Fanfiksi Naruto: Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 3

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with the Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.


Selamat Membaca, Kawan ^^
.
.
Sedangkan di lain tempat, Chouji berusaha untuk menghibur Ino. “Ino, maafkan Shikamaru. Jangan ambil hati kata-katanya barusan. Shikamaru sedang dalam masalah besar saat ini. Kau menyadarinya ‘kan? Dia tak henti-hentinya menghisap rokok sejak kita berkumpul tadi.”
Ino menyeka airmatanya. “Memangnya ada apa sebenarnya, Chouji?”
Chouji menatap Ino dengan prihatin. “Ini…tentang hilangnya Naruto…”

.
.
Chapter 3
Pewaris Earendell

.
.
Yamanaka Ino menatap wajah chubby Chouji dengan perasaan tak enak di hatinya. Ada apa lagi ini? Padahal masalah yang menimpa desa mereka belum usai sepenuhnya, namun sepertinya masalah lain tiba-tiba menghampiri tanpa terprediksi.
“Yang aku dengar kemarin Daimyou-sama (Pemimpin Negara Hi) datang ke Konoha untuk berunding dengan Hokage-sama. Di perundingan itu Daimyou-sama memutuskan…” Chouji mengambil nafas sejenak; dahinya mengerut.
Ino pun kian penasaran dengan apa yang pewaris klan Akimichi itu ingin utarakan. “Memutuskan apa Chouji?”
“Beliau memutuskan, jika tim investigasi tidak bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan Naruto, maka Naruto akan dianggap KIA (Killing In Action),” ucap Chouji kemudian.
Mata cerulean Ino langsung terbuka lebar. “A—Apa?! Kenapa Daimyou-sama memutuskan hal itu? Harusnya beliau tidak memiliki hak untuk—”
“Keadaan sedang kacau, Ino.” Chouji tiba-tiba memotong kalimat Ino. “Setelah jinchuuriki Hachibi tertangkap Akatsuki beberapa waktu lalu, keadaan semakin tegang. Lima Negara Elemental sebentar lagi akan melakukan perundingan besar untuk membahas penyerangan terhadapa Akatsuki. Daimyou-sama memutuskan hal itu karena apa yang Konoha kabarkan tentang Naruto sama sekali tidak jelas. Sementara para petinggi Negara Elemental meminta kejelasan agar mereka bisa segera mengambil tindakan preventif.”
“Aku masih tidak mengerti. Bukankah itu terlalu cepat?” Ino tiba-tiba menjadi gundah gulana. Naruto akan dianggap mati? Sungguh itu adalah keputusan yang sangat despotis. Penduduk desa pasti tidak akan rela dengan hal ini. Naruto adalah pahlawan bagi mereka; mereka sangat berharap Naruto bisa kembali ke Konoha.
“Daimyou-sama, memberikan waktu satu bulan untuk tim investigasi melaksanakan tugasnya. Dengan begitu Shikamaru masih punya waktu dua minggu lagi, tapi jika ia melewati waktu yang telah diputuskan…” Chouji terdiam; ia tak mampu melanjutkan kata-kata yang terbelenggu dalam hatinya. Bukankah kematian adalah hal yang sulit untuk diuraikan melalui sebuah ucapan? Terlebih yang mengalami adalah orang terdekat mereka.
Ino mematung sembari menutup mulutnya. Jujur saja, ini bukanlah kabar yang baik. Terutama untuk Sakura. Ia tak yakin sahabatnya itu bisa menerima kenyataan ini. “Kau tahu semua ini dari mana, Chouji?”
Chouji mengambil nafas sejenak. “Tadi malam Shikamaru menjelaskan semuanya padaku.”
Ino merenung sejenak; ia tertunduk lesu. Kenapa hanya pada Chouji Shikamaru menceritakan kelu kesahnya? “Shikamaru…dia… Apa dia masih marah padaku karena soal kemarin? Yang di rumah sakit itu…”
Chouji menatap teman setimnya itu dengan waswas. Ia tahu betul Shikamaru bukan bermaksud marah pada Ino. Ada sisi lain dari diri Shikamaru yang Chouji ketahui tapi tidak diketahui oleh Ino. Pada akhirnya yang ia katakan, “Aku tidak tahu pasti, Ino. Shikamaru memang menceritakan masalahnya ini tadi malam. Tapi dia tidak pernah membahas hal kemarin itu padaku.”
“Tapi Chouji—”
“Shikamaru merasa tidak berguna, Ino.” ‘Saatnya kita bermain tebak-tebakan,’ ucap Chouji dalam hatinya.
“Eh?” Ino memiringkan kepalanya; tak sepenuhnya mengerti apa yang Chouji ucapkan.
“Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa menyelamatkan temannya.”
Mata biru laut Ino semakin terbuka lebar. Sepenggal kalimat tajam Shikamaru tadi terlintas di benaknya.
