Fanfic NARUTO Dibuang Sayang: HEART Chapter 5

The Ultimate Sacrifices


DISCLAIMER I don’t own Naruto. It belong to MASASHI KISHIMOTO
Sindarin Language. It belong to J.R.R TOLKIEN (Author of The Lord of The Rings)

"Aku bukannya putus asa atau takut menghadapi kelamnya dunia… Aku hanya meragukan kemampuanku ‘tuk membuat seulas senyum manismu memantul kembali di kornea mataku. Mungkin hanya kau yang paham maksudku untuk melakukan hal tergila dalam hidupku ini. Dan tentu aku tak ‘kan pernah menyesalinya." ~Elven Lady18~

Selamat Membaca Kawan ^^

“PRAANGGG!!”
Sebuah tabung reaksi lepas dari genggaman tangan Sakura. Ia terkejut bukan main. Masalahnya dia yakin kalau tadi dia sangat berhati-hati mengenggam tabung reaksi itu. Baru saja dua jam di laboratorium dia telah berbuat gaduh. Sakura menggerutu kesal, padahal ini masih pagi tapi dia sudah hilang konsentrasi.
Ia pun segera membereskan pecahan tabung reaksi tersebut dan mengambilnya satu persatu secara tergesa-gesa.
“Aduh!” pekiknya. Ternyata pecahan tabung yang ia ambil tergores, melukai jari telunjuknya. Dengan cekatan Sakura mengeluarkan jurus medisnya.
Pagi-pagi dia sudah mendapatkan hal buruk bertubi-tubi. Lalu perasaannya tak enak pula, layaknya ada sesuatu hal buruk akan terjadi. Lantas terbersit titik gelap dalam benaknya.
“Mungkinkah, Sasuke-kun…?”

* * *

Pecahan botol berserakan ke lantai, mengusik ruangan yang diselimuti paras hitam pagi itu. Bagaimana tidak? Tsunade teramat kaget dengan permohonan Naruto yang tiba-tiba dan alasan ia memutuskan? Tsunade perlu tahu dulu.
Seperti abu di atas tanggul. Dari matanya saja Tsunade bisa menebak bahwa Naruto sedang dalam keadaan mencekam. Ia menyelam jauh ke dalam mata biru laut yang begitu pekat sendu. Tak ada lagi gairah di dalamnya, yang tersisa hanya puing-puing durja yang terpantul dari mata safir nan elok itu.
Namun Tsunade tidaklah gamang. Ia tetap menepis buruk sangka yang terukir ketika dilihatnya binar-binar luka yang menjerat Naruto.
Tsunade tertawa getir. “Apa barusan kau bilang, Naruto? Maksudmu kau mengkhawatirkan Sasuke ‘kan? Kau tak usah cemas, dia sedang dalam perawatan intensif aku dan Shizune. Haah…Naruto. Aku pikir itu terlalu berlebihan…” Ia mencoba mendesersikan fakta yang ada. Ia pandang lagi mata Naruto. Rupanya Naruto sama sekali tak bergeming. Setetes peluh meluncur dari pelipis Tsunade. Apakah kebohongannya terbaca oleh Naruto?
Naruto terkekeh-kekeh seperti sehabis menonton panggung lawak yang sering ada di festival Konoha. Bukan rasa lucu yang Tsunade dapat. Malah ketakutannya makin mencuat kala melihat Naruto terpingkal hebat.
“Baba, kau tak usah berakting layaknya sedang pentas di sebuah drama,” alis Naruto mengkisut. Air mukanya berubah menjadi serius. “Aku tahu keadaan Sasuke sedang di ujung tanduk.”
Maka tak disangkal pikiran Tsunade langsung porak-parik. Tsunade mengerti, bahwa lambat laun Naruto akan mengetahui perihal yang memang sengaja dipendam untuknya. Lantas Tsunade mencoba berkelit. Pastinya mana sudi ia mengizinkan Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke. Ya, pernah sepintas ia berpikir hal ini mungkin akan terjadi. Tapi Tsunade tak menyangka hal ini benar-benar akan terjadi.
The Uchiha Prodigy tak pantas untuk diberi kesempatan hidup, itu pendapatnya. The missing nin yang bergelimpang kiryah, membuat repot semua orang dengan tindak-tanduknya. Bukan maksud Tsunade untuk tidak berperasaan, tapi ia mencoba menggunakan logikanya. Semua orang pasti setuju dengan pendapatnya tersebut. Naruto lebih pantas untuk mendapat kesempatan untuk hidup dibandingkan dengan keturunan Uchiha terakhir itu. Lalu mengapa Naruto begitu keras kepala hingga melakukan hal yang menurutnya gila ini? Mengapa ia rela menderita untuk mempertahankan seonggok daging pongah yang mengkhianatinya?
