Naruto Fanfiction: Saigo No Kisu
Ah, saya buat fanfiksi baru :D.
Selamat membaca, ya ^^.
Disclaimer: Uzumaki
Naruto and Haruno Sakura belong to Masashi
Kishimoto
Warning: Angst/Romance/Tragedy.
Rated T. AU. OOC.
.
.
Aku akan menunggumu, tanpa payung
yang menaungiku dari hujan, tanpa topi yang menangkup kepalaku dari ganasnya si
raja siang. Karena aku tahu…sangat tahu, kau adalah lelaki yang pasti akan
menepati janjimu. Meski ribuan kali kau hampir mengingkarinya pula…
.
Sakura-chan, kau adalah perempuan yang
paling sabar di jagad raya. Itu yang membuat hati ini enggan berpindah. Maaf
membuatmu selalu menunggu, terima kasih, dan…
.
Aku bersumpah, demi bintang yang
benderang di kala malam, demi matahari yang merajai siang, demi rembulan yang
pijarnya menerangi kegelapan, aku mencintaimu dengan seluruh nafasku…
.
.
Saigo No Kisu
.
.
Kilatan api membumbung tinggi;
menjilat-jilat langit hitam yang tak berawan. Menghalangi peredaran bintang
yang sesungguhnya akan terlihat jelas oleh orang-orang yang sedang berada di
Shibuya saat itu. Namun tak semua keindahan bisa dilihat mata. Ada kalanya kita
dihadapkan pada masalah bahwa hanya Tuhan yang memiliki kendali.
Dan
kini yang sedang terjadi…di tempat perbelanjaan yang paling ramai di Shibuya,
semua orang di sekitar sana: dari pejalan kaki, orang yang hendak berbelanja,
petugas keamanan, dan petugas pemadam kebakaran—sedang bergotong royong untuk
memadamkan api yang mengamuk tak terkendali.
Entah
berapa orang yang menjadi korban; sayangnya tidak ada yang menyadari…bahwa masih
ada seorang pemadam kebakaran yang terjebak di dalam sana.
Suara
parau terdengar di suatu ruangan yang sebentar lagi hancur dilalap si jago
merah.
“To-Tolong...apa
ada orang di sini?”
Ia
ingin melenguh kencang, tapi ia sendiri tidak bisa mencerna apa yang ia
ucapkan. Yang berbicara adalah hatinya.
“Tou-san,
Kaa-san, a-apakah takdirku s-sama seperti kalian? I-Inikah balasan kare-rena
aku t-tak me-menuruti kata-kata kalian?”
Di
akhir cerita, orang selalu saja menapaki tilas kenangan.
“A-Aku
tidak bermain api l-lagi kok, a-aku adalah m-musuhnya…pemadamnya. Se-Sebagai
penebus do-dosaku yang t-telah menyebabkan k-kalian tewas, Tou-san, dan
Kaa-san.”
“Sial!
A-Aku sudah berjanji p-pada Sakura-chan u-untuk tidak mati d-dengan cara
seperti ini.”
Api
menghasilkan asap. Asap yang semakin lama semakin menggelapkan matanya. Gelap
sungguh, meski sekuat tenaga ia mencari sebuah pelita.
“Padahal
aku ingin memberikan kejutan padanya.”
Kalau
saja ia tahu malam tadi mungkin adalah kesempatan terakhirnya…
“S-Siapa
s-saja t-tolong, t-tolong bantu aku menyerahkan ini padanya, aku ingin
menikahinya, ia menungguku untuk melamarnya.”
Air
mata yang jatuh pun lindap sekejap dimakan api yang menari liar.
“To-Tolong
be-berikan aku kesempatan s-sekali saja…”
Suaranya
pun hilang bersamaan dengan ledakan yang melahirkan api yang lebih ganas lagi.
.
o0o
.
Dia
perempuan yang duduk di pinggir sebuah taman…
Dari
lekuk parasnya yang cantik tanpa goresan kedut, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa sepertinya ia berumur sekitar kepala dua. Rambut merah jambu bunga sakura
yang bersemi di musim semi melekat di kepalanya, entah asli atau diwarnai, yang
jelas nampak alami. Cocok dipadukan dengan warna kulitnya yang putih serupa
warna susu.
Pantulan
cahaya rembulan menyeruakkan kegelisahan yang bersembunyi dibalik wajah yang
selalu berusaha tabah itu. Agak kusut ibarat kertas sehabis kena pilin. Hampir
dua jam hujan tumpah di tanah Kota Tokyo yang kian malam terlihat kian ramai.