“Kenapa kau tidak pindah saja ke tim 7, Ino? Mumpung ada lowongan untukmu…”
“Ja—Jadi begitu…,” lirih Ino. Ia kini sedikit mengerti mengapa Shikamaru bersikap seperti itu kepadanya walaupun ada sebagian dari diri pewaris klan Nara itu yang tidak dapat Ino tembus. Sudah lama ia merasakannya; seakan ada sebuah tembok besar yang menghalanginya untuk menelusuri lebih dalam sifat Shikamaru. Dan ia merasa Shikamaru juga tidak mengizinkan ia untuk lebih masuk ke dalam.
“Cobalah mengerti Shikamaru lebih dalam lagi. Dia memang banyak berubah semenjak Asuma-sensei meninggal. Tapi sebenarnya dia juga membutuhkan perhatianmu, Ino.”
“Heh?” Ino tiba-tiba mendongakkan kepalanya menatap Chouji dengan raut wajah heran. “Apa maksudmu, Chouji?”
“Kau…harus mencari jawabannya sendiri, karena aku sendiri tidak mengetahuinya dengan pasti. Hehe. Daaa…” Chouji pun segera mengambil langkah seribu untuk meninggalkan Ino.
“Tu—Tunggu, Chouji!”
“Aku mau mengantar Kurenai-sensei dulu ke rumahnya. Kau pulang sendiri tidak apa-apa ‘kan?”
Ah, ada apa dengan Chouji ini? Bicaranya tiba-tiba saja jadi ngelantur. Ino jadi tak mengerti harus bagaimana menanggapinya. “Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Sudah kubilang kau harus mencari jawabannya sendiri, Ino. Hehehe.” Kemudian Chouji segera menghilang dari pandangan Ino, meninggalkan gadis blonde itu tercenung di tempatnya.
“Shikamaru membutuhkan perhatianku? Apakah selama ini aku kurang perhatian padanya?” tanya Ino pada dirinya sendiri.
Time Skip Uzumakigakure
Uzumaki Kushina sedang menuju ke kuil utama rumah besar Uzumakigakure, tempat ayahnya biasa menghabiskan waktu. Kemarin-kemarin dia berada di paviliun peristirahatan para penghuni rumah besar di dekat tebing yang menghadap ke lautan lepas Aear (laut). Tempat itu ia pilih karena cocok untuk Naruto yang sedang dalam masa pemulihan.
Kushina memacu kuda yang ditungganginya lebih cepat. Ia telah melewati jembatan Gelair (bintang) yang di bawahnya mengalir sungai Menel (surga) yang alirannya berakhir di lautan Aear.
Sampai di gerbang masuk rumah utama—yang diapit oleh pepohonan Plum lebat, Kushina membelokkan kudanya ke arah kanan. Ia segera turun dari kudanya dan berlari kecil menuju paviliun.
Kalau tidak berada di balairung, pasti ayahnya sedang duduk di paviliun kecil yang berdiri di samping rumah utama—beratap seperti atap kuil—sambil membaca buku. Dan dugaannya salah satunya ternyata benar adanya.
“Mani naa lle umien, Ada? (Apa yang kau lakukan, Ayah?)” tanya Kushina setibanya di pekarangan paviliun. Ia mendongakkan kepalanya ke atas; memandangi ayahnya yang sedang duduk di pinggir pagar paviliun sembari membaca buku.
“Kushina.” Uzumaki Miyazaki segera berdiri dari tempat duduknya. Ia sedikit terkejut dengan kehadiran anak semata wayangnya yang tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
“Tou-sama, apa yang kau lakukan pada Naruto?” Kushina segera menaiki anak tangga sembari melepas jubah merahnya ke lantai. Tak peduli akan kotor atau tidak, yang jelas ia sedang terburu-buru saat ini. Dia pun tidak memberi salam pada ayahnya terlebih dahulu.
“Dimana sopan santunmu, Kushina? Ini masih di wilayah rumah besar. Apa kau tahu apa itu tata krama?”
“Goheno nin, Ada (Maafkan aku, Ayah). Aku sedang terburu-buru; aku ke sini ingin menanyakan sesuatu. Lagipula aku ingin berbicara sebagai anak dan ayah, bukan sebagai pemimpin dan anak buah.” Sejak dulu Kushina memang sangat malas untuk menuruti pranata rumah besar Uzumakigakure. Menurutnya itu membuang-buang waktu dan kadang membuat kepala pusing.