“Naruto, tidakkah kau pikir kau sudah tidak waras? Aku tahu Sasuke adalah teman baikmu. Aku dan Jiraiya pernah mengalami hal yang sama, dan untuk itu kami tidak keras kepala.” Tsunade merengkuh kedua pundak Naruto. “Naruto, kau tak bisa menegakkan benang yang sudah basah.”
Naruto memandang Tsunade dengan menyala-nyala. Dia menghela nafas panjang. “Baba, Sasuke tidak seperti Orochimaru. Aku tahu ada sisi lain dari Sasuke yang tak dapat ditembus oleh kegelapan pikirannya. Kau tahu kenapa dia sampai koma seperti itu sekarang? Itu karena dia menyelamatkanku. Lagipula hal ini bukanlah hal mustahil yang tidak dapat kau lakukan sebagai seorang ninja medis tangguh, baba.”
Tsunade terpaku membisu. Anak ini memang lain dari yang lain. Pola pikirnya sulit ditebak. Kadang sulit direka oleh akal sehat lantaran saking kepala batoknya pola pikirnya tersebut. Maksud hati Tsunade ingin mempertahankan apa yang layak Naruto dapatkan. “Naruto, coba sekali waktu saja kau pikirkan dirimu. Berhenti memikirkan orang lain!”
“Mana bisa aku begitu, Tsunade-baba?!! Sasuke bukan orang lain, tapi sahabatku!! SAHABATKU!” alih-alih Naruto menjadi naik pitam. Ia menatap tajam Tsunade. Perlahan ekspresinya melunak, namun masih menyimpan kemarahan yang disembunyikan. “Aku…sejak kecil tak ada yang memperhatikanku. Aku hidup sendiri tanpa laki-laki dan wanita yang seharusnya aku panggil ayah dan ibu. Penduduk desa menjauhiku karena sesuatu yang tersegel dalam perutku ini. Semuanya membenciku…” Naruto memandang perutnya sejenak. Seekor iblis—yang sedang terlelap—tersegel di sana. “Tak ada yang tahu…tak ada yang bisa mengerti bahwa hari-hari itu bagai neraka bagiku… Tapi mereka hadir ke dalam hidupku yang kala itu tak terperi bengisnya. Iruka-sensei, Kakashi-sensei, Sakura-chan, dan Sasuke… merekalah yang pertama kali menyirami hari-hariku yang layu lagi suram.”
Tsunade tercenung, dia mafhum bahwa hari-hari penuh penderitaan itu tak akan bisa lindap dilupakan oleh Naruto. Tsunade tak akan pernah mencoba untuk membayangkannya. Karena duka nestapa itu terlalu menyakitkan untuk dibayangkan.
“Setelah itu aku memutuskan…orang-orang yang aku cintai akan kulindungi dengan segenap nyawaku. Karena itu adalah caraku untuk mempertahankan hidup. Aku hidup dengan melindungi orang-orang yang berharga bagiku.”
“Naruto…” ucap Tsunade lirih.
Gigi Naruto bergemeretuk kuat, dia mengatupkan matanya rapat-rapat ingin menahan tangis yang nyaris tumpah mengalir.
“Naruto, Sasuke dalam keadaan seperti itu bukan karena salahmu.”
Naruto langsung memalingkan wajahnya ke arah Tsunade. “Bukan salahku? Bukan SALAHKU, BABA?! Kau tidak tahu ap—” Naruto menghentikan lontaran verbalnya. Ia kembali tertunduk, Naruto tahu tidak seharusnya ia membentak Tsunade yang belum mengerti kenapa ia begitu bersikeras untuk menyelamatkan Sasuke. “Aku tahu semua orang tak mengerti kenapa aku mati-matian ingin membawa Sasuke pulang ke Konoha.” Lantas terbersit sesuatu dalam pikirannya—yang sebenarnya telah lama ingin ia sampaikan pada Tsunade. “Tsunade-baba, bolehkah aku menceritakan sebuah kisah padamu?”
Tsunade terlihat berpikir sejenak, entah apa yang ada di benaknya. Tapi akhirnya ia pun mengangguk.
Naruto pun memulai ceritanya. “Dahulu kala, ada seorang anak yang bercita-cita untuk menjadi ninja. Ia bukan anak yang istimewa, malah terlihat bodoh dibandingkan dengan teman-temannya.”
Tsunade mengambil kursi dan duduk di atasnya—menyimak sebuah kisah yang sedang diceritakan oleh Naruto.