Begitulah, rata-rata dari mereka berharap untuk cepat-cepat sampai di rumah,
demi yang menunggu dengan sukacita di sana, keluarga.
Berbeda
dengan perempuan berambut merah jambu itu. Ia tetap bertahan meski dingin
menghantam sengit tubuh semampainya. Sampai ada tanda-tanda yang ditunggunya
akan tiba di depan mata, ia tak peduli meski harus melawan ganasnya angin malam
hingga pagi menjelang.
Karena
dia tahu…sangat tahu, orang yang ditunggunya itu pasti akan menepati janji.
Meski ribuan kali dia hampir mengingkarinya pula…
Kali
ini perempuan itu mulai kebosanan dan mengambil puntung rokok terakhirnya
sembari menggerutu, “Lama sekali dia. Aku hampir menghabiskan satu bungkus
rokok yang baru kubeli tiga jam yang lalu. Sialan!”
Ia menyulut api dari korek api gas
miliknya yang bergambar makhluk imut yang di seluruh dunia dikenal dengan nama
Hello Kitty. Lantas membawanya ke sekitar ujung puntung rokok. Api itu
menari-nari diterpa semilir angin yang berhembus, namun sebelum berhasil
membakar ujungnya, puntung rokok itu tiba-tiba lepas dari genggaman jarinya.
Pijar api di rokoknya mati.
Api di koreknya mati.
Api…
“Aku
membenci api, karena itu aku selalu ingin memadamkannya…”
“Brengsek! Semua ini
salahnya…salahnya!”
Kepalanya bersandar di tangan yang nyaris
membeku itu. Ia sama sekali tidak berinisiatif untuk memakai sarung tangannya. Bukankah
itu solusi yang mudah?
Mata
air, atau lebih tepatnya air mata? Menjadi sungai mengalir yang membasahi
setiap sudut paras setengah hidup itu. Menunggu adalah hal yang paling
menjengkelkan di dunia, kan? Dan ia nyaris mati…mati kebosanan.
“Aku
menyukai api, dan aku membenci dirimu.”
Bahu
jenjang itu selayu bunga yang tak mendapat air seminggu. Wajah tabahnya kini
terpahat garang. Matanya memantulkan kisah kasih yang tak kesampaian.
Sendiri
itu neraka. Dan neraka melahirkan rasa takut. Dunia kini adalah neraka baginya.
Bagi perempuan yang duduk di sebuah taman itu…yang bernama Haruno Sakura…
Tak bisakah kau saja yang menghangatkan
tangan beku ini?
Seketika
bau gosong pekat melesat datang dari arah kanannya. Bau yang sangat ia kenal,
maka ia pun tak ragu memutar tubuhnya. Dan benar saja…dia yang ditunggunya
selama satu jam berdiri di sana dengan dada kembang-kempis; mengincar oksigen
di sekitarnya. Yang lebih mencengangkan ia begitu hitam nyaris menjadi arang.
Buru-buru
Sakura menyeka air mata yang kadung membasahi bagian bawah wajahnya. Tak sudi
membuat lelaki itu beranggapan bahwa ia adalah perempuan cengeng. Enggan
memberikan kesan bahwa tangisan ini adalah tangisan yang disebabkan olehnya. Enak
saja! Bisa-bisa lelaki itu senang bukan kepalang.
Sakura lalu membawa tubuhnya berdiri tegak;
menampakkan raut wajah singa betina yang kapan saja siap menerkam.
“Sakura-chan!”
Lagi-lagi
lelaki itu mengeluarkan jurus pamungkasnya, raut bayi yang baru lahir, cengiran
selebar bibir kuda, dan suara lantang yang menyulutkan semangat. Tapi sayangnya
bagi Sakura trik itu sudah ketinggalan zaman. Sekali ini saja ia akan membuat
si tengik itu bertekuk lutut.
“Grr…
Lagi-lagi penampilanmu seperti itu, Naruto! Tak bisakah kau berpenampilan keren
sedikit? Minimal seperti Ikuta Toma, atau kalau bisa yang lebih tampan lagi,
seperti Brad Pitt!” omel Sakura; mengambil kuda-kuda untuk menghajarnya sampai
melayang ke negeri China.