Mantan pemimpin Uzumakigakure itu terlihat berpikir di benaknya. Secara fisik ia sangat mirip dengan Kushina. Rambutnya yang berwarna merah darah memanjang hingga ke pinggang dan dikuncir separuh ke belakang. Warna iris di matanya pun sama dengan iris Kushina yaitu berwarna merah. Hanya saja bola mata ayahnya terlihat lebih kecil dan tajam sehingga lebih menunjukan ketampanannya. Mereka tampak seumuran, padahal umur mereka terpaut kira-kira seratus tahun lamanya. Karena itu adalah salah satu kelebihan yousei, mereka diberi umur panjang dengan fisik muda belia walaupun umur mereka sudah ratusan tahun.
“Mankoi lle uma tanya, Ada? (Kenapa kau melakukannya, Ayah?)” tanya Kushina; airmukanya pun menegang.
“Apa maksudmu, Kushina?”
“Apa kau ingin membunuh Naruto, Tou-sama?”
Miyazaki menatap serius anaknya itu. “Kenapa kau berkata seperti itu? Naruto adalah cucuku,” jawabnya tenang. Namun Kushina bisa merasakan nada dubius dari ucapan ayahnya.
“Dia adalah peredhil (setengah yousei dan manusia). Aku tahu kau membenci manusia, Tou-sama. Tapi tak seharusnya kau memberinya mimpi seburuk itu.”
Miyazaki mengerutkan dahinya sedikit. Ia kemudian memandangi pegunungan Galad (cahaya) yang melindungi kawasan Uzumakigakure dari lingkar luarnya. “Aku hanya memperlihatkannya tentang masa depan dan juga memberitahunya bahwa manusia itu tidak dapat dipercaya.”
Kushina sedikit gemetar mendengar pernyataan ayahnya. “Kau ingin membuat Naruto membenci manusia, Tou-sama? Dan juga tidak ada yousei mana pun yang bisa melihat masa depan secara akurat.”
Miyazaki memandangi Kushina kembali. “Kau meragukan kekuatanku? Kenapa kau tidak mencoba menelusuri kenangan masa lalu Naruto, Kushina? Sama seperti dirimu dulu, manusia tidak memperlakukan dirinya dengan layak. Melihatnya saja hatiku seperti teriris-iris.”
Kushina terdiam sebentar; ia mengerti apa yang ayahnya maksud. Namun yang ia sebutkan itu benar. Walaupun diberi anugrah mata yang bisa menerawang masa depan, ramalan yousei tidak selalu benar sepenuhnya. Sembari menunduk, ia pun setengah berbisik, “Aku tidak akan pernah melakukannya…”
“Lihat… Kau sendiri takut untuk melihatnya ‘kan?”
Kushina menatap kosong ayahnya. “Membayangkannya saja aku tak berani, apalagi melihatnya?”
Miyazaki memperhatikan anaknya itu dengan tatapan nadir, kemudian ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah utama melalui koridor kecil yang menghubungkannya ke paviliun tadi.
Kushina pun mengikutinya dari belakang. Mereka menuju ke balairung rumah besar Uzumakigakure yang terlihat sepi. Hanya ramai apabila ada pertemuan antara rumah besar dengan kalangan rakyat jelata. Balairungnya lumayan besar, sekitar 25x50 meter.
Sembari menelusuri balairung, Miyazaki pun memulai lagi obrolan mereka. “I amar prestar aen, Kushina (Dunia telah berubah, Kushina). Bagaimana kau bisa bertahan dengan segala penderitaan yang kau alami selama ini? Satu-satunya yang kau cintai telah tiada.” Ia tatap anaknya itu dengan airmuka tegas.
Kushina menghirup nafas sejenak. Sepertinya obrolan mereka akan bertambah berat topiknya. “Aku masih memiliki, Naruto. Lagipula Minato hanya mati suri, jiwanya ikut terbelenggu di perut Naruto pada saat penyegelan Kyuubi dulu. Kalau nanti segelnya terbuka Minato bisa—”
“Minato tidak akan bisa kembali ke sini Kushina. Meski jiwanya telah kembali ke raganya sendiri. Dia tidak akan bisa keluar dari Valinor, jadi kaulah yang harus mengunjunginya ke sana.”
“Ada (Ayah)…” Kalimat ayahnya itu begitu menusuk di hati Kushina.
“Aku tak akan memberi toleransi lagi kepadamu, Kushina. Kau harus membujuk Naruto agar ia mau pergi ke Valinor setelah misimu usai nanti. Dia berhak untuk tinggal bersama kedua orangtuanya dan meninggalkan dunia fana yang penuh dengan penderitaan ini.”
Di antara dinding balairung sebelah kanan terdapat lorong besar. Di tembok lorong tersebut terpahat suasana yang menggambarkan sebuah tempat dengan Jinja-jinja (Kuil) besar yang berdiri di pinggir laut lepasnya yang biru. Burung-burung camar terbang di atasnya. Kuil-kuil itu berdiri di hamparan rumput hijau yang terlihat sangat asri. Dermaganya pun sangat luas, menunjukkan betapa gagah kekuatan maritimnya.
