The Time Travel 5: Ke Myoubokuzan
The Time Travel
Naruto
© Masashi Kishimoto
Warning: Rated
T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I
Failed You. Semi Canon. Alternate Reality.
Pairing: Naruto
dan Sakura.
Based on the song
“In Heaven by JYJ”
Well,
makasih banyak buat para pembaca, yang udah favoritin dan alert, dan juga para
reviewers. Thanks a lot :D. Maaf lama
banget update-nya. Lagi ribet sama
skripsi yang dua kali ganti judul, jadi molor deh jadwal lulus saya -__-. Tapi
sekarang saya sudah lulus. Tinggal nunggu wisuda \^^/
Langsung
aja deh, selamat membaca ya ^^
Summary
: Haruno Sakura yang meregang nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke
masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati
karena luka yang dideritanya. Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang
telah menjadi host-nya selama hampir 20 tahun. Ia pun membawa Sakura ke zaman
Perang Dunia Shinobi Keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam
yang serius yang sampai membuatnya mati.
.
.
Sakura
pun menghela napas panjang, meski ia kesulitan untuk membendung tangisannya, ia
berusaha untuk tenang. Ia lalu memeriksa keadaan Naruto dengan shousen no
jutsu. Matanya membulat sebesar telur puyuh ketika menemukan hal yang tak
diduganya. “Napasnya berhenti….”
.
.
Chapter 5
Dying
.
.
Dia sedang berada di
sebuah ruangan yang selama dua tahun terakhir menjadi kehidupan keduanya. Di
sana serba putih. Dan putih adalah warna yang dapat menentramkan hati.
Seharusnya seperti itu, bukan? Namun hal-hal yang diketahui secara general
memang tak sepenuhnya benar.
Di ruangan lab Rumah
Sakit Konoha, Sakura tidak mengenal lagi apa itu ketentraman setelah apa yang
ia lihat di depannya saat ini. Secarik kertas yang sedang ia genggam yang
membuatnya seperti itu.
“A-apa ini?” tanya
Sakura dengan getaran nada yang tinggi.
Dia telah melakukan check up secara menyeluruh pada Naruto.
Dari cek darah sampai yang terakhir radiologi. Dan dalam tabel yang tertera di
kertas yang sedang ia genggam itu ia menemukan seluruh fungsi organ dalam tubuh
Naruto menurun. Dari jantung, hati, ginjal, darah, sampai ke sistem pencernaan,
semuanya menunjukkan hasil yang membuatnya resah.
Sakura menggigit
bibirnya. Ia tiba-tiba teringat akan mimpinya yang sebenarnya sudah lama
terkubur, namun kini kembali ke permukaan memorinya. Mimpi itu…. Bayangan
Naruto meregang nyawa hadir kembali dalam pikirannya….
Napas Sakura pun
memburu. Lalu ia embuskan kuat-kuat demi mendapat ketenangan yang ia perlukan
saat itu juga. “Tenangkan dirimu Sakura. Tenangkan dirimu. Itu hanya mimpi,”
ujarnya menghibur diri sendiri. Ia menyentuh dahinya.
Matanya kembali tertuju
pada kertas report yang masih
digenggamnya. “Kenapa aku baru menyadarinya? Tapi, ini sungguh mustahil.
Harusnya dengan komplikasi yang seperti ini ia sudah….” Cepat-cepat Sakura
mengigit bibirnya. Ia tak sanggup mengucapkan kata yang sangat ditakutinya itu.
Ia sedang berdiri bersandar di tembok, tapi pertahanannya luruh. Kedua kakinya
goyah, dan ia pun lunglai ke lantai.
Sakura lalu mengambil
napas dalam-dalam. “Apa yang harus aku lakukan?”
Meski di sekelilingnya serba putih, ia malah
menjadi ngeri sendiri. Karena putih bukan saja lambang ketentraman hati nan
suci, tetapi juga … kematian.
Sedangkan di tempat
lain, tanpa diketahui oleh Sakura, Naruto sudah kembali siuman. Matanya membuka
perlahan, wajahnya pucat bak mayat hidup. Ia memandangi ke sekitarnya dan
ketika menyadari bahwa di pergelangan tangannya tertanam jarum infus
kesadarannya kembali seketika. “Si-sial, kenapa aku bisa ada di sini?”
“Tentu saja itu karena kau
sekarat, Bocah! Beruntung gadis berambut merah jambu itu menyelamatkanmu.”
Tiba-tiba Kyuubi mendumel karena kebodohan Naruto yang sok kuat.
“Heh, aku tak peduli.