Lelaki
itu bernama Uzumaki Naruto, berumur genap 25 tahun. Memiliki sifat pantang
menyerah yang berlebihan, humor yang berlebihan, dan rasa peduli berlebihan
terhadap sesama. Semuanya serba berlebihan. Inilah yang Sakura tidak suka dari
kekasihnya itu, masalahnya dia adalah seorang…
Pikiran
Sakura berhenti berputar ketika ia lihat bercak merah pekat yang tersembul di
bagian bahu kanan Naruto. Bersama dengan kilatan air yang mengucur deras di
wajah dan sebagian tangannya yang tidak tertutup baju anti apinya. Tunggu…itu
bukan sekadar bercak saja, tetapi nyaris menyebar di seluruh tangan kanannya.
Dengan
mengusap-usap belakang lehernya, Naruto berkata, “Maaf, Sakura-chan. Tadi ada panggilan mendadak di
sekitar komplek perumahan di Shinjuku. Kasihan nenek itu hampir saja
terpanggang—”
Kenapa pemandangan yang sama muncul
bak kaset rusak yang memutar lagu secara berulang-ulang?
“Baka!”
“Aduh!
Apa-apaan kau, Sakura-chan?! Sakit,
tahu!” ringis Naruto seraya menggenggam dahinya yang agak ke kiri. Ia
memalingkan matanya ke belakang, melihat sekilas barang yang dilempar Sakura
barusan. Itu korek api kesayangan Sakura. Dan ia tahu betul Sakura hanya
membawa korek itu ketika ia…, “Kau merokok lagi, Sakura-chan?” kini parasnya menjadi datar, seperti tak ada kehidupan di
sana.
“Diam!
Biarkan aku yang bicara padamu dulu! Kau yang membuatku menghisap barang yang
bagimu sudah layaknya narkoba itu. Jadi, jangan salahkan aku! Kau pikir kau itu
keren mengunjungiku dengan…,” Sakura terdiam sejenak.
“Dengan
apa?” tanya Naruto dengan nada tak jauh beda dari sebelumnya. Nada yang mengandung
amarah yang susah payah ditahannya agar tidak meledak seumpama bom waktu.
Entah
mengapa Sakura menjadi gelagapan; berusaha sebisa mungkin tidak mengatakan hal
ini. Namun emosi terlanjur memukul telak logikanya. “Dengan…dengan keadaan
hampir mati begitu—!”
“Demi
Tuhan, Sakura-chan. Kaulihat sendiri
aku tidak kenapa-kenapa, kan?!”
Sakura
lantas menunjukkan jarinya tepat ke arah lelaki berambut matahari terbit itu. “Aku
benci ekspresi itu, ekspresi yang seolah-olah berkata ini adalah masalah
sepele! Kaupikir aku tak mengkhawatirkanmu? Meski kau terlihat sehat-sehat saja,
namun bagaimana suatu saat api itu akan melalapmu? Bagaimana…bagaimana kalau
suatu saat yang datang kepadaku adalah Naruto yang telah—”
“Cukup,
Sakura-chan. Kau kelewatan,” ujar
Naruto pelan, tapi begitu menohok. Apalagi dengan tatapan setajam elang yang
menusuk langsung ke mata Sakura.
Dan
Sakura benci dengan mata biru itu. Mata biru yang saban hari selalu memberikan
kehangatan ke jiwa dan raganya, seketika menancap garang ke indera
penglihatannya. Kemanakah tatapan selembut langit biru di kala musim salju itu?
Tapi kalau boleh jujur Sakura sudah kehilangan bentengnya, ia tak sanggup lagi
terkungkung di tempat yang sama. Ia ingin segera keluar dari sangkarnya.
Maka
keteguhannya sudah tak bisa dipatahkan lagi, inilah yang ia inginkan. Sakura
lantas membalikkan tubuhnya memunggungi kekasihnya. “Lebih baik untuk sementara
waktu, kita tidak usah bertemu dulu, Naruto.”
“A-Apa—tunggu
dulu, Sakura-chan.”
Tidak,
ia tidak ingin menatap mata biru yang berkabut keputusasaan. Bisa-bisa hatinya
akan meleleh ibarat es Kutub Utara yang terkena serangan badai matahari.
“Untuk
mendinginkan pikiranmu, Naruto.”
“Sakura-chan, kau tidak mengerti, menjadi
pemadam kebakaran adalah cita-citaku sejak kecil, jadi…”
“Bukan!
Kau hanya tidak bisa keluar dari jeratan masa lalumu!”
Mata
Naruto melebar dua kali lebih besar. Mendengarnya ia serasa ditampar
bolak-balik.