Itulah gambaran Valinor yang sangat eksotik. Belum lagi jika melihatnya secara langsung, entah kata-kata apa yang pas untuk menjabarkan keindahannya.
“Valinor, tempat persinggahan terakhir para yousei. Apabila mereka mati, jiwa mereka akan pergi ke sini. Atau juga mereka bisa mengunjungi tempat ini dengan perahu tanpa bisa kembali lagi ke dunia. Tempat persinggahan terakhir kita berbeda dengan manusia, anakku,” ujar Miyazaki sembari menatap pahatan panorama Valinor yang di pahat di atas dinding yang terbuat dari batu pualam.
Namun Kushina punya alasan lain untuk mempertahankan Naruto tinggal dengan orang-orang terdekatnya dan tentu saja itu bukan dirinya atau ayahnya sekali pun. “Bumi adalah tempat di mana Naruto tinggal, Tou-sama. Aku terlalu lama menelantarkannya. Jadi dia berhak memilih; karena itu aku tak ‘kan memaksanya untuk pergi ke Valinor.”
Miyazaki menatap tajam Kushina. “Naruto terlalu banyak mengalami penderitaan. Kesengsaraan terlalu lama bertumpu di pundaknya. Dikhianati, dibenci, dan dicacimaki; aku bisa melihat semua penderitaan itu ketika aku menerawang masuk ke dalam pikiran Naruto. Mungkin saja ia bisa memaafkan segala kejahatan manusia-manusia itu terhadapnya, tapi jauh di lubuk hatinya, dia tidak sepenuhnya bisa melupakan segala kepedihan itu. Kau tahu ‘kan anakku? Yousei memiliki hati yang rapuh.”
Pernyataan Miyazaki memang ada benarnya. Kushina sangat mengerti bagaimana rasanya menjadi jinchuuriki yang dibenci oleh orang banyak. Namun Naruto berhasil mengubah persepsi orang-orang dingin tersebut terhadapnya ‘kan? Maka apalagi yang harus dipermasalahkan? “Kita tidak bisa berasumsi bahwa semua ini adalah kesalahan manusia, Tou-sama. Aku mengetahuinya karena selama ini aku selalu mengawasi Naruto dari kejauhan. Apa yang terjadi tidak seburuk dengan yang Tou-sama pikirkan,” dalih Kushina.
Dikatakan seperti itu, Miyazaki jadi teringat akan dosa masa lalu kaum yousei yang harus ditebus dengan hal yang tak sebanding dengan yang mereka mampu lakukan. Kesalahan seorang yousei yang harus dibayar oleh semua yousei klan Uzumaki.
Miyazaki memincingkan matanya. “Apa kau lupa Kushina? Salah satu anak Rikudou Sennin yang menyebabkan semua kekacauan ini. Aku dulu mengusir dan menghilangkan kekuatannya agar kejahatannya tidak mempengaruhi kedamaian yang ada di Uzumakigakure. Tetapi yang terjadi ‘dia’ malah mengacaukan segalanya lebih dari apa yang aku bayangkan. Dia bercampur dengan manusia dan membuat kekacauan di muka bumi.”
Kushina geriap mendengar ucapan ayahnya. Ia tahu keturunan mana yang dimaksud oleh ayahnya. “Aku mengerti apa yang telah terjadi, Tou-sama. Tapi salah satu dari keturunan mereka akan memperbaiki kesalahan leluhurnya dulu. Dan kita harus mendukung dan membantunya tanpa mengingat-ingat lagi dosa apa yang telah ‘dia’ perbuat.”
“Kalau saja aku tak memberi Earendell secara diam-diam kepadamu, kau dan Naruto tak akan pernah selamat dari jeratan keturunan terkutuk itu!” umpat Miyazaki tiba-tiba.
Kushina lantas terdiam dan menatap datar ayahnya. “Alasan utama Tou-sama memberikan Earendell padaku, karena kau tak percaya sepenuhnya dengan Minato ‘kan, Tou-sama?”
“Ya, aku tak mempercayainya, Kushina. Dan apa yang aku pikirkan benar adanya ‘kan? Dia malah memilih mengorbankan dirinya sendiri dan menyegel Kyuubi ke tubuh anaknya yang baru lahir. Padahal seharusnya ia tahu, tubuh Naruto tidak akan kuat menampung kekuatan jahat Kyuubi yang sangat besar itu. Dia malah membiarkan anaknya menderita.”
Kushina pun terkejut dengan pernyataan ayahnya. “Tou-sama, bukan maksud Minato untuk membuat Naruto menderita!”
