Fanfiksi Naruto: Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 4

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.

Selamat Membaca :D.
.
.
Namun tiba-tiba tubuh Kushina sedikit gemetaran. Ia pun merasa aneh kenapa tubuhnya menjadi seperti ini. Ia memandangi Sakura, gadis yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Lantas ia menyadari bahwa anting mawarnya itu bersinar di balik kain kudung yang ia pakai. Mata Kushina pun terbuka lebar.
‘Earendell bereaksi terhadap gadis ini. Ada apa sebenarnya?! Padahal Ayah bilang Earendell tidak dapat memancarkan cahaya lagi di dunia ini.’

.
.
Chapter 4
Fajar Menyingsing
.
.
Kushina menatap Sakura tanpa berkedip. Ia benar-benar keheranan mengapa tiba-tiba antingnya mengeluarkan cahaya lagi. Untung saja telinganya tertutup dengan kain kudung merah yang lumayan tebal, sehingga cahaya dari Earendell tidak ketara oleh Sakura
“Maaf, Bibi. Anda tidak apa-apa?”
Suara Sakura kemudian membuyarkan lamunan Kushina. “Ah, ya, aku tidak apa-apa,” ucapnya sambil berdiri.
Sakura lantas memberikan barang bawaan Kushina yang telah ia bereskan. “Ini, punya anda, Nona. Maaf atas kecerobohan saya.” Ia membungkuk pada Kushina.
Kushina pun mengambil barang bawaannya yang disodorkan Sakura. “Tidak apa-apa, ini kesalahan saya juga. Terima kasih.” Ia tersenyum tipis; di saat menghadapi suasana nadir seperti ini, ia memang tak bisa tersenyum sebagaimana dirinya.
“Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu…” Sakura lalu menuju ke kedai toko obat klan Nara tanpa menatap ke belakang.
Kushina mengerenyitkan dahinya. Ia hanya memperhatikan gadis itu berjalan menjauhinya. ‘Gadis yang berwajah suram,’ itulah yang mungkin ia pikirkan tentang Sakura. Tapi yang sulit dipikir dengan logika, ia benar-benar bingung mengapa Earendell dapat bercahaya terhadap gadis suram itu. Hal ini akan ia tanyakan pada ayahnya nanti.
Tak mau lama singgah di Konoha, Kushina lantas berbalik menuju ke kudanya. Mata scarlet-nya menatap pada sosok yang sedang berdiri di dekat pohon tak jauh dari kedai. Sosok itu sedang menatapnya pula tanpa ada segaris ekpresi yang tersirat di wajahnya. Namun Kushina tak terlalu mempedulikannya, ia segara naik, dan memacu kudanya ke arah utara.
Sementara Sai—yang sedang berdiri di dekat pohon—dapat menebak bahwa wanita berkerudung merah tadi bukan penduduk asli Konohagakure. Tak disadarinya ada rona merah yang merekah di kedua pipi pucatnya. Harus ia akui wanita itu sangat cantik menawan. Aneh, padahal selama ini dia tidak memiliki emosi. Sai langsung menyudahi prasangkanya, ia lantas memperhatikan Sakura yang disambut kedatangannya oleh Nara Yoshino.
“Permisi, Yoshino-san.”
“Sakura ya? Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin membeli sepuluh tanduk rusa untuk keperluan rumah sakit.”
“Ah, ya ya. Kemarin Shikaku bilang, Godaime-sama yang memesannya. Tunggu sebentar ya,” ujar Yoshino sembari tersenyum. Ia kemudian beranjak ke ruangan dalam.
Sakura hanya mengangguk. Ia lantas memperhatikan seluruh isi kedai. Kedai toko obat klan Nara itu menjual bermacam-macam obat dengan tanduk rusa sebagai bahan pokoknya. Tanduk rusa klan Nara memang sudah dikenal sebagai bahan baku obat yang mujarab untuk luka apa pun.
Tak berapa lama kemudian Yoshino membawa sepuluh tanduk rusa yang sudah diikat dengan tali. “Hai, Douzo.” Ia pun menyerahkannya pada Sakura.
“Arigatou Gozaimasu, Yoshino-san.”
“Do itashimashite.”
Sakura hendak mengambil uang dari kantung kunai-nya.
“Kau tak perlu membayarnya, Sakura. Godaime-sama kemarin sudah membayarnya.”