Aku akan keluar dari sini. Kau harus meregenerasikan kembali sel-selku yang
rusak. Ada rapat yang tidak boleh aku lewatkan. Aku belum boleh mati sebelum
menandatangani perjanjian antar desa.” Buru-buru Naruto melepaskan jarum
infusnya dengan paksa sampai darahnya berceceran di lantai. Susah payah ia
berdiri sampai hampir terjatuh berkali-kali.
“Grrr…. Dasar bodoh!
Sudah kubilang berhenti bersikap kekanak-kanakan seperti itu! Kau hanya ingin
menghindarinya saja, kan? Dewasalah, Naruto! Kau juga berhak bahagia!”
Naruto terdiam
sebentar. Ia tampak memikirkan ucapan Kyuubi, tapi kemudian ia menyadari akan
satu hal. Suara paraunya menyeruak keluar. “Bahagia atau pun tidak … aku tetap
saja akan mati….”
Kyuubi seketika
tercenung mendengar kalimat pasrah Naruto. Dan tanpa melawan lagi ia memberikan
chakra-nya agar stamina Naruto
kembali, walaupun itu hanya membuatnya baik untuk sementara.
Naruto pun hendak
merapalkan jurus hiraishin-nya,
tapi…. “Ugh!”
“Jangan sok kuat
begitu, Bocah! Lagi pula hari sudah malam, lebih baik kau menginap di sini
saja! Grrr…. Aku benar-benar muak melihat sikap kekanak-kanakanmu!”
“Diamlah, Kyuubi,” ujar
Naruto sembari berjalan tertatih-tatih sembari menyentuh keningnya yang pening.
Ia pun membuka pintu kamarnya.
Sementara itu Sakura
yang masih berada di lab, mendengar bunyi alarm dari ruang monitor pasien yang tidak
jauh berada di sebelah ruangan tersebut. Ia pun segera berlari ke sana dan
mencek jejeran kontak berlampu yang terpampang di dinding ruangan. Hanya
sebentar saja Sakura memperhatikannya, ia langsung menyadari lampu itu menyala
di ruangan mana. Berarti ada sesuatu yang terjadi di sana. “Naruto!” pekiknya.
Sakura pun segera
berlari menuju ruang inap Naruto. Ia menelusuri lorong rumah sakit yang cukup
ramai dengan lalu-lalang orang. Sekarang tepat jam besuk sudah habis, karena
itu banyak orang yang berhambur keluar rumah sakit Saat ia membelok ke kanan; ia berpapasan
dengan Naruto yang berjalan ke arahnya dengan lunglai dan masih menggunakan
pakaian rumah sakit.
“Eh?” ujar Naruto yang
sedikit tercengang ketika menyadari Sakura telah berdiri di depannya.
“Apa yang kau lakukan
di sini, Naruto?! Kau dilarang keluar dari kamarmu!” Sakura serta merta menarik
lengan baju Naruto dan menggiringnya kembali ke ruang inapnya. Dari wajahnya
tampak ekspresi khawatir yang berbalut amarah. Ia menarik lengan baju Naruto
dengan kuat, tak peduli Hokage Keenam itu bakal jatuh.
“Tu-tunggu, Sakura. Aku
tidak apa-apa. Ada rapat dengan para Kage yang harus aku—”
“Aku tak peduli!”
potong Sakura tanpa melihat ke arah Naruto yang sedang digiringnya. “Aku akan
meminta Shikamaru untuk menggantikanmu.”
“Tidak bisa! Itu adalah
tugasku!” Naruto mulai berontak dengan menepis tangan Sakura yang sedang
menarik tangannya.
Tapi Sakura tidak
kehabisan akal. Ia sekarang malah menarik kerah Naruto sehingga jarak antara
wajah mereka terpisah hanya beberapa centi saja. “Jangan bercanda, Naruto. Kau
tidak akan bisa menyelesaikan urusan desa kalau kau sakit seperti ini!”
“Sudah kubilang aku tak
apa-apa. Aku—”
“Berhenti mengatakan
jika kau baik-baik saja!” Sakura tiba-tiba membanting tubuh Naruto ke dinding
lorong.
Naruto tercengang
melihat Sakura, bukan karena sifat temperamennya yang kadang ia takuti itu.
Namun, ia baru menyadari bahwa bulir-bulir air telah berkumpul memenuhi pipi
Sakura. “A-apa yang kautangisi?”
Sakura menangis
tersedu-sedu. Ada yang ingin ia ucapkan, namun tersendat di tenggorokannya. Tapi
ia harus mengenyahkan rasa khawatirnya sekarang. Ia telah menyadari sesuatu.
Bahwa saat ini ia sedang menghadapi masalah yang cukup serius. “Kau sekarat,
Naruto. Dan aku tidak pernah menemukan satu orang pun yang memiliki komplikasi
penyakit dalam yang serumit itu…,” lirihnya. Ia pun menunduk.
“Aku pikir itu bukan
urusanmu, Sakura—”
“Itu adalah urusanku!
