Naruto Fanfiksi: Aku Mengerti
Aku
Mengerti
Naruto © Masashi
Kishimoto
Warning:
Canon. Alternate Reality. Romance/Drama. T.
Drabble.
Characters:
Sakura dan Naruto.
Major
spoiler Manga & Road To Ninja Movie
Buat fic ini dalam rangka apa ya? Dalam rangka iseng-iseng :D. Saya
lagi mumet sama laporan magang saya, jadinya saya nulis nih. Oh ya, fic ini sebagian
terinspirasi dari Road To Ninja Movie.
Selamat
Membaca ^^
.
.
Pada awalnya aku tidak
mengerti, dan memang tidak berniat untuk mengerti. Meski aku sering
bertanya-tanya dalam hatiku, mengapa kamu begitu nakalnya sampai membuat repot
seisi Konohagakure. Tapi aku tidak terlalu peduli, aku harus menjauhimu karena
kamu selalu membuat kacau mood-ku dengan
guyonanmu yang jauh dari kata lucu.
Berandal! Ibuku pun mengataimu begitu.
Aku malah menyimpulkan dengan persepsiku
sendiri. Mungkin saja kenakalanmu itu disebabkan karena dirimu yatim piatu.
Sehingga tidak ada yang mengajarimu sopan santun, dan bersikap manis sepertiku.
Tapi apakah itu membuatku mengasihanimu? Tidak sama sekali! Itu karena sikapmu
yang nakal dan sering mengganggu Sasuke-kun.
Aku mencibirmu seperti itu di depan Sasuke-kun. Dan kau tahu apa yang Pangeranku
itu lakukan? Ia langsung menghardikku dengan sengit.
“Kamu menyebalkan!”
Pada saat itu rasa bersalah pun menguap dari
hatiku. Apakah ini yang kamu kecap setiap saat aku mencemoohmu? Apakah sesakit
ini? Aku pun memutuskan untuk mulai mengerti.
.
.
Dia telah pergi, Naruto.
Dan kamu tahu? Tak hanya jiwa, namun ragaku
pun dibuatnya remuk. Aku sekarang ibarat berjalan dijalan yang
bercabang-cabang, tak tahu jalan mana yang harus kujelajahi. Hampa itu sampai
merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupanku. Aku tidak yakin bisa hidup tanpa
dirinya di sisiku. Aku membutuhkan Sasuke-kun
lebih dari apa yang diketahuinya. Aku membutuhkan seberkas cahaya yang memberiku petunjuk untuk
meraih bintang.
Dan seberkas cahaya itu kupercayai adalah kamu, Naruto. Aku memohon kepadamu
untuk membawanya kembali ke Konoha karena aku tidak bisa meyakinkan Sasuke-kun untuk tetap berada di desa.
“Ini
adalah janji seumur hidupku,”
kamu bilang.
Aku tidak tahu jika janji itu nantinya akan
membebanimu. Ibarat ditugaskan untuk membelah bulan. Dan aku juga tidak
mengerti betapa kamu sangat ingin menepati janjimu itu.
.
.
Sai telah mengutarakan semuanya padaku,
Naruto. Tentang cinta tak berujungmu padaku. Tentang kutukan itu yang membuat
berat beban di pundakmu. Janji seumur hidupmu. Dan aku yang membuatmu berjanji
kepadaku.
Terlebih Sasuke-kun yang telah masuk menjadi anggota Akatsuki. Semua ini
memporak-porandakan akal sehatku.
Aku belum mengerti pada saat itu.
Karenanya aku ingin memperbaikinya. Aku ingin
melepaskan kutukan itu dari hidupmu. Aku ingin kita berbagi beban—bukan, aku
ingin beban itu beralih ke pundakku. Aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku
bukan gadis selemah dulu. Maka dari itu aku mencoba untuk mencintaimu dan
mengutarakannya padamu. Meski aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri karena
hati ini masih menjadi milik-nya. Aku
mencoba mengerti akan kesulitan yang kamu hadapi.
Dan aku memutuskan untuk menghabisi-nya.