“Tapi walaupun begitu, dengan segenap keyakinannya dia lulus dalam ujian dan berhasil masuk ke tim yang dipimpin oleh shinobi yang hebat. Dalam tes berikutnya, ia yang paling sering masuk dalam jebakan yang dibuat oleh shinobi yang hebat itu.” Naruto tersenyum, ada sesuatu hal yang dia ingat yang menurutnya sulit untuk dilupakan waktu.
Tsunade menginterupsi. “Naruto, apakah kau menceritakan tentang dirimu sendiri?”
Naruto tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya. “Bukan, baba. Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai.”
“Kala itu dia diejek habis-habisan oleh teman perempuan yang satu tim dengannya. Mereka pun akhirnya saling ejek satu sama lain.”
Entah mengapa Tsunade merasa familiar akan cerita yang Naruto utarakan ini, tapi dia biarkan dulu Naruto menyelesaikan ceritanya.
“Sebenarmya anak tersebut jatuh cinta pada perempuan itu, oleh karenanya dia sering menggoda kawan se-timnya yang cantik lagi pintar tersebut. Namun, si temannya itu sama sekali tidak mengetahui perasaan dia yang sebenarnya. Hingga suatu saat…”
“Suatu saat perempuan itu kehilangan adik semata wayangnya. Kala itu anak tersebut telah beranjak dewasa bersama rekan-rekan timnya. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pemuda sekarang, pemuda itu berusaha menghibur gadis yang dicintainya itu dengan segala lelucon konyolnya. Tapi tetap saja gadis itu tidak mempedulikannya.”
Tsunade tercekat, mungkinkah Naruto menceritakan… “Naruto, kau…? Maksudmu, itu…”
“Ssstt, baba. Dengarkan ceritaku dulu…” Naruto tersenyum simpul, kemudian ia melanjutkan ceritanya lagi. “Ya, gadis itu begitu terpukul. Semenjak kejadian itu, ia pun bertekad untuk menjadi ninja medis yang tangguh.”
Tsunade terkesiap, dugaannya benar. Tapi ia biarkan dirinya hanyut mendengarkan cerita Naruto. Rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya.
“Karena setelah kesedihan pastilah ada kebahagiaan. Perempuan itu bertemu dengan seorang pemuda tampan—tampan melebihi teman se-timnya . Lantas ia jatuh cinta pada pemuda tampan itu, yang kutahu dia bernama Dan.” Naruto memandang semu mata Tsunade. Tsunade merasa tenggorokannya mengering. Masa-masa itu adalah masa tersulit dalam hidupnya.
“Ya, kami berpacaran. Tapi itu tidaklah lama, karena…”
Naruto memotong kalimat Tsunade. “Karena dia tewas saat perang, dan kau menjadi sedih berkepanjangan karenanya. Benar ‘kan, baba?”
Tsunade terperangah. “Bagaimana kau bisa tahu, Naruto?”
“Aku pernah tak sengaja membaca buku harian Ero-sennin, namun ketahuan olehnya dan dia langsung membakar buku hariannya itu, tak tahu mengapa.”
“Naruto, jadi kau…?”
“Ya, Tsunade-baba. Aku sedang menceritakan masa lalumu—yang kau bingung, ekspresi apa yang harus kau pasang ketika memutarnya ulang di dalam pikiranmu. Karena kau belum tahu sebenarnya siapa yang benar-benar kau cintai dalam hidupmu.” Naruto memalingkan wajahnya ke depan, memandang bunga daffodil dari Sakura—yang dulu sering ia bawa untuk Sasuke ketika dirawat di rumah sakit. Naruto tidak tahu maksud Sakura menaruh bunga itu—di antara bunga lainnya—di ruangannya. Dan tentulah Naruto menginterpretasikannya secara berbeda. Bukan sebagai perasaan yang tulus dari seorang anak manusia yang mengharapkan balasan cinta. Padahal bunga daffodil memiliki banyak arti selain arti yang indah-indah itu. Naruto sadar Sakura salah menaruh bunga.
Kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya. “Pada akhirnya aku bisa mengetahui masa lalu Ero-sennin. Terutama tentang perasaannya terhadapmu.”
Tsunade menelan ludahnya sendiri, rasa-rasanya ia sama sekali tak enak hati untuk mengulang masa lalu yang baginya cukup suram itu. Ada perasaan bersalah yang masih terkurung dalam kalbunya yang tak ia singkap kepada siapa pun. Tsunade bukannya tak mengetahui perasaan Jiraiya yang sebenarnya padanya. Hanya saja Jiraiya tak pernah serius dengannya. Yang dia lakukan di depannya, hanyalah melakukan lelucon-lelucon mesum yang membuat Tsunade menghajarnya hingga babak belur. Lantas untuk apa Naruto menceritakan dirinya dengan Jiraiya?