“Benarkah? Baiklah kalau begitu.”
Yoshino tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Sakura, aku turut prihatin atas kejadian yang menimpa Naruto.”
Deg!
Sakura langsung mematung, raut kepedihan mulai terpahat kembali di wajah ayunya. Sebenarnya ia paling tidak suka jika ada orang yang membahas hal itu. Kemarin saja, ia tidak mau membicarakannya pada Ino. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk.
“Tapi aku yakin Shikamaru bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Naruto pasti bisa ditemukan.”
Sakura melontarkan senyum palsunya pada Yoshino. Ia melakukannya bukan bermaksud tidak sopan; ia hanya ingin menutupi kesedihannya saja. “Ya, Yoshino-san. Terima kasih sekali lagi. Saya permisi dulu.” Ia membungkuk sedikit pada Yoshino dan meninggalkan tempat itu dengan segera. Ia pun menghampiri Sai.
“Sai, maaf kau harus menunggu lama. Tadi ada musibah kecil.”
“Tidak masalah, Sakura-san. Kita langsung ke rumah sakit?”
“Ya.” Sakura hendak beranjak dari tempatnya, namun Sai menahannya.
“Sakura-san, kalau boleh aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Jam masuk masih 30 menit lagi ‘kan?”
“Memangnya kau mau mengajakku ke mana?”
“Ke tempat yang paling Naruto-kun suka di desa ini,” ucap Sai tersenyum.
Sakura hanya bisa terpaku di tempatnya mendengar pernyataan Sai itu.
Time Skip Uzumakigakure
Uzumaki Miyazaki sedang berdiri menatap Naruto yang masih terbaring di atas kasurnya. Ini kali pertamanya ia mengunjungi cucu semata wayangnya. Ia perhatikan wajah Naruto dengan saksama. Kalau saja rambut Naruto berwarna merah juga, pastilah ia akan sangat mirip dengan Kushina, tapi cucunya ini malah memiliki rambut dari ras yang ia sangat benci.
Manusia…
Entah setan mana yang mempengaruhinya untuk mengizinkan Minato mempersunting Kushina. Apalagi ketika ia pada akhirnya tahu, Minato tak sepenuhnya menepati janjinya dulu. Dia gagal melindungi anak perempuan semata wayangnya yang sangat ia sayangi.
Tapi di balik semua itu, Miyazaki mengerti bahwa semua ini adalah kesalahannya. Harusnya misi menyegel semua bijuu ke lingkar luar Uzumakigakure tetap ia teruskan dari dulu. Misi itu berhenti di tengah jalan karena tak ada satu pun yousei yang dapat membuat keempat hewan titisan para dewa tunduk pada mereka. Akhirnya yousei merelakan untuk menyegel bijuu-bijuu itu ke tubuhnya sendiri. Padahal tidak menutup kemungkinan Uchiha Madara menggunakan para bijuu untuk melancarkan aksinya.
Memang setekahnya, Kushina dan Rin berhasil mengendalikan Suzaku dan Byakko, tapi masih ada dua hewan buas lagi yang perlu mereka jinakkan. Dan ternyata Miyazaki mengharapkan sosok yang terbaring di depannya untuk melaksanakan tugas itu secara menyeluruh…
“Aku memang membenci manusia. Namun aku sangat menghormati Minato karena ia selalu melindungi ibumu dengan segenap jiwanya. Walaupun yang terakhir dia gagal total dan mengingkari janjinya. Tapi aku mengerti harapan itu belum pupus. Untuk itu tidak ada alasan untuk membenci keturunanku sendiri.”
Miyazaki mengambil nafas sejenak. Ia lalu mengarahkan telapak tangan kanannya ke dahi Naruto. “Bangunlah dari tidur panjangmu, Cucuku. Ada tugas berat menantimu…”
Tiba-tiba cahaya putih menyinari ke seluruh sudut kamar Naruto.
.
0o0o0o0
.
Madara menatap tajam sesosok berjubah di depannya. Ia merasa geram karena di saat ia memerlukan sebuah ketenangan untuk memikirkan rencana selanjutnya, ia malah diganggu oleh tamu tak diundang itu.
“Kau punya nyali yang besar untuk mengikutiku sampai ke sini, eh?”
