Naruto Fanfiksi: The Time Travel 3
Naruto
belong to Masashi Kishimoto
Warning: AU.
OOC for Sakura. Rated T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I Failed You
Pairing: Naruto
dan Sakura.
Based on the song
“In Heaven by JYJ”
Summary
: Haruno Sakura yang meregang nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke
masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati
karena luka yang dideritanya. Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang
telah menjadi host-nya selama hampir 20 tahun. Ia pun membawa Sakura ke zaman
Perang Dunia Shinobi Keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam
yang serius yang sampai membuatnya mati.
.
.
The Time Travel
Chapter 3
Aku Menyerah
.
.
As of right now, I can’t say anything
The miracle of you- it all seems like a fantasy
The last image of you seems to be locked only in my memories
I wonder if you are watching me from somewhere
Even if I regret, it’s too late- I can’t see you anymore
The tears of the shadows of my memories are watching over
that place
(JYJ – In Heaven)
.
“Dihabiskan ya tomatnya,
Sasuke-kun.” Pagi itu, Sakura kembali
menjenguk Sasuke. Ia datang setelah lima menit jam besuk dibuka. Tiga hari ini
hal itu yang ia lakukan tanpa absen, menemani Sasuke sampai jam besuk berakhir.
“Tomatnya segar, terima kasih, Sakura.”
Sakura menyulam senyum,
hanya sebentar, lalu lekuk bibirnya kembali membentuk garis datar. Dalam hal
ini, tentunya ia sangat senang Sasuke telah kembali ke Konoha, telah kembali
pada dirinya. Namun entah mengapa ia merasakan kehampaan yang cukup lapang.
“Hei, Sakura,” panggil
Sasuke.
Lamunan Sakura pun
seketika buyar. “Ada apa, Sasuke-kun?”
“Naruto di mana ya? Aku
jarang melihatnya.”
Mata Sakura pun
membelalak.
Tiba-tiba jendela kamar
inap Sasuke terbuka dan angin yang lumayan kencang masuk tanpa permisi.
“Kau tidak akan melakukan kesalahan yang sama
kan, Sakura?”
“Eh?” Sakura cukup terkejut. Suara itu lagi.
“Kenapa, Sakura?”
“Ah, tidak apa-apa, Sasuke-kun. Sejak kemarin aku tidak bertemu
dengan Naruto. Entahlah, sepertinya ia sibuk mengikuti rapat dengan Petinggi
Konoha. Dia kandidat calon Hokage selanjutnya.” Sakura lalu berjalan menuju
jendela, dan menguncinya rapat-rapat.
“Begitu ya? Akhirnya apa yang ia cita-citakan
tercapai juga,” ujar Sasuke seraya tersenyum.
Sakura pun ikut tersenyum. Namun itu adalah
senyuman yang jauh dari keikhlasan. Ada sesuatu yang membebani pikirannya. Akhirnya
kehampaannya itu terjawab sudah. Aku
merindukan Naruto. Apa perlu aku mencarinya? Atau ia akan datang sendiri
kemari?
.
o0o
.
Tidak ada yang lebih
mengasyikkan, kecuali menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menari di
sekitar Monumen Hokage. Naruto sudah menyukai tempat ini sedari dulu, sejak ia
masih kecil. Ia berdiri di bawah kepala ayahnya, memandangi pahatan wajah yang
selalu ia banggakan itu. Yang tiba-tiba sangat dirindukannya.
Naruto lalu menjatuhkan
pandangannya ke tangannya yang sedang menggenggam sebuah sapu tangan. Sapu
tangan milik Sakura yang tak sengaja ia kotori dengan darahnya. “Ah, aku malah tambah
mengotorinya,” lirihnya. Barusan hidungnya mengeluarkan darah lagi, meski
sedikit tapi noda darah di sapu tangan itu susah hilang. Ia tadi sudah mencoba
mencucinya di keran air umum.
