Naruto Fanfiksi: I Lost You
I Lost You
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Semi-Canon. Rated T. Angst. Typos
Pairing: Onesided NaruSaku.
Selamat Membaca ^^
.
.
Sakura’s POV
“Hei, Naruto.”
“Ah, Sakura. Lama tak jumpa.”
Aku bukan ‘Sakura-chan’ lagi, kini aku adalah orang lain baginya. Begitu lalimnya ia melupakan diriku yang selama belasan tahun menjadi sahabat baiknya. Aku kecewa…
“Ya, akhir-akhir ini kau tampaknya sibuk, Naruto? Aku jarang melihatmu.”
Ia mengangguk. “Belakangan ini aku sibuk melakukan pertemuan dengan Kage-kage dari desa ninja yang lain. Ya, sangat membosankan sih, tapi aku menikmatinya.” Hanya senyuman kecil yang ia berikan padaku, tak ada lagi cengiran konyol khasnya yang biasa ia lontarkan. Tak ada lagi senyuman penuh semangat itu. Ia kini menjadi seonggok daging yang dingin; hanya di penglihatanku; hanya di depanku saja ia begitu.
“Kita sudah punya kesibukkan masing-masing ya?”
“Apa yang kau ingin bicarakan padaku, Sakura?”
Aku terkesiap. Dia tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya. Ya, memang aku yang memintanya bertemu di sini. Di sebuah jembatan yang dulu sering kami jadikan tempat menunggu kedatangan Kakashi-sensei—yang selalu saja datang terlambat. Aku memintanya bertemu karena aku ingin meminta sebuah jawaban dari rasa penasaranku yang begitu besar. Kau mengetahuinya? Ia telah menjauhiku selama kurang lebih setahun lamanya.
“Maaf, aku tidak punya banyak waktu. Setelah ini ada rapat dengan dewan petinggi Konoha,” ucapnya datar sembari memandang ke aliran sungai di bawah jembatan ini. Sungai ini begitu tenang tanpa riak-riak yang selalu ganas membawa alirannya cepat ke hulu. Tapi tidak begitu dengan hatiku… Betapa aku sangat merindukan cara bicaranya yang menggebu-gebu; penuh semangat setiap waktu. Kemanakah ciri khasnya itu sekarang?
“A—Aku hanya ingin membicarakan tentang kita.”
“Kita? Maksudmu?” Begitu dingin, begitu kaku ia menjawab pertanyaanku. Aku jadi bingung sendiri. Sebenarnya siapakah orang yang sedang berbicara denganku saat ini. Naruto atau Sasuke-kun?
“Kau… Kau masih menganggapku sebagai sahabatamu, Naruto?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari bibirku yang kurasa semakin membiru. Tak ada hubungannya dengan cuaca hari ini. Suasananya saja yang membuatku kedinginan begini.
Bisa kulihat sorot matanya melebar ketika kata-kata itu terlempar dari bibirku. Ia memandangiku dengan tatapan yang tidak jelas. Entah marah, terkejut, atau takut. Tak bisa kubaca sepenuhnya pesan dibalik ekspresinya itu. Tapi ya sudahlah, aku menunggu jawaban darinya saja, ditunggu beberapa detik dia hanya diam seribu bahasa.
“Naruto… Kau marah padaku?” Sudah cukup! Aku akan memancingnya untuk bicara sekarang..
“Untuk apa aku marah padamu, Sakura?”
Aku jadi ingin menjitak kepalanya. Apa ia tak menyadarinya? Dia menjauhiku! Hell, dia tak banyak bicara padaku semenjak ia diangkat menjadi Hokage. Dan itu sudah berlangsung selama setahun! Bayangkan setahun lamanya dia tak berkomunikasi denganku! Ia langsung pergi dari pandanganku ketika kami hendak bertegur sapa. Maka dari itu mengobrol saja tidak pernah.
