Fanfiksi Naruto: The Time Travel Chapter 2
Naruto
belong to Masashi Kishimoto
Warning: AU.
OOC for Sakura. Rated T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I Failed You
Pairing: Naruto
dan Sakura.
Based on the song
“In Heaven by JYJ”
Oke, selamat membaca ^^
Summary : Haruno Sakura yang meregang
nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke masa lalu untuk memperbaiki
kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati karena luka yang dideritanya.
Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang telah menjadi host-nya selama hampir 20 tahun. Ia pun
membawa Sakura ke zaman Perang Dunia Shinobi
Keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam yang serius yang
sampai membuatnya mati.
.
.
Putih…itu kabut. Yang menyelimuti dalam ruang
kelabu. Dan sosok yang kasat mata; serba kekuningan—warna matahari pucat…ia
meminta izin untuk pergi.
“Sakura-chan…aku
akan pergi…”
Untuk sementara atau
selamanya?
“Jangan
pergi!”
Karena ada yang tidak
rela…
“Jangan
khawatir, aku akan kembali pada—”
Dia paling takut dengan
penderitaan bernama kehilangan.
“Bohong!
Bohong!”
Maka merah jambu
berlari mengajar sosok warna matahari pucat—lelaki yang kian lama kian menjauhi
direksinya.
“Aku
tidak berbohong, Sakura-chan. Kau tahu kan betapa dalamnya cintaku padamu?”
Dan ia pun mencari cara
agar lelaki itu tidak pergi.
“Kalau
begitu buktikan kalau kau benar-benar mencintaiku?”
“Aku
mencintaimu…”
“Aku
juga—”
Belum sempat
membalasnya, lelaki itu menghilang dimakan api…seraya memberikan senyuman
terakhir.
“Naruto!”
.
.
The Time Travel
Chapter
2
.
.
“Naruto!” Lengkingan
Sakura menggema di dinding-dinding putih yang mengitarinya. “Aduh, lenganku!” Ia
meringis seraya menggerayangi lengannya yang baru ia sadari terlilit perban. Ia
pun mengedarkan mata zamrudnya ke seluruh ruangan, dan langsung menyadari di
mana ia kini.
“Di sini lagi?” Sakura
membuka-tutup telapak tangannya yang terasa kaku, memperhatikannya dengan hati
yang membeku. “Shisou pasti
menyelamatkanku lagi, padahal membiarkan aku mati akan lebih mudah baginya.”
Karena aku ingin segera
menyusulnya…
“Tempat
ini membosankan, lebih baik aku pulang.” Tanpa ragu ia melepaskan jeratan jarum
yang berada di nadinya, kemudian menyembuhkan bekas lukanya dengan shousen no jutsu. “Aku jadi benci rumah
sakit.” Ia pun keluar dari sana dengan langkah tertatih-tatih.
Sakura terus berjalan menyusuri
jalan utama Konohagakure yang begitu ramai; banyak orang terluka yang berlalu-lalang
di sekitar sana—seperti habis masa perang, namun ia tidak menyadari hiruk-pikuk
itu di depan matanya karena ia terus menatap ke tanah di bawah. Tak peduli
keluar dengan baju rumah sakit lusuh yang entah berapa hari menempel di
kulitnya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah sebelum gurunya tahu lagi-lagi
ia keluar dari rumah sakit tanpa izin.
Dunia kini hanya delusi bagi Sakura.
Ya, sejak kematian orang yang paling dikasihinya ia beranggapan bahwa ini
adalah delusi, mimpi dalam mimpi. Ia terkungkung di dalamnya dan mencari
berbagai cara untuk keluar. Hidup segan, mati adalah tujuannya sekarang.
Karena
mati adalah jalan yang terbaik.
Sesampainya di rumah, Sakura tak
ragu untuk masuk, meski debu bertebaran mengelilinginya. Menempel di mana-mana
seperti sudah ditinggal sangat lana.Dengan mata seperti mayat hidup—layu lagi
tak berpendar—ia berjalan mengunci pintu. Kemudian duduk di meja makan di dapurnya
yang menghadap lurus ke jendela. Sakura berdiri dan melenggang pergi menuju ke
jendela untuk membuka daunnya, membiarkan semilir angin segar masuk ke dalam,
setelahnya ia kembali lagi ke posisi semula.
Selama sepuluh menit ia
berada di posisi yang sama, menatap ke arah luar jendela yang diselimuti
sebaran pelita lembayung.
Warna
dirinya.
