Naruto Fanfiksi: I Failed You Sequel from I Lost You
MAU KE JEPANG GRATIS? YUK NULIS ARTIKEL. DEADLINE 16 JUNI 2016. INFO LEBIH LENGKAP KLIK BANNER DI BAWAH INI.
I
Failed You
Naruto © Masashi
Kishimoto
Mati di Sisimu © Aku
Warning:
Sequel from ‘I Lost You’. Semi-Canon. Hurt/Comfort/Angst. Oneshot.
Pairing:
Naruto and Sakura
Terinspirasi
dari video klip Padi “Kasih Tak Sampai.” Masih ingat video klipnya seperti apa?
Hehehe.
Terima kasih yang udah baca fic
I Lost You.
Selamat Membaca, Kawan ^^
.
.
Naruto sunshin ke ruangan
kerjanya di Menara Hokage. Ia lalu terduduk di kursi kebanggaannya. Nafasnya
memburu; tiba-tiba ada rasa sakit muncul di dada kirinya, ia pun mencengkramnya
dengat kuat. “Harus diakhiri… Semuanya harus diakhiri dengan indah.”
HOEK!
Dan tiba-tiba darah segar keluar dari mulut Naruto.
Satu tahun dua bulan yang
lalu…
“Naruto…”
“Sa-Sakura-chan?”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja, semakin hari semakin membaik. Hehehe.”
“…”
“Sakura-chan, ada apa?”
“Terima kasih, Naruto. Terima kasih karena telah membawa Sasuke-kun. Aku berhutang banyak padamu.”
“Hehe santai saja, Sakura-chan.
Akhirnya aku bisa menepati janjiku padamu.”
“Naruto…”
“Whoaa!! Jangan menangis, Sakura-chan.
Hei! Hei! Kau tidak mengunjungi Sasuke?”
“Ya, aku mau mengunjunginya sekarang. Kau mau ikut? Aku bisa meminjam
kursi roda ke resepsionis.”
“Ehm….sepertinya aku tidak bisa, Sakura-chan”
“Kenapa?”
“Aku baru saja mengunjunginya. Kau sebaiknya mengunjungi Sasuke, Sakura-chan. Dia merindukanmu.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“…”
“Ugh!”
“Kau kenapa?”
“Ahaha, tidak apa-apa, Sakura-chan.
Ini bekas luka akibat pertarunganku melawan Madara kemarin. Baa-chan sudah memeriksanya; dia bilang luka
di dada kiriku tidak perlu dikhawatirkan, tapi memang butuh waktu lama lukanya
untuk tertutup sempurna.”
“Biarkan aku memeriksamu dulu, Naruto.”
“Tidak perlu, Sakura-chan.”
“Eh?”
“Tidak apa-apa, Sakura-chan.
Masak kau tidak mempercayai baa-chan?
Hehehe.”
“Tapi—”
“Sssttt, kau sebaiknya mengunjungi Sasuke sekarang sebelum dia
tertidur.”
“Baiklah kalau begitu. Nanti aku kembali ke sini, kau ingin menitip ramen?”
“Ya, aku sangat sangat mau!”
13 bulan yang lalu
“Baa-chan.”
“Na-Naruto
k-kau sekarat…”
“Haa…h,
tak perlu menangis, Baa-chan. Sejak
awal aku sudah tahu, menggunakan kekuatan Kyuubi memiliki adalah risiko yang
tinggi. Aku nekat menggunakan kekuatannya bukan karena aku tidak tahu apa
akibatnya. Aku hanya ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi. Lagipula
kematian itu—”
“Baka! Jangan bicara seperti itu! Lukamu
pasti bisa disembuhkan!”
“Kenyataannya…pertahanan
tubuhku semakin lama semakin menurun. Aku sudah merasakan gejalanya, Baa-chan.”
“…”
“Tapi
tenang saja, aku akan melaksanakan tugasku sebagai Hokage sampai akhir
hayatku.”
“Gaki…”
“Maafkan
aku, Baa-chan. Aku tidak bisa
lama-lama mengemban tugas itu.”
“Kau tidak
mengatakannya pada timmu? Mereka berhak tahu.”
“Aku
tidak mau memberi tahu mereka. Kakashi-sensei
sedang berbahagia dengan Yugao-nee,
sedangkan Sakura-chan dan Sasuke
juga—aku tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dengan keadaanku ini.”
“Kau
selalu saja sok kuat, Gaki!”
“Ahahaha,
aku memang kuat kok.”
“Berhenti
bersikap seperti ini adalah masalah sepele!”
“Yah,
apa boleh buat, Baa-chan. Aku juga
tidak terlalu mengambil pusing Hehehe. Tapi kalau boleh jujur…”
“…”
“Aku
juga masih ingin menikmati indahnya diberi kehidupan yang lama…”
“Ga-Gaki…”
“Lalu
soal Kyuubi, aku meminta tolong padamu, Baa-chan.”
“Kau
ingin aku mencari jinchuuriki yang
lain?”
“Sebenarnya
aku berharap, akulah jinchuuriki
terakhir yang Konoha miliki. Tapi apa boleh buat, kalau aku mati jiwa Kyuubi
akan tetap hidup bersarang di perutku. Dan itu berbahaya jika tidak ada yang
bisa mengontrolnya…”
“Aku
akan mengusahakannya untukmu…”
“Terima
kasih, Baa-chan. Maaf selama ini
selalu merepotkanmu…”
“Jangan
mengatakan hal seperti itu, Gaki. Aku
sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri.”
“Hehehehe…”
Setahun yang lalu…
“Naruto! Tunggu, Naruto! Ada yang ingin aku bicarakan
padamu.”
“Hn?
Maaf, Sakura. Lima menit lagi aku ada rapat dengan petinggi Konoha, lain kali
saja ya.”
“Sa-Sakura?”
“Apa
ada yang salah? Namamu Sakura ‘kan?”
“Me-Memang
benar, Naruto. Tapi—”
“Maaf,
Sakura. Aku sedang terburu-buru…”
“Heh?”
Back
to present time…
Malam itu gemintang ramai menghiasi langit gelap yang
membentang; membelahnya menjadi bertaburan di sana-sini. Menawarkan pemandangan
eksotik yang jarang terlihat sepanjang hari. Mengepung menjadi miniatur tata
surya yang hanya nampak saat malam tiba. Entah mengapa bintang-bintang itu
terlihat berwarna-warni di mata Sasuke. Seperti warna bias planet-planet.
Sesekali ia memandang langit gelap di atasnya. Menutup kejenuhan yang
dari tadi mengerumuni pikirannya selama setengah jam duduk di sini. Ia hanya
bisa menatap seorang gadis di depannya dalam diam. Ia sendiri menyadari ini
juga adalah kekurangannya yang tidak pandai memulai percakapan dengan
seseorang.