“Kalau begitu kau harus bisa mengeluarkan Naruto dari lingkaran penderitaannya!” ucap Miyazaki frontal. “Earendell sudah tak memancarkan cahayanya lagi di muka bumi. Tanpa itu, yousei mana pun tidak akan bisa hidup lama di dunia. Walaupun Naruto adalah peredhil (setengah yousei dan manusia), dia tak kan mampu bertahan di sini. Kau harus mengerti, Kushina. Aku tak akan menuruti kerasnya kepalamu lagi!”
Earendell, bintang utara yang selalu muncul berdampingan dengan terangnya bulan purnama di pergantian bulan. Dari situlah yousei tercipta. Pancaran cahayanya-lah yang melindungi para yousei dari marabahaya. Miyazaki sempat mengambil salah satu bintang itu dan menjadikannya anting berbentuk mawar pada Kushina. Tujuannya adalah agar anak semata wayangnya itu tidak menjadi manusia utuh kala ia memutuskan untuk tinggal bersama Minato. Dan Miyazaki memang melakukannya dengan diam-diam.
Kushina sendiri memanfaatkan kekuatan dari anting itu untuk menumbuhkan Kanina Rosu yang bisa menyembuhkan luka parah seseorang. Pada saat perang dunia ninja ketiga, kekuatan tersebut benar-benar menolong orang banyak.
“Aku tahu, aku tidak bisa menumbuhkan Kanina Rosu* lagi tanpa bantuan kekuatan dari antingku ini. Tapi yang ku tak habis pikir, ternyata antingku ini adalah penjelmaan Earendell. Sebegitu bencinya-kah kau terhadap manusia, Tou-sama? Hingga kau tak menginginkan aku menjadi manusia ”
Hembusan angin tiba-tiba masuk ke balairung; menggeraikan rambut merah mawar Kushina hingga melambai-lambai di udara. Bisa Miyazaki perhatikan Earendell—yang disamarkan menjadi anting mawar tersemat di telinga anaknya itu—berpendar sekilas; sedikit menarik perhatiannya.
Ia pun buru-buru mengedipkan matanya. Tidak mungkin. Ya, tidak mungkin Earendell bersinar lagi. Waktu mereka sebentar lagi telah habis di dunia ini. Ia pun pada akhirnya tidak mempedulikan kilatan cahaya itu.
“Q, ónen i-Estel bow firimar (Ya, aku tidak menaruh harapan pada manusia).”
Kushina rasa-rasanya ingin menangis, tetapi ia sudah cukup kuat menghadapi segala persoalan yang menimpanya selama ini. Ia simpan airmatanya hanya untuk belahan jiwanya seorang.
“Aku menyetujui hubunganmu dengan Minato karena aku memiliki rasa sayang yang besar kepadamu.” Miyazaki mengucapkan kalimat itu sembari membelakangi anaknya. “Aku tak ingin lagi ada manusia atau Uzumaki lain yang dikorbankan untuk menampung kekuatan jahat bernama bijuu. Satu-satunya cara yang harus dilakukan hanyalah menyegel bijuu-bijuu itu kembali di lingkar luar Uzumaki. Aku mempercayai hal itu kepadamu, Kushina. Sebagai persiapan aku juga nanti akan melatih fuuinjutsu andalan kita pada Naruto jika dia sudah bangun nanti. Aku berharap dia bisa mengendalikan keempat hewan titisan para dewa.”
Kushina hanya termangu mendengarnya. Ia mengerti kenapa ayahnya tidak langsung ikut ke dunia manusia untuk menyelesaikan misi besar mereka. Untuk itu ia urung menanyakannya. Dan ia merasa sudah saatnya ia pergi dari tempat itu. Matahari mulai merangkak naik.
“Aku akan menjadikan Naruto sennin terhebat melebihi Rikudou Sennin,” ucap Miyazaki lagi.
Kushina memperhatikan pemandangan luar dari jendela besar di lorong itu. “Kalau begitu aku permisi dulu, Tou-sama. Aku akan pergi ke Konoha sebentar mencari tanduk rusa untuk Naruto.”
Miyazaki memandangi anaknya kembali dan menganggukkan kepalanya pelan. “Berhati-hatilah…”
Kushina pun membungkukkan tubuhnya sejenak pada ayahnya dan segera beranjak dari sana. Namun baru beberapa langkah ia menghentikan gerakan kakinya. “Tou-sama…”
“Hn?”
“Aku hanya ingin memberitahukan satu hal. Manusia…tak seburuk yang Tou-sama kira.” Kushina menghembuskan nafasnya perlahan. “Dan juga… Gerich meleth nîn, Ada (Rasa sayangku selalu ada untukmu, Ayah).”
Kushina pun segera keluar dari bangunan utama rumah besar Uzumakigakure. Ia pun berharap semoga mimpi yang ayahnya berikan pada Naruto tak berdampak buruk bagi anaknya itu. Namun yang harus ia lakukan sekarang adalah ia harus dapat membangunkan Naruto dari tidur panjangnya.
.
0o0o0o0
.