“Mudahnya menemukanmu, Naruto. Kau
ada di mana-mana ya,” lirih Sakura tersenyum getir. Dengan gerakan payah, ia
memandangi sekujur tubuhnya yang nyaris diperban. “Aku ingin mandi, tapi
sepertinya belum bisa ya.” Ia terdiam sebentar sebelum berujar kembali. “Lebih
baik aku membereskan rumahku ini, lama-lama jadi sesak.”
TOK! TOK!
Kunoichi
medis itu seketika menghentikan langkah kakinya ketika mendengar ketukan dari
pintu depan. Kedua alisnya terangkat penuh rasa heran. “Siapa, ya? Kok ada yang
tahu aku sudah kembali ke rumah? Apa ada yang mengikutiku?”
TOK! TOK!
TOK! TOK!
Sebenarnya Sakura enggan membukakan
pintu, namun suara ketukan itu berisik sekali, ia yang tadinya selemah daun
musim gugur kini mendadak berubah menjadi banteng yang mulai naik pitam ketika
melihat kain merah berkibar di depannya. “Grr…tidak menyerah juga, ya. Akan aku
berikan pelajaran!” serunya seraya berjalan menuju pintu depan; menggulungi
kedua baju lengannya hingga ke bahu. Ia lantas membuka pintu secara kasar. “Di
sini tidak ada orang!”
“Hai, Sakura-chan! Sudah kuduga kau berada di sini!”
“Hah?” mata serupa
warna hutan Sakura membelalak. Nafasnya pun terhenti sepuluh detik, bibir
tipisnya membentuk lingkaran, ia membatu bak patung; menatap tak percaya
seseorang yang saat ini berdiri di hadapannya.
Sekelebat bayangan masa lalu pun
kembali berputar bak kaset usang di memorinya.
“K-Kau ta-tahu, Sa-Sakur-ra…k-kau
a-adalah wa-wanita y-yang p-paling…c-cantik d-di du-dunia ini…te-terima
k-kasih…s-sudah ma-mau m-menemaniku ma-malam-malam b-begini…”
Masih diingatnya wajah pias
dengan mulut yang berlumuran darah itu, terbaring lemah di atas kasur
bersamanya.
Dan
juga…nafas tersengal-sengal yang berjuang untuk hidup.
“A-Aku c-cint-ta k-kamu, S-Sakur-ra-chan…”
Layar
EKG yang memampangkan satu garis hijau dibarengi dengan satu jenis suara
monoton. Ratapan laranya saat itu kembali menghampiri daun telinga…
“Aku juga…aku juga mencintaimu,
Naruto.”
Dan sekarang, suara
melengking itu… Cengiran selebar bibir kuda itu… Mata biru langit itu… dan
wajah lugu itu…
“A-Ada apa, Sakura-chan? Mengapa menatapku seperti itu, kau
seperti melihat hantu saja.”
“KYAAA!!!” Sakura kaget, kaget
setengah mampus, emosinya pun naik sepuluh level, ia lampiaskan amarahnya
dengan membanting pintu sekuat tenaga sampai tertutup.
“WADAU!” Naruto pun memegangi
hidungnya yang seketika memerah. “Kau kenapa, Sakura-chan?!” teriaknya seraya menggedor-gedor pintu.
“Mustahil, ini mustahil! Apa aku
sudah jadi gila?” Sakura mondar-mandir di ruang tamu rumahnya. Keringat dingin
mengucur tanpa ada halangan di pelipisnya. Ia mengacak-acak rambut merah
jambunya sampai bentuknya sudah tak keruan. “Naruto… Naruto sudah mati—”
“Haah, aku masuk saja ya, Sakura-chan. Sudah kuduga kau tidak akan mengizinkanku
masuk.”
Sakura lantas berhenti di tengah
ruang tamunya saat melihat Naruto melintasinya; matanya mengikuti langkah kaki
si ninja hiperaktif itu—yang kini berhenti di dekat meja makan.
Dilihatnya Naruto memandanginya
dengan dahi mengerut. “Heh, tenang saja, Sakura-chan, aku tidak akan memberitahukan baa-chan kalau kau kabur
dari rumah sakit.” Ia lantas tersenyum.
Dengan raut panik, Sakura menuju ke
kalender yang berada tidak jauh di ruang makan. Melihat dengan saksama bulan
apa sekarang. “A-April?”