Gadis itu, Haruno Sakura namanya. Ia sedang duduk terdiam sembari
mengaduk-aduk hidangan makan malam secara perlahan, tak ada nafsu untuk
menyantapnya. Tapi apa boleh buat ini adalah ajakan seseorang; ia tidak sampai
hati untuk menolaknya, walaupun sebenarnya ia sedang ingin sendirian.
Sasuke yang duduk di hadapan Sakura merasakan ada kejanggalan yang
berkelebat pada teman setimnya itu. Ia jadi tidak nyaman juga menelan makanan
dari restoran mahal ini. Susah payah ia mengundang Sakura karena
kemarin-kemarin gadis ini menolak dengan berbagai alasan yang bisa membuatnya
bungkam, tak mampu membujuk lagi.
Gadis ini memang sangat berbeda dengan gadis kecil yang ia kenal delapan
tahun lalu. Harus ia akui gadis ini tumbuh menjadi gadis dewasa tidak hanya
secara fisik, secara psikis ia juga tumbuh sebagai gadis yang mampu berpikir
secara objektif.
Karena itulah Sasuke ingin memperbaiki sesuatu hal yang dulu ia kacaukan
sendiri. Ia ingin meminta kembali suatu yang ‘spesial’ yang dulu pernah Sakura tawarkan
padanya. Yang dulu ditolaknya mentah-mentah.
Sejak kembali ke desa Konoha ia tak henti-hentinya mengumpati diri
sendiri karena dosa masa lalunya. Tak seharusnya waktu itu ia menolak Sakura
yang merelakan dirinya untuk ikut mengemban misi berbahaya bersamanya. Misi
berbahaya untuk membunuh kakaknya sendiri.
Nyatanya semua hal yang telah terjadi membuat guratan menyakitkan abadi
di sanubarinya. Dan luka itu tentu sulit untuk disembuhkan kalau mengandalkan
waktu saja. Ia butuh seseorang yang mau merelakan bahunya untuk menjadi tempat
sandaran disaat ia lelah, peluk rayuan manja di setiap hari ketika hatinya
sedang gundah gulana, senyuman menawan yang bisa membangkitkan semangatnya
untuk menghadapi kehidupan yang gila ini. Semua hal itu…ia mengasakannya dari
Sakura. Satu-satunya harapan yang memiliki peluang besar untuk digapai.
Sasuke ingin menyembuhkan luka yang ada dengan bantuan Sakura. Karena ia
berpikir hanya si ninja medis itu yang bisa mengerti apa adanya dirinya. Namun
kini gadis itu malah diam seribu bahasa di depannya. Ia seperti menjelma
menjadi sosok lain yang tidak pernah ia kenal. Sasuke menyesali
tindak-tanduknya yang dulu kelewat egois.
Dan beginilah jadinya. Selama 30 menit berada di sini, tidak berbicara
sepatah kata pun. Sasuke merasa jadi yang paling bodoh di antara orang utan di
belantara rimba yang paling tidak bisa menyapa rekan-rekannya di setiap saat mereka
bersua. Tapi bukan keturunan Uchiha namanya kalau ia tidak ingin berusaha.
“Apa makanannya kurang enak, Sakura?”
Sakura menoleh pada seseorang yang mengajaknya berbicara itu. Ia tidak
menyadari kalau Sasuke masih duduk di depannya. Sejujurnya ia merasa sedang
sendirian. “Enak kok, Sasuke-kun.
Hanya saja aku tidak lapar saat ini. Maaf ya, aku melahapnya pelan-pelan
begini,” ucapnya sembari tersenyum palsu.
Sasuke menyadari senyuman itu, ia sedikit geram. ‘Lagi-lagi senyuman
itu, lama-lama aku kesal kalau dibeginikan terus. Apa aku dulu terlalu kasar
padanya sampai-sampai ia tak mau mengeluarkan senyuman manisnya untukku lagi?’
ucapnya dalam hati. Dan juga Sakura berbohong padanya, dari tadi dia hanya
memutar-mutar sendok dan garpu di atas piringnya. Mana ada dia memakan lobster
paling enak di desa Konoha itu?
“Apa yang sebenarnya terjadi, Sakura? Aku perhatikan semenjak dua hari
yang lalu…kau terlihat murung sekali.” Sekali lagi Sasuke ingin mengajak Sakura
membuka diri.
“Eh? I-Itu…” Sakura tak melanjutkan ucapannya, ia tidak ingin mengingat
lagi kejadian dua hari yang lalu. Tapi ia juga butuh seseorang yang ingin
mendengarkan keluh kesahnya. Paling tidak bisa membuatnya tenang sedikit.
Sasuke mengangkat alisnya; sebisa mungkin ia mencoba memancing Sakura
agar mau berbicara padanya. “Kenapa, Sakura?”
“Dua hari yang lalu aku bertemu dengan Naruto…,” ujar Sakura pada
akhirnya.
Sasuke yang mendengarnya langsung merasa down. Entah mengapa di saat sedang berduaan dengan Sakura seperti
ini, ia enggan nama Naruto disebutkan si tengah-tengah pertemuan mereka. Tapi
apa boleh buat, ia harus menjadi pendengar yang baik; ia pun mencoba tersenyum
dengan tulus. “Akhirnya kau bisa bertemu juga dengannya. Heh, dia selalu saja
sok sibuk. Apa kalian sempat berbicara?”
Sakura terdiam sebentar, menatap piring berisi lobster yang baru ia
keluarkan isinya saja. “Ya, kami membicarakan banyak hal.”
“Memangnya apa yang kalian bicarakan? Harusnya kau merasa senang bukan?”
Sakura memejamkan matanya sebentar. “Aku menyatakan perasaanku yang
sebenarnya pada Naruto.”
“A-Apa?” Sasuke hampir saja menjatuhkan sendok yang sedang ia genggam.
Ia terkejut dengan pernyataan Sakura barusan.
“Aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Naruto, Sasuke-kun,” ucap Sakura mengulangi kalimatnya
tadi dengan nada datar.
“Lalu apa dia—”
“Tentu saja dia menolakku.”
Sasuke langsung bernafas lega, berarti ia masih memiliki kesempatan
untuk memenangkan hati Sakura. Namun ia merasa aneh juga, yang ia tahu Naruto
sangat mencintai Sakura. Lalu mengapa dia menyia-nyiakan kesempatan emas ini?
Terlalu sibuk? Rasa-rasanya itu tidak masuk akal.
“Aku baru menyadari kalau aku tidak
pantas mendapatkan cintanya, aku terlalu naif. Aku tak tahu harus
menceritakan hal ini pada siapa. Harus kuakui tanpa Naruto aku benar-benar
merasa kesepian.”
“Sakura…apa kau tidak menyadari kalau kau sedang berbicara pada
seseorang saat ini?” ucap Sasuke dingin.
Sakura terperanjat, ia mendongakkan kepalanya menatap Sasuke.
“A-Aku…Sa-Sasuke-kun, gomenasai.”