Karena kau sekarang adalah pasienku!” teriak Sakura dengan mata membesar.
“Berhenti … berhenti menjauhiku, Naruto. Jangan berpikir kalau aku tidak
mempedulikanmu lagi!” tangisannya pun makin menjadi.
Dahi Naruto mengerut.
Ia memandangi Sakura dengan tatapan pilu. Tapi
semuanya sudah terlambat….
“Apa—apa yang terjadi
pada saat aku pingsan waktu itu? Siapa yang membuatmu jadi seperti ini,
Naruto?” Sakura menanyakan tentang kejadian di Perang Dunia Ninja Keempat lalu.
“Kau tidak perlu
mengkhawatirkanku. Sasuke—”
“Berhenti mengalihkan
pembicaraan, Naruto!” cengkraman Sakura di kerah Naruto semakin kuat.
“Sepertinya untuk saat ini aku tidak perlu berbicara dulu denganmu.” Ia pun
kembali menggiring Naruto memasuki kamarnya.
“Sudah kubilang ada
kewajiban yang harus kutuntaskan, Sakura!” bentak Naruto yang melepaskan
tangannya secara paksa. Akibatnya ia limbung karena terlalu memaksakan tubuhnya
untuk bergerak. Namun dengan sigap Sakura menahan tubuh host Kyuubi itu agar tidak terpelanting ke dinding.
Sakura sudah tidak
tahan lagi dengan sifat Naruto yang keras kepala itu. Ia pun mengeluarkan jarum
suntik yang tersimpan di kantong bajunya, dan menyuntikkannya di leher Naruto.
Naruto pun memekik
karena rasa ngilu tiba-tiba menerjang sekujur tubuhnya. “A-Apa yang kau—” belum
sempat ia menyelesaikan kalimatnya, ia malah semaput. Sakura pun segera memapah
tubuh Naruto dan membawanya kembali ke ruang inapnya, meski harus berjalan
tertatih-tatih. Dengan perlahan Sakura membaringkan Naruto ke tempat tidur. Tak
lupa ia menggelarkan selimut agar angin dingin tidak masuk ke tubuh Naruto.
Beberapa saat kemudian,
Sakura masih berada di sana; memperhatikan Naruto dengan hati yang tak menentu.
Ia lalu membawa tangannya membelai lekuk wajah Naruto yang pucat seperti hantu.
Tak bisa ia bayangkan jika nantinya wajah itu tak bisa ia lihat setiap hari. Ia
pun mengatupkan matanya rapat-rapat. Dalam hati ia telah membuat keputusan.
“Aku akan meminta
bantuan Ino.”
.
o0o
.
“Kau bisa membaca
memori Naruto kan, Ino? Aku sangat ingin mengetahuinya.”
“Bisa saja. Asalkan
Naruto masih memikirkannya. Masalahnya adalah itu terjadi sudah sekitar setahun
yang lalu. Memori tidak akan tersimpan jika pemiliknya melupakannya”
“Kalau begitu tak salah
kan jika mencoba?”
Ino mengangguk. “Kita
mulai saja kalau begitu.” Ia memperhatikan Naruto sejenak sebelum memasuki alam
bawah sadar Hokage Keenam. Ia sendiri tidak menyangka bahwa keadaan Naruto yang
sebenarnya adalah seperti ini.
Beberapa saat kemudian
Ino telah memasuki pikiran Naruto. Ia berada di sebuah tempat yang tidak
terlalu terang; dibalut dengan cahaya kemerah-merahan. Seketika Ino diterkam
dingin yang tidak biasa. Dingin ini menciptakan sensasi aneh buat dirinya.
Dingin ini membuat ia merasa dibalut kesepian yang membuatnya ketakutan.
Ino pun memeluk dirinya
sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya perlahan. Timbul suara percikan air
yang cukup membuatnya terkejut. Seketika ia melihat ke bawah. “Air dari mana
ini?” Matanya lalu memicing. Samar-samar ia menangkap keadaan di sekitarnya. Ia
menyadari ia sedang berdiri di sebuah lorong dengan pipa-pipa air di
sisi-sisinya. Tiba-tiba ia mendengar sebuah geraman.
“A-apa itu?” Ino pun
bergidik. Matanya membulat dua kali lipat. “Aneh. Seharusnya aku berada di
dalam otak Naruto. Bukan pemandangan seperti ini.” Tubuhnya tergegar-gegar,
tapi ia harus menyelesaikan tugasnya. Ia harus membantu Sakura dan Naruto. Ino
pun kembali melangkahkan kakinya tanpa tujuan, berharap ada pantulan memori
Naruto yang muncul dalam perjalanannya dalam lorong gelap ini.