“Sebegitu
sulitnyakah membuat jalan hidup kita menjadi sempurna, Naruto? Tanpa rasa takut
yang menghantuiku setiap saat. Sebegitu sulitnyakah melepas beban itu dari
pundakmu?”
“Tidak
ada yang sempurna di dunia ini, Sakura,” geram Naruto.
Tubuh
Sakura bergidik. Naruto menghilangkan sufiks yang menunjukkan kecintaannya
terhadap perempuan berambut merah jambu itu. Padahal selama ini ia tidak pernah
memanggilnya seperti itu.
Naruto
menghembuskan nafasnya kuat-kuat, sampai tersembul sisanya di udara. “Harusnya
sejak dulu aku paham kau tidak akan pernah mau mengerti.”
“Naru—”
“Sudahlah,
Sakura-chan. Aku akan mengabulkan
permintaanmu. Mau seminggu, sebulan, setahun, aku akan menyanggupinya asal
bukan untuk selamanya. Maafkan aku, terima kasih, dan…,” Dengan berat hati
Naruto melangkahkan kakinya menjauhi taman.
Sakura
memberanikan diri memutar tubuhnya menghadap Naruto. Logika telah mencuatkan
luka, ia tahu betul inilah akibatnya. Punggung kokoh yang ada tiga meter di
depannya itu terus menjauh dengan beban kepedihan yang ia tahu tak akan hilang
hanya dalam waktu sehari. Tapi boleh kan sekali saja ia lelah menghadapi semua
ini? Boleh kan sekali saja egonya yang memenangkan peperangan prinsip ini?
“Pekerjaanmu sebagai pemadam kebakaran itu risikonya lebih besar dibandingkan
aku yang menghisap rokok, apakah kau menyadarinya, Naruto? Sekali saja lihatlah
ke depan…,” ujarnya kepada angin.
“Dan
selamat tinggal, Sakura-chan,” bisik
Naruto. Kata-kata itu terselip saja tanpa ia olah dulu di otaknya, entah
mengapa, ia tidak mengerti, yang jelas kali ini ia sudah kecewa setengah mati.
Ia terus berjalan menjauh, dan menjauh dari cinta tiada akhirnya. Ketika itu ia
memberanikan diri merogoh kantong celana, dan mengambil sesuatu dari sana.
Sebuah
lingkaran berlubang, ditempa dari emas, tergurat akar yang menyambung jadi satu
membentuk ukiran kelopak bunga sakura di tengahnya. Ia memperhatikannya dengan
luka yang menggerung di dada. “Aku ingin melakukannya di saat yang tepat, tapi
waktu yang tepat itu kapan aku juga tidak tahu.”
Drip!
Drip!
Naruto
mengambil ponselnya yang bergetar di kantong celananya.
“Naruto-san, gawat! Pusat perbelanjaan Shibuya
mengalami kebakaran besar. Kami menunggu Anda di kantor untuk memberikan
komando.”
“Apa?
Baiklah aku akan ke sana.”
Naruto
lantas mematikan panggilan. “Kenapa harus di saat seperti ini sih?” Ia lantas
memandangi langit. “Sepertinya akan ada hujan susulan ya. Semoga pekerjaan kami
jadi cepat selesai.”
.
o0o
.
5 Jam Kemudian
“Hei,
kau seperti orang mati.”
“Aku
memang mau mati, Ino.”
“Eh,
serius? Tak kusangka putus dari Naruto malah membuatmu jadi seperti ini,
seharusnya kau berpikir seribu kali untuk melakukannya kalau hatimu berkata
‘aku masih ingin bersamanya!’.”
“Aku
hanya putus untuk sementara, menenangkan pikiran masing-masing. Ini jalan yang
terbaik.”
“Memangnya
ada apa sih?” Ino duduk di sebelah Sakura yang sedang memandang langit kelam di
atasnya, ia tahu betul pikiran sahabatnya itu bukan berada di sana melainkan
tertuju pada seorang lelaki berambut kuning yang sekarang entah berada di mana.
Syukurlah hari ini ia datang mengunjungi Sakura, firasatnya mengatakan untuk
datang.
“Lagi-lagi
tadi dia terlambat, Ino.”
“Bullshit, pasti ada yang lebih membuatmu
kesal, kan?”
Nafas
Sakura tersentak keluar dalam satu hembusan kuat. “Dia datang kepadaku dengan
lengan berlumuran darah. Kau bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat itu?
Bau terbakar sudah biasa aku hirup, tapi untuk yang tadi aku merasa ketakutan
sekali. Belum pernah aku takut sampai marah seperti itu.”
