Fanfiksi Naruto: Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 2

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from HEART. Semi-Crossover with the Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU.
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.


Selamat membaca kawan ^^

~o0o~
Banyak yang bilang, cinta antara manusia dan yousei adalah terlarang. Mungkin apabila yousei memutuskan tinggal bersama-sama dengan manusia, mereka bisa saja menjadi manusia seutuhnya. Tapi sayangnya…kematian adalah takdir nyata yang selalu memisahkan mereka.

Chapter 2
Council’s Decision

Uzumaki Naruto berjalan gontai di sebuah hutan belantara yang memiliki dahan-dahan tinggi di dalamnya. Hutan dengan pepohonan besar, dahan atasnya tak terlihat seperti menjorok ke langit. Udara terasa dingin tanpa ada cahaya matahari masuk. Tak ada suara burung, gemeresik air atau desauan daun-daun yang bergesekan karena di terpa angin. Hutan itu lebih terlihat mati dibandingkan dengan Hutan Kematian yang ada di Konoha.
Naruto…sendirian di tempat itu.
“A—Aku bisa berjalan? Ke—Kenapa aku ada di sini? Harusnya aku berada di ruang operasi. Kalau begini aku tidak bisa menyelamatkan Sasuke. Aku harus kembali ke rumah sakit,” lirih Naruto. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tak mengerti mengapa tubuhnya menjadi lemah, remuk-redam tak bertenaga. Matanya sungguh berat, tapi Naruto berusaha memaksanya terbuka.
Apa ini mimpi seperti mimpi-mimpinya yang kemarin? Jujur saja ia merasa bosan berada di tempat dan peristiwa yang sama. Kalau kemarin wanita berambut merah yang membawanya ke alam mimpi, tapi sekarang siapa? Atau apakah sekarang dia berada di alam baka? Hal terakhir yang dia ingat adalah bahwa Madara berhasil membawanya pergi dari Konoha. Jadi ada juga kemungkinan Kyuubi telah diekstrak dari tubuhnya.
Naruto terus berjalan… Terus berjalan tanpa lelah hingga ia menemukan sekelebat cahaya di depan matanya.
“Ini di mana?”
Naruto dikelilingi oleh sinar berwarna putih yang menyedar ke seluruh area yang ia pijak. Ia melihat kesana-kemari. Mencari sebuah petunjuk di manakah ia sekarang berada. Namun nihil, ia tak dapat melihat apa-apa selain cahaya putih yang bersanding dengan rasa sepinya. Pesona terangnya penuh misteri sehingga Naruto dibuat penasaran dengan semburat cahaya aneh ini. Namun lamat-lamat latar belakang pepohonan kembali muncul di tengah-tengahnya.
“Sasuke-kun!”
Tiba-tiba terdengar samar-samar suara seorang perempuan memanggil nama Sasuke. Naruto segera memalingkan wajahnya ke arah kanan.
“Sasuke-kun!”
Suara itu terdengar lebih jelas sekarang. Naruto lantas mengenali pemilik suara, ia kenal betul dengan pemilik suara itu. “I—Ini suara Sakura-chan…”
Naruto memandang area di depannya. Barulah perlahan-lahan cahaya putih itu memudar, digantikan pemandangan lain yang tak terpikir oleh Naruto sebelumnya.
“Sasuke-kun, akhirnya kau kembali!” teriak Sakura. Gadis itu dengan cepat berlari ke arah Sasuke dan merengkuh the Uchiha prodigy ke dalam dekapannya.
“Sasuke… Sakura-chan.” Naruto tersenyum getir. “Akhirnya kalian bisa bersama kembali.” Bisa dilihatnya raut wajah kedua orang teman se-timnya itu. Sebongkah kebahagiaan yang sama sekali tak pernah Naruto lihat terpantul dari kedua wajah teman se-timnya itu. Mereka berdua tertawa gembira, mengabaikan sosok yang sedang mengintai mereka dari kejauhan.
“Sasuke sepertinya telah sehat sedia kala. Aku jadi tak punya hutang janji lagi pada Sakura-chan,” ucap Naruto lagi sembari tersenyum. Senyuman yang dipaksakan sebenarnya.
“Kenapa kau selalu memilih penderitaan dibandingkan kebahagiaanmu sendiri, Uzumaki Naruto?”
Naruto terkejut ketika mendengar suara lain yang tiba-tiba menghampirinya. “Eh?” Ia memperhatikan area sekitar. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya, Sasuke, dan Sakura. Mungkin itu hanya halusinasinya saja untuk itu ia tidak menghiraukannya.
“Mengapa kau selalu mengedepankan kepentingan orang lain dibandingkan dengan kepentinganmu sendiri?”