Sapu tangan itu
digunakan Sakura untuk menutupi luka Naruto pada saat Perang Dunia Shinobi
Keempat sedang berlangsung. Naruto agak tak nyaman hati, ia tahu betul sapu
tangan itu cukup berharga buat Sakura.
“Ini
sapu tangan buatan ibumu, kan, Sakura-chan?”
“Yah,
mau bagaimana lagi? Tim Medis kehabisan perban, dan telapak tanganmu lukanya
lumayan dalam. Kalau tidak segera ditutup, nanti darahnya mengucur terus.”
“Tapi
kau sendiri tahu aku bisa cepat sembuh—”
“Kalau
diobati lukanya akan semakin cepat tertutup, Naruto,” potong Sakura
cepat-cepat.
Lantas matanya kembali
tertuju pada pahatan wajah Hokage Keempat. “Sepertinya aku akan segera
menyusulmu, Tou-chan. Nanti aku ingin
sambutan yang meriah,” ujar Naruto sembari tersenyum tipis. Tiba-tiba ia
merasakan pohon yang ada di belakangnya bergerak tidak wajar, ia pun menyadari
sesuatu.
“Siapa. ya? Tidak usah
sembunyi begitu jika memang ada perlu denganku.”
Lantas sosok yang
bersembunyi di balik batang pohon sunyi itu pun menampaki diri.
Melihatnya Naruto pun
tersenyum seramah mungkin. “Hai, Hinata. Lama tak berjumpa ya.”
“Na-Naruto-kun...” Hinata menggigit bibirnya.
“Ken-napa ada di-di sini?”
“Harusnya kan aku yang
bertanya begitu?” tanya Naruto yang tersenyum lebar.
“Bukannya sa-saat ini
sehar-rusnya kau berk-kumpul bersa-sama dengan Sasuke-kun da-dan Sakura-san?”
“Mereka berdua butuh
waktu untuk...mengeratkan hubungan yang dulu renggang.” Naruto kembali menatap
hamparan hijau yang berada di hadapannya.
“Ta-Tapi kau
s-seharusnya j-juga...”
“Hinata...sebenarnya
apa yang ingin kau bicarakan kepadaku?”
Hinata menjadi tak
berkutik; ia tak menyangka Naruto bisa menebak apa yang ada di pikirannya saat
ini. Ia pun mememutuskan mendekat perlahan. Dengan suara tergegar ia berkata, “K-Kau...sekarat,
kan, Naruto-kun?”
Naruto terdiam, melihat
Hinata sejenak. Lalu pandangannya kembali pada warna hijau itu. “Ah ya, kau memiliki
byakugan, jadi kau bisa menyadarinya ya?”
“Naruto-kun...a-aku...”
Naruto lantas berbalik
ke arah Hinata. “Kau bisa menjaga rahasia, kan? Tolong jangan beritahu
siapa-siapa, Hinata. Aku mohon...”
“Jadi memang tidak
banyak yang tahu?” Hinata menggigit bibirnya.
“Ya, hanya Baa-chan
dan kau…”
“Lantas k-kenapa tidak
me-memberi tahu Sasuke-kun dan
Sakura-san?” Hinata kembali bertanya.
Naruto kembali
membalikkan badan. “Itu…hanya akan mengganggu kebersamaan mereka. Sakura-chan sudah lama sekali menginginkannya.”
Hinata mematung,
memandangi punggung yang terlihat kekar di luar, tapi siapa sangka di dalamnya
punggung itu sudah tak berdaya. Ia bisa tersungkur kapan saja. “Kau…sangat
mencintai Sakura-san, Naruto-kun…,” lirihnya seraya memandangi tanah.
“Huh?” Naruto mendongak
ke arah pewaris Klan Hyuuga itu.
“Kalau k-kau
mencintainya, mengapa k-kau menyerah? Kau t-tidak pernah m-menyerah terhadap
apapun!”
“Hinata…hal ini tidak
semudah yang kau kira.” Pandangan Naruto pada Hinata kini mengosong.