Akhirnya
Ino pun paham. “Jadi begitu?”
“Naruto
juga menghilangkan sufiks –chan,
tanda cintanya padaku. Rasa-rasanya ini pertama kalinya aku membuatnya kecewa
sampai ia seperti itu. Ia bilang aku tidak pernah mengerti apa yang ia mau.”
Ino
membatu bak arca, hanya sejenak; kemudian mengembang senyuman bulan sabit di
bibir tipisnya. “Haah, kalian itu. Memang deh.”
“Huh,
apa maksudmu, Ino?”
“Menurutku
banyak perbedaan yang sangat signifikan di antara kalian. Salah satunya kau ini
calon dokter, sedangkan Naruto pemadam kebakaran. Tapi kalian selalu berusaha
untuk tetap bertahan, kan? Hei, Sakura aku tahu kau bisa kuat lebih dari ini,
jangan pernah menyia-nyiakan yang sudah ada di depan matamu. Karena kita tidak
pernah tahu satu jam kemudian akan seperti apa jadinya.”
“Ah,
lagi-lagi kau berbicara tentang takdir. Jangan menakutiku seperti itu, Ino,”
decak Sakura kesal.
“Ahaha,
gomen ne. Kau juga pasti paham
mengapa Naruto melarangmu merokok, kau sendiri yang bilang padaku jika Naruto
sangat membenci api, kan? Karena membencinya, ia ingin menjadi seseorang yang
dapat memadamkannya. Dan kau…kau adalah seorang dokter, tidak lucu jika kau
mati duluan ketimbang pasien-pasienmu. Rokok bisa mematikanmu perlahan-lahan.”
Sakura
berdiri, ia sedang tidak ingin dinasihati. “Tapi Naruto, pasti ia akan langsung
mati ketika api melahapnya tanpa tanggung-tanggung.”
‘Keras
kepala, seperti biasa,’ ujar Ino dalam hati. “Oh ya, kalau Naruto menghubungimu
tolong dengarkan apa yang akan ia bicarakan padamu. Aku pulang dulu ya, hari
sudah semakin malam.”
“Ya,”
ujar Sakura tanpa memperhatikan Ino yang turun melalui tangga di balkon
apartemennya. Apartemen itu memang unik; memiliki jalan pintas yang sangat
praktis. Lagipula kamar Sakura berada di lantai dua apartemen itu, dan tangga
di luar balkon adalah bonus untuk ia yang cepat menyewa.
Sakura
menuju ke dapur, hendak mematikan lampu. Ia melirik ke meja makan sebentar, dan
menemukan sebuah ponsel berwarna ungu di atasnya. “Dasar, Ino memang suka
ceroboh. Padahal aku berniat akan tidur. Jangan salahkan aku jika nanti kau datang
dan aku tidak membukakan pintu,” gerutunya. Ia lantas menggenggam ponsel itu.
Tidur
sepertinya jalan terbaik untuk menghempaskan segala persoalan hidup yang hari
ini kepenatannya mencapai puncak.
Namun
sebelum melangkahkan kakinya ke dalam kamar, Sakura mendengar ketukan dari
pintu masuk apartemennya. “Untung saja tepat waktu ya, Ino.” Secepat kilat
Sakura membuka pintu sampai hampir terbanting ke orang yang mengetuk pintu.
“Waaa!
Hampir saja.”
Mata
hijau Sakura membelalak. “Na-Naruto…”
“Kau
kasar sekali, Sakura-chan. Hampir
saja kepalaku benjol.”
Sakura
memperhatikan Naruto dengan saksama. Lelaki itu menggunakan kemeja merah yang
ditangkup dengan jaket jas hitam. Lengannya digulung hingga ke siku,
menanggalkan kesan tua. Parasnya cemerlang. Ia laksana matahari yang terbit di
malam hari dengan rambut landaknya yang terlihat dioleskan gel.
Diam
mengurung mereka selama hampir satu menit. Saling menatap, berbicara lewat mata.
Begitu banyak rasa yang bisa diterjemahkan dari hijau yang bertemu biru itu.
Penyesalan, keputusasaan, kepedihan, dan tentu saja rasa cinta…
“Kau
tidak akan membiarkanku semalaman berdiri di sini, kan, Sakura-chan?” tanyanya memecah kesunyian.
Sakura
entah mengapa jadi salah tingkah dan langsung melebarkan daun pintu agar Naruto
leluasa masuk ke dalam. “Ada apa malam-malam begini, Naruto? Besok masih ada
waktu, kan?”