Sasuke, Ino, Kakashi-sensei, dan teman-temanku yang lain pun menyadari perubahan sikapnya padaku. Hanya padaku! Dan kini dia bilang ‘Untuk apa aku marah padamu?’ Aku jadi tidak mafhum. Jika dibandingkan dengan Sasuke-kun, ternyata Naruto adalah orang yang lebih sulit ditebak. Dia selalu berhasil menggunakan topengnya untuk menyembunyikan perasaannya. Aku baru menyadarinya… Dibandingkan aku yang senang melontarkan senyuman palsuku, tapi bahasa tubuhnya; dengan bahasa tubuhnya ia mengelabui semua orang.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah, Naruto, aku langsung ke inti permasalahan saja kalau begitu. Aku merasa kau menjauhiku. Aku merasa kau tidak menganggapku sebagai orang yang penting dalam hidupmu lagi. Kau tidak lagi memanggilku dengan sebutan Sakura-chan. Kenapa?”
Aku berdo’a dalam hati, ‘Aku mohon. Aku mohon jawab pertanyaanku dengan jujur, Naruto.’
“Tidak apa-apa. Aku hanya sibuk dengan pekerjaanku. Kau pasti tahu, Sakura; tugas sebagai Hokage bukanlah mudah.”
“Ta—Tapi, Naruto, a—aku merasa kalau kau menghilang dari hidupku. Kau bahkan tidak pernah ikut berkumpul dengan tim tujuh semenjak kau menjadi Hokage setahun yang lalu. Apakah kau sesibuk itu? Kakashi-sensei, Sasuke-kun selalu menantikan kehadiranmu. Begitu juga dengan aku, Naruto,” ucapku jujur padanya.
Aku perhatikan raut wajahnya setelah itu; bisa kulihat tampak urat nadinya menegang di sekitar pelipisnya.
“Kau menantikan diriku?” tanyanya padaku. Bisa kurasakan sedikit dari amarahnya mulai nampak.
Tapi aku tidak mempedulikan hal itu; pipiku mulai merona merah. “Tentu saja, Naruto.”
“Untuk apa? Aku telah menepati janjiku membawa Sasuke pulang kepadamu. Apa yang kau nantikan dari diriku?”
Aku tercenung mendengar jawaban darinya. Tak kusangka kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Ada apa dengan Naruto? Kenapa dia menjawab seperti itu?
Akal sehatku mulai memainkan perannya. Aku menebak mungkin inilah jawabannya. “Na—Naruto… A—Aku tahu aku sering menyakiti perasaanmu. Aku—Aku baru menyadari bahwa kau sangat berarti bagiku. Aku tahu ini terlambat, tapi aku berharap kau bisa memaafkanku.” Ugh, aku mulai tergagap seperti ini.
Kau tidak akan menyadari seseorang itu sangat berharga bagimu sampai dia meninggalkanmu. Kata-kata bijak itu, begitu menusuk dalam ke ruang kalbuku. Aku terkena karma-Nya.
“Untuk apa kau meminta maaf padaku, Sakura? Aku tak pernah marah padamu. Aku hanya…”
“Ha—Hanya apa, Naruto.” Sedikit lagi, sedikit lagi ia akan menjawab rasa penasaranku.
“Aku hanya ingin memenuhi keinginanmu saja.”
Aku nyaris lunglai ke tanah. Jawaban apa itu? Tidak jelas apa intinya. “Aku tak mengerti apa yang kau maksud, Naruto. Keinginanku?” Aku benar-benar tidak mafhum apa yang ia maksud. Apakah yang ia maksud adalah janji seumur hidupnya padaku dulu? Tapi bukankah dia berhasil melakukannya? Seingatku aku tak pernah meminta hal apa pun padanya.
Lantas tiba-tiba. “Aku sudah menyerah; aku sudah merelakanmu untuk, Sasuke.”
“A—Apa?!” teriakku. Aku sama sekali tak menyangka jawaban Naruto seperti itu.