“Ke-Kenapa?” Suara
Hinata bergetar.
“Kenapa? Sebelum aku
menjawab…kenapa kau menyerah padaku?” Kini Naruto yang malah balik bertanya.
“Eh?” Membuat Hinata
jadi terkejut.
“Aku belum menjawab
perasaanmu langsung, tapi setelah perang berakhir kau malah mengatakan…”
“Jangan
menyerah untuk mendapatkannya, Naruto-kun.”
“Aku tahu siapa yang
kau maksud, Hinata. Tapi boleh aku tahu mengapa kau menyerah padaku? Padahal
bisa saja kan saat ini aku mengatakan akan menerima perasaanmu? Lalu kita akan
bahagia sampai aku…mati.”
Ada jeda kesunyian.
Lidah pun bagai melilit sendiri sehingga sulit melontarkan sepatah kata pun.
Sekarang mereka malah melempar teka-teki satu sama lain. Jujur memang
menentramkan hati karena tidak ada yang harus disembunyikan. Maka dari itu, Hinata
akan jujur pada saat ini juga. Hanya saja ia juga ingin orang yang di
hadapannya sekarang berkata jujur pada dirinya sendiri.
“Apakah bersamaku akan
membuatmu bahagia?”
Mata Naruto melebar.
Tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang sepertinya akan sulit ia jawab.
Hinata itu begitu baik… Terlalu baik untuk dirinya.
“Tanpa byakugan pun aku bisa melihatnya,
Naruto-kun. Mata biru itu selalu
bercahaya setiap ia berada di samping gadis yang ia dambakan sedari kecil.”
Tanpa Hinata sadari air mata mengalir di pipinya yang seputih kapas, tapi ia
dapat berbicara dengan lancar. Menandakan tak ada lagi gelisah yang bersarang
di hatinya. Semuanya akan ia enyahkan saat ini juga. “Lalu aku tahu tak ada
harapan lagi untukku ketika aku melihat dengan mata kepalaku sendiri…kau
menggunakan jurus terlarang untuk menyelamatkan Sasuke-kun.”
Mata Naruto tambah
melebar. Hinata melihatnya…kupikir di
sana tidak ada yang melihat karena hampir semua shinobi terluka parah.
“Kau sengaja membuat kekkai angin yang berputar agar semua
orang yang di sekitar sana tidak melihat. Tapi aku melihatnya, Naruto-kun…” Hinata terdiam sejenak, matanya lurus
tajam ke arah mata Naruto. “Kau begitu panik. Berpikir setengah mati bagaimana
caranya menyelamatkan Sasuke-kun yang
meregang nyawa. Karena ninja medis tidak ada yang berada di sana. Sementara
jika kau membawa Sasuke-kun ke tenda mereka, kau takut akan terlambat, dan
Sasuke-kun akhirnya mati. Lalu kau
berkata…”
Naruto menunduk
dalam-dalam dan memejamkan matanya.
“Kalau
kau mati, aku tidak bisa menepati janjiku pada Sakura-chan, aku tidak bisa
menyatakan bahwa aku mencintainya.”
Perlahan Naruto membuka
mata dan dirinya mendekat ke arah Hinata selangkah demi selangkah.
“Tapi kau malah diam
seribu bahasa. Bermaksud menyembunyikan perasaanmu sebenarnya pada Sakura-san sampai kau tertidur di liang lahat
sekali pun. Aku tidak bisa menerimanya, Naruto-kun… tidak bisa…”
Kemudian Hinata
menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bahunya naik-turun tak
beraturan. Tubuhnya tergegar-gegar. Hinata menangis sejadi-jadinya. “Aku tidak
bisa terima jika kau tidak bahagia, Naruto-kun!”
Tanpa ragu Naruto lekas
mendekap tubuh Hinata ke dalam pelukannya. “Sstt… Hinata, tidak apa-apa. Semua
akan baik-baik saja… Aku berjanji aku akan bahagia,” bisiknya sembari membelai
rambut panjang Hinata.
