berbahaya. Toh Anton mampu mengikuti kegiatan sekolah. Terlebih ketika kepala sekolah tersebut melakukan tindakan pelanggaran SARA yang membuat kesabaran bunda Barbara habis. Menyebut dirinya sebagai kulit putih yang ingin cari perhatian di negeri mereka yang kebanyakan orang hitam.

Namun berita di Koran pagi ini begitu mengejutkan dirinya, ia sama sekali tidak tahu bahwa aksinya memprotes kepala sekolah yang congkak itu masuk di headline koran kota. Di sana tertulis, “KARENA DIA JUGA MANUSIA SEPERTI SAYA!”

Itu adalah kata-kata yang terlontar dari bibir bunda Barbara. Entah dari mana wartawan itu bisa tahu kejadian kemarin, namun ia bersyukur artikel yang ditulis si wartawan itu tidak melenceng dari fakta yang ada.

Rupanya artikel koran tersebut menarik perhatian masyarakat termasuk walikota. Akhirnya kepala sekolah musik santa angel, bunda Barbara, dan Anton diundang untuk datang ke balai kota.

Ternyata walikota merasa simpati dengan kasih sayang bunda Barbara dan semangat Anton untuk bersekolah meski dengan sakitnya yang sulit disembuhkan itu. Atas nama pemerintah kota, ia pun akan membantu biaya sekolah Anton hingga sampai perguruan tinggi nanti dan juga biaya pengobatan rutin selama lima tahun.

Sungguh rezeki dari Tuhan yang tak terduga. Kepala sekolah itu sendiri pun meminta maaf atas nama pribadi pada bunda Barbara dan Anton. Ia merasa malu melihat bunda Barbara yang berkulit putih dengan tulus ikhlas mengasuh Anton yang berkulit hitam. Seharusnya ia merasa senasib sepenanggungan juga terhadap rasnya sendiri.

Dan Laurencia, wartawan koran kota yang kemarin diam-diam mengambil gambar pun mengunjungi bunda Barbara untuk klarifikasi. Awalnya ia datang ke sekolah itu untuk meliput acara drama musikal yang sedang diselenggarakan, ketika melewati ruangan kepala sekolah ia mendengar suara rebut-ribut. Ia pun menguping dan entah mengapa walau ia sendiri memang tidak terlalu peduli dengan seorang penderita AIDS, ia merasa trenyuh dengan bunda Barbara dan perjuangan Anton yang ingin mendapat perlakuan yang sama seperti anak-anak sebayanya.

Laura mencatat semua apa yang ia dengar dan memfoto kejadian itu diam-diam, ia memutuskan untuk menaruh berita itu di headline dan ternyata pimpinan redaksi tak keberatan.

Tak disangka-sangka teman-temannya di sekolah pun bersedia menerima keberadaan Anton meski diawal-awal pertemuan masih terlihat kerenggangan. Ia berhasil menarik perhatian teman-temannya dengan keinginan dan kesungguhan hati yang mendalam.
Dan sekarang bisa kalian tebak akhir dari cerita ini? Rasanya memang nampak klise, tapi adakah pembelajaran yang kalian dapatkan?

Akhirnya Anton terus bernyanyi hingga akhir hayatnya. Dan berkat bantuan guru dan dukungan teman-teman, ia bisa menciptakan sebuah lagu yang ia tujukan pada bunda Barbara. Lagu yang menceritakan kehidupannya dengan ibu hebat sepanjang masa tersebut. Lagu itu sampai sekarang masih sering dinyanyikan saat pertunjukan musikal di santa angel.

Sayangnya, ia hanya bisa bersekolah selama dua tahun. Penyakit yang dideritanya itu telah menggerogoti tubuhnya hingga kurus kering tak berdaya.

Kepergiannya ditangisi dan disesali banyak pihak, sekaligus menginspirasi orang-orang terdekatnya. Karena Anton tetap menjalani hidup ini dengan melakukan yang terbaik, dengan tidak menyia-nyiakan hidupnya yang singkat itu. Ia anak yang pantang menyerah, Sahabat.

Nada-nada dan pesan cinta yang ia tuangkan dalam lagu itu benar-benar menyentuh sanubari siapa saja yang mendengarnya. Ia tetap terkenang, hidup selamanya di hati setiap orang-orang yang pernah mengenalnya. Terutama bunda Barbara, karenanya nyanyian lagu itu masih ada sampai sekarang. Tak pernah mati, terkenang selamanya di hati bunda Barbara.

Share:

0 komentar