Naruto mendongakkan kepalanya ke
arah Sakura, ia kemudian melenggangkan kakinya sampai berdiri di samping kunoichi medis itu. “Sekarang sudah
bulan Mei, Sakura-chan.” Merobek
sehelai kalender yang menunjukkan deretan tanggal di bulan April.
“Eh?” ‘Bukankah seharusnya sekarang
Oktober?’ Sakura bertanya-tanya dalam hatinya.
“Tadi aku menjengukmu di rumah sakit,
dan kau tidak ada di kamar. Lalu aku melihatmu dari kejauhan, walaupun
samar-samar, akhirnya aku memutuskan untuk mengejarmu. Dan aku senang instingku
tidak salah mengatakan agar terus mengikutimu.” Naruto malah mengalihkan
pembicaraan.
Mata Sakura tak bisa beralih dari
sosok yang mengenakan kaos hijau dan celana jingga itu. Sekarang tubuhnya mulai
tergegar-gegar… “Jadi yang kemarin itu hanya mimpi? Hanya mimpi?” bisiknya.
Naruto mengeluarkan semua isi
kantong plastik yang dibawanya. “Nah! Aku membawakan dango kesukaanmu, Sakura-chan.
Kau pasti belum makan, kan? Kita makan sama-sama, yuk!” Ia lantas kembali
menatap Sakura. “Eh, kok diam saja?” tanya Naruto seraya melebarkan matanya,
wajah lugunya ia keluarkan secara maksimal.
Tanpa disadari, Sakura
membawa kedua telapak tangannya menutupi mulutnya. Sekuat tenaga ia menahan
tangisannya agar tidak pecah. Dengan sigap ia memeluk Naruto yang berada dua
meter di depannya. “Syukurlah! Syukurlah itu hanya mimpi!”
“Waa!” Naruto yang kaget, sampai
tidak sempat menyiapkan diri menghadapi pelukan erat Sakura—yang datang
tiba-tiba itu. Kalau tidak ada meja di belakangnya, sudah pasti mereka akan
tersungkur ke lantai. “Apa yang kau bicarakan, Sakura-chan?” tanyanya penuh rasa heran.
“Aku kira…aku kira kau sudah…mati!”
jawab Sakura yang terisak-isak di dada Naruto, membuat bagian depan bajunya
basah.
“Eh?” seketika itu jua Naruto menunjukkan
reaksi terperangah di wajahnya, tapi itu tidak diketahui oleh Sakura. Sejenak
kemudian ekspresi itu pun berubah ceria kembali. Ia mengusap pelan punggung
Sakura—berulang-ulang. “Jangan berbicara menyeramkan seperti itu, Sakura-chan. Aku tidak akan mati sebelum
menjadi Hokage, tahu.”
Sakura mendongak; menatap Naruto
dengan wajah yang masih penuh dengan rasa kejut. “K-Kau belum menjadi Hokage?”
“Kau kok jadi ngelindur begini?
Untuk sekarang itu belum pasti, Sakura-chan.
Tapi baa-chan sudah memberikanku promosi, dan aku harus melewati beberapa
tahap tes. Para dewan petinggi Konoha mempertimbangkanku karena berhasil
mengalahkan Uchiha Madara.”
“Ja-Jadi…”
Dengan perlahan Naruto melepaskan
rengkuhan Sakura di tubuhnya, ia lantas berkata, “Ya, kita berhasil menang,
Sakura-chan. Madara telah mati. Dan
tugas kita sekarang membangun Konoha agar bisa bangkit seperti dulu kala. Beberapa
bangunan telah didirikan dalam waktu singkat, salah satunya rumah sakit Konoha.
Berterima kasihlah pada Yamato-taichou,
hehehe.”
Ya, Sakura menarik kesimpulan rupanya
kemarin ia sedang bermimpi buruk, mimpi buruk yang lama sekali…buktinya
sekarang ia berada di masa Perang Dunia Shinobi Keempat. Tapi sungguh ia jadi
bingung sendiri, ia tidak ingat apa yang terjadi padanya sampai harus berada di
rumah sakit.
Seraya membuka bungkus dango, Naruto
berujar, “Apa lukamu masih sakit, Sakura-chan?
Aku panik setengah mati ketika kau melindungiku dari serangan api Madara.
Sekujur tubuhmu nyaris hangus terbakar kalau-kalau baa-chan tidak langsung
mengobatimu pada saat itu juga. Ia sampai berubah menjadi wujud aslinya—si nenek-nenek
keriput karena kehabisan chakra.”