Naruto lalu menengadah ke atas. Ia melihat langit-langit di atasnya yang tiba-tiba menjadi berwarna kelabu. “Si—Siapa? Apa maksudmu?” Tanya Naruto pada suara itu.
“Kau senang melihat pemandangan di depanmu?”
Naruto terkesiap, ia menatap lagi kedua temannya. “A—Aku tak mengerti… Te—Tentu saja aku se—senang,” ucap Naruto terbata-bata.
“Lihat. Sebenarnya kau tidak sanggup meihatnya ‘kan, Naruto? Mengaku saja,” ujar suara itu lagi.
“A—Aku tidak sakit hati.” Naruto memandang kedua temannya yang sedang berasyik-masyuk di depan matanya. Tapi pada akhirnya ia tak mengerti. Ia merasakan hatinya sakit, seolah tersayat oleh sembilu paling tajam di dunia.
Naruto mengerenyitkan dahinya. Lantas ilusi kembali permainkan hatinya, dilihatnya Sasuke dan Sakura berangkulan mesra hendak bercumbuan. Sontak ia mengatupkan matanya rapat-rapat, memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Tak tahu perasaan apa yang bergejolak di hatinya, tiba-tiba Naruto merasakan rasa sakit di bagian dada kiri. “Ugh!!” Ia mencengkram kuat bagian itu.
“Sudah kubilang, jangan sok kuat, Naruto. Harnannin athan nestad bân (Terluka dikala orang lain bergembira)… Itukah yang kau harapkan?”
Naruto menutup kelopak matanya rapat-rapat, tanpa ia sadari setitik air hangat keluar dari sudut matanya yang mengatup. “Law! (Tidak). Mani uma lle merna?! (Apa yang kau inginkan sebenarnya?!) Kela! (Pergi!).” Ia merasakan kembali rasa sakit di bagian dada kirinya. Ia pun makin menggenggam erat bagian itu. “Argh!”
Rasa sakitnya makin menjadi, Naruto jatuh berlutut ke tanah. Ia tak kuat lagi menahan sakitnya, nafasnya menjadi sesak. Perlahan kesadaran mulai meninggalkannya. “A—Apa barusan yang aku katakan? Bahasa apa itu? A—aku tak mengerti…tiba-tiba keluar dari mulutku begitu saja.”
Pemandangannya pun seketika berubah. Masih dengan cahaya putih di sekitar Naruto, namun kini ia terbaring, melayang rendah di udara sembari memperhatikan langit gelap di atasnya.
“Kau tidak tahu bahasamu sendiri?” rupanya suara asing itu belum meninggalkan Naruto.
“Ba—Bahasaku?” Tanya Naruto yang kini berputar-putar perlahan sembari menengadah ke langit.
“Sindarin, bahasa agung leluhur rumah besar Uzumakigakure. Kau adalah salah satu dari keturunannya…”
“U—Uzumakigakure…? Sama seperti nama depanku.”
“Ya…takdirmu telah diputuskan. Kau harus bisa menerimanya. Ada tugas berat menantimu, Naruto. Lupakan saja gadis dari dunia fana itu… Kalian tidak ditakdirkan untuk bersama.”
“Huh? Ma—Maksudmu?”
“Yousei dan manusia…tidak akan pernah bisa bersatu, Naruto.”
“Yousei…? Arggghhh!!” Rasa sakit di dada Naruto semakin menjadi-jadi.
Sementara itu di Uzumakigakure.
Kushina yang sedang tertidur di dipan panjang tak jauh dari tempat tidur Naruto, terbangun karena mendengar suara nadir yang tiba-tiba muncul mengganggu tidurnya. Rupanya itu suara Naruto. “Naruto!” teriak Kushina panic ia segera menghampiri anaknya.
Tubuh Naruto menggelepar seperti sedang mengalami mimpi buruk. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Giginya bergemeretuk hebat, nafasnya memburu, namun matanya tetap mengatup.
Kushina sontak mengenggam tangan Naruto dengan erat. “Naruto! Mani marte? (Apa yang terjadi?)” Ia mulai khawatir, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu buah hatinya itu. Padahal Naruto sama sekali belum siuman dari tidur panjangnya.
Kushina lantas menyentuh dahi Naruto, berusaha membaca pikiran anaknya. Mata scarlet-nya pun bersinar dengan terang. Selang beberapa menit matanya kembali ke bentuk asal. “I—Ini… jutsu Otou-sama...,” ucapnya. Ia pun menatap Naruto dengan penuh perhatian. “Tidur… Tidurlah dengan nyenyak, Naruto. Kaa-san di sini.” Kushina membelai dahi Naruto berulang-ulang kemudian mengecupnya.