“Lupakan saja…,” ujar Sasuke memejamkan matanya. “Aku mengerti; aku juga
tidak pantas meminta apa yang telah aku tidak inginkan sebelumnya. Aku hanya
ingin memperbaikinya kalau itu belum terlambat…”
Sakura tercenung mendengarnya. “Ma-Maksudnya?”
Tangan Sasuke kemudian beranjak menyentuh tangan Sakura. Si pinky itu tercenung melihatnya.
“Ku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku paham; aku terlambat
mengatakannya padamu. Aku dulu terlalu bernafsu ingin membalaskan dendamku pada
Itachi-nii, sampai-sampai aku berani
mengorbankan segala yang berharga bagiku. Aku dulu menyia-nyiakan
persahabatanku dengan Naruto. Aku juga menyia-nyiakan dirimu…”
“Sasuke-kun…”
“Aku ingin kau sudi membuka hatimu lagi untukku…,” ucapnya sembari
meremas lembut tangan Sakura.
Sakura sendiri entah mengapa tidak merasakan apa-apa ketika Sasuke
melakukan itu. Ia malah merasa aneh dan biasa saja. Padahal pemuda di depannya
ini adalah orang yang paling ia tunggu kepulangannya ke desa Konoha. Cinta
pertama yang dulu ia harapkan membalas perasaannya. Tapi sayangnya sekarang ia
sudah berpindah ke lain hati; ia menyadari hal itu…
Sakura nyaris lemas mendengarnya, pernyataan cinta Sasuke baginya malah
menambah runyam persoalan. Ia tidak bisa berpikir jernih dengan keadaan yang
sedang carut marut seperti ini. Ia perlu ketenangan. Sebagai seorang wanita, ia
punya hak untuk memilih, namun tidak dalam keadaan seperti ini.
“Aku ingin kau menjadi teman hidupku—”
“Sasuke-kun…aku mohon beri aku
waktu untuk berpikir,” potong Sakura tiba-tiba.
Sasuke menatapnya dengan airmuka penuh pengharapan. Nampaknya saat ini
Sakura belum bisa berpikir jernih, karenanya ia menyanggupi untuk memberinya
waktu. “Baiklah kalau begitu, aku bisa menunggu…”
Sakura lekas menyantap makanan yang sedari tadi ia porak-parikan saja
bentuknya. Mubazir kalau dibiarkan saja. Namun seenak apapun, masakan itu tetap
terasa hambar di indera pengecapnya.
Sementara Sasuke berpikir, besok pagi ia akan bicara empat mata pada
Naruto. Ia harus mengatakan hal yang terjadi saat ini pada sahabatnya itu. Ia
tidak akan main kucing-kucingan untuk ihwal ini. Sekalian memastikan jika
pernyataan Sakura barusan benar atau tidak.
.
0o0o0o0
.
Pagi itu, Uzumaki Naruto kembali ke rutinitas sehari-harinya. Berkutat
dengan dokumen-dokumen yang harus ia tandatangani, menanggapi ocehan dari anak
buahnya, mengadakan rapat dengan pejabat ini dan itu, semua kegiatan yang paling
tidak dapat melupakannya tentang kejadian kemarin. Seperti itulah kegiatannya
minggu-minggu terakhir ini. Repot dan menjenuhkan.
Baru ia tahu, menjadi Hokage bakal merepotkan seperti ini. Lama-lama ia
jadi seperti Shikamaru. Di umurnya yang telah menginjak kepala dua ini
seharusnya ia masih perlu bermain.
Ah, tapi ia tidak menyesal berjuang sampai mati untuk mendapat gelar
Hokage di Konohagakure no sato.
Karena nilai dari menjadi seorang Hokage adalah melindungi dengan segenap jiwa
dan raga tanah tercintanya. Ia sangat ikhlas melakukan semua pekerjaan rumit
lagi membosankan ini.
Naruto membenarkan posisi duduknya sebentar. Sebenarnya ia sudah sarapan
empat sehat lima sempurna satu jam yang lalu, namun tetap saja ia merasa lesu. Lari-lari
kecil pun tadi ia sudah lakukan sebelum berangkat ke ruangan kerjanya di Menara
Hokage.
Mungkin ini adalah pertanda. Ia mafhum hari itu sebentar lagi akan tiba…
Naruto mengambil satu lembar surat perintah melaksanakan misi yang
hendak ia tandatangani. Tak lupa ia melihat jadwal untuk hari ini yang telah
Moegi susun. Ya, ia memilih teman setim Konohamaru itu untuk menjadi
asistennya. Berkali-kali ia mengganti posisi asisten itu, dan hanya Moegi-lah
yang lolos kriterianya. Siapa yang tidak risih memperkerjakan fangirl yang saban hari kerjanya
menggodanya dengan centil? Tentulah ia mempekerjakan asisten yang dapat ia
percaya sekaligus memiliki etos kerja tinggi. Bukan seorang fangirl yang bekerja padanya hanya untuk
mencari perhatian.
Naruto juga melihat jadwal di hari esok-esoknya. Ia baru menyadari ada
perayaan penting di tiga hari yang akan datang.
“Lho? Tiga hari lagi akan diadakan pesta setahun aku menjabat Hokage ya?
Aku baru menyadarinya…” Tiba-tiba
Tes! Tes!
Darah segar mengotori lembaran jadwal yang sedang Naruto genggam. Darah
itu keluar dari lubang hidungnya. “Tsk, padahal ini masih pagi,” keluh Naruto.
Ia pun mengambil sapu tangan di kantung jubah Hokagenya. “Apa aku mengunjungi baa-chan lagi ya? Tapi obat kemarin
belum habis. Dari kemarin aku mimisan terus.” Ia segera menuju ke wastafel yang
berada di sebelah ruangan utama kantornya.
Tok! Tok!
Naruto menoleh ke arah pintu, ia buru-buru mengelap atap bibirnya yang
sedikit berlumeran darah dan kembali lagi ke meja kerjanya. “Siapa ya pagi-pagi
begini? Masuk!” teriaknya sembari menaruh sapu tangan itu ke dalam laci.
“Hokage-sama…”
“Sasuke, eh? Ada apa?” Naruto terkejut dengan kunjungan sahabatnya itu
yang menurutnya terlalu pagi.
“Bisa kita bicara sebentar? Kau ada waktu?”
Naruto terdiam dulu. Lalu, “Douzo
(Silahkan).”
“Tidak di sini, aku ingin berbicara denganmu di tempat lain,” ujar Sasuke tanpa ada
ekspresi jelas di wajahnya.
Dahi Naruto kemudian mengerut. Ia bisa menerka ada sesuatu hal penting
yang ingin Sasuke bicarakan, mudah-mudahan bukan soal Sakura.
“Agar tidak ada orang lain yang mendengar,” jelas Sasuke lagi.