Beberapa saat kemudian
Ino kembali mendengar suara geraman. Yang ini lebih terdengar dibandingkan yang
tadi. Artinya sumber suara cukup dekat dengan dirinya. Tubuh Ino tiba-tiba
menggigil, ia melihat sebuah cahaya lebih terang di sisi kanan lorong; lima
langkah ke depan. “Apa aku harus memeriksanya?” ia pun mengeluarkan kunai dan
memasang mata waspada. Ia melangkah perlahan hingga menyadari ia sudah tiba di
sebuah ruangan besar yang terdapat kerangkeng raksasa di dalamnya.
Ragu-ragu Ino mendekati
kerangkeng itu. Tiba-tiba muncul sepasang mata merah yang tengah memandanginya.
“Si-siapa kau?!” teriak Ino seraya mundur beberapa langkah.
“Haah, ada tamu rupanya. Mengganggu tidurku saja,” sahut suara itu
yang diikuti dengan sebuah geraman.
Sosok bersuara
mengerikan itu lalu mendekati kerangkeng. Ino pun dapat melihat dengan jelas
sosok apa itu. “K-Kyuubi….” Ia memandangi Kyuubi dengan wajah ngeri, tapi
kemudian ia menyadari akan suatu hal. Wajah Kyuubi memahatkan kelelahan yang
begitu kentara.
“Apa yang kau inginkan, heh, Bocah?”
“A-aku … Na-Naruto…”
“Haah, tak perlu gugup begitu. Lihat keadaanku. Aku tidak mungkin bisa
memakanmu, walaupun rasanya ingin sekali. Kerangkeng ini tersegel dengan baik.
Lagi pula keadaan tubuhku sedang tidak memungkinkan untuk menyerangmu.”
Ino menyadari bahwa
Kyuubi tidak berbohong. Ia melihat bijuu itu
nampak kesulitan bernapas. Ia terlihat lemah sekali. “A-apa yang terjadi
padamu?” tanya Ino.
“Ini gara si Sialan Naruto yang tak mau mendengar kata-kataku. Akibatnya
aku jadi seperti ini. Heh, kalau bukan karena aku dia pasti sudah mati sejak
setahun yang lalu. ”
“Hah?” Ino cukup kaget mendengarnya, tapi ia
tahu ini kesempatan. Berarti Kyuubi tahu apa yang terjadi pada Naruto setelah
Perang Dunia Shinobi Keempat. “Apa yang terjadi pada Naruto setelah Perang
Dunia Shinobi Keempat?”
“Hm? Kau ingin tahu, Bocah?” tanya Kyuubi dengan nada
menakut-nakuti.
“A-aku harus
mengetahuinya untuk membantu Sakura menyelamatkan Naruto.”
“Bilang pada gadis berambut merah jambu itu, apapun yang ia lakukan, ia
tak akan bisa menyelamatkan Naruto.”
“A-apa? Kenapa bisa
begitu?”
“Kau memang ingin tahu ternyata. Apa boleh buat, meski ini sia-sia aku
akan menunjukkannya padamu. Tapi setelah itu kau harus segera pergi dari sini.
Aku masih ingin tidur.”
Tanpa Ino menjawab
Kyuubi telah membawanya ke sebuah tempat yang sama sekali tidak ia kenal. Ia
memperhatikan ke sekitarnya dengan saksama, pada akhirnya ia pun mengetahui di
mana ia berada sekarang. “I-ini tempat pertempuran Perang Dunia Shinobi Keempat….”
Di mana-mana diselimuti
kabut, Ino pun mengibas-ibaskan tangannya agar bisa melihat dengan jelas
keadaan di sekitarnya. Matanya menyipit. Ia menangkap dua sosok yang ada tak
jauh di depannya. “Si-siapa?” Ia pun berlari mendekati kedua sosok itu. Yang
satu tengah berdiri, sedangkan yang lainnya berbaring.
Setelah mendekat,
barulah Ino menyadari siapa mereka. “Sasuke-kun,
Naruto.” Ia terkejut melihat Naruto dan Sasuke berada di atas sebuah tanda
segitiga aneh yang bercahaya dengan misterius. Matanya membulat sebesar telur
puyuh saat menyadari keadaan Sasuke yang terluka parah. “A-ada apa ini?”
Lalu adegan demi adegan
itu dilhat Ino dengan jelas sampai-sampai membuatnya berderai air mata. Ino
menutup mulutnya untuk meredamkan suara isakannya yang begitu keras. Ia
kemudian mendengar suara Naruto berucap, “Kalau
kau mati, aku tidak bisa menepati janjiku pada Sakura-chan, aku tidak bisa
menyatakan bahwa aku mencintainya”.
Setelah itu segalanya
menjadi kabur dan serba putih.
“Ino! Ino!”