Ternyata
seperti itu…
“Oh
ya, kau juga pasti belum tahu… Sasuke sekarang berada di rumah sakit Konoha.”
“Eh?”
Tiba-tiba sekelebat
bayangan kembali bergelayar di pikiran Sakura…
“Kumohon
berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku paham; aku terlambat mengatakannya
padamu. Aku dulu terlalu bernafsu ingin membalaskan dendamku pada Itachi-nii,
sampai-sampai aku berani mengorbankan segala yang berharga bagiku. Aku dulu
menyia-nyiakan persahabatanku dengan Naruto. Aku juga menyia-nyiakan dirimu…”
“Sasuke-kun…”
“Aku
ingin kau sudi membuka hatimu lagi untukku…,” ucapnya sembari meremas lembut
tangan Sakura.
“Akhirnya
aku berhasil menepati janjiku padamu, Sakura-chan!”
Perasaan dingin tiba-tiba menggelungi
seluruh tubuh Sakura ketika mendengar kata ‘janji’. Ia pun memeluk dirinya
sendiri.
“Ada apa, Sakura-chan?”
Sakura berusaha untuk tidak goyah,
ia menapakkan tangannya ke meja sebagai penyanggah. Dengan gejolak yang bergelora
di dadanya ia berusaha bertahan. Ia lalu tersenyum, senyuman pelipur lara…yang
tersimpan kebahagiaan abadi.
“Terima kasih…terima kasih telah
berhasil meyakinkan Sasuke-kun untuk
kembali, Naruto. Aku berutang banyak kepadamu,” ujarnya kemudian; kembali
membawa Naruto ke dalam dekapannya.
Naruto mematung bak arca. Ia sudah
bisa memprediksi bahwa reaksi Sakura akan seperti ini. Pelukan lalu dibalas
dengan pelukan, “Tidak perlu berterima kasih kepadaku. Sudah sepantasnya aku
meyakinkan Sasuke bahwa Konoha adalah rumahnya. Tanah kelahirannya. Tempat
baginya untuk pulang.” Ia menatap ke luar jendela seraya menghembuskan nafas
perlahan.
“Oh ya, Naruto. Aku ingin meminta
tolong padamu sekali lagi, apa kau bersedia membantuku?”
“Minta tolong apa, Sakura-chan?”
“Aku ingin menjenguk, Sasuke-kun. Kau mau mengantarku?”
Dalam diri Naruto ada perasaan ingin
berontak, tapi terhadap Sakura…apa yang ia sanggup lakukan untuk menolaknya?
“Baiklah, sepertinya Sasuke juga membutuhkan perawatanmu,” tukasnya dengan
senyuman manis yang bersembunyi getir di dalamnya.
‘Akhirnya…akhirnya aku bisa bertemu
dengan Sasuke-kun…aku sangat
merindukannya,’ ujar Sakura dalam hati; mengikuti Naruto yang berjalan di
depannya. Wajahnya mengukir bahagia. Bahagia itu adalah dia yang ditunggu
akhirnya pulang jua. Bahagia itu karena sekelebat bayangan mimpi menunjukkan
padanya bahwa Sasuke melamarnya. Namun yang Sakura heran mengapa di alam mimpi
itu ia menolak cinta pertamanya itu?
“Jangan
sampai jatuh di lubang yang sama, Haruno Sakura.”
Sakura
yang sedang menatap ke bawah seketika menatap lurus ke depan ketika mendengar
suara geraman asing berbisik kepadanya. “Siapa?” lirihnya dengan paras layaknya
orang yang tidak sengaja mendengar suara iblis.
.
o0o
.
Naruto
berdiri di daun pintu kamar Sasuke, merasa akan mengganggu apabila ia ikut
berada di dalam. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menghembuskan
nafas hangat berkali-kali, sebagai tanda bahwa ia lega akhirnya beban itu tanggal
juga dari bahunya. Sudah terlalu lama ia menanggungnya, walaupun dikatakan
bersama-sama, namun ia selalu merasa hanya ia sendiri, tak ada yang pantas
berbagi beban itu dengannya.
Melihat dua orang sahabatnya
bersukacita, menumpahkan emosi yang menguap ke udara, sampai Naruto bisa
merasakan desiran kebahagiaan itu di kulit jangatnya juga.
Yang ia sangat syukuri,
akhirnya senyuman itu telah kembali ke tempat semula… Klan yang berharga itu
telah kembali ke tanah leluhurnya...
Apa lagi yang terasa
kurang dari pertemuan yang diharapkan selama hampir 4 tahun lamanya?