“Kukuku...santai dulu, Uchiha Madara. Aku kemari bukan bermaksud untuk berkelahi denganmu; aku hanya ingin menawarkan kerja sama.”
Madara memicingkan matanya. “Jangan bercanda denganku, Bocah.” Diam-diam ia mengeluarkan jurus tsukuyomi sehingga kini ia dan Kabuto berada di sebuah tempat yang di sekitarnya berwarna merah.
Kabuto terkejut ketika menyadari ia bukan di hutan itu lagi. “I-Ini?”
“Heeh, kau jangan bermain-bermain denganku. Kalau kau tidak menjawab pertanyaanku dengan jujur kau akan kusiksa selama 72 jam.”
“Begitu rupanya? Hmm, aku tahu kau sekarang membutuhkan pasukan agar rencanamu berhasil. Dan aku…aku hanya menginginkan Uchiha Sasuke, jadi aku tidak menawarkan kerja sama dengan cuma-cuma. Dan tidak juga dengan kekerasan tentunya. Kukukuku.”
Madara menatap Kabuto tajam. “Ada urusan apa kau dengan Sasuke?”
“Aku hanya ingin menyelesaikan urusanku dengannya yang kemarin-kemarin belum terselesaikan. Hehehe.”
Madara sedikit tergiur dengan ‘pasukan’ yang dikatakan Kabuto tadi, tapi ia langsung menepis harapan itu karena dia tahu lawannya bukanlah sembarangan shinobi. “Huh, kau menawarkan padaku pasukan seperti apa? Jangan menganggap enteng rencanaku. Aku butuh pasukan yang sangat kuat tahu.”
Kabuto menyeringai kejam. “Aku mengerti akan hal itu, tapi kau juga perlu mengetahui, aku juga tahu kemarin dua orang wanita peri membuatmu tak berdaya dengan pesona yang dimiliki oleh mereka.”
“Apa?!”
“Sulit dipercaya bukan? Klan yang dulu tenggelam oleh waktu dan tak terdengar kabarnya selama ratusan tahun, kembali lagi untuk mengambil apa yang dulu mereka punya.”
Madara kesal mendengarnya, ia beranggapan jika bijuu-bijuu itu adalah miliknya dan tentunya ia tak akan membiarkan bijuu-bijuu itu di segel kembali di tempat para yousei itu. “Hn, kau memang licik, Kabuto. Persis dengan tuanmu Orochimaru. Tapi sayang sekali, mencari pasukan sampai ke ujung dunia pun, kau tidak akan menemukan pasukan yang setanding dengan para yousei, lagipula Sasuke sudah kembali ke Konoha.”
Kabuto malah tambah tersenyum penuh kemenangan mendengarnya. “Hahaha. Tentu saja aku mengetahui pasukan seperti apa yang dapat mengalahkan yousei-yousei itu. Itu pun kalau kau membantuku untuk bertemu dengan Sasuke nanti.”
“Apa yang ingin kau lakukan?” tanya Madara keheranan.
“Aku bisa membangunkan pasukan terkutuk yang sangat dibenci oleh para yousei, yang dulu Rikudou Sennin susah payah menyegelnya sampai hampir kehilangan nyawa. Yaa…cuma legenda sih, namun sayangnya aku mengetahui tempat di mana iblis-iblis itu di segel.”
Mata sharingan Madara terbuka lebar. “Ka-Kau…? Jangan macam-macam kau, Bocah. Mereka bukanlah pasukan sembarangan, kau tidak mengerti risikonya.”
“Haah, aku sudah memikirkannya masak-masak, Uchiha Madara. Bagaimana? Kau tak punya nyali untuk menerima tawaranku? Yang kumau tidak susah-susah amat kok. Aku hanya ingin Sasuke dan kau…kau kuberikan pasukan pasling mematikan di dunia ini. Hahahaha.”
Madara pun kembali berpikir, ide yang bagus sebenarnya namun ia harus mengakui kalau Yakushi Kabuto ini sudah setengah gila. Memanggil pasukan paling mengerikan itu bukanlah hal yang gampang. Kemudian ia menyeringai. “Baiklah, aku menerima tawaranmu…”
Time skip Uzumakigakure
Biru langit terbuka menipis, mencari kekuatan untuk terbangun dari gelapnya mata yang tertutup. Terlalu lama ia tertidur tanpa mengetahui masalah-masalah yang terjadi semasa lalu. Untungnya ia tak selusuh kemarin.