Naruto pun mafhum akan kemauan Sasuke. Ia pun menurutinya. “Baiklah
kalau itu maumu. Di atas ukiran wajahku saja ya.”
Ukiran wajah Hokage—yang terpahat di tebing besar—yang mengitari desa
Konoha. Dari wajah Senju Hashirama sampai ke wajah Uzumaki Naruto sendiri… Mereka
adalah perisai bagi desa makmur ini.
Ukiran wajah Naruto baru selesai dua bulan kemarin, namun kini telah menjadi
tempat favoritnya untuk melihat keindahan panaroma Konohagakure no sato. Desa yang banyak memberikannya pelajaran akan
sebuah kehidupan yang sangat berarti.
Sasuke meresponnya dengan anggukan kepala. Ia pun segera melesat ke sana
dengan sunshin, sedangkan Naruto
memakai sunshin jikuukan no jutsu
untuk ke sana. Jadi Sasuke kalah cepat darinya.
Sesampainya di sana…
“Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Sasuke?”
Sasuke memejamkan matanya sebentar, ia menatap Naruto yang berdiri di
sampingnya. Ia memutuskan untuk langsung ke inti permasalahan saja. “Aku ingin
menikahi Sakura.”
Deg!
Jantung Naruto nyaris keluar mendengar ucapan Sasuke. Sontak ia menatap
keturunan Uchiha terakhir itu dengan emosi membara yang tersembunyi. “Oh, omedetou (selamat)…,” ujarnya pelan.
“Tapi dia belum memutuskan untuk menerimaku atau tidak.”
Naruto mengambil nafasnya perlahan, jantungnya tiba-tiba nyeri lagi tapi
ia tidak menunjukkan rasa sakitnya pada Sasuke. “Lalu…apa hubungannya denganku?
Aku kira itu hak Sakura—”
“Dia mencintaimu tahu!”
Naruto lagi-lagi tercenung mendengarnya. Ugh, Sasuke mengucapkan
kata-kata yang sebenarnya tidak ingin ia dengar.
“Kau menolaknya, apa itu benar?”
Naruto tetap diam membisu.
“Aku tahu kau sangat mencintai Sakura, Naruto. Tapi mengapa kau—”
“Sasuke…” Akhirnya Naruto memutuskan meluruskan semuanya. “Perasaanku
yang dulu dan sekarang pada Sakura itu berbeda.”
“Kau berkata jujur, Naruto? Sebagai seorang yang banyak hutang budi
padamu, aku hanya tidak mau dikatai sebagai perusak kebahagiaan orang. Aku
wajib memastikan kalau kau benar-benar merelakan Sakura padaku.”
Naruto lantas menatap Sasuke dengan cengiran khasnya. “Sejak dulu juga
aku sudah merelakan Sakura untukmu.” Ia terdiam sebentar. “Tanpa kau meminta
izin pun aku sudah merelakannya…,” ucapnya lirih. Ia menelan ludahnya sendiri,
ada sedikit aroma darah yang masuk ke kerongkongannya. Naruto tak membiarkan
darah dari dalam tubuhnya berhambur keluar di saat-saat seperti ini.
Wajah Sasuke terlihat cerah mendengar pernyataan Hokage Keenam itu, “Kau
yakin, Naruto?”
Naruto memandangi Sasuke sembari tersenyum lebar. “Aku tidak yakin kalau
Sakura mencintaiku sepenuh hatinya. Dulu di hatinya itu hanya ada kau, Sasuke…”
Sasuke termangu mendengar ucapan Naruto. “Naruto kau tidak seharusnya—”
“Aku juga sangat sibuk, Sasuke. Tidak ada waktu berkasih-kasihan dengan
seorang wanita. Tampaknya aku tidak akan menikah selama hidupku. Hehehe,” ujar
Naruto lagi. ‘Tapi juga karena waktuku di dunia ini tinggal sedikit…’
Dahi Sasuke mengisut, ia tidak paham dengan maksud sahabatnya; terdengar
nadir di telinganya sendiri. Namun ia mencoba untuk mafhum dengan keputusan
Naruto. Terlebih dalam satu tahun terakhir ini, Konoha sedang dalam masa
pembangunan setelah perang dunia ninja keempat terjadi.
“Kau akan merestui hubunganku dengan Sakura?” tanya Sasuke lagi.
“Yayaya, selamat menempuh hidup baru,” jawab Naruto sembari nyengir
kuda. Cengiran yang sangat dipaksakan sebenarnya. Tiba-tiba rasa nyeri itu
menyerang dada kirinya lagi. Naruto memejamkan matanya menahan sakit.
“Kau kenapa?” tanya Sasuke setengah kaget. Takut ada apa-apa dengan
Naruto.
Untunglah rasa sakit itu hanya terasa sebentar saja, Naruto bisa
bernafas normal lagi. “Tidak apa-apa, hanya saja hari ini aku belum makan
semangkuk ramen. Hehehe,” ujarnya
asal bunyi.
Ada sesuatu yang janggal, Sasuke merasakannya, namun ia mengacuhkannya.
Barangkali yang dikatakan Naruto itu memang benar. “Dasar! Kau ini hanya
memikirkan ramen, pantas saja Sakura
kau lupakan. Oh ya, maaf aku mengganggumu pagi-pagi.”
Sebenarnya bukan karena ramen
Uzmaki Naruto menolak Haruno Sakura.
“Yah, tidak apa-apa,” jawab Naruto. Namun dalam hati ia berkata, ‘Dasar
Uchiha, kebiasaan! Harusnya dia meminta maaf diawal-awal.’
“Kalau jadi nanti, kau wajib datang ke pesta pernikahan kami, Naruto.
Kau akan kujadikan tamu istimewa.”
Naruto menatap Sasuke dengan wajah serius. “Hm, kapan rencananya?”
Angin semilir berhembus kencang mengitari mereka. Rambut biru Sasuke
berterbangan kesana kemari, ia jadi risih dan menahannya agar tidak menutupi
penglihatannya. Aneh, anginnya terasa dingin di kulit padahal ini masih musim
kemarau. “Yah, belum bisa dipastikan tapi aku ingin secepatnya.”
Naruto menghirup angin segar yang berhembus di depannya. “Aku juga belum
bisa memastikan untuk datang atau tidak, Sasuke…” Naruto memikirkan hari besar
yang lain yang bisa saja merenggut jiwanya sewaktu-waktu.
“Hn?”
“Pokoknya kau tidak boleh membuat Sakura menangis. Kalau itu kau
lakukan, akulah orang yang pertama menghajarmu habis-habisan, Teme!” umpat Naruto tiba-tiba. Sengaja
mengalihkan pembicaraan.
“Heh, banyak omong kau, Dobe!”
“Teme!”
“Dobe!”
Dan begitulah seterusnya mereka, saling mencaci maki hingga sang fajar
merangkak naik di atas kepala mereka. Tak sadar siang datang tanpa memberikan
sinyal terlebih dahulu. Naruto pun kembali ke ruangan kerjanya. Sementara
Sasuke pergi entah kemana.