“Kau
tidak mempersilakan aku untuk duduk dulu?” tanya Naruto seraya nyengir.
“Huh,
sejak kapan kau meminta izin begitu?”
“Aku
anggap kau mengizinkanku untuk duduk.”
“Terserah
kau.” Tanpa melihat ke arah Naruto, Sakura berjalan menyebrangi ruang keluarga;
dan berdiri di balkon. Malam ini memang tidak seterang malam-malam biasanya.
Terlebih ketika ia melihat di kejauhan asap hitam mengepul; membentuk pola-pola
abstrak di angkasa sana. Seketika ia menyadari sesuatu. “Apa ada kebakaran,
Naruto?”
Naruto
berjalan ke arah Sakura dan berhenti di sampingnya. “Ya, aku barusan ada di
sana.”
Dahi
Sakura mengerut. “Benarkah? Ini tidak sepertimu. Apa kau benar-benar, Naruto?” Karena
biasanya Naruto selalu terlibat dalam pemadaman api yang terjadi di seluruh
penjuru Tokyo. Tidak mungkin ia mangkir, karena ia adalah salah satu komandan.
“Kaupikir
aku siapa, Sakura-chan? Hantu?
Hahaha.”
“Kau
tahu aku sedang tidak bergurau, Naruto.”
“Ah
ya, ya, aku mengaku kalah.” Kemudian tangan Naruto menggenggam erat tangan
Sakura. “Aku ingin sekali bertemu denganmu, Sakura-chan.”
‘Dinginnya,’
ujar Sakura dalam hati sembari melihat ke arah dua tangan yang saling
menggenggam itu. “Bukankah besok bisa? Kau ingat kan kita sudah memutuskan
untuk tidak berhubungan dulu.”
Mata
Naruto mendelik ke atas. “Ah, benar juga.” Ia kemudian memandangi Sakura lagi,
kini tersenyum tipis. “Karena besok aku tidak bisa kemari.”
Sakura
menangkap keanehan dari senyuman itu. Ia mengatupkan matanya rapat-rapat.
“Baiklah, apa yang kau ingin bicara—”
Mata
Sakura seketika melebar dua kali lipat. Ia tak menyadarinya; Naruto
merengkuhnya, dan meletakkan bibirnya di bibir Sakura. Sebenarnya Sakura ingin
sekali berontak, namun gerakan hatinya berkata lain. Ia malah membawa kedua
tangannya melingkari leher Naruto.
Diberikan
sinyal seperti itu, Naruto lantas mengeratkan dekapannya pada punggung Sakura.
Ia mengunci penuh bibir ranum Sakura dengan bibirnya. Menyalurkan kehangatan
yang mengalir bak sengatan listrik ke seluruh nadinya.
Sudah
lama Sakura tak merasakannya. Gairah yang berbalut cinta ini selalu bisa
mengubah suasana. Ia sempat kecewa ketika Naruto menjauhkan bibirnya; kini
berganti meletakkan dahinya ke dahi Sakura. Hidung mereka pun saling
bersinggungan.
“Aku
mencintaimu…,” ujar lelaki pemilik mata biru langit itu terengah-engah.
Sakura
menatapnya sejenak, mencari ketulusan ucapan itu dari matanya, menelisik cinta
tanpa dusta yang sering dielu-elukan dari bahasa tubuhnya. Dan ia tidak tahu
harus berkata apa.
“Menikahlah
denganku, Sakura-chan. Selamanya
berada di sisiku…”
“Eh?”
Sakura menegakkan kepalanya. Tidak percaya dengan apa yang Naruto utarakan. Ia
lantas menyadari Naruto sedang menggenggam sebuah cincin emas di tangan
kirinya.
“Maaf,
aku tak bisa memberikan kehidupan yang sempurna untukmu. Tetapi bukankah itu
yang menjadikannya begitu indah, bukan? Dengan ketidaksempurnaan itu kita bisa
menerima satu sama lain.”
Sakura
berusaha keras menahan air matanya yang sebentar lagi akan jatuh dengan
menggigit bibirnya sendiri. Niatnya ia ingin berpegang teguh pada pendirian
yang telah ia tetapkan. Tapi mata itu, ucapan semanis madu itu, perlahan-lahan
melumerkan gunung esnya yang kokoh. “Naruto, aku…”
“Tolong
jangan katakan tidak, Sakura-chan.