Perlahan Naruto mulai tenang, ia kembali melanjutkan tidurnya.
Kushina menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Ia kemudian berdiri dan hendak pergi dari tempat kamar Naruto. Berarti dia harus ke Konoha untuk mencari tanduk rusa klan Nara. Naruto harus segera dibangunkan, memancing kesadarannya muncul dengan ramuan obat Rin. Tapi sebelum itu ia ingin mengunjungi seseorang. “Tou-sama... Apa yang kau mau sebenarnya?” bisiknya sembari memandang ke luar kamar.
0o0o0o0o0
Dua minggu telah berlalu, Tsunade kini sedang duduk di kursi kebesarannya dengan perasaan kalut yang belum juga lenyap semenjak Naruto menghilang. Tak ada jejak yang bisa ditelusuri, tak ada petunjuk. Haruskah dia menerima keputusan dewan Negara Hi? Dia tahu betul ini adalah ulah Koharu dan Homura yang—tanpa memberitahunya terlebih dahulu—melibatkan pemimpin Negara Hi untuk ikut campur dalam masalah ini.
Tsunade tidak bisa berbuat apa-apa mengingat pemimpin Negara Hi adalah atasannya juga. Ia teringat akan keputusan sesepuh Konoha dengan para petinggi Negara Hi saat mereka melakukan pertemuan rahasia sekitar dua jam yang lalu
Flashback On
“Jadi bagaimana Godaime-sama...apa tim investigasimu sudah menemukan petunjuk mengenai keberadaan Jinchuuriki Kyuubi, Uzumaki Naruto?”
“Saat ini kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mencari petunjuk, Daimyou-sama (Pemimpin kerajaan Negara Hi),” jawab Tsunade yang ditemani oleh Shikaku dan dua orang Anbu pada pertemuan itu.
“Berusaha? Jadi kalian sama sekali belum menemukan satu petunjuk pun, iya ’kan?”
Tsunade mengerenyitkan dahinya. Ia teringat akan bumga mawar yang ditemukan Kakashi di persembunyian Akatsuki kemarin. Tapi ia sendiri kurang yakin dengan apa yang ditemukan oleh Kakashi itu. Untuk itu dia bungkam...
“Godaime-sama, kami akan segera mengadakan pertemuan antara Lima Negara Elemental. Mereka meminta konfirmasi tentang keadaan Uzumaki Naruto yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan jawaban yang tidak pasti pada mereka. Kau sendiri mengetahuinya, jika hanya tinggal Kyuubi saja yang belum Akatsuki dapatkan. Kalau memang Akatsuki telah berhasil mendapatkannya, maka Lima Negara Elemental akan bergabung untuk melawan mereka.”
Mata onyx Shikaku terbuka lebar. “Tunggu, kalau itu terjadi maka perang dunia ninja keempat akan terjadi. Dan—”
“Tidak ada cara lain, Shikaku-san. Akatsuki harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, apabila kau tidak bisa menemukan petunjuk yang berarti tentang keberadaan Uzumaki Naruto dalam waktu dua minggu dari sekarang, kau harus menyediakan monumen kematian untuknya.”
“A—APA?” teriak Tsunade.
“Uzumaki Naruto akan diumumkan terbunuh dalam misi.”
”Bukankah itu waktu yang terlalu singkat, Daimyou-sama?” tanya Shikaku.
”Jika dihitung dari hari menghilangnya Naruto sekitar dua minggu yang lalu, maka kalian punya waktu sebulan untuk mencari petunjuk dan sebagainya. Tapi bagaimana ini? Kalian saja tidak mengetahui apakah Naruto masih hidup atau tidak.”
Tsunade terdiam sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat. Beragumen dengan Daimyou memang tidak mudah karena sikapnya yang otoriter.
“Firasatku, Akatsuki telah mendapatkan apa yang dia mau. Dua minggu lagi akan diadakan pertemuan antara petinggi Negara Hi dengan para pemimpin klan shinobi dari Konoha. Hari itu keputusan mutlak akan diumumkan pada rakyat Konoha, Godaime-sama.”
“Kami menganggap Uzumaki Naruto sebagai pahlawan kami, jadi kami berusaha semaksimal mung—”
“Karenanya aku mengusulkan monumen khusus untuk mengenang jasa-jasanya. Aku...sudah mendengar semuanya tentang Uzumaki Naruto.”
Shikaku mencoba membujuk pemimpin Negara Hi itu. “Ini terlalu terburu-buru. Bisakah anda memberi kesempatan pada kami untuk—”
“Bagaimana aku bisa memberi kalian toleransi. Satu petunjuk saja tidak bisa kalian dapatkan. Apa kau bisa memberi kepastian padaku, Godaime-sama?” Daimyou membuka kipasnya lalu mengibas-ngibaskannya ke arahnya sendiri.