Matahari mulai memperlihatkan kemegahannya di ufuk timur. Sinarnya lamat-lamat memasuki celah jendela kamar seorang gadis yang selama dua minggu ini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh malas dirinya mengarungi segala kegiatan yang terlihat tak ada artinya ini.
Haruno Sakura akan memulai aktivitasnya lagi. Tidak banyak kegiatan yang akan dia lakukan. Hanya membantu para dokter di rumah sakit setelah itu ia akan kembali lagi ke rumahnya. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya yang berantakan; hanya menggosok gigi lalu mengganti baju dengan baju ninja yang biasa ia pakai.
Hanya beberapa menit ia berkaca; ia tak mau memandangi wajahnya terlalu lama. Karena wajahnya yang seputih kapas semakin terlihat seperti hantu yang bergentayangan di pagi hari. Ia sendiri pun tak tahu akan sampai kapan dirinya lusuh seperti ini.
Sakura memandangi jam dindingnya. Baru pukul tujuh pagi, sedangkan kegiatan di rumah sakit mulai pukul delapan. Masih ada waktu satu jam lagi; ia sendiri enggan cepat-cepat ke sana. Ia pun akhirnya duduk kembali di atas tempat tidurnya yang baru saja ia rapikan.
Kemudian Sakura alihkan pandangannya ke arah jendela yang kini terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamarnya yang temaram. Sebenarnya bukan pemandangan luar yang sedang ia pandangi, melainkan secarik kertas yang menggantung di tengah-tengah jendela.
Sakura mengaitkannya dengan tali dan digantung di paku yang ada di pinggiran jendela bagian atas.
Tak bosan ia pandangi kertas itu saban hari. Panorama isi hati milik seseorang yang ia rindukan kehadirannya terlukis di sana. Terduduk di kursi roda sembari merentangkan tangan; mengambil beberapa guguran bunga sakura yang jatuh ke bumi.
Lantas siratan mozaik-mozaik perasaannya terpampang di sana. Entah lara atau bahagia, namun sungguh isi dari siratannya mengoyak-ngoyak hati si ninja medis itu. Yang jelas kini ia tahu bahwa Naruto...
Aku memang terlanjur mencintaimu, Sakura-chan.
Tapi aku tak akan pernah mengemis cinta itu padamu.
Sakura mengatupkan matanya rapat-rapat. Tak pernah terpikir olehnya si baka itu memiliki perasaan yang begitu dalam padanya. Bukan rahasia lagi memang; Sakura mengetahui bahwa Naruto mempunyai perasaan khusus padanya. Namun bukankah begitu wanita pada umumnya? Tak hanya sebuah perlakuan, mereka juga butuh kata-kata semanis madu yang diuraikan tulus dari hati sang pendamba untuk menyatakan kepastian perasaan lelaki itu terhadap dirinya.
Barangkali Naruto bukanlah sosok yang pintar merangkaikan kata indah untuk gadis yang ia cinta. Barangkali ia merasa tak patut untuk menyatakannya karena ia merasa kerdil tak punya apa-apa. Namun Sakura pada akhirnya mengerti sebenarnya Naruto memang tak mengharapkan apa-apa darinya.
Karena aku menyadari kau tak akan pernah membalas cintaku.
Karena itu biarkan aku menepati janjiku.
Flashback On
“Na—Naruto… A—Aku punya permohonan padamu. Aku tidak bisa melakukannya. Hanya kau… Hanya kau yang bisa membujuk Sasuke-kun kembali ke Konoha.”
“Kau sangat mencintai Sasuke ‘kan, Sakura-chan? Aku bisa memahami perasaanmu itu. Tenang saja, Sakura-chan! Aku akan membawa Sasuke pulang, ini janji seumur hidupku!”
Flashback Off
Nyatanya…lebih dari yang ia bayangkan selama ini…
Naruto benar tidak main-main dengan apa yang ia pegang. Tidak ada terlontar pernyataan cinta yang keluar dari mulutnya. Tapi dengan apa yang telah ia korbankan…
Kini Sasuke memang telah kembali ke Konoha. Meski datang dengan luka, tetapi Sakura berhasil menyembuhkannya. Namun tidak untuk teman setimnya yang lain.
Bukankah untuk mendapatkan kembali sesuatu yang sangat berharga yang sempat lipur itu, kau harus siap kehilangan sesuatu berharga yang lain?
Namun sungguh, bukan hal seperti ini yang Sakura inginkan. Ia sangat berharap tim investigasi Konoha berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Naruto.
Sakura mengerti dia tidak pantas mendapatkan cintanya si blondie itu. Berkali-kali ia menyakiti perasaan Naruto. Mencacinya, memandangnya sebelah mata, membanding-bandingkannya dengan Sasuke, mempermainkan perasaannya…tapi sebenarnya ia tak bermaksud seperti itu padanya. Ia hanya belum mengerti luar-dalamnya jinchuuriki Kyuubi itu.