Terus membuka, menatap langit-langit berlapiskan kaca yang memantulkan sinar mentari siang ke dalam ruangan. Silau…
Naruto buru-buru menutup matanya dengan lengan kanannya. Sedang di mana ia sekarang? Ia terus menanyakan hal itu di pikirannya. Apa ruangan ini benar-benar kamar tidurnya? Tetapi seingatnya kemarin ia diserang oleh Madara dan setelah itu ia tidak ingat lagi apa yang terjadi dengannya. Lalu mimpi buruk…dan suara orang asing yang berbisik; membujuknya untuk mengikuti perintahnya. Ah, dia tidak mengerti. Dia juga tak ingin terlalu memikirkan mimpi itu.
“Ini dimana?” lirih Naruto. Suaranya masih tercekat di tengah tenggorokan, mungkin karena terlalu lama tidak bercakap-cakap atau mengoceh pada dirinya sendiri. “Ugh, silau sekali. Kenapa aku ditempatkan di ruangan yang terang begini?”
Naruto pun mencoba bangun dari rebahannya secara perlahan. Tubuhnya kaku sekali, seperti membeku karena terserang badai salju tanpa memakai mantel untuk pelindung. Dia jadi bertanya-tanya lagi; sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri?
“Ah, aku tidak bisa duduk,” ucapnya setelah kembali berbaring. Naruto lalu memperhatikan seluruh tubuhnya yang nyaris diperban kecuali di bagian kepala. “Siapa yang mengobatiku?” tanyanya pada diri sendiri, bingung.
Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki dari seberang. Rupanya di sana ada sebuah lorong yang menyambungkan ruangan di mana ia berbaring sekarang dengan sebuah bangunan yang sangat elok dipandang. Naruto terpana melihat bangunan itu, tapi ia tak bisa lama-lama menatapnya ketika menyadari seseorang ada di ruangan kamarnya.
“Selamat siang, Naruto.” Seorang wanita berambut coklat menutup kembali pintu kaca sembari menyapa Naruto. Yang ia tahu Naruto sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri, namun setiap ia mengunjungi anak dari kakaknya itu ia selalu mencoba berkomunikasi. Jadi bisa dibayangkan ketika… “Hari ini kita akan—”
“Hai, apakah kau yang mengobatiku?” tanya Naruto pada Rin sembari tersenyum. Ia menatap wanita di depannya dengan penuh rasa kejut; wanita itu cantik sekali, namun sayangnya bentuk telinga dan matanya sangat aneh.
PRANGG!!
Gelas dan botol yang dibawa Rin pun terlepas dari kedua tangannya. “Na-Naruto?”
“Kau tahu namaku? Kalau begitu kau sendiri siapa? Aku tak pernah—”
“Aku harus memberitahu nee-sama sekarang.” Rin pun langsung pergi dari tempat itu.
“Hei, tunggu dulu!” teriak Naruto. “Yah, dia pergi.” Sialnya tubuhnya masih kaku, duduk saja belum mampu ia lakukan. Tapi ia menyadari akan satu hal ketika ia melihat jari-jari tangannya dapat digerakkan. “Tanganku bisa digerakkan,” ucap Naruto tersenyum riang. “Kalau dipaksakan mungkin aku bisa duduk.” Ia pun lalu mencoba untuk bangkit lagi dari rebahannya. Kali ini Naruto berusaha sekuat tenaga namun dengan hati-hati, karena ia takut juga jika ada tulangnya yang remuk. Dan tak beberapa lama kemudian benar saja…
“Yes, bisa. Hehehe,” ujarnya girang. Ia lalu memandangi tempat di sekitarnya; Naruto pun menyadari kalau ruangan yang ia tempati memang sangat-sangat terbuka. “Ya ampun, siapa yang menaruhku di ruangan ini? Yang seperti ini sih mana bisa membuat tidur nyenyak,” omelnya. Ia menatap pekarangan di luar ruangannya. Benar-benar hijau, berbeda dengan Konohagakure no sato, kampung halamannya. Jadi bisa dipastikan di sini bukan desa Konoha.