Walaupun sudah berada dalam ruangan, Naruto masih bisa merasakan angin
di luar sana berhembus kencang. Sembari menatap langit, ia pun berpikir; ia tidak
ingin datang ke pernikahaan Sakura dan Sasuke nanti apabila hal itu terjadi.
“Aku ingin ajal menjemputku sebelum pesta pernikahan mereka digelar.
Aku…tak sanggup untuk melihat mereka bermesraan di depanku,” tukasnya pada
angin yang membawa kabur kata-katanya ke lain tempat. Kalau saja kata-katanya
tetap tegar terbawa angin, mungkin seluruh penduduk Konoha akan tahu apa yang
ia isakkan. Sayangnya hanya angin yang mengetahuinya…
.
0o0o0o0
.
Sorenya, Naruto melatih Konohamaru jutsu
baru. Kali ini ia memakai metode berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Ia
menghajarnya habis-habisan sampai Konohamaru lari terbirit-birit kesana kemari
menghindari serangannya yang brutal.
Konohamaru pun terhempas ke dahan pohon yang lumayan besar. “Ouch!
Tunggu sebentar, Naruto-nii!”
teriaknya sembari mengusap pinggang belakang yang tulangnya nyaris remuk.
“Kenapa, Konohamaru? Apa segini saja kemampuanmu?” tanya Naruto dingin.
Ia mulai memasang kuda-kuda untuk melawan muridnya lagi.
“Whoaa, Naruto-nii. Kau
terlalu berlebihan hari ini!”
“Heh, kita tidak punya waktu, Konohamaru. Kau harus bisa mengalahkanku saat
ini juga!” teriak Naruto yang melesat cepat ke arah Konohamaru.
“Na-Nani!”
“Maju, Konohamaru!”
Konohamaru pun akhirnya mengarahkan tendangan sembarang ke arah Naruto.
Saking tegangnya, ia tidak tahu kemana arah kakinya menyerang.
Kemarin Naruto telah mengajarkannya cara menghadapi kecepatan jikuukan no jutsu, namun memang masih
sulit untuk dipraktekkan. Ia berusaha konsenstrasi dan menebak dari mana arah
Naruto akan menyerang. Semua inderanya pun ia fungsikan. Konohamaru lantas bisa
merasakan sentuhan angin dari arah belakangnya.
‘Dia datang dari sini…’ Konohamaru pun melayangkan tendangan supernya ke
arah yang ia tuju. Dan…
Duak!
Brughhh!
Naruto terpelanting ke dahan besar yang berdiri 20 meter dari
Konohamaru. Ia membuka matanya perlahan dan tersenyum puas. “Bagus, Konohamaru
akhirnya kau bisa juga menyerangku ba—hoeekkk!!” Tapi tiba-tiba ia memuntahkan
darah segar dari mulutnya.
“Naruto-nii!” teriak
Konohamaru panik melihat sensei-nya
ambruk. Ia segera menghampiri Naruto. “Naruto-nii! Kau kenapa?! Aku tadi tidak memukul organ vitalmu, kenapa
tiba-tiba jadi begini?!”
Naruto ingin berbicara, namun nafasnya tersengal-sengal. Ia tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Meringis kesakitan seakan seribu jarum menusuk
jantungnya bertubi-tubi. Jubah Hokagenya menjadi merah karena cipratan darah
yang keluar dari mulutnya tadi.
“Aku akan membawamu ke Sakura-nee-chan!”
Naruto menggelengkan kepalanya. “B-Baa-cha…n.”
Lantas ia pun tak sadarkan diri di dekapan Konohamaru.
“Naruto-niichan! Naruto-niichan!”
Hanya suara itu yang dapat Naruto dengar, setelahnya hanya suara lamat-lamat
yang bertandang di daun telinganya.
Time skip di kediaman
Tsunade.
Konohamaru meringkuk lemas di tempat duduknya, hari sudah malam namun ia
enggan pulang ke rumah. Tadi sore terjadi kejadian mengerikan yang nyaris saja
merenggut nyawa Naruto, seseorang yang telah ia anggap sebagai kakaknya
sendiri.
“Itu bukan salahmu, Konohamaru. Naruto memang sudah lama dalam kondisi
seperti ini, hanya saja ia berusaha menutupinya ke semua orang. Tadi mungkin
dia terlalu berlebihan mengeluarkan tenaganya…”
“Kalau begitu kenapa kau tidak memberitahuku, Tsunade-sama?” tanyanya lirih. Hampir-hampir ia
menangis karenanya.
Mata hazel Tsunade kemudian mengecil.
“Gomen ne, aku hanya menuruti
permintaan Naruto, meski kadang aku juga tidak mau menurutinya…”
“Sebenarnya apa penyebab Naruto-niichan menjadi seperti ini? Aku belum
paham sepenuhnya.”
Tsunade menarik nafas dalam-dalam, ia kemudian menyelimuti Naruto yang sedang
tertidur nyenyak di ruangan tidur tamunya. Untuk menghindari hal yang tidak
diinginkan, ia pun memasang alat bantu pernafasan pada Naruto. “Itu sudah lama
sekali, ia terlalu sering memakai kekuatan Kyuubi sehingga berakibat fatal pada
organ-organ vitalnya. Terakhir ia menggunakan kekuatan itu untuk melawan Madara
melebihi kemampuan tubuhnya untuk menampung semua kekuatan itu. Setelah
selesai, aku menemukan organ jantungnya tidak berfungsi dengan baik. Banyak
terdapat lubang di arterinya…”
“Jadi Naruto-nii sudah lama…” Konohamaru
tak sanggup lagi, airmatanya pun jatuh mengalir di wajahnya yang terlihat
lelah.
Tsunade hanya bisa mengangguk pasrah. “Ya, ini sudah hampir setahun lebih…”
Sesekali ia menatap Naruto yang terlihat tenang dalam lelapnya. “Tadi
Naruto-niichan melatihku dengan agak
kasar, aku jadi paham sekarang maksudnya apa…” Itu berarti Naruto ingin
menjadikan Konohamaru sebagai penerusnya sesegera mungkin. “Naruto-niichan masih bisa sembuh ‘kan,
Tsunade-sama?”
Tsunade menatap Konohamaru dengan tatapan sendu. “Aku tidak yakin,
Konohamaru. Tapi selama kita punya waktu, mungkin kita masih punya kesempatan.”
Konohamaru lantas tersenyum, ia cepat-cepat menyeka airmatanya. “Aku
akan membantumu sebisaku, Tsunade-sama.
Oh ya, tiga hari lagi akan diadakan pesta setahun Naruto-niichan menjadi Hokage. Bagaimana ini?” Konohamaru mulai khawatir
lagi, masalah sepertinya akan bertambah runyam.
