Ichi Go Ichi E (Full of Friendship): Bab 1 Andhira Hutajulu: Apa Hobimu?

Halo, Guys.
Kali ini saya kembali dengan novel terbaru saya. Judulnya Ichi Go Ichi E (One Chance in A Lifetime). Genre Friendship, tema Cosplay. Target pembaca remaja, tapi bisa juga kok dibaca sama dewasa.

Andhira Hutajulu: Apa Hobimu?
            “Kampreeeetttt! Siapa lagi ini yang nge-hack website gue?!” Dhira menggebrak meja sampai barang-barang di atasnya melayang lima centimeter dari tempatnya.
            “Berisiiikkk! Ini masih pagi, Bonengg! Awas mejanya rusak! Kamu ganti pakai uangmu sendiri!”
            Omelan tulangnya membuat kepala Dhira makin pening. Gigi atas dan bawahnya menyatu kuat menahan gertakan lengkingan yang siap ia lontarkan. Akhirnya ia malah lampiaskan kegeramannya dengan mengacak-acak rambutnya.  “Ini udah ketiga kalinya dalam sebulan terakhir!”
            Dan ini sudah sepuluh kalinya dalam kurun waktu lima bulan. Hal tersebut jelas mengacaukan hati Dhira. Pasalnya serangan yang dilakukan terlampau intens.
            Layar PC-nya berubah gelap. Ada kepala tengkorak berwarna merah menggelinding ke kiri dan kanan layar, lalu tengkorak itu berubah besar tepat di tengah layar; ngakak.
            “Sialan lo! Malah ngetawain gue!” Dhira memperhatikan nama hacker yang tertera setelah tengkorak merah itu menghilang.
            Si Anak Ingusan
            “Ini nggak bisa dibiarkan terus! Lama-lama bisa gila gue!” Dhira pun mengutak-atik PC-nya. Ia masuk ke bagian admin web forum yang ia buat setahun lalu itu. Tapi password yang ia masukan di-report salah. Ia jadi melenguh frustasi.
            “Boneeenngg! Bisa diam nggak?! Cepat keluar dari kamar! Makin berisik aja kamu! Mau aku lepas aja pintu kamarmu, hah?!”
            Dhira meringis. Suara menggelegar tulangnya memang tiada tandingnya. “Sebentar, Tulang! Ini masalah hidup dan mati!”
            “Alah, banyak gaya kamu! Cepat keluar! Cuci piring menumpuk ini! Kalau nggak, kamu nggak usah berangkat sekolah hari ini!”
            Sejurus Dhira menunduk ketika mendengar suara nyaring dari pecahan kaca yang menabrak pintu kamarnya. Ia memandangi pintu itu sejenak. Untungnya pintu itu tetap kokoh pada tempatnya. Sayangnya Dhira yang mulai ciut.
            “Iya, Tulang.” Dhira mengembuskan napas dan berdiri. Ia memutuskan keluar kamar, meski urusannya dengan web buatannya belum selesai. Ia terkesiap ketika membuka pintu dan menengok ke bawah. Nyaris saja ia menginjak pecahan piring yang dilempar tulangnya tadi.
            Dhira menengok ke segala arah. Batang hidung tulangnya tidak kelihatan. Ia lantas bergegas menuju dapur. Dengan terpaksa menuruti perintah tulangnya mencuci piring yang menumpuk; membentuk dua menara sepantar pelupuk matanya. Dhira menggelengkan kepala. “Udah macam dua menara kembar di Lord of The Rings aja nih. Tinggal gue tolak langsung hancurlah semuanya!”
            “Apanya yang hancur, Boneng?! Berhentilah mengoceh, bisa terlambat kamu nanti! Udah kusekolahkan kamu mahal-mahal, harus yang benar sekolahnya!”
            Tubuh Dhira langsung tegak berdiri; melanjutkan pekerjaannya. Saat mendapat suntrungan oleh tulangnya pun ia tetap pada posisinya.  Lagi pula ini sudah menjadi santapan paginya setiap hari.
            Dhira selalu mematrikan di hatinya bahwa proses ini harus dilaluinya dengan sempurna. Ia tahu di lubuk hatinya yang terdalam, ia ingin menuntut keadilan.
            “Gue harus kuat dan pasti bisa melaluinya. Suatu saat gue bisa menjadi Albert Einstein kedua di dunia,” bisiknya dengan kepercayaan diri yang selangit.
.
            Apa yang kamu pikirkan tentang masa depan? Jika kamu melihat orang kebanyakan, mereka akan mengambil studi setinggi mungkin, lalu mencari kerja sesuai dengan lowongan yang dibuka (tidak masalah tidak sesuai dengan jurusan, yang penting menambah pengalaman), lantas bekerja di perusahaan ternama. Itu pun kalau kamu diterima di sana.