Naruto kemudian mengarahkan pandangannya pada sebuah meja yang berdiri di samping tempat tidurnya. Ada sebuah foto yang terpampang di dalam pigura emas berukuran telapak tangan orang dewasa. Ia perhatikan foto itu secara saksama.
“Ini…” Naruto menggenggam foto itu; memperhatikannya dengan perasaan campur aduk. “Otou-san ‘kan?” Ia seperti melihat dirinya sendiri di foto itu. Lelaki separuh baya sedang bergelayut mesra dengan seorang wanita berambut merah yang sedang hamil besar. Mereka tampak bahagia.
Baru kemarin ia bertemu langsung dengan Hokage Keempat, wajahnya benar-benar terekam jelas di otak Naruto karena mereka berdua nyaris mirip. Hanya saja harus dia akui, ayah kandungnya itu lebih tampan darinya. Terlepas dari semua penderitaan yang ia alami, ia sangat bersyukur dapat bertemu dengan Namikaze Minato, Hokage Keempat yang sangat ia kagumi.
Namun wanita cantik di samping ayahnya itu sama sekali tak ia kenal. Ia mencoba menerka-nerka siapa wanita itu sampai-sampai foto ini menunjukkan kemesraan mereka. Tiba-tiba tangan Naruto bergetar seketika… “Ja-Jangan-jangan…”
.
0o0o0o0
.
Hatake Kakashi sedang memperhatikan sebuah buku bersampul merah di tangannya. Hari itu ia memilih tinggal di rumah saja, mumpung sedang tidak ada tugas misi. Ia ingin mengerjakan tugas lain yang lebih penting.
Beberapa hari yang lalu Tsunade memberikannya sebuah buku yang ia sendiri belum mengetahui apa maksud Tsunade memberikan buku itu.
Yang jelas ia harus melihat dulu isinya, mungkin ada sebuah petunjuk atau maksud lain, entahlah. Ia berkali-kali membolak-balik buku itu tanpa melihat isinya.
Lalu Kakashi pun memutuskan untuk segera membuka cover buku itu, di sana tertulis. “Segenggam cinta dariku…Namikaze Minato… Ini buku harian sensei?” Ia mengejanya sembari terkaget-kaget. Ia pun membuka halaman berikutnya; ia menemukan tulisan aneh yang ia tak mengerti apa artinya.
“Ini tulisan Kushina-san…jangan-jangan ini… Bahasa antik klan mereka…” Ia menghembuskan nafas kuat-kuat.
Ya, Kakashi memang mengetahuinya. Dulu secara tidak sengaja tentunya. Ia memang tidak pernah melihat seperti apa wujud asli klan Kushina, namun kekuatan tersembunyinya pernah ia lihat secara langsung. Ceritanya sangat panjang, ia tidak mau mengingatnya karena kejadian itu akan mengantarnya pada kejadian yang lain yang paling menyakitkan baginya seumur hidup.
Tiba-tiba Kakashi merasakan sebuah tangan bergelayut di pinggangnya. “Kau sedang apa, Kakashi?”
Si ninja peniru itu lekas menoleh ke belakang. “Kurenai… Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?”
“Maaf pintumu tidak kau kunci. Aku panggil berapa kali tapi kau tidak datang. Jadi aku masuk saja. Kau sedang apa?”
“Begitu? Aku hanya ingin membaca ini saja,” ucap Kakashi menunjukkan buku tadi pada Kurenai.
Ekspresi Kurenai yang biasa-biasa saja kemudian seketika berubah. “Kau membaca buku porno itu lagi?”
“Hahaha, ini bukan icha icha paradise, Nai-chan. Hanya buku biasa kok. Ngomong-ngomong di mana Hiruzen? Kau tidak membawanya?”
“Hm, baguslah kalau begitu… Dia kutitipkan pada Anko, aku sudah bilang padanya tadi aku ingin berduaan saja denganmu.”
“Dasar…” Kakashi segera bangkit dari tempat duduknya; ia menaruh buku tadi ke lemari, tidak ingin Kurenai melihat rahasia di dalamnya. “Kau sudah makan?”
“Ya, baru tadi saja. Kau…?”
Kakashi hanya mengangguk. Ia lantas mendekatkan tubuhnya pada tubuh ramping Kurenai sehingga tubuh mereka saling bersinggungan.