“Dengan terpaksa Konoha akan aku ambil untuk sementara waktu sampai
Naruto pulih kembali. Aku akan memberi pengumuman besok.”
“Ah benar juga. Aku memang masih belum layak jadi Hokage, aku masih
harus belajar banyak lagi dari Naruto-niichan.
Terlalu dini baginya untuk meninggalkan kita semua.”
“Aku sepandapat denganmu, Konohamaru. Sekarang kau pulang saja, kau nampak
kelelahan. Biar aku yang menjaga Naruto,” ujar Tsunade sembari tersenyum.
“Hai!” Konohamaru pun segera
pulang.
Seperginya Konohamaru dari rumahnya, Tsunade masih tetap terjaga di
ruangan Naruto. Ia menatap penerus generasinya itu dalam ratapan bimbang. Ia
mengambil tangan Naruto yang semakin lama semakin dingin diraba. “Naruto…kau
juga harus punya semangat untuk mempertahankan hidup. Kalau tidak, sampai kapan
pun kau akan sulit untuk sembuh. Apa yang bisa membuatmu bersemangat kembali,
eh?” tanya Tsunade sembari meremas lembut tangan Naruto, tanpa terasa ia
meneteskan airmata dari mata hazel-nya
yang terlihat lelah.
.
0o0o0o0
.
Bangun pagi-pagi begini—entah mendapat wangsit dari mana—Sakura ingin
sekali mengunjungi Naruto di Menara Hokage. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak
enak semenjak ia terjaga dua jam yang lalu.
Padahal malamnya Sakura pergi tidur dalam keadaan nyaman. Ia menepis
firasat buruk jika Naruto menolak kedatangannya, ia memutuskan untuk meyakinkan
lagi pada Naruto bahwa ia benar-benar mencintainya.
Sampai di depan pintu, Sakura mengetuknya terlebih dahulu. Terdengar
suara mengatakan ‘masuk’, ia tercenung seketika. “I-Ini…suara shisou.” Tanpa pikir panjang lagi,
Sakura segera membuka pintu masuk ke dalam.
“Shisou? Mengapa pagi-pagi
sudah kemari? Dan dimana Naruto?” tanya Sakura panjang lebar.
Tsunade hanya tersenyum kecil melihat kedatangan muridnya itu.
“Kebetulan sekali Sakura kau datang kemari. Ada yang aku ingin tunjukan padamu.
Kita ke rumahku sekarang,” ajak Tsunade.
Sakura pun linglung dibuatnya. “Ada apa, Shisou? Tapi aku ingin bertemu dengan Naruto.”
“Sudahlah, Sakura. Ikut aku saja.” Tsunade menarik paksa Sakura agar mau
mengikutinya.
Sementara Sakura tak berani melawan, cengkraman Tsunade di tangannya
begitu kuat sampai-sampai terasa sakit. Ia hanya bisa menatap Tsunade dengan
perasaan tak menentu.
Mereka berjalan menuju rumah Tsunade yang tidak terlalu jauh. Sampai di
dalam, ia langsung mengajak Sakura ke sebuah ruangan yang tertutup oleh pintu. Susananya
begitu senyap, ia menggigil seketika.
Tsunade tiba-tiba memberikannya arahan. “Orang yang kau cari, sedang
berada di dalam, Sakura. Masuklah…,” ajaknya.
Sakura ragu, namun ia pun
menuruti permintaan gurunya. Diputarnya knop pintu secara perlahan sampai
terlihat pemandangan hijau yang menempel di dinding-dinding ruangannya. ‘Seperti
di rumah sakit saja,’ pikirnya. Ia memberanikan diri melenggangkan kakinya
masuk ke dalam.
Sakura melihat seseorang terbaring dengan alat bantu pernafasan di mulut
dan hidungnya. Ia masih belum bisa melihatnya dengan jelas, karena itu ia pun
mendekat.
Sakura langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Badannya
seketika gemetaran tak keruan menahan keterkejutan yang tiba-tiba menerjang. Ia
tak percaya sosok yang dua hari kemarin ditemuinya itu sekarang terkapar tak
berdaya dengan keadaan yang berbeda 180 derajat dari yang sebelumnya.
“Na-Naruto!” teriaknya.
Sakura menerjang tubuh kaku Naruto yang sama sekali tak bergeming, ia
masih terlelap dalam tidurnya. “Kenapa…Kenapa kau jadi begini?” ia menggerakkan
tubuh Naruto kesana kemari. Namun si blonde itu tidak merespon sama sekali.
Tubuhnya begitu dingin seperti habis dibekukan di dalam freezer, wajahnya terlihat pucat layaknya mayat, bibirnya membiru
bak diracuni. Sakura pun menyerah, ia kadung kalap. Dengan tertatih-tatih ia
menghampiri Tsunade. “Sh-Shisou…Naruto…apa
yang terjadi padanya?”
“Sssttt, kau tenang dulu, Sakura. Nanti Naruto terbangun, ia kecapaian
butuh istirahat. Ayo kita bicara sebentar di ruang tamuku.”
“Tapi Naruto—”
“Selesai kita berbicara, kau boleh mengunjunginya lagi.”
Sakura memalingkan wajahnya pada Naruto lagi, akhirnya ia pun menuruti
perintah gurunya.
Time skip di kediaman
Haruno.
Sakura sedang memasukkan beberapa baju dan barangnya ke tas ransel yang
telah ia siapkan. Selama Naruto dalam keadaan seperti itu, ia memutuskan untuk
menginap di kediaman Tsunade.
Seharian tadi Tsunade telah menceritakan semuanya padanya. Kini Sakura
pun mengerti mengapa Naruto menjauhinya dan menolak pernyataan cintanya.
Lagi-lagi ia akan melakukan pengorbanan besar lagi.
Padahal setahun yang lalu, ia sempat melihat Naruto mengerang kesakitan.
Namun memang dasarnya Naruto yang selalu bisa menutupi kebohongannya, Sakura
pun tidak tahu bahwa temannya itu sedang dalam keadaan sekarat. Kurang lebih
setahun… Setahun lamanya Naruto dalam keadaan di ujung tanduk, dan ia tidak
menyadarinya.
Terlebih Tsunade mengatakan kondisi Naruto sejak kemarin tiba-tiba
menurun drastis. Kemarin sore si ninja kejutan nomor satu itu terlalu
memaksakan diri untuk melatih Konohamaru. Ia juga mewanti-wanti apabila Naruto
meninggal, desa Konoha membutuhkan seseorang yang lain untuk menggantikannya
menjadi host Kyuubi. Pernyataan
gurunya itu seakan-akan menunjukkan jika Naruto tak punya harapan lagi.
Sakura mengambil kaleng berisi minuman bersoda; mencengkramnya dengan
kuat sampai isinya berhamburan keluar. “Aku terlalu lalai dengan masalah yang
ada di sekitarku sendiri.” Ia menangis. Tapi ia mengerti, menangis saja tidak
akan menyelesaikan permasalahan.