Ino pun tersadar ketika
mendengar suara itu. Ia melihat Sakura berada di sampingnya sembari memegang
kedua bahunya. Ia mematung melihat Sakura.
“Apa yang terjadi, Ino?
Kau menangis,” ucap Sakura yang khawatir.
“Eh?” Ino lalu
menyentuh kedua pipinya. Ia malah kembali menangis dan memeluk Sakura.
Sakura tentu saja
terkejut dengan sikap Ino ini. “Ino, beri tahu padaku apa yang kau lihat.”
Sembari tersedu-sedu
Ino menjawab. “Ki-kita terlambat Sakura, kita terlambat.”
Ino pun menceritakan
apa yang dilihatnya pada Sakura tanpa melewatkan satu adegan pun. Dan Sakura
mendengarnya dengan baik-baik sampai tidak menyadari bahwa jeram-jeram kecil
telah melewati pipinya yang kian mendingin.
“Jadi begitu?
Seharusnya yang mati adalah Sasuke, tapi Naruto….” Sakura kemudian memandangi
Naruto yang sedang tertidur pulas. Ia lalu berdiri dan mendekati Hokage Keenam
itu. “Kau selalu saja egois, Naruto. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi,
tahu.”
.
o0o
.
Malam
itu gemintang ramai menghiasi langit gelap yang membentang; membelahnya menjadi
bertaburan di sana-sini. Menawarkan pemandangan eksotik yang jarang terlihat
sepanjang hari. Mengepung menjadi miniatur tata surya yang hanya nampak saat
malam tiba. Entah mengapa bintang-bintang itu terlihat berwarna-warni di mata
Sasuke. Seperti warna bias planet-planet.
Sesekali
ia memandang langit gelap di atasnya. Menutup kejenuhan yang dari tadi
mengerumuni pikirannya selama setengah jam duduk di sini. Ia hanya bisa menatap
seorang gadis di depannya dalam diam. Ia sendiri menyadari ini juga adalah
kekurangannya yang tidak pandai memulai percakapan dengan seseorang.
Gadis
itu, Haruno Sakura namanya. Ia sedang duduk terdiam sembari mengaduk-aduk
hidangan makan malam secara perlahan, tak ada nafsu untuk menyantapnya. Tapi
apa boleh buat ini adalah ajakan seseorang; ia tidak sampai hati untuk
menolaknya. Lagi pula memang ada sesuatu yang ingin ia bicarakan pada Sasuke.
Sasuke
yang duduk di hadapan Sakura merasakan ada kejanggalan yang berkelebat pada
teman setimnya itu. Ia jadi tidak nyaman juga menelan makanan dari restoran
mahal ini. Susah payah ia mengundang Sakura karena kemarin-kemarin gadis ini
menolak dengan berbagai alasan yang bisa membuatnya bungkam, tak mampu membujuk
lagi.
Gadis
ini memang sangat berbeda dengan gadis kecil yang ia kenal delapan tahun lalu.
Harus ia akui gadis ini tumbuh menjadi gadis dewasa tidak hanya secara fisik,
secara psikis ia juga tumbuh sebagai gadis yang mampu berpikir secara objektif.
Karena
itulah Sasuke ingin memperbaiki sesuatu hal yang dulu ia kacaukan sendiri. Ia
ingin meminta kembali suatu yang ‘spesial’ yang dulu pernah Sakura tawarkan
padanya. Yang dulu ditolaknya mentah-mentah.
Sejak
kembali ke Desa Konoha ia tak henti-hentinya mengumpati diri sendiri karena
dosa masa lalunya. Tak seharusnya waktu itu ia menolak Sakura yang merelakan
dirinya untuk ikut mengemban misi berbahaya bersamanya. Misi berbahaya untuk
membunuh kakaknya sendiri.
Nyatanya
semua hal yang telah terjadi membuat guratan menyakitkan abadi di sanubarinya.
Dan luka itu tentu sulit untuk disembuhkan kalau mengandalkan waktu saja. Ia butuh
seseorang yang mau merelakan bahunya untuk menjadi tempat sandaran disaat ia
lelah, peluk rayuan manja di setiap hari ketika hatinya sedang gundah gulana,
senyuman menawan yang bisa membangkitkan semangatnya untuk menghadapi kehidupan
yang gila ini. Semua hal itu … ia mengasakannya dari Sakura. Satu-satunya
harapan yang memiliki peluang besar untuk digapai.
Sasuke
ingin menyembuhkan luka yang ada dengan bantuan Sakura. Karena ia berpikir
hanya si ninja medis itu yang bisa mengerti apa adanya dirinya. Namun kini
gadis itu malah diam seribu bahasa di depannya. Ia seperti menjelma menjadi
sosok lain yang tidak pernah ia kenal. Sasuke menyesali tindak-tanduknya yang
dulu kelewat egois.