Tak ada kepedihan yang kulihat di matanya. Ia tampak lega mengatakan hal itu. Tapi dari gerak-geriknya aku tahu, masih ada lagi yang ia ingin sampaikan.
“Ketika kau memiliki mimpi. Kau akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai mimpi itu ‘kan, Sakura? Aku… Aku memiliki dua mimpi besar dalam hidupku: pertama aku ingin menjadi Hokage: kedua aku ingin kau menjadi pendamping hidupku.”
Aku merinding mendengar pernyataannya. Selama ini memang kami selalu bercerita satu sama lain tentang masalah yang kami miliki. Tapi Naruto tidak pernah sejujur ini menyatakan perasaannya padaku. Lagi-lagi aku tak pernah bisa menebak pikirannya.
“Namun aku mengerti tak semua mimpi kita dapat kita capai…”
Aku menunduk; tak berani menatap wajahnya.
“Ada kalanya kau harus menyerah untuk mimpimu yang lain…”
Maksudnya dia tidak mencintaiku lagi?
“Pada akhirnya aku telah menjadi Hokage, karena itu aku hanya fokus di situ saja.”
‘Kenapa kau menyerah, Naruto? Harusnya kau berusaha lebih keras lagi!’ batinku dalam hati.
“Karena aku mengerti, mendapatkan cintamu adalah hal yang mustahil.”
“Naruto, aku—aku tahu aku terlambat menyadari perasaanku terhadapmu. Sungguh, aku…aku merindukan segalanya tentangmu, senyummu, tawamu. Dan—”
“Sakura, deranaku telah habis dimakan waktu. Aku tidak akan menampiknya; aku mengerti di matamu hanya ada Sasuke seorang. Karena itu aku menyerah…”
Kesabarannya telah habis? Ataukah aku yang terlalu egois? “Naruto, aku dan Sasuke tidak ada hubungan apa-apa! Kami hanya berteman biasa,” volume suaraku naik dua tingkat. Entah mengapa aku jadi bersalawa seperti ini dengannya.
Mendengar pernyataanku, Naruto tampak bingung. “Kenapa kau menyerah begitu saja, Sakura? Sasuke sudah memberi kesempatan kepadamu. Kau tak seharusnya menyia-nyiakannya.”
Dia tahu dari mana aku menyerah juga untuk Sasuke-kun?
“Tapi—”
“Kau membenciku, Sakura,” ucapnya memotong kalimatku.
“Eh?”
“Kau bilang orang yang paling kau benci adalah diriku. Bagaimana kau bisa mencintai orang yang kau benci?”
“Aku tidak pernah berkata seperti itu padamu…” Aku mulai gelagapan, kenapa Naruto berkata seperti itu. Demi Tuhan, aku tidak pernah berkata seperti itu padanya. Atau ada sesuatu yang tidak aku ingat?
“Kau ingat saat pertama kali perkenalan tim tujuh? Kakashi-sensei menanyakan pada kita apa saja sesuatu yang kita suka dan benci.”
Aku berusaha membuka kembali lembar memoriku pada waktu itu. Mataku langsung terbuka lebar; aku menutup mulutku dengan kedua tanganku sembari menatapnya lara. Aku mengingat peristiwa yang ia maksud.
“Kau bilang yang paling kau benci di dunia ini adalah aku,” ucapnya lagi sembari tersenyum getir.
Bisa kurasakan suhu di dalam tubuhku merangkak naik. Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan. Kenapa ia membahas hal yang sudah lama terjadi itu? Aku pikir ia tidak pernah mempermasalahkannya. “Ja—jadi kau membenciku, Naruto? Naruto saat itu aku tak mengerti apa-apa. Aku tak bermaksud berkata seperti itu padamu!”
“Aku mengerti, Sakura. Sudah kubilang tadi aku tidak marah padamu, apalagi membencimu. Membencimu adalah hal tersulit bagiku.”