Tapi apa yang kamu lakukan? Aku tidak
menyangka kamu menolakku, Naruto. Kamu bilang aku berbohong, padahal sudah
kutanggalkan semua masa lalu indahku untukmu seorang. Untuk menyelamatkanmu
dari lubang neraka. Menawarkan sebuah kotak kebahagiaan yang kamu impi-impikan.
Kamu sangat menginginkan aku membalas cintamu, kan?
Semua ini aku lakukan untukmu. Tapi kamu
mengenyahkan tawaran dariku. Aku tidak sepenuhnya berbohong; aku ingin belajar
mencintaimu! Karenanya aku berani berhadapan dengan Sasuke-kun untuk menyelesaikan akar dari semua masalah ini. Namun ternyata
aku tak mampu…tak mampu untuk membunuhnya, cinta pertamaku. Sulit rasanya
berdiri di antara dua pilar. Ternyata aku masih selemah daun putri malu yang
mengatup jika terkena sentuhan.
Dan yang tak kusangka Sasuke-kun berniat sekali ingin membunuhku.
Matanya pekat mengandung amarah dan kebencian. Tubuh ini menjadi lemah, tak
tahu mengapa menjadi rela untuk dihancurkan. Namun lagi-lagi kamu menyelamatkan
aku, Naruto.
Aku tidak mengerti mengapa lagi-lagi kamu
menetapkannya sendiri, bahwa kamu akan mengubur dirimu sendiri bersama dengan
kebencian Sasuke-kun. Aku tahu
Sasuke-kun sangat berharga bagimu, ia
telah kamu anggap sebagai saudaramu sendiri. Hanya saja aku merasa ada yang
belum aku bisa mengerti.
Tapi aku percaya padamu, Naruto. Aku tahu aku
tidak bisa merubah Sasuke-kun,
mungkin karena aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku tidak mengerti apa yang
telah terjadi padanya.
Dan kamu sepertinya mengerti, Naruto. Kalau
begitu kuserahkan padamu.
Namun aku pasti akan menjadi lebih kuat dan membantumu.
Kamu tidak sendirian. Itu yang harus kamu tahu.
.
.
Aku berada di dunia yang tidak aku mengerti. Setiap
jalan yang kutapaki terasa berada. Dan aku pun bersedih karena suatu hal. Aku
jadi mengharapkanmu berada di sisiku, Naruto. Tapi aku tahu ada yang lebih
menarik perhatianmu sekarang dari pada menghadapi seorang gadis yang memerlukan
kata-kata penyemangat diri.
Yang yang tidak kusangka malah Sasuke-kun yang datang ke rumahku. Memberiku bunga mawar merah yang elok sekali. Menanyakan mengapa air mukaku terlihat muram, dan menawarkan diri
bahwa aku bisa bercerita padanya tentang masalahku kapan saja. Namun ternyata
yang kutemukan bahwa ia bergelayut mesra dengan penggemarnya yang lain. Dan
mengatakan hal serupa itu pada penggemarnya.
Mengapa di dunia nyata dan ilusi pun Sasuke-kun mengkhianatiku? Aku tidak mengerti.
.
.
Rasanya tidak memiliki orangtua itu
menyakitkan bukan, Naruto? Kini aku tak lagi merasa simpati. Kali ini aku
benar-benar mengalaminya. Aku tidak menyangka bisa masuk ke dunia ilusi ini dan
menemukan bahwa orangtuaku meninggal karena insiden penyerangan Kyuubi 16 tahun
yang lalu. Aku sendirian, Naruto. Sama seperti yang kamu rasakan.
Tapi kamu…kamu bertemu dengan kedua
orangtuamu di sini. Aku bisa melihat raut bahagia—yang belum pernah kulihat
sebelumnya—yang terpahat di wajahmu. Bersenda gurau dengan kedua orangtuamu
dalam suasana tak terduga. Merayakan hari istimewa yang biasa kamu rayakan
seorang diri.
Betapa bodohnya aku yang pernah mengatakan
bahwa orangtuaku sangat menjengkelkan, ternyata aku memang sangat membutuhkan
mereka. Dan di dunia ini mereka tidak ada. Aku meratap pada langit, mengapa aku
mengalami hal menyakitkan seperti ini?