“Kalau begitu kau sudah tahu ‘kan siapa yang aku maksud? Lalu apa kau tahu, baba? Waktu itu Ero-sennin sangat menyesalinya…” Naruto menatap Tsunade dengan lembut. “Dia menyesal karena tidak bisa menyelamatkan Nawaki dan Dan, padahal Ero-sennin ada di tempat kejadian saat itu.”
Tsunade menggigit bibirnya sendiri. ‘Kenapa Jiraiya berpikir seperti itu? Padahal yang menyesal adalah aku karena tidak bisa menyembuhkan mereka berdua,’ ungkap Tsunade dalam hatinya.
“Baba, kau dan Ero-sennin itu hampir sama dengan Sakura-chan dan aku.”
Tsunade terperanjat, sesuatu hal secepat kilat menyambar pikirannya. Ia ingat kalau Naruto mempunyai perasaan melebihi kata teman pada muridnya Haruno Sakura.
“Syukurlah, Sasuke-kun. Syukurlah kau baik-baik saja,” ucap Sakura sembari memeluk Sasuke yang telah siuman dari tidurnya akibat serangan genjutsu Itachi. Dan saat itu Naruto melihatnya—melihat gadis kecil yang dicintainya memeluk sahabatnya sendiri. Ia pun tersenyum getir dan segera meninggalkan ruangan.
Tsunade tidaklah keliru waktu itu, dia tahu Naruto memendam perasaannya pada Sakura. Namun gadis itu acuh tak acuhnya terhadapnya. Dan Naruto? Nihil, tak punya usaha apa-apa untuk menyampaikan perasaannya. Ia lebih banyak berbuat ketimbang mengutarakannya dengan kata-kata. Persis seperti Jiraiya kala ia melakukan kelakar-kelakar konyol di depan Tsunade.
Tsunade menyadari apa yang Naruto maksud dengan menceritakan semua hal ini. Dan tak tahu mengapa ia bisa menerka bahwa akhir dari semuanya akan terasa begitu menyakitkan.
“Ne, baba. Ero-sennin tidak pernah mengatakan perasaannya terhadapmu dengan serius ‘kan? Sebagai seorang lelaki tentulah ia mempunyai keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatinya untuk seorang wanita yang ia puja. Tapi, kau tahu mengapa ia tak pernah melakukannya?”
Tsunade menatap Naruto dengan saksama, sekujurnya bertambah dingin. Ia menggelengkan kepalanya.
“Karena dia gagal menyelamatkan Dan yang pada misi tersebut satu tim dengannya,” jawab Naruto.
Tsunade terperangah. Hal ini masih tak masuk akal baginya. Kenapa Jiraiya sampai mengambil keputusan seperti itu?
“Baba, saat itu tempat persembunyian mereka saling berdekatan. Ero-sennin mengetahui ada shibobi musuh yang menyerang Dan dari arah belakang. Ia hendak memperingatkan Dan. Tapi…kesempatan raib begitu saja.”
“Aku masih ingat kata-kata Ero-sennin di buku hariannya. Lantas pemandangan selanjutnya tak sanggup untuk kulihat. Kau meratap hebat kala Dan meregang nyawa dan ninjutsu medismu tak mampu untuk menghidupkannya. Aku—mungkin seharusnya aku senang Dan telah tewas, karena aku memiliki kesempatan untuk memilikimu. Tapi entah mengapa hal tersebut malah membuat hatiku makin tertusuk dari dalam, tertohok hingga otakku ingin kukeluarkan dan kubelah saja. Agar kejadian ini tak terngiang lagi dalam pikiranku. Namun rupanya ia terus menghantui, tak mau pergi. Begitulah yang ia tulis, Baba”
Tsunade menggermang seketika. Sampai seperti itukah? Sampai sedalam itukah Jiraiya mencintainya? Tsunade tak pernah mafhum…tak pernah mempedulikannya. Karena ia tak tahu apa-apa saja yang Jiraiya pendam dalam otaknya—yang ia pikir telah membusuk karena isinya hanyalah hal-hal nista. Jiraiya selalu tertawa dalam sedihnya… Tersenyum di balik penderitaannya. Memang dari sewaktu kecil hingga remaja mereka sering bersama-sama. Dan tatkala kejadian-kejadian penuh lara itu dating, Tsunade memutuskan untuk lari dari kenyataan. Ia terperangkap dalam kabungnya selama bertahun-tahun dan pergi dari desa Konoha. Mereka rupanya belum saling mengerti satu sama lain.