Saat dia telah paham; jika tidak terlambat ia ingin mengatakan bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama.
Walau raganya tidak ditemukan, setidaknya ia tahu Naruto masih hidup atau tidak. Walau perasaan Naruto akan berubah terhadapnya, setidaknya teman baiknya itu tahu kalau dia adalah orang yang paling berharga yang ia miliki selama hidupnya. Kalau begini terus lama-lama ia bisa menjadi sakit jiwa
Sakura segera menyeka airmatanya yang kadung keluar. Ia memutuskan untuk lebih cepat keluar dari rumah. Ia teringat bahwa ia harus ke toko obat klan Nara dulu untuk membeli tanduk rusa. Persediaan di rumah sakit telah habis dan beberapa pasien membutuhkannya.
Diam-diam ia keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga secara perlahan agar tidak ketahuan oleh ibunya. Sakura tidak punya muka untuk bertemu dengan ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya depresi karena keadaannya yang seperti ini.
Sesampai di depan pintu; ia membukanya secara perlahan.
“Ohayou, Sakura-san.”
Sakura termangu melihat sosok yang berdiri di depannya ketika ia membuka pintu. Sosok itu tersenyum padanya. Mulutnya tiba-tiba menjadi terbuka. Entah mengapa ia menginterpretasikan sosok itu lain dari kenyataan yang ada.
“Ohayou, Sakura-chan!” Dalam pikiran Sakura, di sana berdiri Naruto yang menyapanya sembari menunjukkan cengiran khasnya.
“Naruto!” Sakura pun tiba-tiba mendekap sosok itu ke pelukannya. Dan tersenyum lebar. Sontak sosok itu menjadi kaget.
Sosok itu pun buru-buru melepaskan pelukan Sakura. “Sakura-san, ini aku!”
“Hah?” Sakura mulai kelimpungan dan mengerjapkan matanya.
“Ini aku. Sai!”
“Sa—Sai?” Sakura membuka matanya lebar-lebar. Dan ternyata benar Naruto yang dilihatnya tadi adalah ilusi belaka. Nafasnya jadi memburu. Ia menggerayangi kepalanya sendiri dengan kedua tangannya.
“Kau tidak apa-apa, Sakura-san?” tanya Sai khawatir.
“Ya, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing.”
“Kalau begitu kau ingin masuk lagi ke dalam rumahmu?”
“Ah, tidak perlu, Sai. Aku ada kerjaan di rumah sakit dan tidak boleh terlambat.”
“Oh, begitu. Baiklah.”
Sakura mulai berpikir di benaknya. Ada apa lagi dengan dirinya sekarang? Kenapa ia bisa berilusi seperti ini?
“Sakura-san,” panggil Sai membuyarkan pikiran Sakura.
“Ah, ya, Sai. Ada perlu apa kau kemari? Bukannya kau baru keluar rumah sakit kemarin siang?”
“Aku ingin bicara saja denganmu sekalian menge-check lukaku, Sakura-san. Tadi sebenarnya aku sudah mampir ke rumah sakit tapi senpai di sana bilang jam kerjamu mulai jam delapan. Maka dari itu aku langsung ke sini.”
“Oh, begitu.” Sakura menutup pintu rumahnya perlahan. “Ngomong-ngomong apa yang ingin kau bicarakan padaku?”
“Sambil jalan ke rumah sakit saja kita bicarakan, bagaimana?”
“Boleh, tapi aku ingin ke toko obat klan Nara dulu.”
“Tidak apa-apa,” tukas Sai. Ia memperhatikan wajah Sakura. Ia tahu si ninja medis itu sedang dalam keadaan terpukul akhir-akhir ini.
Sebenarnya Sakura sedikit malas berinteraksi dengan temannya. Tapi untuk Sai, entah mengapa ada sesuatu hal yang penting yang ingin ia tahu tentang Naruto. Karena Sakura tahu, orang yang terakhir kali bersama dengan Naruto adalah Sai. Ia ingin mendapatkan informasi tentang si blondie darinya.
Sementara itu di suatu tempat jauh di dalam hutan.
“Madara-sama, anda baik-baik saja?” Kisame menghampiri tuannya yang sedang menatap lurus ke hutan belantara yang menjadi tempat persembunyian mereka.
“Ya, tidak apa-apa. Bagaimana dengan Zetsu?”
“Keadaannya makin membaik dari ke hari, Madara-sama.”
Madara menghembuskan nafasnya perlahan. “Bagus kalau begitu.”
“Madara-sama…”
“Hm?”
“Apa rencana kita selanjutnya?”