Lama mereka dalam keadaan seperti itu, saling menatap wajah satu sama lain. Scarlet dan onyx saling bertemu… Kurenai kemudian membuka perlahan masker yang selalu menutupi bagian mulut Kakashi secara perlahan. “Kau tidak kepanasan memakai ini terus?”
“Yah, sudah biasa sih,” jawab Kakashi sembari tersenyum. Ia membiarkan saja Kurenai melakukan aktivitasnya. Wajahnya yang selalu ia tutupi pun terlihat dengan jelas.
Kurenai tersenyum melihat wajah tampan pria di hadapannya. Kalau selama ini dia tidak membukanya, pastilah si ninja peniru ini akan menjadi primadoninya desa Konoha. Untung saja dia tidak melakukannya. Kemudian Kurenai teringat akan satu hal yang ingin ia bicarakan pada Kakashi. “Kakashi, kau tidak memberitahu semua orang kalau kita sudah menikah?”
Kakashi langsung terperanjat mendengar pertanyaan Kurenai. Itu adalah rahasia yang ia tutupi pada semua orang terdekatnya selama dua bulan terakhir ini. Ya, mereka telah menikah diam-diam dan belum tinggal satu atap bersama.
“Kurenai…aku—”
Kurenai tiba-tiba menaruh kepalanya di dada bidang Kakashi. “Tidak apa-apa, Kakashi; aku mengerti. Kau sedang banyak masalah akhir-akhir ini. Aku juga takut kalau nanti banyak orang mengatakan aku telah mengkhianati Asuma.”
“Sssttt…” Kakashi membelai rambut hitam si mata scarlet itu. “Aku tahu kau tidak seperti itu… Aku mengerti kau masih belum bisa melupakan Asuma.”
“Harus kuakui memang, tetapi aku ingin memulai kehidupan baru denganmu. Apa itu salah? Tidak ada orang yang bisa hidup seorang diri di dunia ini.”
Kakashi menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. “Tidak…aku sabar menunggu. Aku malah sangat beruntung kau menerima lamaranku.”
“Itu karena aku juga ingin mencintaimu…” Kurenai makin mengeratkan dekapannya pada Kakashi. Ia kemudian merasakan tangan Kakashi menyentuh dagunya; mengangkatnya perlahan sampai ia menatap wajah si ninja peniru itu. Kurenai menyadari wajah Kakashi lama-lama semakin mendekat ke wajahnya sendiri. Ia pun memejamkan matanya.
Melihat respon Kurenai yang tidak menolak, Kakashi pun langsung mencumbu bibir merah Kurenai. Ia semakin mencengkram erat pinggul Kurenai dengan kedua tangannya, si kunoichi ahli genjutsu sendiri melingkarkan kedua tangannya di leher Kakashi. Hal ini membuat Kakashi tambah bersemangat merasakan bibir manis Kurenai. Tapi tiba-tiba Kurenai menghentikan aktivitasnya membuat Kakashi keheranan.
“Kau tahu mengapa aku datang ke sini, Kakashi?”
“Kenapa?” tanya Kakashi penasaran.
“Aku hanya ingin menuntut kewajibanmu yang belum kau lakukan, semenjak kita menikah dua bulan yang lalu.”
Mendengarnya Kakashi langsung blushing. Yah memang benar, mereka belum mengambil langkah kebih jauh untuk mengeksplorasi hubungan mereka. Bukan apa-apa, ada banyak hal yang membuat Kakashi tidak terburu-buru ingin melakukannya. “Eh? Ma-Maksudmu k-kau ingin melakukannya sekarang?”
Kurenai mengangguk malu.
Entah mengapa Kakashi jadi semakin dag dig dug. “Kau yakin?”
“Seratus persen,” ujar Kurenai sembari tersenyum.
Kakashi mencoba mencari kepastian lagi. “Bu-Bukannya lebih bagus malam kita melakukannya?”
“Nanti malah mencurigakan, kau belum ingin hubungan kita ketahuan yang lain ‘kan?”
“Me-Memang benar, ta-tapi—”
Kurenai tertawa kecil melihat kegugupan suaminya itu. “Kau tak perlu takut, Sayang. Kita ini suami istri, tak ada larangan untuk melakukannya.”
“Ya, hahaha. Aku hanya ingin memastikan.”