Hinata membalas pelukan
Naruto dengan dekapan yang lebih erat. Sekali saja ia ingin merasakannya.
Apakah
tidak terlambat untuk merasakan kebahagiaan yang didambakan?
“Terima kasih, Hinata,”
bisik Naruto lagi. Karena hari ini ia akan melakukan perubahan besar di dalam
hidupnya. Dan ia tidak akan melewatkannya.
Hari ini ia akan
menyatakan perasaannya pada Sakura. Titik.
.
o0o
.
“Sasuke-kun, kau harus sarapan dengan bubur ini.
Aku suapi ya?”
“Boleh saja,” jawab
Sasuke datar.
Sakura lalu menyiapkan
bubur panas yang hanya dilengkapi dengan sedikit garam karena Sasuke masih
belum bisa menerima semua makanan di lambungnya.
Sakura kemudian duduk
di tepi tempat tidur Sasuke, dan mengaduk buburnya. Ia menggunakan sendok untuk
mengambil bubur itu sedikit demi sedikit, lalu meniupkannya agar dirasa agak
hangat. Perlahan ia mengarahkan sendok tersebut ke arah Sasuke.
Sasuke memasukkan bubur
itu ke dalam mulutnya dengan perlahan-lahan. Lidahnya masih belum bisa
merasakan apa-apa, tapi setidaknya dengan ini ia tidak akan merasa lapar.
“Sakura…”
“Hm?” Sakura tetap
fokus pada bubur yang ada di tangannya. Ia hendak mengarahkan sendok itu ke
arah Sasuke, tetapi tangannya di tahan oleh tangan keturunan Klan Uchiha
terakhir itu. “Ada apa, Sasuke-kun?”
tanyanya terheran-heran.
Mata hitam yang biasa
dingin dan sulit untuk diterka itu menatap Sakura dengan lembut. Banyak yang
bisa diartikan dari mata itu kalau Sakura boleh menerka. Permohonan maaf dan
sebuah harapan…
“Terima kasih, Sakura.”
“Eh?”
“Kalau tidak ada kau,
aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidupku saat ini.”
“Ma-Maksudmu, Sasuke-kun?” Entah mengapa Sakura jadi
tersipu-sipu sendiri. Ia lalu melepaskan tangannya dari genggaman Sasuke, dan
meletakkan mangkuk dan sendok berisi bubur itu ke meja yang ada di sebelah
tempat tidur.
Sakura kembali
membalikkan badannya ke arah Sasuke, seketika itu pun ia menyadari wajah Sasuke
lumayan dekat dengan wajahnya. Ia menelah ludahnya sendiri. Dengan waswas ia
menatap lurus ke mata Sasuke, bertanya-tanya apa yang ada di pikiran keturunan
Uchiha terakhir itu.
Namun perlahan-lahan
wajah Sasuke semakin mendekat ke wajahnya. Pikiran Sakura tidak bisa memutuskan,
apakah ia ingin menolak atau tidak, maka ia hanya berdiam diri di tempat.
Memejamkan matanya rapat-rapat. Merelakan Sasuke untuk…
BRAK!
Sasuke dan Sakura
nyaris melompat dari dudukannya masing-masing ketika mendengar suara orang yang
menabrak dinding.
Terutama Sakura yang
langsung membelalakan mata saat ia sadari seseorang yang bersandar lemah di
pinggir pintu ruang Sasuke diinap.
Seseorang itu menatap
Sasuke dan Sakura tanpa berkedip, eskpresi luka di wajahnya tak bisa dipungkiri.
Kemudian setelah beberapa saat ia pun menyadari kedua temannya melihatnya
dengan wajah penuh kaget.