“Rencana? Tentu saja rencana yang telah kita buat sebelumnya akan kita lakukan, Kisame. Hanya saja kita sekarang kekurangan pasukan untuk menciptakan kekacauan yang besar. Aku membutuhkan pasukan yang sangat kuat untuk melancarkan misi kita.”
“SSSSssssss…”
Tiba-tiba mereka mendengar suara desisan seperti ular. Madara pun segera mengetahui kalau mereka tidak hanya bertiga di sana. Tamu tak diundang telah memasuki kawasan persembunyian mereka.
“Hebat juga kau bisa mengikuti kami sampai ke sini,” ucap Madara dingin. Ia menoleh ke arah kiri, tempat di mana tamu tak di undang itu berdiri.
“Kemampuanmua memang masih sehebat dulu, Uchiha Madara. Senang bertemu denganmu.”
Madara mengaktifkan sharingan-nya. “Apa urusanmu mengikutiku ke sini, Yakushi Kabuto?”
.
0o0o0o0o0
.
Kushina akhirnya sampai di Konohagakure. Ia perhatikan seluk beluk daerahnya. Memang banyak yang berubah dari desa ini dibandingkan dengan 16 tahun lalu. Tak lupa ia menggunakan genjutsu sehingga sosoknya terlihat seperti manusia pada umumnya.
Agar orang-orang tak mengenalnya, ia mengenakan jubah merah dengan kudung yang berwarna sama. Hal itu ia lakukan karena dulu ia pernah beberapa tahun lamanya tinggal di Konoha. Ia tidak mau kehadirannya di ketahui seseorang di Konoha yang mengenalinya. Ia menggunakan kuda putihnya menuju toko obat klan Nara.
Sementara itu Sakura dan Sai; tak banyak yang mereka obrolkan selama perjalanan menuju toko obat klan Nara. Bisa jadi karena Sai yang tidak tahu harus dari mana dulu mengungkapkan apa yang ia ingin utarakan, dan Sakura sendiri agak canggung membicarakan perihal Naruto pada Sai. Entah apa sebabnya, ia jadi tak yakin untuk mencari info tentang Naruto pada si seniman itu. Ia mungkin takut mendengar kenyataan yang sebenarnya.
Mereka pun sampai di depan toko klan Nara. Sakura pun mendekati kedai toko yang tak terlalu lapang itu.
Sedangkan Sai menunggunya di bawah pohon yang tumbuh sepuluh meter dari kedai.
Ada seorang pembeli di sana, tapi Sakura tidak terlalu mempedulikan siapa pembeli itu. Ia terus melangkahkan kakinya dan sebenarnya ia tak terlalu berkonsentrasi dengan arah depannya. Ia berjalan sembari memandangi tanah di bawahnya. Alhasil, ia pun menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Seseorang ia tabrak ternyata adalah seorang wanita. Untunglah, wanita itu tidak sampai jatuh tersungkur ke tanah, padahal Sakura tadi cukup keras mendorong wanita itu. Tapi barang beliannya dari toko obat klan Nara jatuh berserakan di tanah. Sakura dengan sigap membantu wanita itu membereskan barang bawaannya dan segera meminta maaf.
“Ya, Tuhan. Maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak anda,” ucap Sakura sembari memunguti beberapa tanduk rusa dan obat yang di bungkus dengan plastic yang berserakan di tanah.
“Ah, tidak apa-apa. Saya juga tadi terburu-buru jadi tidak fokus melihat ke depan,” ucap Kushina pada Sakura. Kushina lalu memperhatikan hitae-ate yang ada di kepala Sakura. ‘Gadis ini seorang ninja…’ Ucapnya dalam hati.
Namun tiba-tiba tubuh Kushina sedikit gemetaran. Ia pun merasa aneh kenapa tubuhnya menjadi seperti ini. Ia memandangi Sakura, gadis yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Lantas ia menyadari bahwa anting mawarnya itu bersinar di balik kain kudung yang ia pakai. Mata Kushina pun terbuka lebar.
‘Earendell bereaksi terhadap gadis ini. Ada apa sebenarnya?! Padahal Ayah bilang Earendell tidak dapat memancarkan cahaya lagi di dunia manusia.’

Bersambung…

Glossary:
Kanina Rosu: Bunga mawar merah yang Kushina tumbuhkan dengan bantuan kekuatan dari Earendell. Pada saat perang dunia ninja ketiga, Kushina menumbuhkan beribu-ribu mawar untuk membantu mengobati orang-orang yang terluka. Kushina tak memiliki pengetahuan apa-apa tentang meramu obat. Untuk itu yang meramu obat dari bunga mawar itu adalah Tsunade. Sehingga Tsunade yang lebih dikenang jasanya. (Bagian cerita ini muncul di fic Heart chapter enam).
Untuk Uzumaki Miyazaki itu bayangkan saja dia kayak Legolas Greenleaf yang berambut merah hehehe.

Share:

0 komentar