Dan
beginilah jadinya. Selama 30 menit berada di sini, tidak berbicara sepatah kata
pun. Sasuke merasa jadi yang paling bodoh di antara orang utan di belantara
rimba yang paling tidak bisa menyapa rekan-rekannya di setiap saat mereka
bersua. Tapi bukan keturunan Uchiha namanya kalau ia tidak ingin berusaha.
“Apa
makanannya kurang enak, Sakura?”
Sakura
menoleh pada seseorang yang mengajaknya berbicara itu. “Enak kok, Sasuke-kun.
Hanya saja aku tidak lapar saat ini. Maaf ya, aku melahapnya pelan-pelan
begini,” ucapnya sembari tersenyum palsu.
Sasuke
menyadari senyuman itu, ia sedikit geram. ‘Lagi-lagi senyuman itu, lama-lama
aku kesal kalau dibeginikan terus. Apa aku dulu terlalu kasar padanya
sampai-sampai ia tak mau mengeluarkan senyuman manisnya untukku lagi?’ ucapnya
dalam hati. Dan juga Sakura berbohong padanya, dari tadi dia hanya
memutar-mutar sendok dan garpu di atas piringnya. Mana ada dia memakan lobster
paling enak di Desa Konoha itu?
“Apa
yang sebenarnya terjadi, Sakura? Aku perhatikan semenjak dua hari yang lalu … kau
terlihat murung sekali.” Sekali lagi Sasuke ingin mengajak Sakura membuka
diri.
“Eh?
I-Itu….” Sakura tak melanjutkan ucapannya, ia tidak ingin mengingat lagi
kejadian dua hari yang lalu. Tapi ia juga butuh seseorang yang ingin
mendengarkan keluh kesahnya. Paling tidak bisa membuatnya tenang sedikit.
Sasuke
mengangkat alisnya; sebisa mungkin ia mencoba memancing Sakura agar mau
berbicara padanya. “Kenapa, Sakura?”
“Dua
hari yang lalu aku bertemu dengan Naruto…,” ujar Sakura pada akhirnya.
Sasuke
yang mendengarnya langsung merasa down. Entah mengapa di saat
sedang berduaan dengan Sakura seperti ini, ia enggan nama Naruto disebutkan si
tengah-tengah pertemuan mereka. Tapi apa boleh buat, ia harus menjadi pendengar
yang baik; ia pun mencoba tersenyum dengan tulus. “Akhirnya kau bisa bertemu
juga dengannya. Heh, dia selalu saja sok sibuk. Apa kalian sempat berbicara?”
Sakura
terdiam sebentar, menatap piring berisi lobster yang baru ia keluarkan isinya
saja. “Ya, kami membicarakan banyak hal.”
“Memangnya
apa yang kalian bicarakan? Harusnya kau merasa senang bukan?”
Sakura
memejamkan matanya sebentar. “Aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada
Naruto.”
“A-Apa?”
Sasuke hampir saja menjatuhkan sendok yang sedang ia genggam. Ia terkejut
dengan pernyataan Sakura barusan.
“Aku
menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto, Sasuke-kun,” ucap
Sakura mengulangi kalimatnya tadi dengan nada datar.
“Lalu
apa dia—”
“Dia
menolakku.”
Sasuke
langsung bernapas lega, berarti ia masih memiliki kesempatan untuk memenangkan
hati Sakura. Namun ia merasa aneh juga, yang ia tahu Naruto sangat mencintai
Sakura. Lalu mengapa dia menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Terlalu sibuk?
Rasa-rasanya itu tidak masuk akal.
“Aku
baru menyadari kalau aku tidak pantas mendapatkan cintanya, aku terlalu
naif. Aku tak tahu harus menceritakan hal ini pada siapa. Harus kuakui tanpa
Naruto aku benar-benar merasa kesepian.”
“Sakura
… apa kau tidak menyadari kalau kau sedang berbicara pada seseorang saat ini?”
ucap Sasuke dingin.
Sakura
terperanjat, ia mendongakkan kepalanya menatap Sasuke. “A-Aku … Sa-Sasuke-kun,
gomenasai….”
“Lupakan
saja…,” ujar Sasuke memejamkan matanya. “Aku mengerti; aku juga tidak pantas
meminta apa yang telah aku tidak inginkan sebelumnya. Aku hanya ingin
memperbaikinya kalau itu belum terlambat….”
Sakura
tercenung mendengarnya. “Ma-Maksudnya?”
Tangan
Sasuke kemudian beranjak menyentuh tangan Sakura. Si pinky itu
tercenung melihatnya.
“Ku
mohon berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku paham; aku terlambat
mengatakannya padamu. Aku dulu terlalu bernafsu ingin membalaskan dendamku pada
Itachi-nii, sampai-sampai aku berani mengorbankan segala yang berharga
bagiku. Aku dulu menyia-nyiakan persahabatanku dengan Naruto. Aku juga
menyia-nyiakan dirimu….”
