Langit Kedamaian
Flash Fiction ini diikutkan pada Nulisbuku.com 11 project, 11 Days (Day 6).
Langit
Kedamaian
(by
Pretty Wuisan)
Terinspirasi dari lagu
D’Masiv – Damai
Siang itu, saat raja siang
dengan angkuh memamerkan kekuatannya pada bumi. Jelajah sinarnya siap menyengat
kulit menuaikan amis keringat. Membuat orang-orang takut bermandikan peluh dan
kulitnya semakin menghitam.
Namun tidak untuk dua anak
lelaki yang asyik bercengkrama di atas atap sebuah rumah. Berbaring beralaskan
genteng-genteng rapuh. Rumah sebuah panti asuhan, tempat tinggal mereka kini.
Sembari memandangi langit yang membentang biru tanpa kapas putih yang
berhamburan tak beraturan.
“San, mengapa kalau aku
nonton televisi selalu saja ada hal menyeramkan? Apa kau tahu penyebabnya?”
“Hm? Maksudmu apa, Nil?”
“Maksudku apa mereka sedang
marah? Tapi apa yang menyebabkan mereka marah? Mengapa harus saling pukul dan
pakai bom segala?”
“Oh, aku nggak tahu, Nil.
Mereka tidak bilang mengapa mereka marah dan meledakkan bom. Mereka
melakukannya diam-diam.”
Kemudian senyap itu
menyelimuti. Masing-masing dari mereka terjerembab dalam pertanyaan-pertanyaan
tentang kejadian kemarin. Kerusuhan di Ambon dan ledakkan bom di Solo.
Mereka masih terlalu kecil
untuk melihat semua tragedi itu, namun apa boleh buat ‘tanpa sengaja’ mata suci
mereka melihatnya. Dan pada akhirnya mereka digerayangi rasa penasaran dan juga
kekhawatiran. Ternyata rumah mereka
tak seaman yang mereka kira…
“Hei, San. Boleh aku bilang
sesuatu padamu?”
Kegundahan itu ingin ia
utarakan pada sahabatnya Ihsan. Kegundahan yang telah lama ia pendam. Ia tak
mau menutup tirainya berlama-lama.
“Apa? Bilang saja, Nil.”
“Kamu… Apa kamu sebal jika
setiap hari Minggu aku ke Gereja?”
Ihsan langsung duduk dari
rebahannya. Nampak kaget dengan apa yang Danil ucapkan.
“Kok… Kok kamu bisa
berpikiran seperti itu?”
Alasan sebenarnya. ‘Karena
aku takut kita jadi bermusuhan. Aku takut kehilangan sahabat sekaligus saudara
yang aku sayang’. Tapi Danil menjawab. “Ha-Habisnya pagi-pagi aku nggak bisa
berkebun bersamamu dan teman-teman lain…”
Ihsan mematung, menatap mata
hitam kecoklatan itu lekat-lekat. Lantas senyuman kecil mengembang dari bibir
mungilnya.
“Kalau aku boleh balik bertanya. Apa kamu juga
kesal jika setiap hari Jum’at siang aku pergi ke Masjid? Itu jadwal kita
membersihkan kamar setiap minggu ‘kan? Bahkan di waktu-waktu tertentu aku
sering meninggalkanmu untuk ke Masjid.”
“Eh?” Sekarang Danil yang
nampak kaget dengan pertanyaan Ihsan.
Kegelisahan yang sama
rupanya…
Tanpa sengaja mereka
berucap berbarengan. ”Ngg...”
Kemudian senyap sesaat.
“Kamu duluan, Nil.”
“Kamu saja, San.”
Ihsan menyenggol bahu
Danil. “Kamu lah.”
Danil mulai tertawa. “Wong aku yang nanya duluan. Kamu jawab
dulu pertanyaanku.”
Kemudian mereka malah
tertawa bersama-sama.
“Kau tahu, Nil. Aku sama
sekali nggak berpikiran seperti itu. Percaya sama aku. Aku malah sedih banget
pas kamu nggak ke Gereja karena aku nggak membangunkanmu. Waktu itu kau dan aku
telat bangun,” jelas Ihsan.
Danil terkesiap, ia baru
tahu Ihsan beranggapan seperti itu.
“Lalu kamu, Nil?”
“Sama sepertimu, San. Aku
nggak sebal jika kamu ke Masjid setiap hari Jum’at dan waktu lainnya. Lagipula kau
selalu membersihkan yang sudah menjadi tugasmu. Aku malah sempat jengkel ketika
kau malas ke Masjid karena ingin nonton Spongebob.”
Kegundahan itu beralih ke
satu kata ‘lega’.
“Syukurlah kalau begitu,”
ucap Ihsan sembari menghirup banyak-banyak udara panas di sekitarnya.
“Tapi, San. Aku masih
penasaran lho, mengapa akhir-akhir ini sering terjadi kerusuhan dan ledakan
bom?”
Ihsan menjawab, “Aku pernah
menanyakan hal itu pada Bu Nilam. Beliau malah menjawab kita akan menemukan
jawabannya setelah dewasa nanti. Itu bukan urusan anak seumuran kita. Yang
jelas yang harus kita lakukan adalah…”
“Saling menghormati satu
sama lain,” ujar Danil melanjutkan kata-kata Ihsan. Ia tak akan pernah
melupakan petuah dari ibu asuhnya itu. “Kalau begitu menurutmu, apa kita akan
merasakan kedamaian utuh?” tanyanya kemudian.
“Dunia diisi oleh orang
jahat dan orang baik. Jadi mungkin itu sedikit sulit dijangkau.” Ihsan
menyentuh dagu dengan tangan tanda ragu.
“Ah, aku jadi ingat. Karena
kedamaian hanya milik langit.”
“Dan tugas kita adalah
mengambil kedamaian itu dari langit. Seperti kata Bu Nilam,” ucap Ihsan
menambahkan.
Tiba-tiba angin yang cukup
kencang menghantam tubuh kecil mereka. Namun mereka tak bergeming sama sekali.
Malah terlihat senang…
“Lalu dengan apa kita
mengambilnya?” tanya Danil sembari cengengesan.
“Dengan main layang-layang!
Hahaha! Ayo, Nil. Kita ambil layang-layang kita.”
“Iya!” teriak Ihsan tak
kalah lantangnya.
‘Dan juga dengan saling menghargai…
Maka langit akan memberikan kedamaian pada kita.’
Kemudian tangan mereka
saling terpaut, saling membantu untuk turun dari atas atap.
“Hei, Nil. Aku tak punya
siapa-siapa lagi, selain kamu, Bu Nilam, dan teman-teman panti lainnya. Jadi
aku harap kita nggak akan pernah bermusuhan sampai kita besar nanti. Kamu sudah
kuanggap sebagai saudara kandungku sendiri.”
“Aku juga berharap begitu,
San,” ucap Danil mantap sembari menepuk-nepuk bahu Ihsan.
“Baiklah, ayo kita pergi ke
langit kedamaian!”
“Hahaha. Ayo!”
Lantas tangan mereka saling
menggenggam lagi. Untuk menemukan kedamaian yang mereka cari.
Genggam
tanganku bawaku ke keadaan yang lebih indah.
Ku
ingin ada di sana, walau berbeda kita bersama.
Merasakan
damai…
Bandung,
2011
Tags:
Cerpen
0 komentar