Untuk meredamkan
ketegangan, Naruto akhirnya berdiri tegak, dan berujar, “A-Ahaha! Gomen ne, sepertinya a-aku mengganggu kalian.” Mengeluarkan tawa
palsunya. “L-Lanjutkan saja apa yang ingin kalian lakukan. Ja ne!” Secepat kilat Naruto
meninggalkan tempat itu.
“Naruto!” Tanpa pikir
panjang Sakura mengejarnya hingga ke daun pintu. Ia menengok ke arah Naruto
pergi, tapi tidak menemukan si calon Hokage Keenam itu, padahal jalan koridornya
lumayan panjang. Ia hampir ingin menyusul Naruto kembali, namun langkahnya
terhenti pada saat kakinya menginjak sesuatu.
Itu…sebuket bunga
sakura.
Setelahnya Sakura
menyadari bahwa ia harus menjelaskan semuanya pada Naruto. Ia harus menemukan
Naruto pada saat itu juga.
Sementara itu Sasuke
tidak menahan Sakura untuk tidak pergi. Ia hanya memandang datar ke arah pintu.
.
o0o
.
“Kurang ajar kau,
Naruto! Sudah kubilang berapa kali agar berhati-hati menggunakan jurus ruang
hampamu! Kau selalu membuat kepalaku benjol!” seru Gamakichi yang mengusap
kepalanya yang tadi ditimpa tubuh Naruto sebelum ia tersungkur ke tanah.
Rupanya Naruto tadi
langsung pergi ke Gunung Myoubokuzan dengan jurus ruang hampanya.
“Hey, bangun, Naruto!”
Gamakichi menggoyangkan tubuh Naruto yang tengkurap di lantai. “Kenapa malah
tidur—eh?” Matanya tiba-tiba membesar ketika menyadari darah yang cukup banyak
membanjiri lantai di bawah Naruto. Dengan cepat ia membalikkan tubuh Naruto
yang tidak sadarkan diri, dan mendapati darah itu keluar dari hidungnya. “Kami, apa yang terjadi padamu, Naruto?!”
Tanpa pikir panjang Gamakichi langsung pergi untuk memanggil Fukasaku dan
Shima.
.
o0o
.
“Sasuke! Bangun,
Sasuke! Kuso!” umpat Naruto yang
tidak tahu harus berbuat apa melihat Sasuke yang sekarat. Kemarin Sakura yang
melindunginya dari serangan api Madara, sekarang Sasuke yang meregang nyawa
karena bersama-sama dengan dirinya untuk mengalahkan Madara. Ia tidak tahu apa
yang Madara lakukan pada Sasuke sehingga langsung membuatnya terkapar sampai seperti
ini.
“A-Apa yang harus aku
lakukan?” tanya Naruto pada dirinya sendiri, ia memegangi kepalanya.
Mengingat-ingat apakah ia pernah diajarkan jurus medis oleh Sakura. Sayangnya
Sakura tidak pernah melakukan itu. “Sialan!”
Naruto kembali berpikir
dan terus berpikir…tak lama ia pun mengingat sesuatu. “Jurus itu…mungkin aku
bisa gunakan,” lirihnya menatap kosong Sasuke. Sebuah jurus yang pernah ia
pelajari dari gulungan rahasia milik ayahnya.
Ia lantas membuat kekkai angin di sekitarnya, berharap tidak
ada yang melihat aksinya. “Kalau kau mati, Sasuke. Aku tidak bisa menepati
janjiku pada Sakura-chan, aku tidak
bisa menyatakan bahwa aku mencintainya.”
Naruto pun mengambil
nafas dalam-dalam, kemudian berkonsentrasi membentuk beberapa segel tangan.
Kemudian ia menghentakkan tangannya ke tanah. Seketika saja terbentuk pola
hexagram berwarna ungu tua di atas tanah tersebut, tepat di bawah ia dan Sasuke
berada.
“Grr…Naruto!
Apa yang kau ingin lakukan? Aku tahu betul pola itu, jangan macam-macam kau!”