“Sasuke-kun….”
“Aku
ingin kau sudi membuka hatimu lagi untukku…,” ucapnya sembari meremas lembut
tangan Sakura.
Sakura
sendiri entah mengapa tidak merasakan apa-apa ketika Sasuke melakukan itu. Ia
malah merasa aneh dan biasa saja. Padahal pemuda di depannya ini adalah orang
yang paling ia tunggu kepulangannya ke desa Konoha. Cinta pertama yang dulu ia
harapkan membalas perasaannya. Tapi sayangnya sekarang ia sudah berpindah ke
lain hati; ia menyadari hal itu…
Sakura
nyaris lemas mendengarnya, pernyataan cinta Sasuke baginya malah menambah
runyam persoalan. Ia tidak bisa berpikir jernih dengan keadaan yang sedang
carut marut seperti ini. Ia perlu ketenangan. Sebagai seorang wanita, ia punya
hak untuk memilih, namun tidak dalam keadaan seperti ini.
“Aku
ingin kau menjadi teman hidupku—”
“Sasuke-kun
… ada yang ingin kutunjukkan padamu,” potong Sakura tiba-tiba. Ia berdiri,
lalu menuju ke arah kasir. Membayar sendiri santapan yang jadi mubazir itu.
“Mau
ke mana kau, Sakura?” tanya Sasuke yang terheran-heran. Ia lalu mengikuti
Sakura dengan membayar sendiri santapannya.
“Ke
rumah sakit,” jawab Sakura singkat.
“Siapa
yang sedang sakit?” tanya Sasuke lagi yang langsung penasaran.
“Nanti
kau akan mengetahuinya.”
Mereka
pun keluar restoran tersebut dengan langkah tergesa-gesa.
Setibanya
di rumah sakit Sakura mempercepat langkahnya, diikuti Sasuke yang berusaha
mensejajarkan diri dengan langkah Sakura.
“Kenapa
harus terburu-buru?”
“Jam
besuk sudah mau habis, kita tidak memiliki waktu banyak,” jawab Sakura tanpa
menoleh pada Sasuke.
Akhirnya
mereka pun sampai ke sebuah kamar. Sakura membuka pintunya perlahan. Ia menoleh
ke dalam kamar sebentar. Ia cukup lega mendapati Naruto masih tertidur di sana.
Kemarin ia cukup banyak kehilangan darah, sepertinya ia masih kelelahan padahal
sudah dilakukan transfuse tadi pagi.
“Silakan
masuk, Sasuke-kun.”
Sasuke
pun menuruti. Ia begitu tercengang ketika menyadari siapa yang tebaring di
tempat tidur. “Na-Naruto?” Ia lalu menatap Sakura dengan raut penuh tanda
tanya.
Sakura
hanya melihat Sasuke sekilas dan mendekat ke Naruto. Ia melakukan cek ke dalam
tubuh internal Naruto. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Ia menghebuskan
napas perlahan.
Sasuke
lalu berdiri di sampingnya, menatap Naruto tanpa berkedip. “Apa yang terjadi
pada Naruto, Sakura?”
Sakura
membenarkan selimut yang menutup tubuh Naruto. “Ia seperti ini karena
menyelamatkanmu.”
“Hah?”
Sasuke terang saja terperanjat, pasalnya ia tidak ingat apa pun setelah
mendapat serangan dari Uchiha Madara.
“Tentu
saja kau tidak ingat, Sasuke-kun.
Waktu itu kau pingsan, sama sepertiku.”
“Lalu
bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku
meminta bantuan Ino untuk masuk ke dalam memori Naruto dan kejadian di perang
Dunia Shinobi Keempat itu tampak begitu jelas.”
Sasuke
kembali memperhatikan Naruto dengan wajah penuh kaget. “Mengapa ia lakukan itu?
Seharusnya ia tak perlu melakukannya.”
“Itu
karena kau sudah dianggap saudaranya sendiri, Sasuke-kun. Dan juga….” Suara Sakura tertahan ditenggorokkan, ia merasa
agak aneh meneruskan kalimat itu.
“Dan
juga apa?”
Sakura
lalu memandangi Sasuke dengan linangan air mata di pipinya. Cepat sekali ia
menangis. “Dan juga karena Naruto tahu bahwa aku dulu sangat mencintaimu.”
“Hn?”
Sasuke menatap Sakura dengan penuh emosi. Dulu?
“Naruto selalu egois.
Mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Dan kini ia membayarnya
dengan mahal. Ia membayarnya dengan nyawanya sendiri.”
“Ma-maksudmu?”
