Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki 17



Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Setting Canon. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
PAIRING: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
.
.
         
            Btw happy reading ^^/
.
.
            Naruto menggaruk belakang kepalanya. “Sebenarnya aku juga belum tahu apa aku bisa selamat dalam perang itu. Jadi, ya … karena menurut ibuku kau akan selamat, ibuku pun meminta bantuanmu.”
            Sasuke terang saja kaget dengan pernyataan pesimis Naruto. “Memangnya ibumu bisa meramal masa depan?”
            Naruto menggeleng. “Masa depan yang kelam itu sendiri yang datang padanya. Terkadang padaku juga.”
.
.
            Sasuke tidak lagi memaksa diri untuk tertidur. Ia sudah merasakan cahaya matahari yang masuk dari ventilasi  menyentuh wajahnya. Hangat. Tapi hati Sasuke kini sedang resah. Ia masih mempertanyakan apakah pilihannya benar atau tidak. Ia masih tidak mengerti apa yang Kushina katakan padanya kemarin.
            Sasuke meraba tempat tidurnya. Kali ini penglihatannya sedikit lebih jelas dibandingkan kemarin. Meski penglihatannya masih terasa buram. Kakinya menyentuh lantai; lalu ia berjalan perlahan menuju jendela. Tirai yang menutupi jendela disingkap.
            “Sasuke-kun.”
            Sasuke tersentak ketika mendengar suara ketukan di pintu. Ia juga mengenal pemilik suara itu. “Hinata?”
            Ohayou gozaimasu.”
            Sasuke tidak menggubris sapaan itu. “Kau kemari sendirian?”
            “Ya. Aku juga terkejut ternyata bisa berjalan seperti ini.”
            “Masuklah,” Sasuke berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka ia dapat melihat sekelebat warna lavender yang berpadu dengan putih. “Ada perlu apa?”
            “Kau mau jalan-jalan keluar?” Hinata menatap Sasuke malu-malu.
            Sasuke dapat melihat Hinata yang menunduk. Ia rasa tidak ada salahnya menyetujui ajakan Hinata. Ia juga butuh udara segar. “Baiklah. Tapi maaf … penglihatanku masih belum sempurna.”
            Hinata menggeleng. “Tidak masalah, aku yang akan menuntunmu. Kau tidak keberatan?”
            Sasuke menggoyangkan kepalanya. Ia lalu merasakan Hinata yang berdiri di sampingnya dan merengkuh lengannya. Awalnya Sasuke agak terkejut, tapi ia berusaha menyesuaikan diri. Mereka pun keluar dari kamar setelah Hinata menutup pintunya
.
.
            Sasuke dan Hinata kini berjalan di sebuah jembatan yang berada di belakang Rumah Sakit Konohagakure. Jembatan itu terbuat dari kayu sehingga saat terinjak menimbulkan suara yang berisik.
            “Di bawah kita sungai, kan?” Sasuke dapat mendengar gemerisik air yang seketika membuatnya tenang.
            “Ya.” Hinata lalu membawa Sasuke ke pinggir jembatan. Ia dapat merasakan angin membelai pipinya. Tangannya lalu menahan beberapa helai rambutnya yang beterbangan.
            “Di sini terlihat damai….,” komentar Hinata. Raut wajahnya tiba-tiba berubah sedih. “Tapi ke depannya pemandangan seperti ini akan berubah total.”
            “Kau merasa akan ada perang besar?”
            Shinobi yang dulu menculik Naruto-kun. Dia masih hidup, bukan?”
            Sasuke terheran-heran mengapa arah bicara mereka jadi serius begini. “Madara ingin mengumpulkan bijuu. Tinggal Kyuubi saja yang belum ia dapatkan. Jika ia berhasil melakukannya, ia bisa membuat seluruh dunia ini hancur.”
            Hinata bergidik. “Aku berharap perang itu hanya mimpiku saja. Yang nyata adalah pemandangan di depanku ini.”
            “Setelah perang usai nanti kau akan bisa menikmatinya lagi.”
            “Kau juga akan menikmatinya lagi, kan, Sasuke-kun?”
            Getaran suara Hinata menyambangi telinga Sasuke. Ia tidak mengerti apa yang ditakutkan Hinata. “Konoha memang kampung halamanku. Tapi … masa depanku tidak ada di sini.”
            “Betul sekali, Sasuke. Masa depanmu ada di alam baka.”
            Sasuke dan Hinata tercengang mendengar suara yang menyeramkan itu. Terutama Sasuke, ia tidak menyangka orang itu akan berada di hadapannya sekarang.
            Hinata pun memutuskan berdiri di depan Sasuke.
            “Hinata, jangan melawannya!”
            Madara tertawa lantang. “Kau menyedihkan, Sasuke. Sharingan-mu kau rusak sendiri. Sharingan yang menjadi kebanggaan Uchiha kau buang begitu saja. Dan sekarang…” Matanya menatap remeh Hinata. “Kau berlindung di balik seorang perempuan?”
            Sasuke memajukan posisinya. Ia mengarahkan Hinata agar berdiri di belakangnya. “Apa yang kau mau?”
            Madara menyeringai. Ia tiba-tiba berada tepat di depan Sasuke dan menendangnya di perut. Membuat Sasuke dan Hinata terpental beberapa meter, tubuh mereka tersungkur ke badan jembatan.