            Kata kebanyakan orang juga kamu harus berprestasi, terutama di bidang akademik. Seluruh mata pelajaran harus kamu kuasai. Maka dijamin kamu tidak akan khawatir dengan masa depanmu nanti. Untuk bidang non-akademik itu bisa menjadi nilai plus.
            Karena itu Dhira memilih jalan umum itu. Hanya saja untuk kegiatan ekstrakurikuler film sudah lama ia tinggalkan sejak awal duduk di kelas 11.
            Ulangan matematika kali ini, lagi-lagi Dhira menandaskannya dengan sukses. Ia tuntas mengerjakan semua soal hanya dalam waktu satu jam. Ia cukup bangga dengan kerja keras hasil begadang tiga hari tiga malamnya itu. Meski saat mengumpulkan jawaban ke Pengawas ia mendapat bisik-bisik celaan dari teman-teman sekelasnya.
            Kini Dhira berdiri di ruang guru, padahal ia ingin segera meluncur ke kosan Jo. Kebetulan salah satu pengawasnya adalah wali kelasnya, Pak Bondan.
            Pak Bondan mempersilakan Dhira duduk di bangku yang sudah tersedia di sana. “Bapak cuma mau bicara sebentar,” tegasnya.
            Dhira mengangguk cepat.
            “Dhira, Bapak yakin kamu bakal jadi orang hebat nantinya. Jadi, pertahankan prestasi akademismu. Jarang Bapak temukan murid laki-laki pintar dan seulet kamu.”
            Bibir Dhira terkunci. Tolong jangan puji gue lebih dari ini….
            “Ada yang mengganggu pikiranmu? Bapak lihat teman-teman sekelasmu masih sinis sama kamu.”
            Makanya jangan terlalu menganakemaskan gue!
            “Saya masih bisa mengatasinya kok, Pak,” jawab Dhira; membetulkan letak kacamatanya.
            “Kalau ada apa-apa jangan sungkan lapor ke Bapak atau Bu Yuni sekalian. Sepertinya banyak temanmu yang iri sama kamu.”
            Gue nggak pernah bermaksud membuat mereka iri sama gue kok.
            Dhira tersenyum lebar. Kali ini ia paksakan. Sekali lagi ia ingin menunjukkan bahwa masalah ini masih dalam batas wajar. Ia kembali membenarkan letak kacamatanya. “Baik, Pak.”
            “Bapak sangat mengapresiasi keberanianmu melaporkan kasus Miftahuddin semester tahun lalu. Sayangnya ia terlampau pengecut dan memilih keluar dari sekolah ini.”
            Dhira lagi-lagi menanggapinya dengan biasa. Ia hanya mengangguk seraya tersenyum selebar mungkin. Senyuman yang tentunya dipaksakan.
            “Oh ya, kamu sudah memutuskan akan melanjutkan kuliah di universitas mana? Kalau Bapak boleh berpendapat, lebih baik kamu melanjutkan studi di Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung.”
            Dhira berdeham. “Saya masih bingung, Pak. Akan saya pertimbangkan dengan Ibu saya dulu.” Padahal ibunya menyerahkan pilihan studi sepenuhnya padanya.
            “Baiklah. Sekarang kamu boleh pulang.”
            Dhira mengucapkan terima kasih dan buru-buru beranjak dari sana.
            “Dhira, ada yang Bapak lupa tanyakan sama kamu.”
            Sejurus Dhira menghentikan langkahnya. Ia berdecak kesal (yang tentunya tidak terdengar oleh Pak Bondan) dan membalikkan badan. “Ada apa, Pak?”
            “Kamu nggak ikut kegiatan ekskul?”
            Dhira menggelengkan kepala.
            “Kenapa?”
            “Nggak ada kegiatan ekskul di sini yang sesuai dengan hobi saya, Pak.”
            Pak Bondan berdeham. Ia sangat senang dengan Dhira yang ia yakin selalu berperilaku jujur, maka dari itu ia ingin mengarahkannya menjadi murid teladan di sekolahnya. Murid teladan yang berprestasi dibidang akademik dan non-akademik. “Apa hobimu itu?”
            “Ber-cosplay,” jawab Dhira singkat.
            “Cosplay?” Kepala Pak Bondan miring sebelah. Ia baru mendengar istilah itu.
            Karena malas berbicara lebih lama lagi, Dhira pun pamit dan bergegas beranjak dari ruang guru.





Yuk kunjungi link berikut ini untuk membaca bab selanjutnya


Share:

0 komentar