Sekarang ia tidak mau tahu, kalau pun Naruto nanti menyuruhnya pergi ia
akan terus menemaninya. Ia akan merawat si
blonde itu semampunya. Ia pun segera mempercepat pekerjaannya. Setelah itu
pergi ke rumah Tsunade. Tapi sebelum itu ia ingin mengajak seseorang untuk
mengunjungi Naruto.
.
0o0o0o0
.
Naruto merasakan ada dorongan dari dalam dirinya untuk membuka kelopak
matanya, meski itu hanyalah sebentar. Sebenarnya ia benar-benar kelelahan untuk
bertahan di raga yang sudah tah berdaya ini. Ia hanya ingin melihat indahnya
dunia sekali lagi meski waktunya tinggal sedikit. Tapi ini bukan akhir dari
segalanya bukan?
Kata
orang mati itu menyeramkan.
Tapi
bagiku itu hanya peralihan waktu…
“Ugh, ini di mana?” tanya Naruto lirih, matanya mengerjap, menyesuaikan
diri untuk melihat semua yang ada di sekitarnya secara nyata dan jelas.
“Naruto…”
Suara seorang perempuan. Suara ini sepertinya sudah tidak asing lagi di
telinganya. Suara bak bidadari, yang dulu selalu membuatnya kuat dan bertahan
dalam keadaan sulit apa pun. Suara-suara yang berdendang merdu di telinganya.
Mau dia marah, menangis, atau pun senang, bagi Naruto suara-suara itu begitu
hidup… Namun ia tahu, seharusnya ia panik ketika mendengar suara itu pada saat
ini. Dilihatnya kelopak bunga Sakura bertebaran kesana kemari, menari-nari
seolah mengajaknya untuk lebih berusaha membuka mata. Perempuan itu…
“Sa-Sakura…,” ucap Naruto setengah berbisik.
“Syukurlah, Naruto!” teriak Sakura sembari memeluk Naruto yang belum
sepenuhnya siuman. Ia terlihat bingung, seolah masih mempelajari sosok siapa
saja yang sekarang berada di ruangan ini. Sepertinya ramai sekali.
“Akhirnya kau bangun juga, syukurlah,” ucap orang lain—yang ada di
ruangan itu—yang Naruto tahu, bukan suara milik Sakura.
Naruto pun memperhatikan orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
“Ka-Kalian…” Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Dari Sasuke, Sai, Kakashi,
Konohamaru dan anggota rookie
sembilan semuanya berada di sana.
Mereka memberi Naruto semangat agar tetap sehat dan bertahan hidup. Ada
yang sampai menangis tersedu-sedu.
Naruto terheran-heran melihatnya, ia hanya bisa berujar dalam hati,
‘Pasti ini ulah baa-chan.’ Namun
sayangnya suara-suara yang ramai itu tidak sampai dengan jelas di telinga
Naruto. Pandangannya masih kabur dan stimulinya menjadi sangat lamban. Yang ia
sadari suara-suara itu lama-lama terdengar rendah lalu tidak terdengar sama
sekali. Yang tersisa hanya suara satu atau dua orang yang berbisik satu sama
lain. Tanpa Naruto mengerti apa yang mereka bicarakan.
Jeratan
takdir mana bisa aku melawan
Aku
sadar kini telah terbelenggu
Menunggu
mati menjerat urat-urat nadiku.
Tetap
termangu tanpa ada satu orang pun yang tahu.
Bagaimana
sakitnya itu…
“Naruto…ini aku, Sakura. Kau dapat mengenaliku?”
Tapi
aku ingin berada di sampingmu, Sayang.
Naruto berusaha berbicara semampunya pada seorang gadis yang sejujurnya
sudah lama ia nantikan kehadirannya. “Sa-Sakura—uhuk!” Ia tiba-tiba memuntahkan
darah segar dari mulutnya.
Sakura tidak tinggal diam, dengan cekatan ia melepas sebentar alat bantu
pernafasan di hidung Naruto. Mengelap darah yang tumpah di sekitar mulutnya
sampai bersih, lalu memasangnya lagi dengan rapi. Semua itu ia lakukan dalam
keadaan bersimbah airmata, namun ia tidak meratap, karena ia rasa ia harus
tegar untuk menyenangkan hati Naruto.
Mata Naruto masih terlihat sayu, ia tidak mampu untuk membuka seluruh
kelopak matanya. Tapi ia masih bisa membayangkan wajah cantik cinta matinya
itu. Ia sebenarnya sangat senang di saat-saat seperti ini pujaan hatinya itu menemaninya.
Karena tak ada waktu lagi untuk menuai rindu.
Bersenda
gurau bersamamu, sampai suaraku habis tertelan di tenggorokan.
Aku
hanya bisa berdendang di dalam hatiku.
Tertawa
senang melihatmu jatuh dalam hangatnya dekapan.
Aku
jadi ingin mati di sisimu, Sayang.
“Sa-Saku…”
“Ssst…Naruto, simpan suaramu untuk esok hari. Lusa akan ada hari
perayaan setahun kau jadi Hokage, tidakkah kau senang?”
Naruto hanya bisa menatap Sakura dengan ekspresi yang tidak mudah
ditebak.
Sakura jadi berpikir macam-macam, apa Naruto mengerti apa yang sedang ia
bicarakan?
“Sa-Sakur-ra…k-kenapa ka-kau a-ada di s-sini…?” suara Naruto sangat
parau terdengar di telinga Sakura.
Sakura lantas melepas sepatunya dan naik ke tempat tidur Naruto yang
lumayan besar itu. “Aku ingin bersamamu malam ini, boleh ‘kan?” tanyanya
sembari membaringkan diri secara menyamping. Sekarang wajahnya berhadapan
dengan wajah Naruto yang sedang menatap langit-langit.
“B-Bukannya…k-kau i-ingin menikah-h de-dengan S-Sasuke?”
Pertanyaan Naruto terdengar ngaur, tapi Sakura menjelaskan dengan penuh
kesabaran. Walau rasanya ingin ia menumpahkan seluruh emosinya dengan meratap
sejadi-jadinya.
“Tidak, Naruto. Aku tidak akan pernah menikah dengan Sasuke-kun. Memangnya siapa yang bilang aku
akan menikah dengannya?” Sakura bertanya balik.
“Kemarin—”
“Sstt, sekarang kau tidur saja, Naruto. Malam masih panjang.” Sakura
tidak mau berlama-lama mendengar suara Naruto. Hatinya menjadi pilu
mendengarnya.
“K-Kau ti-tidur di s-sini?”
Sakura mengangguk pelan. “Boleh ‘kan?”
Naruto mencoba menggerakkan kepalanya ke arah Sakura. Susah payah ia
melakukannya. “K-Kau y-yakin? A-Aku be-belum mandi…da-dari kemari-rin…”
Sakura nyaris terpingkal mendengarnya. Di saat sedang sekarat seperti
ini, Naruto masih saja bisa membuatnya tertawa.