            Sasuke merasa pening, ia mencoba berdiri. Namun ia menghentikan usahanya karena terlalu terkejut dengan apa yang terjadi di depannya. Di sana ada Hinata yang melesat cepat ke arah Madara . “Ja-jangan, Hinata—”
            “Mengganggu!” dengan satu tangannya Madara menyerang Hinata hingga dia terhempas menembus pembatas jembatan dan terjun ke sungai di bawah.
            Mata Sasuke membesar. Ia menatap tajam Madara. “Jika kau memang berniat membunuhku, jangan libatkan orang lain—”
            “Kau jadi lebih cerewet dari biasanya ya, Sasuke.” Tangan Madara sudah berada di leher Sasuke. Ia menaikkan tangannya tinggi-tinggi hingga kaki Sasuke sudah menjauh dari pijakan jembatan. “Kau jadi peduli sama orang lain. Inilah yang membuatmu lemah.” Ia lalu melempar Sasuke ke sembarang arah dan melesat ke arahnya.
.
.
            “Selamat pagi, Sasuke brengsek!” pekik Naruto sembari masuk ke dalam ruangan rawat inap Sasuke. Ia tercenung saat di sana tidak menemukan orang yang ia cari. “Di mana dia?” Naruto langsung merasa ada yang aneh.
            Rin yang mengikutinya dari belakang berkomentar. “Mungkin dia ada di toilet.”
            “Ah, benar juga.” Naruto pun masuk ke dalam toilet. Tapi ia kemudian keluar dari sana dengan raut wajah bingung. “Tidak ada.”
            “Apa dia keluar?”
            Naruto kemudian berjalan menuju balkon. Matanya memicing melihat ke sekumpulan pepohonan yang ada di depannya. “Tapi setahuku Sasuke tidak pernah jalan-jalan keluar dari sini.”
            “Sasuke-kun!”
            Naruto tersentak saat ada Sakura di daun pintu. Sakura juga demikian.
            Naruto pun memandang ke sembarang arah dan berdeham. Membuat bibir Sakura miring sebelah. “Cih! Kenapa dia jadi menyebalkan begitu?
            “Sasuke tidak ada,” ujar Naruto dengan nada datar.
            Sakura memandang ke dalam ruangan dengan wajah pias. “Hinata juga tidak ada di dalam kamarnya.”
            “Eh? Maksudmu Hinata pergi dengan Sasuke?” Naruto berjalan mendekati Sakura. Ia mencoba tidak memikirkan insiden dengan Sakura beberapa hari lalu.
            “Tidak tahu,” Sakura membuang muka dari Naruto. Ia lalu berlari keluar dari ruangan.
            Naruto mengembuskan napas cepat-cepat. Kedua tangannya menyentuh lutut. “Untung dia segera pergi.”
            “Kau kenapa, Naruto?” Rin hanya bisa terheran-heran melihat gelagat Naruto yang terlihat tegang.
            “Aku tidak apa-apa.” Naruto segera menegakan tubuhnya. “Oh ya, kau bisa mengetahui ke mana Sasuke pergi, kan, Onee-sama?”
            Rin mengangguk. “Aku bisa melihat apa yang terjadi di ruangan ini beberapa menit yang lalu.”
            “Tolong lihat ke mana Sasuke pergi.”
            Rin pun terdiam sejenak. Ia memejamkan mata dan kemudian membukanya. Kornea matanya tak lagi ada. Bola matanya berubah warna persis seperti warna rambutnya. Kakinya lalu melangkah kembali ke depan jendela. “Sasuke berdiri di sini.” Pandangannya lalu berpindah ke arah pintu. Di pikirannya ia melihat seseorang. “Ada Hinata yang berkunjung.”
.
.
            Sasuke hanya bisa mengumpat dalam hati karena tidak bisa melakukan apa-apa. Ternyata tanpa sharingan aku jadi lemah begini.
            “Mati kau, Sasuke!” Madara mengarahkan tangannya ke jantung Sasuke. Pada saat itu ia bisa melihat jelas bandul aquamarine yang melayang di depan wajahnya. Mata Madara membelalak.
            “Hi-hikari?”
            Sekelebat wanita berambut biru keungu-unguan muncul di pikiran Madara.
            Madara…. Wanita itu tersenyum.
            Tiba-tiba emosi Madara jadi kacau. “Bedebah!” Tangannya mengayun ke arah Sasuke, membuat Sasuke dengan cepat terjun ke dalam sungai.
            Mata Madara membesar; nyaris keluar dari rongganya. Tangannya menutupi topeng yang biasa ia gunakan. Kenangan-kenangan masa lalu menghantam pikirannya.
            Wanita itu berambut biru keunguan. Ia memiliki senyuman yang menghangatkan. Matanya berwarna putih dan selalu tahu jika Madara tengah berbohong. Maka dari itu Madara tidak pernah membohonginya…
            Di hari itu Madara ingin memberikan kejutan untuk hari spesial mereka.
            Tapi wanita itu ia temukan bersimbah darah….
            Mata Madara menyalang. Ia segera pergi dari sana tanpa mempedulikan keinginannya untuk membunuh Sasuke.
.
.
            Sasuke membiarkan tubuhnya di bawa arus sungai yang cukup deras. Beberapa kali ia mengerang kesakitan karena kepalanya membentur batu-batu besar. Tapi ia berusaha agar tetap sadar dan mencoba melihat ke sekitarnya. Tidak ada Hinata di sana. Ia seketika diserang panik. “Di mana dia? DI MANA?”