Kurenai segera membuka perban yang menggulungi tangannya perlahan. Ia melihat Kakashi merapalkan jutsu yang ia tak tahu jutsu apa itu. “Kau sedang apa?”
“Aku mengaktifkan jutsu peredam suara.” Ia pun segera menutup jendela dan membiarkan kamarnya sendiri dalam keadaan gelap. “Begini lebih baik ‘kan?”
Kurenai tersenyum manis.
“Kau siap, Manisku?” tanya Kakashi sembari mendekatkan dirinya pada istrinya lagi. “Akhirnya aku bisa juga mempraktekkan buku yang bertahun-tahun aku baca,” ucapnya sembari tersenyum menyeramkan.
Kurenai tertawa kecil mendengarnya. Ia lalu merasakan Kakashi mulai melucuti pakaiannya satu per satu.
Lantas ruangan itu layaknya dikerumuni oleh kupu-kupu. Mereka berterbangan ke segala arah terlihat bahagia walau kelihatan sedang banyak masalah. Hari ini dua insan bersatu dalam satu ikatan yang akan sulit untuk diputuskan begitu saja. Mereka saling melenguhkan nama satu sama lain sampai suara dan tenaga mereka habis…
Time skip di depan jalan menuju Rumah Sakit Konoha.
Hinata hari ini memutuskan untuk menjenguk Sasuke kembali. Ia membawa sekuntum bunga lavender dan satu keranjang buah pear di tangannya. Sebenarnya ia tidak ingin repot-repot, tapi rasanya tidak sopan jika menjenguk orang yang sakit tudak membawakan oleh-oleh. Setidaknya bisa menghibur orang yang ia jenguk. Ia pun tidak ingin terburu-buru; melangkahkan kakinya dengan yang biasa ia lakukan.
“Hinata!”
Tiba-tiba ada sebuah suara yang menyapanya dari arah belakang. Hinata pun menoleh ke sana. “Ino. Ohayou.”
“Ohayou,” balas Ino. Ia kemudian memperhatikan barang bawaan Hinata. “Kau ingin menjenguk seseorang?”
“Ah, ya Ino,” ucap Hinata malu-malu.
Ino memperhatikannya dengan tersenyum. “Akhir-akhir aku perhatikan kau tidak terbata-bata lagi ya, Hinata? Oh ya kau ingin menjenguk siapa?”
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah sakit.
“Aku sendiri juga tidak tahu, refleks saja sepertinya. Ehm, aku ingin menjenguk Sasuke-kun.”
“Eh?” Ino terperanjat mendengarnya. Ia ingin bertanya satu hal pada Hinata, tapi ia tidak lakukan karena ada seseorang yang lain yang menarik perhatian matanya.
Dari arah berlawanan tampak Shikamaru berjalan menuju pintu utama rumah sakit.
“Shikamaru-kun, Ohayou,” sapa Hinata tiba-tiba.
“Ohayou, Hinata.” Shikamaru membalas sapaan Hinata, kemudian ia menatap Ino dengan wajah datar. “Ohayou…”
“Ohayou…,” balas Ino lirih. Ia memperhatikan Shikamaru yang perlahan-lahan meninggalkannya; ia ingin membicarakan suatu hal pada si ninja jenius itu tapi ia takut mood sedang Shikamaru tidak bagus. Bisa-bisa ia dibentaknya lagi.
Hinata yang menyadari keanehan itu langsung saja mencoba memecahkan keheningan. “Kau tidak apa-apa, Ino? Sedang ada masalah dengan Shikamaru-kun?”
“Ah? Kami baik-baik saja kok, hanya saja Shikamaru sedang sibuk akhir-akhir jadinya kami jarang bertemu,” dalih Ino. Ia memperhatikan Shikamaru yang sudah jauh berjalan di belakangnya; ia lalu kembali berjalan sesuai arah tujuannya datang ke rumah sakit.
Sementara itu Shikamaru menghentikan jalannya dan menoleh ke arah belakang. Ia memperhatikan Ino yang berjalan semakin jauh ke dalam rumash sakit Konoha. “Palingan dia mau ke tempat Sasuke lagi. Untunglah tadi aku buru-buru pergi sehingga dia tidak mengajakku berbicara…” Shikamaru memandang langit di atasnya yang cukup terang saat ini. “Aku tidak ingin membentak Ino lagi…”

Share:

0 komentar