Naruto mendengar Kyuubi
meronta-ronta dalam tubuhnya. “Diam, Kyuubi! Ini bukan urusanmu!”
“Dasar
bodoh! Ini adalah jurus penukar jiwa, apa yang Uchiha itu alami akan kau alami.
Kau yang akan mati, dasar bodoh!”
“Lebih baik begitu dari
pada Sasuke yang mati.”
“Dasar
egois! Sekali-kali kau harus memikirkan dirimu sendiri. Aku muak melihat kau
yang mudahnya berkorban demi orang lain, terlebih demi orang yang sudah
berkali-kali ingin mencoba membunuhmu!”
“Kau tidak perlu takut
begitu, Kyuubi. Kalau aku mati, kau tidak akan ikut mati kok,” jawab Naruto
enteng. Ia lalu mengatupkan kedua tangannya di depan dada dan merapalkan
jurusnya.
Pola hexagram itu
kemudian bercahaya. Bisa Naruto rasakan tubuhnya menggigil hebat akibat pesona
hitam jurus terlarang itu. Polanya kemudian berubah perlahan. Segitiga yang
tadinya saling timpa lalu terpisah dengan sisi yang terpisah.
Tubuh Naruto yang
tadinya penuh luka-luka menjadi tambah parah saja. Peluh membasahi wajahnya.
Giginya bergemeretuk hebat. “Si-Sialan chakraku cepat habis begini.” Namun
Naruto berusaha sekuat tenaga agar ia berhasil mengaktifkan jurus itu sampai
selesai.
Lama-kelamaan cahaya
ungu tua itu hilang dari sekelilingnya, dan Naruto merasakan tubuhnya
remuk-redam. Ia terduduk di tanah memuntahkan darah segar.
“Sudah
kubilang kau yang akan terluka parah, Naruto!” teriak
Kyuubi yang langsung menyalurkan kekuatannya untuk menyelamatkan Naruto. Ia
begitu geram dengan tindakan tak tanggung-tanggung Naruto, bagaimanapun ia
sudah menganggap keberadaan Naruto sebagai tuannya setelah Rikudou Sennin
tiada. Tapi memang sulit membujuk seseorang yang pikirannya sudah sekeras batu.
Tapi Naruto malah
tersenyum penuh kemenangan. “Setidaknya aku berhasil menyelamatkan Sasuke.”
“Ya,
setidaknya aku bisa menyelamatkan nyawa dua orang sekaligus.”
Mata biru itu membuka
perlahan. Ia baru saja mengenang kejadian tempo lalu di alam mimpinya. Yang ia
ingin tahu sekarang apakah ia sudah pergi ke alam baka atau berada di tempat
lain yang yang tidak ia ketahui. “I-Ini di mana?”
“Kau sudah baikan,
Naruto?”
Dua ekor katak kecil
berdiri di sisinya, memperhatikan Naruto dengan air muka cemas.
Mata Naruto masih
berputar memandangi sekitar, ia tampak linglung.
“Kau sekarang berada di
Myoubokuzan, Naruto. Kau sendiri yang datang ke sini.”
Naruto pun akhirnya
kembali ke alam sadarnya, ia teringat apa saja yang terjadi sebelum lukanya
kambuh. Lalu ia mengingat kejadian di rumah sakit. Ia melihat Sakura dan
Sasuke…
Naruto cepat-cepat memejamkan
matanya perlahan, menepis semua itu yang menggoreskan luka lebar di hatinya. Ia
tidak ingin lagi mengingatnya. Cukup sudah. Sampai di sini saja.
“Aku menyerah.”
“Eh? Apa yang kau katakan,
Naruto?” tanya Shima.
“Aku menyerah.” Naruto
menegaskan suaranya.
Uzumaki Naruto tidak
pernah menyerah, pernyataan itu sepertinya sudah tidak berlaku lagi untuknya.
Bersambung…
~
Selamat Idul Fitri 1433 H :D
~
Silakan buat yang mau review ^^
I
I
V
0 komentar