“K-Kau yaki-kin, Sa-Sakura? A-Aku ha-hanya t-tida-ak ingi-in
membu-buatmu m-menangis…”
Si pinky itu tiba-tiba
mendekap Naruto sembari meletakkan kepalanya di bawah kepala si blonde. “Kau kemarin sudah membuatku
menangis tiga hari dua malam, Naruto…”
Nafas Naruto semakin memburu, Sakura bisa merasakan ketika ia meletakkan
tangan kanannya di dada lelaki blonde
itu.
“Go-Gomen…”
“Tak perlu minta maaf, Naruto…yang lalu biar saja berlalu,” ujar Sakura
sembari mengusap lembut wajah Naruto yang semakin lama semakin terlihat
memutih.
“Sa-Sakur-ra…a-aku l-lelah, i-ingi-in t-tidur,” ucap Naruto sembari
terbatuk-batuk.
Sakura mengerti akan maksudnya itu, ia tak sanggup lagi, airmatanya pun
turun deras seketika.
Tertidur
dalam pelukanmu yang manja lagi menghanyutkan.
Serasa
aku dibawa ke naunganmu yang sejak dulu ingin aku gapai.
Langit-langit
malam yang dihiasi lampu dari gugusan bintang terang.
Kini aku akan tinggal di tempatmu, Sayang.
“Ya, tidurlah, Naruto. Tidur dengan nyenyak…” Sakura memperhatikan kelopak
mata Naruto yang lambat laun mengatup. Ia semakin mendekatkan kepala Naruto ke
kepalanya sendiri sembari menangis tersedu-sedu.
“T-Tapi, Sa-Sakur-ra…a-aku m-mungkin ti-tidak akan ba-bangun lagi.”
Sakura tidak menjawab, ia malah
tambah terisak-isak.
Sementara Tsunade dan lainnya hanya
bisa mendengar percakapan dua sejoli itu dari luar. Mereka tak ada niat untuk
menginterupsi. Mereka hanya bisa menangis mendengar detik-detik terakhir Naruto
meregang nyawa.
Terutama Sasuke, walau ia adalah
seorang laki-laki, nyatanya ia yang paling banyak mengeluarkan airmata. Padahal
kemarin siang mereka sempat bercakap-cakap. Tapi siapa yang bisa menebak nasib
seseorang? Jawabannya sudah pasti, tidak ada yang bisa melakukannya secara
jeli. Ia sendiri jadi tidak tega untuk mempersunting Sakura.
“K-Kau ta-tahu, Sa-Sakur-ra…k-kau
a-adalah wa-wanita y-yang p-paling…c-cantik d-di du-dunia ini…te-terima
k-kasih…s-sudah ma-mau m-menemaniku ma-malam-malam b-begini…”
Kadung lama
aku terpuruk dalam perihnya hati yang patah.
Dan indah rupamu berhasil
menyembuhkan luka yang meradang.
“Ya…y-ya, Naruto…”
Yang tidak Sakura lihat, Naruto
tersenyum sebelum pergi ke alam lelapnya. “A-Aku c-cint-ta k-kamu, S-Sakur-ra-chan…”
Ini adalah terakhir kalinya Naruto
memanggil nama Sakura dengan memakai –chan.
Setelah itu tidak ada lagi yang tersisa…
“Aku juga…aku juga mencintaimu, Naruto.”
Suara nyaring mesin EKG pun
terdengar monoton di telinga Sakura. Suaranya begitu lurus, tak ada dinamika
naik turun yang menunjukkan irama detak jantung Naruto.
Lalu suara tangisan Sakura menggema
ke seluruh ruangan. Seseorang yang ia impikan jadi teman hidupnya itu malah
lebih dulu meninggalkannya, padahal mereka baru saja saling menyatakan cinta.
Tapi maaf,
Aku tidak bisa lama-lama berada di
sisimu, Sayang.
Jiwaku telah melayang tanpa bisa kau
bawa pulang.
Esok lusanya, upacara setahun Naruto
menjadi Hokage pun berubah menjadi upacara kematian yang disambut oleh isak
tangis seluruh penduduk desa Konoha. Mereka semua memenuhi taman makam desa
Konoha yang terlihat menghitam, penuh dengan para pelayat dari dalam dan dari
luar desa.
Kecuali Sakura dan Tsunade yang
masih berdiri di atas tebing ukiran wajah Naruto. Mereka sedang membicarakan
persoalan yang menjadi rahasia mereka berdua saja. Mereka nampaknya akan datang
ke upacara pemakaman pada saat acara itu akan selesai.
“Sebenarnya aku masih tidak percaya
kalau Naruto sudah lama sakit, Shisou.
Ia masih terlihat baik-baik saja sepengelihatanku…”
Ya, sepengelihatannya saja karena
selama hampir setahun Naruto menjauhinya karena alasan itu. Jadi mana bisa ia
tahu?
“Apa yang kau rencanakan sebenarnya,
Sakura?”
Sakura menarik nafas dalam-dalam.
Sejak kemarin ia telah memikirkannya matang-matang. “Kalau itu belum terlambat,
aku ingin kau menyegel Kyuubi di dalam tubuhku.”
Tsunade terkejut mendengar ucapan
muridnya itu. “Sakura, itu tidak mungkin! Kau akan—”
“Aku ingin sekali merasakan
penderitaan yang dialami Naruto, Shisou.
Walau aku tidak bisa bertahan lama, tapi setidaknya aku bisa menjadikan desa
aman untuk sementara waktu.”
“Sakura—”
“Tidak ada orang yang sudi menjadi host Kyuubi ‘kan, Shisou? Karena itu aku menawarkan dengan cuma-cuma.”
Tsunade hanya bisa menatap miris
muridnya itu. Ia sebenarnya tahu maksud Sakura melakukan hal itu, dia ingin
secepat mungkin menyusul Naruto yang telah pergi ke alam baka sana. Dan mana
mampu ia mengelaknya?
“Aku hanya ingin bertemu dengannya
kembali…meski itu berarti di neraka sekali pun.”
~The End?~
Tags:
Fanfiksi
8 komentar
luar biasa, ff ini bener2 mengharukan...
ReplyDeletemakasih ya udh baca, oia sekadar info, fic ini ada sekuelnya lho. Judulnya The Time Travel ^^
ReplyDeleteMakasih yah
DeleteWahh kakak mengharukan banget, sampe nangis loh..
ReplyDeleteThanks sudah baca ^^
Delete2 teu habis ngelap air mata , sedih bangett
ReplyDeleteMakasih ya udah baca :)
DeleteHahaha, aku sering baca fic mu berulang ulang.
ReplyDeleteThe time travel pun uda aku baca, mungkin setahun yg lalu aku membacanya.
1 kata utkmu, YOU ARE AMAZING AND THE BEST FANFIC :)