Sayangnya kebahagiaan
itu adalah milik Sakura seorang, tidak ia bagi kepada seseorang yang bersandar
di daun pintu ini.
“Sudah kuduga aku bisa menyelamatkan
dua nyawa sekaligus, kubayar sangat mahal lho,” ujarnya sembari tersenyum
tipis.
Sesuatu yang hangat seketika
mengalir ke bawah hidung Naruto. Ia langsung membalikkan diri, menyeka sesuatu
yang hangat itu sebelum menggapai bibirnya.
Sesuatu yang hangat itu berwarna
merah. Merah yang menunjukkan dia darah…
“Ah, sial. Mengapa harus di saat
seperti ini.” Naruto merasakan kepalanya mulai perih ibarat ditusuk-tusuk
dengan seribu paku. “Aku harus mengunjungi baa-chan sebelum terlambat.” Ia lalu melirik
ke dalam sebentar, dilihatnya Sakura yang sedang menyuapkan irisan buah tomat
ke mulut Sasuke. “Sepertinya aku tak perlu meminta izin dulu.” Ia pun memakai jikuukan no jutsu agar cepat sampai di
tempat Tsunade; ia tahu betul di mana Hokage Kelima itu berada sekarang.
Dan di sana, Naruto tidak menyadari
bahwa ada sepasang mata berwarna ungu berpadu putih salju yang memperhatikan
semua peristiwa itu.
.
o0o
.
“Baa-chan.”
“Na-Naruto k-kau sekarat…” Tsunade
memperhatikan hasil tes darah di tangannya dengan paras lara, hingga tangannya
tergegar-gegar.
“Haa…h, tak perlu
menangis, Baa-chan. Sejak awal aku
sudah tahu, menggunakan kekuatan Kyuubi adalah risiko yang tinggi. Aku nekat
menggunakan kekuatannya bukan karena aku tidak tahu apa akibatnya. Aku hanya
ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi. Lagipula kematian itu—”
“Sialan
kau, Naruto! Kau menjadikanku tumbal!” teriak suara lain yang
hanya bisa didengar oleh Naruto.
“Diam
dulu kau monster jelek! Aku lagi ada urusan,” jawab Naruto dalam hatinya.
“Baka!
Jangan bicara seperti itu! Lukamu pasti bisa disembuhkan!” balas Tsunade dengan
nada tidak rela. Sebagai ninja medis ia memang sering berhadapan dengan
kematian. Ia juga sudah tiga kali mengalami hal yang memilukan tentang kematian,
yaitu kehilangan Nawaki, Dan, dan Jiraiya. Tapi sepertinya yang ini akan lebih
menyakitkan…
Naruto menarik nafas dalam-dalam. “Kenyataannya…pertahanan
tubuhku semakin lama semakin menurun. Aku sudah merasakan gejalanya, Baa-chan.”
“Beberapa organ vitalmu rusak
Naruto, dari jantung, paru-paru, hati, bahkan ginjal. Aku tidak mengerti;
seharusnya dengan kemampuan Klan Uzumaki yang mengalir dalam dirimu efek
kekuatan Kyuubi bisa nol sama sekali. Ada yang harus aku selidiki. Apa yang
Madara lakukan sampai kau memakai kekuatan Kyuubi dalam jumlah besar? Apa yang
kau lakukan, Naruto? Kau selalu saja sembrono!” seru Tsunade yang di kedua
pipinya mengalir air mata yang sama sekali tidak ada niat untuk ditahannya.
“Tenang saja, aku akan
melaksanakan tugasku sebagai Hokage sampai akhir hayatku,” ujar Naruto setenang
air yang mengalir. Seperti biasa ia selalu percaya diri, padahal keputusan
belum turun dari Dewan Petinggi Konoha.
“Kau jangan mengalihkan
pembicaraan!”
Naruto mengusap-usap
belakang lehernya. “Yah, bagaimana, Baa-chan. Aku juga tidak mengerti mengapa
tubuhku menjadi seperti ini. Aku tidak tahu harus menjawab apa,” jawabnya
santai.
Tsunade menyeka air
matanya yang kadung keluar dan terlihat berpikir, ia lantas kembali menatap
Naruto yang masih duduk di pinggir tempat tidur rumah sakit. “Aku menemukan chakra Kyuubi yang mengalir kuat di
tubuhmu, apakah diagnosisku benar adanya?”