“Naruto…”
Karena kau selalu bersembunyi di balik topeng wajahmu. Tak kusangka ia yang kukenal begitu tegar ternyata…
“Bagaimana juga kau bisa mencintai orang yang tidak eksis di depan matamu?”
Aku menggigit bibirku sendiri. Menatap wajahnya dengan perasaan cemas di hati. Apalagi yang ingin ia katakan?
“Dulu aku, kau, dan Sasuke selalu bersama-sama…tapi matamu selalu saja tertuju pada Sasuke. Aku seperti selalu berada di belakang punggungmu, walau kenyataannya aku berdiri di samping Sasuke.”
“He—Hentikan!” Aku jadi ingin pergi saja dari tempat itu.
“Bagaimana kau bisa mencintai orang yang selalu menyakitimu? Kau menyerah untuk Sasuke karena dia selalu menyakitimu ‘kan? Begitu juga dengan aku…”
Aku serasa ditampar bolak-balik.
“Naruto, maaf—”
“Aku telah memaafkanmu sejak lama, Sakura. Semua orang yang menyakitiku…aku telah memaafkan mereka,” ucapnya tersenyum paksa.
Aku terdiam; aku jadi menyesal mengapa tadi memintanya untuk berkata jujur. Dan ternyata kejujuran itu memang menyakitkan…
“Tapi tentu saja aku tidak bisa melupakannya.”
Aku makin menundukkan kepalaku. Termaafkan tapi tidak terlupakan… Aku mengerti itu yang ia maksud. Aku tak akan memaksanya lagi; dia telah menolakku…
“Jadi biarkan aku pergi dari hidupmu…”
Tidak! Aku tidak mau hal itu terjadi! Kalau kau memaafkanku kenapa kau ingin menjauh dariku? Ingin kukatakan kalimat itu padanya. Tapi entah mengapa bibirku menjadi kelu… Aku malah menangis tersedu-sedu.
Kemudian Naruto mendekat padaku; menghapus airmataku, mengangkat daguku, lalu ia mengecup pelan bibirku. Aku tidak bisa menikmati sentuhan bibirnya yang hangat karena ia melepas buaiannya begitu cepat. Ada keanehan yang langsung menerpaku. Sepanas ini tubuhku, aku bisa rasakan betapa dingin bibirnya. Ada apa? Apa dia sakit?
“Jangan menangis, Sakura-chan. Aku tidak mau kesakithatian menggerogoti kita lebih lama. Tak ada yang harus di ubah.”
Dia memanggilku, ‘Sakura-chan’. Dia memanggilku ‘Sakura-chan’ untuk terakhir kalinya…
“Semuanya telah terjadi…”
Cahaya kuning kemudian mengelilingku dan dirinya. Aku tak begitu fokus, sehingga aku menyadari kalau dia telah menghilang ketika cahaya kuning itu lipur dari pandanganku. Aku menyadari dia telah pergi. Aku menyadari bahwa aku telah kehilangan dirinya yang kucinta… Tubuhku lunglai ke tanah, kedua tanganku menyentuh permukaannya. Dia menolakku, dan itu lebih menyakitkan dibandingkan ketika Sasuke menolakku berkali-kali.
Sudut Pandang Orang Ketiga
Naruto sunshin ke ruangan kerjanya di Menara Hokage. Ia lalu terduduk di kursi kebanggaannya. Nafasnya memburu; tiba-tiba ada rasa sakit muncul di dada kirinya, ia pun mengusapnya. “Harus diakhiri… Semuanya harus diakhiri dengan indah.”
HOEK!
Dan tiba-tiba darah segar keluar dari mulut Naruto.
~THE END?~
Pengumuman! Fanfiksi multichapterku yang Shinjitsu No Uta dan Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki masih dalam tahap pengerjaan. Aku juga sedang dalam masa mau UTS, jadi harap maklum ya kalau updatenya lama sekali ^^a
Nanti juga bakal ada fanfiksi short multichapter buat ultah Naruto, ditunggu saja ya.
Tags:
Fanfiksi
0 komentar