“Aku hafal dengan kalimat-kalimat itu, karena aku begitu trenyuh ketika membacanya. Maksudku…aku tak pernah menyangka Ero-sennin memiliki perasaan sedalam itu pada seorang wanita. Lantaran aku sering melihatnya keluar-masuk pub-pub mesum—bermain dengan para wanita di sana, atau menulis novel dengan bahasa-bahasa vulgar khasnya.” Naruto tertawa kecil, begitulah…dia menyangka bahwa Jiraiya tidak pernah jatuh cinta pada satu orang wanita. Dia memang pecinta wanita. Tapi untuk hal yang lebih dalam, dari mukanya saja tidak kelihatan bahwa dia pernah melabuhkan satu cintanya kepada seorang wanita.
Kedua mata Tsunade mulai berair.
“Ero-sennin selalu berpikir bahwa hidupnya tidak pernah berhasil. Dia gagal untuk menyelamatkan Hokage Ketiga ketika maut menjeratnya, gagal menyelamatkan muridnya Hokage Keempat yang waktu itu tewas karena menyegel kyuubi ke dalam tubuhku, lalu dia gagal membawa teman se-timnya Orochimaru untuk kembali ke Konoha… Dan juga ia gagal untuk memenangkan hatimu. Ia membawa semua penyesalan itu hingga akhir hayatnya, baba.”
Tsunade menghadap bumi, ia tidak lagi menatap Naruto yang sedang memandangnya dengan senyuman getir penuh haru.
“Namun aku tahu, baba. Di saat-saat terakhirnya dia tersenyum, karena dia tahu akan ada generasi yang melanjutkan perjuangan-perjuangannya. Aku tahu yang diharapkannya adalah aku. Tapi dengan tubuh seperti ini… Aku tak akan mampu untuk melanjutkan perjuangan itu.”
Tsunade langsung menyeka air matanya. “Tidak, Naruto! Sakura pasti bisa menyembuhkanmu! Dia sedang berusaha menyembuh—!” hardik Tsunade yang langsung terhenti ketika dilihatnya Naruto menatapnya dengan tatapan nadir. “K—kau kenapa, Naruto?”
Naruto tersenyum simpul. “Begitulah kesudahannya, baba. Mungkin aku bisa saja sembuh seperti sedia kala. Menjadi Hokage yang paling sakti mandraguna di tahta dunia per-shinobi-an. Tapi aku tidak mau egois. Menurutmu bagaimana dengan Sakura-chan? Dengan memutuskan untuk merelakan Sasuke mati baginya itu sangatlah berat. Aku tidak ingin peristiwa yang di alami baba terulang pada Sakura-chan.”
Untuk kesekian kalinya Tsunade terperanjat. Lama-lama ia makin mengerti apa yang Naruto inginkan. Naruto anata wa…
“Aku tidak ingin mempunyai penyesalan yang sama seperti Ero-sennin. Kau pasti ingat baba, kalian berpisah begitu lama. Karena kalian berdua lari dari kenyataan yang ada—enggan menghadapinya bersama-sama. Dan aku tidak mau akhir yang memilukan seperti itu.”
“Naruto, Sakura dan aku tidaklah sama! Kalau kau mati, dia akan sangat merasa kehilangan! Sakura pasti akan sedih berkepanjangan dan menangis—.”
“Sakura-chan, tidak akan menangis meratapi kematianku dibandingkan jika Sasuke yang meninggalkannya. Dia…tidak mungkin bersedih sampai seperti itu…” potong Naruto.
Tsunade kembali tercenung. Kemudian kenangan akan masa lalu menghampirinya kembali—mengetuk pintu pikirannya perlahan—membuka memori saat Jiraiya berpamitan dengannya pergi ke desa Ame.
-
“Jiraiya, kalau kemudian kau mati…Aku—.”
“Eh? Apakah kau akan menangis untukku? Hahaha, terima kasih Tsunade. Aku merasa tersanjung.”
“Bodoh…”
“Tapi tidak akan seperti ketika Dan meninggal ‘kan?”
“Huh?”
“Haha, bercanda! Aku bercanda, Tsunade!”
-
Percakapan terakhirnya dengan Jiraiya. Waktu itu Jiraiya seperti biasanya—berkelakar sebagaimana dirinya. Santai dan tak peduli alam sekitar. Dan seperti biasa, Tsunade tidak begitu menanggapinya dengan serius. Namun kali ini entah mengapa hatinya remuk redam. Ia merasa ditampar bolak-balik di kedua pipinya. Ya, dia memang sangat bersedih saat dia tahu Jiraiya tewas di tangan Pain. Tapi…dia baru menyadari, ratapannya ketika Jiraiya dan Dan tewas adalah berbeda jauh adanya. Lalu anak ini…hanya demi gadis yang dicintainya. Ia rela mengorbankan nyawanya sendiri.