Karena besok rasanya akan terlihat sulit. Aku tidak bisa hidup tanpamu…”
Setetes
air mengalir di pipi kanan Sakura, menimbulkan jejak basah. Seketika hatinya
runtuh, lelah mempertahankan egonya. Ia pun mengangguk seraya menatap Naruto
lekat-lekat, senyuman manis melengkung dari bibir tipisnya. Air mata itu kini
mengalir deras membentuk sungai-sungai kecil di pipi mulusnya. “Aku bersumpah,
demi bintang yang benderang di kala malam, demi matahari yang merajai siang,
demi rembulan yang pijarnya menerangi kegelapan, aku mencintaimu dengan seluruh
nafasku…”
Mendengarnya,
Naruto senang bukan kepalang. Ia juga jadi terbawa suasana, air matanya tumpah,
meski tidak sederas Sakura. Dengan leluasa ia menyematkan cincin itu di jari
manis tangan kiri calon istrinya. Ia kecup kening Sakura. “Sakura-chan, kau
adalah perempuan yang paling sabar di jagad raya. Itu yang membuat hati ini
enggan berpindah. Maaf membuatmu selalu menunggu.”
“Tidak ada kata terlambat untuk itu kan
sekarang?” ujar Sakura seraya tersenyum. Ia membawa kedua tangannya membetulkan
kerah jas Naruto yang letaknya agak miring.
Naruto
membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis. “Ya, terima kasih, Sakura-chan, dan selamat tinggal…”
“Huh?”
kedua alis Sakura terangkat.
KRING!
Sakura
nyaris lompat dari pijakannya mendengar bunyi dering telepon apartemennya. Ia
sebenarnya cukup jelas mendengar apa yang Naruto ucapkan barusan, tapi ia
memutuskan untuk tidak menggubrisnya. “Aku mengangkat telepon sebentar,
Naruto.”
“Silakan,”
ujar Naruto dengan senyuman secerah bunga matahari.
Telepon
itu menempel di dinding dekat pintu balkon, sehingga tidak jauh dari balkon.
“Halo, selamat malam,” ujar Sakura yang membelakangi Naruto.
“Sakura-chan, ma-maaf mengganggumu malam-malam.”
Dan
Sakura pun mengenali suara dari seberang.“Ah, Jiraiya-san. Ada apa, ya?”
“K-Kau belum tidur? Apakah kau akan
tidur?”
“Tidak,
soalnya ada Na—”
“Baguslah kalau begitu,” potong
suara di seberang. “Tadinya aku ingin
memberitahumu besok saja karena kupikir kau sudah tertidur. Sekarang dengarkan
aku baik-baik, Sakura-chan. Aku tak sanggup mengatakannya dua kali.”
Perasaan
Sakura langsung diselimuti kabut. Suara Jiraiya, ayah angkat Naruto di seberang
terdengar gelisah. “A-Ada apa, Jiraiya-san?”
menjadikannya ikut tergagap-gagap pula.
“Naruto tewas…”
“Apa?”
“Hah, sudah kubilang aku tak sanggup
mengulanginya, Sakura-chan!”
“Tunggu
dulu, Jiraiya-san, gurauan Anda sama
sekali tidak lucu,” seketika emosi memenuhi ubun-ubunnya.
“Kau pikir aku bercanda? Demi
Tuhan! Naruto tewas ketika sedang bertugas, Sakura-chan! Jasadnya baru saja
ditemukan di antara puing-puing bekas kobaran api yang sejam yang lalu berhasil
dijinakkan,” suara Jiraiya terdengar frustasi di
seberang.
Sakura
sendiri seketika menggigil. “Tidak…tidak mungkin, Jiraiya-san. Anda pasti salah kira, Naruto sedang berada bersamaku
sekarang!”
“A-Apa? Itu tidak mungkin,
Sakura-chan. Jasadnya ada di depanku sekarang, dan aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri wajah Naruto yang nyaris terpanggang. Meski harus divisum
ulang, tapi dari barang bukti miliknya menunjukkan bahwa itu dia, Sakura-chan.”
Sakura
menggelengkan kepalanya dengan kuat sampai terasa pusing. “Berhenti membual,
Jiraiya-san! Naruto ada bersamaku!
Barusan ia melamarku! Kalau mau kau bisa berbicara dengannya seka—” Ia
membalikkan badan ke arah balkon, dan menemukan kehampaan di sana. Hanya
menemukan tirai yang melambai-lambai diterpa angin. Mata hijaunya melebar
membentuk lingkaran besar. “Bo-Bohong…”
PRAK!