            Sasuke lalu melihat kain putih yang berkibar di depannya. Ia kemudian menggoyangkan kedua kaki agar cepat sampai sana. Ia mengambil napas dulu dengan memunculkan wajahnya ke permukaan. Sekuat tenaga Sasuke berenang menuju Hinata yang ternyata tersangkut antara dua batu besar. Meski tubuhnya terasa sakit, ia lekas meraih tubuh Hinata dan membawanya ke tepian.
            “Hinata, kau baik-baik saja? Hinata!” Sasuke meraba-raba wajah Hinata. Kepanikannya bertambah saat ia tidak merasakan gadis itu bernapas. “Apa yang harus kulakukan?” Ia lalu mengerang kesakitan. Mata Sasuke menangkap bagian perut kanannya yang bersimbah darah. Pecahan kayu tajam dari jembatan tertusuk di sana. “Si-sialan….”
            Sasuke merasakan kepalanya begitu berat. Ia pun terduduk. Tangannya buru-buru melepaskan kalung di lehernya. “Lagi-lagi kalung ini menyelamatkanku.” Meski pandangannya memburam, ia berusaha melingkarkan kalung itu ke Hinata. “Tapi sekarang kau yang harus memakainya. Aku tidak ingin kau mati.”
            Sasuke tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya. Ia pun tersungkur di sebelah Hinata. Matanya menutup dengan sempurna.
.
.
            Naruto dan Rin berlari keluar rumah sakit. Sakura yang berada di depan pintunya keanehan melihat mereka. Namun ia kemudian ikut berlari juga di belakang. Sakura dapat melihat wajah panik Naruto tadi.
            Rin menghentikan larinya di jalan setapak yang dikelilingi pepohonan. Mata yousei-nya masih diaktifkan.
            Sakura yang melihatnya sampai tersentak. Mata apa itu? Aku baru melihatnya.
            Naruto melonjak saat menyadari kehadiran Sakura di sampingnya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
            Sakura terang saja jadi kesal. “Aku juga mau mencari Hinata dan Sasuke. Memangnya salah?”
            Rin kemudian menemukan petunjuk baru. “Mereka berjalan ke jembatan.” Ia berlari menuju jembatan yang berjarak 200 meter dari sana. Sampai di jembatan ia menemukan pemandangan mengejutkan.
            Sakura dan Naruto juga mengeluarkan ekspresi yang sama.
            “Ada apa ini?” Sakura memperhatikan bagian jembatan yang rusak.
            “Ada yang menyerang mereka,” suara Rin bergetar.
            “Siapa?!” Naruto mendekati Rin.
            Sementara mata Rin berkeliling di sekitar jembatan. Ia melihat bayangan hitam di pikirannya. Napasnya pun memburu. “Ma-madara….”
            “Apa yang terjadi sebenarnya? Sasuke dan Hinata dibawa pergi?” Sakura tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.
            Rin menggeleng. “Mereka jatuh ke sungai.” Ia lalu berjalan ke pinggir jembatan. Matanya terarah pada sungai yang ada di bawahnya.
            “Tidak mungkin.”
            “Mudah-mudahan mereka tidak melaju sampai ke hilir. Di sana ada air terjun!” kepanikan Sakura meningkat.
            “Sialan!” Naruto pun segera bertindak. Ia menggigit jarinya hingga mengeluarkan darah. Dari darah itu ia menuliskan kanji Suzaku di tangannya. “Kuchiyose no jutsu!” Ia pun menghentakan tangannya ke jembatan.
            Satu meter di depan Naruto muncul kanji Suzaku. Ukiran kanji itu kemudian bercahaya merah dan meluncur ke langit di atasnya. Saat itu pula sesuatu yang cepat terbang ke arah Naruto.
            “Suzaku—eh? Kok ayam?” Mata Naruto mendelik saat melihat Suzaku dalam bentuk terkecilnya. Warnanya tetap serba merah, tapi kegagahannya tanggal seketika.
            Sakura juga terkaget-kaget melihatnya. “Kau memiliki kontrak dengan hewan baru?”
            “Enak saja! Aku ini phoenix!” Suzaku lalu mengomeli Sakura. “Dan aku ini dewa! Bukan hewan!”
            Sakura jadi kebingungan. Padahal jelas-jelas makhluk serba merah di depannya ini berbentuk seperti hewan.
            “Kenapa kau tidak muncul dengan bentuk aslimu? Padahal saat Rikudo Sennin memanggilmu kau terlihat keren!” tangan Naruto menunjuk-nunjuk pada Suzaku. Ia jengkel setengah mati.
            “Jangan harap ya! Kau ini bukan sepenuhnya tuanku, tahu!”
            Naruto terang saja jadi geram. “Dasar dewa sombong! Ya, sudah bantu aku cari Sasuke!”
            Mendengar nama Sasuke, mata Suzaku terlihat berbinar, tapi seketika berubah murka. “Ada yang terjadi padanya?”
            “Madara menyerangnya! Ayo bantu aku mencari!” Naruto berlari duluan.
            “Ck, harusnya kau bilang dari tadi!.” Tubuh Suzaku pun mengeluarkan cahaya kemerahan. Ia berubah ke bentuk aslinya yang sangat besar.
            Nee-sama, aku duluan!” teriak Naruto pada Rin. Ia lalu melompat dan menaiki tubuh Suzaku yang melesat cepat di dekatnya.
            Sementara Sakura hanya mampu takjub di tempat. “Burung itu cantik sekali.” Namun wajahnya berubah mengkal. “Sampai kapan si bodoh itu mau mendiamkanku?”
            “Sakura, kita juga harus menyusulnya. Kalau Sasuke dan Hinata terluka kita sangat diperlukan oleh mereka.”