“Aku tidak ingin memiliki penyesalan yang sama.”
Kalimat Naruto itu berulang kali terngiang di otaknya. Kali ini Tsunade berada dalam dua pilihan sulit. Membiarkan Naruto mati dengan mencuatnya kemarahan seluruh penduduk Konoha, karena jika dipikir hal ini tidaklah masuk akal bagi seorang pengkhianat tiada tanding untuk memiliki kesempatan hidup yang mungkin tidaklah adil bagi seorang pahlawan besar seperti Naruto. Raikage saja menginginkan Sasuke di hukum mati lantaran pernah menculik Kirabi—adik tersayangnya—yang nyaris terbunuh di tangan Akatsuki.
Dan jika Sasuke dibiarkan mati. Itu akan menjadi hal yang berat bagi Naruto—yang telah Tsunade anggap seperti adik sendiri. Ia tak rela jika Naruto mengalami penyesalan seumur hidup yang sama seperti Jiraiya. Bahkan ketika ia mengetahui persepsi Jiraiya akan alur hidupnya sendiri, Tsunade menjadi trenyuh yang teramat sangat. Karena sesungguhnya ada penyesalan yang Tsunade kubur dalam-dalam di memorinya.
Tsunade tidak perlu lagi menerjemahkan kalimat-kalimat Naruto ke dalam kalimat yang lebih sederhana. Karena dari air mukanya dapat Tsunade terka dengan jelas, bahwasanya Naruto tidak main-main dengan keputusan pamungkasnya. Bukan maksud juga untuk berkompulasi. Tsunade tahu semuanya telah dipikir oleh Naruto dengan akal sehatnya sendiri.
Lantas benarkah akan seperti itu jadinya kelak? Benarkah Sakura akan tersenyum lebar kala dia mengetahui Sasuke memiliki kesempatan hidup? Dan Naruto…?
Tetes air mata tanpa sadar mengalir di kedua pipinya yang halus. Dan tanpa disadarinya pula, Naruto telah menggenggam kedua tangannya dengan lembut.
“Kalau aku mati, kyuubi juga akan mati. Dunia akan kembali damai karena Akatsuki tidak berhasil melaksanakan misinya. Ini kesempatan yang baik, baba. Kematianku akan membawa perdamaian dunia.”
Tsunade masih bimbang untuk memutuskan perihal tersulit yang dihadapinya selama ia menjadi Hokage. Tapi bagaimanapun juga, Naruto tidak akan berhenti memohon begitu saja.
“Godaime-sama, tolong periksa jantungku apakah cocok untuk Sasuke atau tidak.”
Sebuah kata langka terlontar begitu saja dari mulut Naruto. Tsunade tahu betul, belum pernah Naruto se-formal itu memanggilnya. Tsunade mengerti apa maksudnya, Naruto menginginkannya untuk segera menentukan sebuah pilihan karena dia adalah seorang Hokage. Selama ini Naruto memanggilnya baba atau baa-chan, karena ada ikatan yang mereka miliki, tak akan tergantikan. Karenanya Tsunade membiarkan Naruto memanggilnya seperti itu.
Dan kali ini Naruto memohon kepadanya sebagai seorang ninja yang ingin mengorbankan dirinya untuk tanah tumpah darahnya. Untuk kedamaian dunia yang berjuta-juta orang menginginkannya. Ya, semuanya makin masuk akal.
Tapi Ya, Tuhan... Mengapa anak ini yang lagi-lagi harus menjadi tumbal kebengisan dunia shinobi? Seorang anak yang telah susah payah berjuang agar dirinya bisa diterima di tengah-tengah rakyat Konoha karena dia bukanlah seorang anak normal seperti yang lainnya. Seorang anak yang mati-matian ingin membawa sahabat karibnya untuk pulang kembali ke desa tercintanya. Seorang anak yang begitu percaya diri bahwa kelak dia mampu untuk meraih gelar Hokage—gelar yang pastinya diidam-idamkan oleh kebanyakan shinobi. Lalu apakah perjuangannya akan sia-sia begitu saja?
Kalimat apalagi—dengan kalimat apalagi Tsunade harus berkelit? Tsunade menatap lekat-lekat mata cerulean yang berpijar membara—menunjukkan bahwa keputusannya sudah bulat dan dia butuh ketegasan dari Tsunade.
Tsunade mengatupkan matanya rapat-rapat.
“Aku tidak akan pernah kembali pada kata-kataku. Karena itulah jalan ninjaku.”