“Sakura-chan…! Sakura-chan…!
Mengapa teleponmu kau banting? Ada apa?!” tanya suara di
seberang, panik.
Sakura
segera berlari ke arah balkon. “Naruto!” teriaknya sembari berputar.
Menyedarkan pandangannya ke segala arah, ia telusuri jalan raya di bawah
apartemennya dari atas balkon, dan tidak ada tanda kehidupan di sana. Ia
telusuri ujung satu dan ujung lain balkonnya, bolak-balik berkali-kali, tapi
seseorang yang dicarinya menghilang tanpa ada jejak. “Ti-Tidak mungkin…tidak
mungkin…barusan ia berada di sini.”
Nafasnya
memburu, mencari oksigen sebanyak-banyaknya karena ia merasa sesak mencekik
leher. Kakinya tiba-tiba terasa lemah, ia berlutut di lantai. Kini air mata
bahagia berganti dengan lara. Pandangannya kosong, suhu tubuhnya menyaingi
salju abadi yang turun di puncak Gunung Fuji. Ia memegangi kepalanya yang
serasa akan pecah.
Sakura
melihatnya dengan tatapan terluka, cincin tanda janji suci mereka masih
tersemat di jari manisnya. “M-Mustahil…” Ratapannya menyayat angin membumbung
menggarang di dada. Ia lepaskan rasa pedihnya ke udara, biar langit tahu
seberapa sengsaranya ia. “NARUTO!!!”
.
o0o
.
“Tubuh Naruto-san nyaris menjadi abu; hanya bagian atas kepala hingga dada yang
tersisa, lainnya tulang. Aku sangat bersyukur jasadnya dikenali.”
“Ya,
untung saja. Setidaknya itu akan membuat keluarganya tenang. Bagaimanapun nama
tanpa tubuh yang sudah tak berdaya seperti tidak pernah eksis di dunia ini.
Calon istrinya juga sempat gila dengan mengatakan bahwa Naruto-san datang kepadanya menyerahkan cincin
lamarannya tadi malam.”
“Eh?
Oh ya, kau tahu? Sempat ditemukan juga kotak kecil berbentuk bunga mawar yang
hangus terbakar, diperkirakan kotak kecil itu tempat cincin. Tapi tidak ada
cincin di dalamnya.”
“Ah,
palingan cincinnya hangus terbakar.”
“Setidaknya
akan ada jejak emas yang terbakar di sekitar jasad Naruto-san. Tapi setelah diperiksa sama sekali tidak ada.”
“Masa?”
“Apakah
mungkin tertiup angin? Tapi ruangan itu tertutup. Itu kan yang membuat Naruto-san tak bisa keluar bersama orang yang
diselamatkannya?”
“Mungkin
saja, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.”
“Sayang
sekali, ya. Nasib manusia memang hanya Tuhan yang tahu.”
.
Hanya ini.
Tak bisa kuberikan lebih.
Jangan menangis.
Kau tahu aku membenci rupa sengsara
itu.
Karena kau harus paham, hati ini
lebih menggarang.
Larilah! Kau masih memiliki kaki
yang menjadi penyokong diri.
Pergi…pergi! Tinggalkan aku di dalam
album waktu lalumu.
Apa yang kau asakan dari
kesempurnaan?
Tak ada yang sempurna di dunia ini,
itulah yang membuatnya indah, bukan?
Kau menyadarinya kan, Sayang?
Bahwa
keindahan itu adalah kamu.
Maaf membuatmu selalu menunggu,
terima kasih, dan selamat tinggal…
THE END
.
.
This
Fanfiction Based on the song ‘Kiss Shita
Mama Sayonara (As We Kiss Goodbye)’ By DBSK
.
.
Ah,
saya memang penggemar DBSK dan JYJ. Sekarang kebanyakan fic saya terinspirasi
dari lagu-lagu mereka hehehe ^^.
Oh ya, Insya Allah saya bakal balik
dengan chapter kedua The Time Travel di bulan ini. Untuk Kembalinya Klan Peri
Klan Uzumaki dan Shinjitsu no Uta, mohon maaf sekali saya belum bisa memastikan
kapan akan di update ^^. Tapi sehabis Time Travel waktunya saya mempublish
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki, jadi harap bersabar ^^. Sekadar kabar juga,
saya mau masuk ke fandom Fullmetal Alchemist, untuk pertama masih oneshot dulu, multichap masih belum kepikiran hehehe. Have a nice day, All.
Tags:
Fanfiksi
0 komentar