            Sakura mengangguk. Hatinya kini ditikam kegelisahan. Semoga saja Sasuke-kun dan Hinata baik-baik saja. Tiba-tiba ada cahaya putih yang menyinari sekitar jembatan. Membuat Sakura tercengang. Apalagi dengan kemunculan harimau putih di depannya. “E-eh? Eeeehhh??”
            “Ayo, naik, Sakura! Kita tidak punya waktu!”
            Sakura yang tidak mengerti mengapa tiba-tiba muncul harimau itu pun memutuskan menuruti Rin. Ia melenguh kencang sembari menarik baju Rin kuat-kuat saat Byakko berlari secepat kilat.
.
.
            Madara kini berdiri di sebuah gundukan tanah besar yang ada di sebuah bukit. Matanya nyalang memandangi gundukan tanah itu. “Aku sudah melupakanmu, tapi … kalung itu mengingatkanku padamu kembali.”
            Angin besar berputar di sekitar Madara, namun ia tidak terpengaruh sama sekali. “Misi ini kulakukan untuk membalas dendamku pada Klan Senju. Mereka telah menginjak-injak martabat Klan Uchiha.”
            Madara lalu meletakan krisan putih di atas gundukan tanah itu. “Hanya saja aku segera menyadari dendamku ini tidak hanya soal harga diri.”
            Madara mengaktifkan sharingan-nya. “Mereka harus membayar kematianmu dengan harga yang setimpal. Akan kubuat dunia ini jadi neraka….” Ia pun menatap kayu panjang yang memancang di atas gundukan. Di sana bertuliskan Uchiha Hikari….
.
.
            Suzaku melesat rendah di atas sungai yang membentang di Konohagakure. Jarak pandangnya yang cukup jauh dan teliti membuatnya dapat melihat apapun di depannya secara detail.
            “Kenapa Madara menyerang Sasuke-sama? Bukannya yang diincarnya itu kau?” tanya Suzaku pada Naruto.
            “Aku tidak tahu—sama? Kau memanggil si brengsek itu dengan sama?!” Naruto tiba-tiba baik pitam.
            “Heh! Dia itu akan jadi tuanku ya jadi kau tidak berhak protes!”
            “Aku yang sudah mengambil kontrak denganmu saja sama sekali tidak kau hormati!”
            “Kau hanya bisa memanggilku saja, tidak mampu membuatku mengeluarkan kekuatanku seutuhnya.”
            Naruto mendengus kesal. “Harusnya tadi aku panggil Seiryuu saja ya, bukannya kau!”
            Suzaku tidak menggubris omelan Naruto lagi. Matanya menangkap sosok Sasuke di bawah sana. “Itu mereka!”
            Naruto langsung turun dari punggung Suzaku. Ia memeriksa keadaan Sasuke dan Hinata dengan wajah gelisah. Matanya membesar saat melihat keadaan punggung Sasuke. “Sial! Luka tusuknya cukup dalam.”
            “Biar aku yang tangani!” Sakura langsung melesat cepat ke arah Sasuke.
            Sementara Rin memeriksa keadaan Hinata. Kedua matanya membesar. “D-dia tidak bernapas!”
.
.
            Hiashi menatap Hinata yang sedang tertidur dengan wajah pias. Sudah dua jam lamanya ia terduduk di samping tempat tidur putrinya itu, tapi Hinata masih belum sadar juga, padahal baru saja kemarin ia siuman.
            Di kamar itu ia tidak sendirian, ada Tsunade yang berdiri bersandar di dekat jendela.
            “Kenapa Madara menyerang Hinata?” suara Hiashi terdengar parau.
            “Hinata hanya ingin melindungi Sasuke—”
            “Anda pikir saya akan percaya begitu saja?” Hiashi memotong kalimat Tsunade.
            Tsunade menghela napas. “Dari penyelidikan yang dilakukan Rin, tidak ada motif lain.”
            “Anda pasti tidak ingat apa yang terjadi pada Klan Hyuuga 70 tahun yang lalu!”
            Tsunade menggelengkan kepalanya. “Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti karena saat itu aku juga masih kecil.”
            “Harusnya aku tidak membiarkan Hinata berdekatan dengan Sasuke. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri.”
            “Kau takut sejarah akan terulang?” Tsunade memberikan pernyataan yang mencengangkan bagi Hiashi.
            “Kalau itu bersangkutan dengan keselamatan anakku, bagaimana bisa aku tidak takut?”
            Tsunade lalu mendekat ke kasur Hinata. “Tenang saja, besok Sasuke akan dibawa ke Uzumakigakure. Ia tidak akan berdekatan lagi dengan Hinata.”
            Hiashi pun terdiam dengan memandangi bandul aquamarine yang melingkar di leher puterinya. Dahinya mengerut. Ia lalu meraih bandul itu. “Kenapa kalung ini bisa dipakai Hinata?”
            Mata Tsunade memicing. Ia teringat kalung apa itu. “Kalung bola api. Bukankah itu milik Klan Uchiha?”
            Hiashi mengangguk. “Kalung ini pembawa bencana, harusnya Hinata tidak mengenakannya—”
            “Tolong biarkan Hinata menggunakannya, Hiashi-sama.” Terdengar suara dari arah pintu, rupanya itu adalah Sasuke. Ia duduk di kursi roda yang dibawa oleh Naruto di belakangnya. “Kalung itu telah menyelamatkan saya.”
            “Apa maksudmu?”
            Naruto pun mendorong kursi roda itu masuk ke ruangan.