Dan aku benar-benar mengerti bagaimana
sakitnya, Naruto. Jadi seperti inikah hidup yang kamu alami selama ini? Bangun
tidur tanpa suara orangtua yang mengomel agar kamu beranjak dari kasur. Makan
sendiri tanpa harus berbagi. Semuanya dilakukan sendiri dengan kedua tangan dan
kakimu. Memang kebebasan itu memihak padamu, tapi aku yakin tidak ada seorang
pun yang menginginkan kebebasan yang seperti ini. Aku yang dulu pernah
mencemoohmu karena tidak memiliki orangtua, akhirnya terkena getahnya.
Aku ingin mengajakmu mencari cara agar bisa
kembali ke dunia kita, Naruto. Tapi aku tidak tega, kamu tampak senang berada
di sini. Karena aku memang ingin kamu merasakan bahagia. Kebahagiaan yang
sebelumnya tidak pernah mampir ke dalam kehidupanmu. Aku pun mencari cara
seorang diri tanpa melibatkan dirimu. Aku tidak mau menjadi perenggut
kebahagiaanmu. Cukup sudah aku selalu menjadi beban bagimu.
Sampai seorang musuh menyerang desa kita. Aku
menyerangnya seorang diri tanpa kamu ketahui. Hanya saja penyeranganku tak
berhasil, aku malah disandra olehnya untuk memancing keluar dari
desa—menyelamatkanku.
Orangtuamu memintamu untuk tetap tinggal di
desa. Tidak perlu mengindahkan apa yang musuh itu katakan karena itu lah yang
ia inginkan untuk menghancurkanmu. Ia mencari titik lemahmu dan menyerang tanpa
pandang bulu. Dan yang kamu lakukan adalah harus menerima kenyataan bahwa
seperti inilah kehidupan di dunia shinobi.
Bahwa ada yang harus dikorbankan demi meraih apa yang diasakan. Kamu pasti
mengerti, kan, Naruto?
Namun aku tidak menyangka bahwa kamu lebih
memilih menyelamatkanku dibandingkan menuruti kata-kata orangtuamu. Apakah karena
kamu tahu dunia ini hanyalah ilusi? Ah, aku tahu, bukan hanya itu. Aku
mengerti, Naruto. Aku mengerti ternyata kamu….
.
.
Kita kembali ke tempat yang memang seharusnya
menjadi pijakan kita selama ini. Kita telah kembali ke dunia yang kita miliki. Tanpa
harus merasa asing di dunia sendiri. Tanpa harus merasa khawatir bahwa kita
masing terperangkap di sangkar ilusi. Karena kita telah terbang bebas.
Namun rasa pedih itu tetap menghantuiku. Memutarbalikkan
pikiranku sampai kepalaku bak dihantam palu berkali-kali. Aku tidak percaya
bisa mengalami takdir yang sangat mengerikan
itu.
Kamu pun menyadarinya dan mencoba
menghiburku.
“Mau
kencan denganku?” tanyamu.
Kujawab, bukankah
kita sudah kencan dalam waktu yang cukup lama.
Itu
bukan kencan, Sakura-chan. Itu adalah petuala—eh?
Aku pun memotong kata-katamu dengan mencumbu
cepat bibirmu.
“Aku
mengerti, Naruto. Aku mengerti bagaimana rasanya hidup sendirian di dunia ini.
Mulai sekarang aku akan selalu berada di sisimu.” Air mata menjeram di kedua pipiku.
Dengan wajah merah padam, aku berbalik arah .
Cepat-cepat beranjak dari sana, namun langkahku terhenti ketika aku merasakan
tangan yang melingkar di pinggangku. Lalu bisikan hangat yang tertangkap indera
pendengaranku.
“Terima
kasih karena telah mengerti, Sakura-chan.”
Aku pun berbalik arah. Memberikanmu pelukan
serupa, namun yang lebih erat.
“Dan
aku mengerti ternyata kamu sangat mencintaiku.”
.
.
Kau tidak akan pernah bisa
memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut
pandangnya…hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan
caranya (Harper Lee in To Kill a Mockingbird)
THE END
Tags:
Fanfiksi
0 komentar