Uzumaki Naruto…siapa yang bisa bertahan dengan otak batok kelapanya yang kerasnya tak terperi? Semua orang selalu angkat tangan ketika kata-kata itu terlontar dari si ninja penuh kejutan nomor satu.
“Aku tidak akan mati sia-sia, Godaime-sama. Semua orang akan hidup dalam kedamaian, Sasuke berhasil kuselamatkan dan Sakura-chan akan tersenyum seperti sedia kala. Dan kau tidak perlu repot lagi memarahiku karena sikapku yang terkadang kurang ajar terhadapmu, Godaime-sama.”
Pertahanannya tumbang, Tsunade langsung memeluk Naruto erat-erat. Matanya terpejam, tapi begitu banyak air yang mengalir dari sana. Naruto tersenyum getir, semoga keputusannya diterima oleh Tsunade. Naruto membalas pelukan Tsunade, tapi malah menambah ratapan sang Godaime. Bahunya naik-turun, terisak-isak.
“Maafkan aku—maafkan aku, Naruto…” ucapnya sembari tersedu-sedu.
“Ya, baba. Kau tidak akan salah memilih. Klan Uchiha adalah klan hebat, kau pasti tidak akan menyesal mempertahankannya.” Naruto melihat ke masa depan. Mungkin masa depan adalah hal yang tidak tembus pandang dari matanya karena dia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi di sana. Dia berpikir kalau Sasuke hidup pastilah dia akan menikah dengan Sakura. Lantas klan Uchiha yang baru akan terbentuk. Betapa Naruto ingin melihat langsung hal tersebut terjadi.
“Di mata Sakura-chan, aku memang tidak sebanding dengan Sasuke. Tapi baba, aku ingin mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Sakura-chan. Selama ini aku selalu besar mulut tapi tidak pernah berhasil membuktikan kata-kataku. Karenanya aku harus menepati janjiku dulu. Meskipun…dia tidak akan pernah membalasnya.”
Jadi karena itu? Karena Uzumaki Naruto adalah orang yang selalu menepati janjinya. Mati pun ia rela. Tsunade sudah cukup tahu karena Naruto pernah membuktikannya ketika bertaruh dengannya dulu.
Sembari mengusap-usap punggung Tsunade, Naruto memintanya untuk memeriksa ulang kasus pembantaian klan Uchiha dulu. Hal itu bisa menjadi bukti mengapa klan Uchiha pantas untuk dipertahankan. Ia berharap Tsunade dapat menyelesaikan perkara rumit tersebut.
Tsunade mengangguk pelan, semuanya lekas ia mengerti kejadiannya. Kalau memang begitu ia akan melindungi Sasuke dengan kekuatan politiknya. Ya, mungkin saja sehabis ini Sasuke akan menjadi mangsa musuh-musuhnya terdahulu. Naruto menitipkan semuanya pada Tsunade. Dia meminta agar Tsunade menjaga jantungnya yang nanti akan tertanam di tubuh Sasuke. Karena dengan itu Naruto bisa menjaga dua orang yang sangat berarti baginya sekaligus.
“Mereka berdua pasti akan bahagia. Tenang saja, baba. Semua ini akan cepat berlalu, seperti pasir yang bertebaran ditiup angin. Semuanya akan menghilang begitu saja... Keputusanmu tidak-lah salah, baba.”
Tsunade lalu memanggil Shizune yang kebetulan melintas di depan koridor ruangan Naruto. Sembari menyeka air matanya, ia melenggang ke arah Shizune. Lantas ia meminta Shizune untuk memeriksa jantung Naruto apakah cocok dengan Sasuke. Shizune terkesiap dan hendak beragumen. Sontak Tsunade langsung mengiterupsi dengan lontaran khasnya yang tegas—Tidak mau mendapatkan feedback atas keputusannya. Shizune pun langsung menuruti.
Dalam hati sebenarnya Tsunade berdo’a, semoga saja jantung Naruto tidak cocok ditransplan untuk Sasuke. Dalam hati ia bergumam pula, bahwa perihal ini tidak akan lipur begitu saja dari memorinya. Karena Naruto sangatlah nirmala, dia begitu mirip dengan mendiang ayahnya—sang Hokage Keempat. Perjuangan yang sama, akhir cerita cinta yang sama.
Tsunade memandang ke arah luar jendela di koridor utama. Hujan rintik-rintik membasahi bumi, segala kuntum mengatup melindungi diri dari terpaan angin. Daun-daun layu meranggas meninggalkan rantingnya. Dan semua persis seperti waktu itu—seperti waktu terakhir kali dia menunggu kabar dari Jiraiya sembari memandang derasnya hujan yang tumpah membasahi desa yang dipimpinnya.