“Madara hanya berniat membunuh saya, tapi hal itu tidak jadi ia lakukan saat melihat kalung itu,” jelas Sasuke.
            “Saat melihat kalung itu?”
            Sasuke mengangguk. “Madara tampak kehilangan kendali atas dirinya sendiri.” Ia lalu berpikir sejenak. “Dan saya mendengar dia menyebutkan nama Hikari.”
            Mata Hiashi membelalak. “Itu berarti Madara sudah mengingatnya….” Ia menatap Tsunade.
            “Sebenarnya apa yang terjadi? Ada hubungan apa Madara dan Klan Hyuuga?” Sasuke jadi ingin tahu banyak. Pasalnya ia memang tidak terlalu mengenal pemimpin Klan Uchiha itu.
            Hiashi berdiri dari tempat duduknya. “Kalau Madara mengingat apa yang terjadi pada Hikari-sama dia bisa kemari kapan saja. Anda harus mempersiapkan pasukan Tsunade-sama!”
            Naruto hanya bisa memperhatikan pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bahas.
            “Sebenarnya Hikari yang Anda sebutkan tadi—ada hubungan apa dia dengan Madara?” sekarang Naruto pun bertanya pada Hiashi.
            “Hyuuga Hikari dan Uchiha Madara … mereka suami-istri….” Mata Hiashi menatap Sasuke dengan perasaan tak menentu.
            Sementara Sasuke tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
.
.
            “Chouji! Ini jatahmu hari ini ya!”
            “Terima kasih, Ino!” Chouji yang duduk di bawah pepohonan rindang pun melahap dua bento yang Ino bawakan.
            Sementara Ino duduk di sebelahnya. “Pelan-pelan makannya. Nanti kau tersedak.”
            “Aku lapar sekali, tahu! Naruto memberikanku tugas yang berat.”
            Ino memperhatikan lubang besar yang terletak tidak jauh dari sana. “Naruto menyuruhmu menggali tanah?”
            Chouji mendengus kesal. “Bukan hanya menggali di sana saja, aku dimintanya menggali di seluruh tanah Konoha sampai membentuk pola seperti ini.” Ia memberikan secarik kertas pada teman setimnya itu.
            Ino memperhatikan pola yang ada di kertas tersebut. “Apa ini? Matahari dan bulan sabit?”
            Bahu Chouji terangkat. “Aku juga tidak mengerti. Katanya itu pola segel.”
            “Kenapa kau tidak mengerjakannya bersama anggota Klan Akamichi lain?”
            “Mereka semua sedang ada misi di luar Konoha. Lagi pula dengan melakukan pekerjaan ini aku bisa kurus dengan cepat.”
            “Kau jangan terlalu memaksakan diri. Harusnya Naruto juga membantumu. Nanti akan kumarahi dia!”
            Chouji terbahak-bahak. “Aku lanjut kerja ya, Ino. Aku memasang target hingga besok.” Ia lalu berdiri. “Oh ya kapan Shikamaru kembali?”
            Ino membuang muka ke sembarang arah. “Mana aku tahu.”
            Satu alis Chouji terangkat. “Astaga kau masih belum berbaikan dengannya?”
            Ino melipat tangan di dada. “Aku tidak mencari masalah dengannya, dia saja yang jadi senewen padaku.”
            Chouji menarik napas. “Padahal Naruto sudah kembali kupikir Shikamaru akan lebih ramah padamu.”
            “Sudahlah. Biarkan saja dia begitu.” Ino pun kini berdiri. “Aku harus ke rumah sakit. Dah, Chouji.”
.
.
            Neji, Shikamaru, dan Kakashi kini berada di sebuah kedai di perbatasan luar Negara Hi. Dua jam lagi mereka akan sampai di Konoha, tapi mereka berhenti di sana sejenak untuk mengistirahatkan diri.
            “Kupikir kita akan dihajar oleh para penjaga Raikage. Ternyata tidak semenyeramkan yang kubayangkan.” Shikamaru mengambil bakpao yang tersedia di depannya. “Harusnya cukup satu orang yang menjalankan misi ini.”
            “Tsunade-sama orang yang perhitungan, wajar saja ia memutuskan begitu.”
            “Tapi mengirimkan dua jounin dan satu chuunin? Bukankah ini berlebihan, Kakashi-sensei? Apa kita ada misi lain yang aku tidak tahu?” Shikamaru menatap Kakashi dengan wajah penasaran.
            “Kau memang punya pikiran yang tajam ya. Tapi kita tidak ada misi lain kok. Ini untuk berjaga-jaga.”
            “Aku merasa aneh saja para shinobi Kumogakure tidak melakukan apa-apa terhadap kita.”
            Kakashi tersenyum di balik topengnya. “Ini karena mereka sedang bermain aman. Apalagi Raikage sedang terluka parah. Mereka tidak bisa bergerak sembarangan.”
            SRAK!
            Neji melihat ke sumber suara. Ia pun mengaktifkan byakugan-nya. “Mereka akhirnya datang juga.”
            Kakashi membuka penutup mata sharingan-nya. “Sudah pasti mereka akan menyerang di sini, tempat jauh dari Kumogakure.”
            Shikamaru menyiapkan kunai di tangannya. “Heeh, jadi mereka menyerang di wilayah kita sendiri ya. Curang sekali.” Ia tersenyum sinis.
            Kemudian terdengar suara baja yang dihentakan. Kawanan burung tampak keluar dari hutan, terbang keluar dengan kecepatan penuh. Angin dingin berputar di sekitar hutan itu. Di depan mereka terlihat seseorang yang menggunakan jubah serba hitam. Wajahnya ditutupi tudung hitam sehingga tidak terlihat sama sekali.