“Aku meyakini
diagnosismu, Baa-chan. Karena kau
adalah ninja medis terbaik di seluruh jagad raya.”
“Grr…itu
aku lakukan untuk menyembuhkan lukamu bocah sialan! Kau membuatnya seolah-olah
ini salahku!” teriak suara yang tak asing bagi Naruto
itu.
“Diam,
Kyuubi!”
“Gaki…,”
bisik Tsunade; berusaha menerima kenyataan yang berada di depannya. Mengapa
orang-orang yang berharga baginya pergi dulu keharibaan Tuhan? Padahal ia sudah
cukup tua, mengapa tidak ia saja? Mengapa yang muda yang harus mendahuluinya?
Dilihatnya Naruto yang menatap ke
ubin. “Maafkan aku, Baa-chan. Mungkin
aku tidak bisa lama-lama menjadi Hokage.”
“Kau tidak mengatakannya pada timmu?
Mereka berhak tahu.”
Kini Naruto berdiri seraya
mengenakan baju atasnya kembali. “Aku tidak mau memberi tahu mereka. Kakashi-sensei sedang berbahagia dengan Yugao-nee, sedangkan Sakura-chan dan Sasuke juga—aku tidak mau
mengganggu kebahagiaan mereka dengan keadaanku ini.”
“Kau selalu saja sok kuat, Gaki!”
“Ahahaha, aku memang kuat kok.”
Rasa-rasanya Tsunade ingin meninju
Naruto sampai terpental ke ujung dunia. Mengapa bocah ini selalu bersikap
positif? Padahal ia sudah diprediksi akan mati diumur yang masih belia. “Berhenti
bersikap seperti ini adalah masalah sepele!”
“Yah, apa boleh buat, Baa-chan. Aku juga tidak terlalu
mengambil pusing Hehehe.” Cengiran itu berubah menjadi senyuman getir. “Tapi
kalau boleh jujur…”
“…”
“Aku juga masih ingin menikmati
indahnya diberi kehidupan yang lama…”
“Ga-Gaki…”
“Lalu soal Kyuubi, aku meminta
tolong padamu, Baa-chan.”
Mata coklat Tsunade menatap Naruto
dengan penuh tanya. “Kau ingin aku mencari jinchuuriki
yang lain?”
“Sebenarnya aku berharap, akulah jinchuuriki terakhir yang Konoha
miliki. Tapi apa boleh buat, kalau aku mati jiwa Kyuubi akan tetap hidup
bersarang di perutku. Dan itu berbahaya jika tidak ada yang bisa mengontrolnya…”
“Aku akan mengusahakannya untukmu…”
Tampaknya ini akan menjadi tugas yang berat.
“Terima kasih, Baa-chan. Maaf selama ini selalu merepotkanmu…”
“Jangan mengatakan hal seperti itu, Gaki. Aku sudah menganggapmu sebagai
adikku sendiri.” Mengutarakan kalimat ini rasa-rasanya membuat Tsunade ingin
menangis semalaman.
Senyuman tulus mengembang di bibir
Naruto. Berjalan ia dengan perlahan untuk memberikan Tsunade hangat
rengkuhannya. “Gomen ne, Baa-chan…,”
bisiknya.
Tsunade membalasnya dengan pelukan
yang lebih rapat. Agar ia tidak tenggelam terlalu dalam di palung duka nestapa.
Ia ingin memberi tahu bahwa calon Hokage Keenam ini tidak menghadapi takdirnya
sendirian. “Jangan menyerah dulu, Naruto…jangan menyerah,” lirihnya terisak-isak
seraya membelai kepala Naruto.
Naruto hanya mengangguk lemah;
mengatupkan kedua matanya rapat-rapat. Ia jadi rindu mendiang ibunya.
Dan sepasang mata
berwarna ungu berpadu putih salju yang mengikuti Naruto itu—yang bersembunyi di
balik dinding—bergegas pergi dari sana. Tak sanggup memperhatikan adegan yang
baginya tak masuk akal ini. Ia tak terima…tak rela jika harus berpisah secepat
itu dengan seseorang yang sangat dikasihinya. “Naruto-kun…”
Bersambung…
Oke,
sekian dulu untuk chapter ini. Oh ya, saya baru publish oneshot NaruSaku terbaru. Kalau ada yang mau baca silakan
kunjungi profile saya ^^. Sekadar
kabar, saya juga ada rencana masuk ke fandom Fullmetal Alchemist, ditunggu saja
ya nanti fic-nya hehehe.
0 komentar