“Kau tidak tahu, Jiraiya. Waktu itu aku bersedia menjadi seorang teman hidupmu. Tapi kau malah pergi dan tak pernah kembali,” ucap Tsunade lirih. Dan itu adalah sebuah penyesalan yang Tsunade sembunyikan, menimbulkan luka yang cukup dalam di hatinya.

* * *

Sakura larut dalam ekperimennya. Beberapa kali ramuan yang ia racik gagal total sehingga ia harus mengulang takaran yang harus dijadikan satu senyawa yang sepadan, dan tidak kontradiktif.
Ia tidak mengerti mengapa kerjaannya jadi kelut-melut seperti ini. Barangkali karena ada sesuatu hal yang menganggunya sejak pagi. Mungkin saja Sasuke telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa saat yang lalu. Dan tentunya Sakura berusaha bersikap setenang mungkin. Dia tidak mau pikirannya kalut-malut hingga berakibat fatal pada ramuannya.
Tapi entah mengapa Sakura tidak terlalu memusingkan perihal meninggalnya Sasuke. Ya, Sasuke adalah cinta pertamanya sekaligus teman se-timnya. Sakura cukup berhasil untuk bersikap se-positif mungkin dengan intuisinya sendiri. Ia berpikir kalau Sasuke telah meninggal, barulah ia akan berkabung 3 hari setelahnya karena ia tidak dapat meninggalkan tugas ini begitu saja. Ia juga harus memikirkan Naruto, sahabat karibnya. Karena setidaknya satu nyawa mati tapi yang lainnya dapat ia selamatkan.
Sakura langsung menepis jauh pikiran buruk tersebut, dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hendak mengambil salah satu buku di tumpuknya tepat di atas meja—tempat ia bereksperimen. Ia sedikit ricuh dan terburu-buru mengambil buku yang ia cari. Dan…
“BRAAKKK!!!”
Semua tumpukan buku jatuh berserakan ke lantai. Sakura menggerutu dan langsung membereskan tumpukan buku dengan mengambilnya satu per satu. Alih-alih satu buku terselip muncul di hadapannya. Sakura tidak tahu menahu akan buku tersebut karena ia ingat ia sama sekali tak pernah menyentuhnya. Barangkali terselip karena kemarin ia buru-buru mengambilnya dari lemari di ruang Hokage—tempat Tsunade menyimpan buku-buku obat favoritnya.
Sakura menggenggamnya perlahan-lahan dan membalikkannya—hendak melihat judul apa yang terpampang.
“Segenggam cinta dariku, Namikaze Minato.”
Begitulah yang tersirat di sampul depan buku tersebut.
Sakura terperangah. “Namikaze Minato? Bukankah dia adalah mendiang Hokage Keempat? Ugh…ini pasti dokumen sangat rahasia. Harus cepat kukembalikan sebelum shisou tahu.”
Namun entah mengapa langkahnya terhenti ketika halaman pertama sedikit terbuka. Sakura menyingkapnya perlahan dan membaca bahasa aneh yang tergurit di dalamnya.
“Dannen le. A Ăş-erin le regi. Rang ail le iestannen. LĂ» ail le tegin na hen. Gwannach o innen ului. Ăš lĂ» erui, ului. —Mawar merah Konoha—”
Sakura mengejanya terbelit-belit, bahasa yang sangat aneh—namun memiliki arti yang indah. “Mawar merah Konoha? Aku baru mendengarnya.”
“Kau telah jatuh. Dan aku tak mampu untuk menggapainya. Setiap langkah aku mengharapkanmu. Setiap ingatan yang membawamu kepada waktu sekarang. Kau tidak akan pernah meninggalkan ingatanku. Tidak di satu waktu. Tidak untuk selamanya.”
Rasa penasarannya langsung mencuat, buku apakah ini? Sejurus Sakura pun membuka halaman pertama dan mulai membacanya. Dan dari sinilah rahasia-rahasia mulai tersingkap dari tabir yang selalu menutupinya sekian tahun lamanya.

Bersambung…
Lagi-lagi ada bahasa elf-nya LOTR hehe. Tapi harus sabar dulu kawan, saya memang sengaja gak nulis crossover. Karena belum ada crossover di sini. Dan saya beri tahu juga, ini bukan akhir dari seorang pahlawan yang selalu dielu-elukan kehadirannya hehe.
Mohon maaf untuk reviewers gak login tidak sempat saya balas. Saya lagi jarang online dari hp dan dari PC. Ya… Gomenasai sekali lagi =__=

Okay, review please ^^

Share:

0 komentar