            “Siapa dia, Kakashi-sensei? Aku tidak pernah melihat shinobi manapun yang berpenampilan seperti itu.”
            “Jangan lengah. Aku juga tidak mengenalnya.” Mata Kakashi memicing. Ia tiba-tiba merasa mual karena bau bangkai yang tiba-tiba merebak di sekitar sana.
            “Kenapa ada bau bangkai seperti ini?”
            “Neji, apa kau bisa melihat apa yang ada di balik jubahnya?” Kakashi memberikan perintah.
            Neji mengangguk. “Byakugan!” Mata Neji langsung membelalak saat melihat ke dalam jubah. Ia merasa sesak seketika dan berlutut ke tanah.
            “Neji!” Kakashi langsung berlari ke arah Neji.
            Keringat dingin bercucuran di dahi Neji. Apa yang tadi dilihatnya bukanlah hal yang wajar. “La-lari … kita harus lari. Jangan melawannya.”        
            Tubuh Shikamaru bergetar. Ia menyadari udara di sekitarnya jadi dingin. Ia tersentak saat menyadari hutan-hutan di sekitarnya perlahan diselimuti es. “Kakashi-sensei, sepertinya kita harus lari. Hutannya!”
            “Apa yang kau lihat tadi, Neji?” Kakashi mulai panik. Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk membuat keputusan.
            Neji masih terlihat kesulitan bernapas. “Aku tidak tahu, ya-yang jelas di-dia bukan manusia….”
            Makhluk berjubah hitam itu mengeluarkan pedangnya  yang serba hitam dan menaikkan tinggi-tinggi ke udara.
            “Kakashi-sensei!”
            Kemudian makhluk itu mengayunkan pedangnya hingga tanah-tanah di sana menyembur ke angkasa.
.
.
            “Kejam sekali…,” ungkap Naruto sehabis mendengar penjelasan Hyugga Hiashi tentang masa lalu Madara dengan klan-nya.
            “Karena itu para tetua Klan Hyuuga terpaksa menyegel kekuatan Hikari-sama, yang tidak disangka membuatnya tewas.”
            Tangan Sasuke mengepal. Ia memperhatikan Hinata yang masih tertidur pulas di kasurnya. Jadi aku memang harus pergi dari sini ya? Biar tidak menyusahkan orang-orang Konoha, terutama Hinata. 
            “Maaf! Apa ada Naruto di dalam?” Rin yang berada di daun pintu tampak terengah-engah.
            “Kenapa Onee-sama?” tanya Naruto/
“Apa Suzaku bersamamu? Kita membutuhkannya.”
            Suzaku pun keluar dari tempat persembunyiannya di kantong kunai Naruto. “Ada apa, Rin-sama?”
            Naruto yang mendengarnya langsung senewen di dalam hati. Cih, Oba-sama saja dipanggilnya seperti itu.
            “Apa yang terjadi, Rin?” Tsunade mendekat pada Rin. Ia menangkap wajah Rin yang panik.
            “Ada laporan dari Kakashi melalui Pakkun. Mereka diserang Jubah Hitam di perbatasan Negara Hi. Mereka dikejar oleh makhluk itu dan sedang menuju kemari!.”
            “Jubah hitam?” tanya Naruto, kemudian matanya membesar karena mengingat siapa mereka. “Kau serius?!”
            Rin mengangguk. “Kita harus segera menyusul Kakashi. Mereka dalam bahaya! Hanya Suzaku yang bisa mengalahkannya!”
            Suzaku tiba-tiba langsung merinding. “Anda jangan mengada-ada, Rin-sama. Mereka tidak mudah dikalahkan, tahu! Naruto! Coba kau panggil Seiryuu dan Genbu untuk melawannya.”
            “Kau gila? Ini akan jadi perang besar!” Naruto mulai sewot.
            “Tidak perlu. Pakkun bilang cuma ada seorang Jubah Hitam.” Rin kemudian berlari keluar ruangan, diikuti Naruto dan Tsunade.
            “Cih, kekuatan apiku memang bisa melawannya. Tapi dia memiliki kekuatan yang sangat mengerikan….”
            “Heh, ternyata kau bisa ciut juga ya, Suzaku.” Naruto bermaksud mengolok-oloknya.
            “Jangan menganggapnya enteng. Saat kau berhadapan dengan mereka kau pasti akan tahu yang kubicarakan!”
            Sementara Sasuke hanya memperhatikan semua itu tanpa bisa ia mengerti.
.
.
            Shikamaru melihat ke arah belakang. Ia tidak pernah merasakan kengerian seperti ini seumur hidupnya. Jantungnya berdegup kencang hingga membuat napasnya terasa sesak. Namun ia tetap memaksa kakinya untuk berlari; melompati satu pohon ke pohon lainnya. Pepohonan di belakangnya dengan cepat membeku.
            “Kakashi-sensei, apa kita melawannya saja? Dia tetap mengejar kita, meski sebenarnya gerakannya tidak terlalu cepat.” Shikamaru menutup hidungnya. “Ugh! Baunya sangat busuk. Makhluk apa dia sebenarnya?”
            “Jangan gegabah, Shikamaru. Firasatku mengatakan kita harus lari. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan terhadap Neji sampai dia seperti ini.” Kakashi menatap Neji yang ia bawa di punggungnya. “Kita harus membawanya ke ninja medis. Kau masih merasa sesak?”