Sakura
lalu berjalan menuju jendela. Ia butuh udara segar, meski malam itu cukup
dingin. “Naruto mengalami luka dalam yang cukup parah. Beberapa organ vitalnya
tidak berfungsi dengan baik.”
“Apa
dia bisa diselamatkan?”
“Kemungkinannya
adalah tidak.”
Angin
berdesir, masuk ke dalam kamar Naruto. Sakura buru-buru menutupnya karena takut
mengganggu tidur Hokage Keenam itu.
Sasuke
hampir tidak percaya mendengarnya. Secepat itukah Naruto akan pergi? Dia masih
terlalu muda. Kalau Naruto tidak menyelamatkannya pasti ia yang akan sekarat
saat ini.
“Apa
yang Naruto lakukan? Bagaimana ia bisa menyelamatkanku?”
“Naruto
menggunakan jurus terlarang klannya. Aku juga tidak tahu bagaimana dia bisa
mengetahuinya,” jawab Sakura seraya menyeka air matanya.
“Lalu
apa yang akan kau lakukan, Sakura? Aku tahu kau tidak akan diam begitu saja.”
Sasuke menatapnya dengan datar.
“Ya.
Meski Naruto tidak akan membalas perasaanku, aku akan tetap menyelamatkannya.
Bagaimanapun caranya aku tidak akan menyerah. Aku akan memperbaiki kesalahanku,”
jawab Sakura dengan menatap tajam pada Sasuke.
Saat
itu Sasuke tahu, bahwa Sakura tidak main-main dengan ucapannya.
.
o0o
.
“Jadi kau akan membawa Naruto ke Myoubokuzan?” tanya Tsunade dengan dahi
mengerut.
Sakura mengangguk. “Naruto butuh ketenangan. Aku akan melakukan
pengobatan khusus padanya, dan ini memerlukan waktu lama dan konsentrasi
tinggi. Aku tidak mau ada yang mengunjungi kami.”
“Lalu bagaimana dengan Naruto? Apa dia sudah tahu?”
“Belum, Shisou. Karena itu aku
akan meminta Gamakichi mengeluarkan kuchiyose
no jutsu untuk memindahkan Naruto ke Myoubokuzan pada saat ia sedang tidur.”
“Kau tahu Naruto tidak akan setuju.”
Sakura kembali mengangguk. “Karena itu aku meminta bantuanmu, Shisou. Gantikan Naruto untuk sementara
waktu.”
“Aku mengerti apa yang harus aku lakukan. Semoga rencanamu ini berhasil,
Sakura. Aku tahu metode pengobatan apa yang ingin kaulakukan. Meski aku tidak
yakin hasil dari metode itu, tapi sepertinya kau punya rencana lain.”
Sakura hanya menatap Tsunade dengan datar. Ia pun beranjak dari sana
tanpa menjawab pernyataan gurunya itu. “Aku permisi dulu, Shisou. Aku ingin mempersiapkan baju untuk Naruto nanti.”
Tsunade menatap Sakura dengan dahi mengerut. “Baiklah kalau begitu. Kau
boleh pergi.”
Sakura membungkuk, lalu melangkah menuju pintu.
“Sakura….”
Sebelum Sakura membuka pintu, Tsunade memanggilnya. “Jangan melakukan
hal yang diluar kemampuanmu.”
Sakura hanya memberikan senyuman palsu pada Tsunade.
.
o0o
.
Naruto merasa wajahnya sedikit panas, ia pun membuka matanya perlahan.
Dibawanya tangannya sendiri menutupi mata. Sepertinya ia bangun agak siang.
Mataharinya cukup menyengat. Matanya pun berhasil membuka utuh meski agak sayu
karena ia memang sedang tidak sehat. Ia melihat langit-langit di atasnya, dan
menyadari jika ia tidak lagi berada di rumah sakit Konoha. Ia langsung
mengetahui di mana ia berada sekarang.
“Ini kamarku di Myoubokuzan. Siapa yang membawaku ke sini? Gamakichi?”
“Kau sudah bangun rupanya.”
“Eh?” Naruto menoleh ke arah sumber suara. Ia pun terperangah. “Sakura?
Apa yang kaulakukan di sini?”
Sakura kemudian berdiri dari tempat duduknya dan meletakkan buku yang
sedang ia baca di meja. “Mulai besok kita akan mulai melakukan pengobatan. Kau
harus mau melakukannya. Aku tidak peduli kalau nanti kau akan mencoba kabur.
Aku akan mengejarmu dan menghajarmu sampai babak belur supaya kau tidak bisa
lari. Kau mengerti?” ancam Sakura dengan berkacak pinggang.
Naruto menelan ludahnya. Ia menatap mata Sakura yang berapi-api. Seram. Sepertinya
ia harus menuruti kata-kata si ninja medis itu.
0 komentar