            “A-aku tidak mengerti. Aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri,” ungkap Neji.
            “Tetaplah berusaha untuk terbangun.”
            “Aku akan mencoba menyerangnya, Kakashi-sensei!”
            “Apa yang kau—”
            Shimaru melempar dua kunainya yang ditempel jimat peledak ke arah datangnya makhluk mengerikan itu. Suara ledakan yang nyaring pun terdengar. “Dengan begini hutannya akan terbakar—eh?”
            Tapi hutan di belakangnya tetap diselimuti es.
“Cih, tidak mempan.” Shikamaru kembali menyusul Kakashi. “Kakashi-sensei, kalau kita tidak menghentikannya bisa-bisa Konohagakure juga dibekukan.”
Kakashi menyetujui saran dari Shikamaru. “Jika menunggu bala bantuan pun aku tidak yakin mereka bisa mengatasi makluk aneh itu.”
Shikamaru pun menggendong Neji di punggungnya. Ia tetap tidak memperlambat kecepatannya melompati satu pohon ke pohon yang lain.
Kakashi membentuk beberapa segel tangan. “Katon, goukakyuu no jutsu.” Bola api raksasa keluar dari mulutnya. Pepohonan di depannya pun terbakar. “Sepertinya berhasil.” Namun tiba-tiba makhluk serba hitam itu berdiri di depan Kakashi.
“Sialan! Ugh!” Kakashi menyilangkan kedua tangannya di depan, tapi ia tidak bisa menahan dirinya yang terbang terpental sangat jauh.
Shikamaru sampai ngeri melihatnya. Ia tidak dapat melihat di mana gurunya Naruto itu terjatuh. “Kakashi-sensei! Eh?” Dunia serasa berbalik saat ia menyadari makluk serba hitam itu muncul dan mencekik lehernya.
“Lapar…”
Shikamaru merasakan dirinya membeku. Pandangannya buyar seketika. Genggamannya pada Neji lepas. Membuat Neji terjun menuju tanah. Ia tidak mengerti. Tubuhnya sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan. Ia merasa ada yang ditarik dari dalam dirinya. Keparat….
Sesosok bayangan tiba-tiba meraih Neji sebelum sampai ke tanah. “Sakura! Tolong periksa Neji!”
Sakura pun sampai di tempat Neji setelah Naruto menaruhnya di tanah. Saking terkejutnya melihat keadaan Neji, ia tidak ada komplen jika Naruto tidak memanggilnya seperti dulu. Ia lalu memeriksa pergelangan tangan Neji. Detak jantung Neji terasa lemah. “Kau keracunan?” Ia melihat tubuh Neji yang seluruhnya berubah menjadi biru.
Bola api kecil melesat menghantam kepala makhluk serba hitam itu. Ia seketika melepaskan tangannya dari leher Shikamaru.
Shikamaru yang tidak sadarkan diri diraih oleh Chouji. “Shikamaru!” lenguhnya panik. “Ino! Shikamaru tidak sadarkan diri!”
Sementara itu Naruto yang menunggangi Suzaku berhadapan dengan makhluk mengerikan itu. Giginya bergemerutuk. “Sembilan Iblis Berjubah Hitam … kenapa dia bisa ada di sini?”
“Itu berarti ada yang menghancurkan segelnya,” jawab Suzaku.
Naruto tercengang. “Apa Madara yang melakukannya?”
“Bisa jadi.”
“Kau bisa mengalahkannya?”
“Dia tidak bisa mati. Harus disegel. Aku akan mengusirnya dari sini.”
“Cuma ada satu, kan?”
Suzaku mengangguk. “Kau tahu jenis segel yang bisa digunakan pada mereka?”
“Ya, aku tahu. Tapi segelnya butuh kekuatan besar. Kalau cuma ada satu, aku akan menyia-nyiakan kekuatanku.”
“Suzaku….” Suara makluk itu terdengar dingin. Ia menggeram.
“Whoaa! Dia mengenalimu!”
“Tentu saja! Aku ini kan makhluk yang paling dibencinya.”
Kemudian makhluk itu berteriak kencang hingga seluruh shinobi yang ada di sana menutup telinganya. Pepohonan juga bergoyang hingga nyaris tumbang.
Naruto lantas menyadari bayang-bayang tengkorak berkeluaran dari tubuh iblis itu. Perasaannya langsung mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi. “Apa itu?”
“Dia melepaskan jiwa-jiwa yang tersesat. Mereka akan menyerang manusia dan menjadikannya sebagai mayat hidup. Aku harus membakarnya, Naruto,” ungkap Suzaku.
“Kau gila? Apimu tidak akan bisa dipadamkan dengan air di dunia ini!”
“Tidak ada pilihan lain. Kalau ini berhasil panggil saja Genbu, cuma dia yang bisa mematikan apiku.” Suzaku lalu menaikkan wajahnya. Mulutnya yang membuka lebar mengeluarkan bola api raksasa berkecepatan tinggi. Bola api itu menyeret pergi sang iblis dan membakar hutan dengan cepat.
“Apa serangannya berhasil?” Naruto memicingkan mata. Si iblis mengerikan itu sudah hilang dari pandangannya. “Ck, hutannya bakal gundul.”
“Setidaknya iblis jelek itu tidak akan berani mendekat kemari untuk sementara waktu.”
Sementara itu Sakura tercengang melihat api yang membumbung tinggi di depannya. Ia lalu menyadari kini Naruto ada di sampingnya, memeriksa Neji.
“Sialan, dia terkena kutukan,” lirih Naruto. Ia lalu membawa Neji di pundaknya.
“Apa yang kau lakukan, Naruto? Kau tidak lihat aku sedang mengobatinya?” Mata Sakura menatap tajam rekan setimnya itu.
Naruto berusaha sekuat tenaga untuk terlihat galak. “Kau tidak akan bisa menyembuhkannya.”
“Apa kau bilang?!” Sakura mulai naik pitam.
“Aku sedang tidak ingin berdebat!” Naruto ikut marah.
“Sudah cukup! Kalian ini bertengkar seperti sepasang suami-istri saja!”
“Kami bukan suami-istri!” pekik Sakura dan Naruto berbarengan. Mereka terkejut dan saling tatap, tapi Naruto duluan yang membuang muka.
Membuat Sakura geram setengah mati.
“Ayo, kita kembali ke Konoha.” Rin tersenyum melihat tingkah Sakura dan Naruto yang tidak henti-hentinya bertengkar sejak pagi tadi. Ia lalu melihat keadaan Neji yang nyaris sama dengan Shikamaru. Desahan keluar dari bibirnya. “Shikamaru dan Neji harus disterilkan. Kau mau membantuku, Sakura?”
“Tentu. Tapi apa yang terjadi dengan mereka, Rin-san? Memangnya musuh tadi sangat berbahaya?”
Rin mengangguk. “Jiwa mereka hampir dimakan. Kalau tidak segera disterilkan mereka bisa berubah seperti iblis tadi. Tapi mereka beruntung tidak tergores senjata iblis itu.”
“Ma-masa?” Sakura menutup mulutnya. “Memangnya apa yang terjadi jika tubuh kita tergores senjata makhluk itu?”
Naruto lantas melewati Sakura. “Kau akan jadi tengkorak selamanya.”
Bibir Sakura miring sebelah. “Haahhh?!”
“Tenang saja, mereka bisa disembuhkan. Pengobatannya jauh berbeda dengan pengobatan konvensional. Nanti kau akan kuajari pola segelnya.” Rin segera menengahi mereka agar tidak lanjut bertengkar.
Sakura tampak girang. Dagunya terangkat.
Naruto tahu ia tadi terlalu bermulut besar. Matanya melirik Sakura dengan waswas. Ternyata benar dugaannya, Sakura sedang menatapnya dengan berkacak-pinggang.
“Siapa bilang aku tidak bisa menyembuhkan mereka?!” Sakura melotot dan berjalan terburu-buru menjauhi Naruto.
“Aku benar-benar bisa jadi gila gara-gara gadis satu ini.” Naruto menghela napasnya. Tapi ia cepat menyadari bahwa ia harus membawa Neji ke Konoha. Ia kembali naik ke punggung Suzaku.
Sekarang peperangannya dengan Madara sudah masuk ke tahap baru, ia harus mempersiapkan diri. Ia harus segera kembali ke Uzumakigakure untuk berbicara dengan kakeknya.
.
.
“Ada apa ini?!”
“Kenapa hutannya jadi beku begini?”
Karui dan Samui melihat ke sekelilingnya dengan mata membesar. Hutan dengan pepohonan rindang itu diselimuti es. Mereka memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.
Karui menutupi hidungnya dengan tangan. Satu tangan yang lain mengibas-ibas agar bau bangkai hilang dari sana. Ia shock saat mendapati mayat teman-temannya bergelimpangan di tanah. Ia berlari ke sana kemari memperhatikan mereka. Tidak ada yang bisa dikenali. Yang tersisa hanya bekas baju, hitae-ate simbol Kumogakure, dan tengkorak yang berserakan di sana.
Para shinobi Kumogakure itu ditugaskan untuk menghabisi Kakashi, Shikamaru, dan Neji. Namun mereka malah dihabisi oleh makhluk lain yang tidak pernah mereka temui sebelumnya….
“Terkutuk!” pekik Samui. Ia sampai ingin menangis melihatnya.
“Apa ini ulah shinobi Konoha? Aku tidak menyangka mereka ternyata memiliki kekuatan yang mengerikan seperti ini.”
“Kita harus melapor ke Raikage!”
Bersambung
 
Iklan sebentar ya ^^/

Novel keduaku udah ada toko buku seluruh Indonesia, novel ini yang membawaku ke Korea Selatan kemarin ^^





Judul : Dae-Ho’s Delivery Service
Harga : 48.000
Tebal halaman : 226
Terbit tanggal : 14 September 2015
Penerbit : Grasindo
Sinopsis :
Han Dae-Ho memutuskan tinggal sendiri di Seoul setelah ia mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung dari kedua orang tua yang ia sayangi.
Dua bulan setelah menetap di Seoul, Dae-Ho mendapatkan pekerjaan sebagai pengantar surat. Dae-Ho akhirnya tahu ia bukanlah pengantar surat biasa.
Choi Hyun-Ki, bosnya, menyuruhnya menjamin bahwa si penerima surat membaca surat itu.
Karena surat-surat itu adalah surat yang tidak pernah disangka akan didapatkan si penerima....
Dae-Ho sangat menikmati pekerjaannya. Meski begitu ia tetap sulit melupakan keluarganya. Termasuk Hana, gadis blasteran Korea dan Amerika Serikat yang sangat disukainya. Semakin Dae-Ho lari dari masa lalunya, masa lalu itu ternyata tiba-tiba datang di hadapannya.

Dae-Ho pun bertanya-tanya, mengapa ia memerankan sebuah drama yang tidak pernah ingin dilakoninya ini?

Share:

2 komentar