Dahi Tsunade kembali mengkerut. Mendengar pernyataan Daimyou lidahnya menjadi kelu. Memang tampang lelaki tua itu seperti orang bodoh yang tidak mengerti tentang permasalan negara. Tapi sebenarnya ia adalah pemimpin yang cukup cakap.
“Oh ya, dan masalah Uchiha Sasuke, aku sudah mendengarnya dari Koharu dan Homura. Aku harap kau bisa bertindak secara tepat dan lugas. Tidak ada kata ampun untuk pengkhianat desa.”
Flashback Off
Tsunade kembali ke alam sadarnya, ia termenung. Kalau begini permasalahannya ia harus segera berunding dengan Shikamaru dan Kakashi. Bukan hanya Naruto, tapi masalah Sasuke juga harus dapat ia selesaikan. Ia akan membentuk tim rahasia untuk menyelidiki keterlibatan Koharu dan Homura dalam pembantaian klan Uchiha.
“Shitsureishimasu, Tsunade-sama.” Shizune tiba-tiba muncul di balik pintu ruangan Hokage yang sedikit terbuka.
“Shizune?! Kenapa kau ke sini? Bukankah lukamu belum sembuh benar?!” Tsunade tentu saja terkejut dengan kehadiran asistennya itu. Wanita berambut raven itu baru saja keluar dari rumah sakit. Luka yang dideritanya lumayan serius akibat serangan Uchiha Madara.
“Ah, dai jou bu desu, Tsunade-sama. Sebenarnya seminggu yang lalu saya sudah baikan, tapi belum diizinkan pulang. Saya yakin saya bisa beraktifitas seperti sedia kala.”
“Tapi—”
“Saya yakin saat ini anda sangat membutuhkan bantuan saya, Tsunade-sama,” ujar Shizune tersenyum.
Tsunade terkesiap mendengarnya. Ya, memang benar. Di saat-saat rumit seperti ini ia sangat membutuhkan asisten yang siap membantunya dan mendengar keluh kesahnya. Ia pun tersenyum. “Baiklah, aku memang tak bisa menolak. Kalau begitu tolong panggilkan Kakashi dan Shikamaru, Shizune.”
Shizune pun terlihat girang. “Hai!” ucapnya penuh dengan semangat.
Time skip di Rumah Sakit Konoha
Hyuuga Hinata berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang terlihat lengang di siang hari. Sejak dua minggu yang lalu—saat dia mendengar Sasuke telah sadar dari komanya—sebenarnya dia ingin langsung mengunjungi keturunan terakhir klan Uchiha di ruangan rawat inapnya. Namun ia sedang berkabung karena peristiwa yang menimpa pangeran hatinya, Uzumaki Naruto. Ya, Naruto kini bagai ditelan bumi, tak ada seorang pun yang tahu bagaimana keadannya sekarang.
Selang beberapa menit, akhirnya Hinata sampai di depan ruangan dimana Sasuke di rawat. Dua orang Anbu Ne menjaga di pintu masuknya.
Hinata pun meminta izin agar diperbolehkan ke dalam.
“Mau apa?” Tanya salah satu dari Anbu tersebut.
“Ano…saya ingin menjenguk Sasuke-kun. Saya temannya.”
Kedua Anbu saling bertatapan satu sama lain. “Baiklah, kau hanya diberi waktu 10 menit.”
“Ha—Hai. Arigatou Gozaimasu.” Hinata lantas segera masuk ke dalam.
Langkah Hinata terhenti sesaat, ia menatap dengan kosong sosok Sasuke yang terbaring di tempat tidurnya. Sepertinya Sasuke sedang tidur.
Hinata lantas melangkahkan hatinya dengan hati-hati agar kehadirannya tidak disadari oleh Sasuke. Karena ia tidak enak mengganggu tidur the Uchiha prodigy itu.
Sasuke memakai baju serba putih, alat bantu pernafasannya telah dicabut. Keadaannya memang semakin hari semakin membaik.
Pandangan mata Hinata lalu tertuju pada kalung ber-pendant batu Aquamarine yang melingkar di leher Sasuke.
Kalung itu adalah miliknya. Kalung leluhur keluarga Hyuuga yang Hinata jaga dengan segenap hatinya. Karena ia percaya kalung itulah yang menyelamatkan dirinya kala ia sedang dalam keadaan mencekam. “Kalau saja aku kemarin memberikannya untuk Naruto-kun, pasti dia bisa selamat dari cengkraman Akatsuki,” bisiknya. Ia lalu mengarahkan tangannya untuk melepas kalung itu dari leher Sasuke.
Hinata sudah menyentuh batu Aquamarine-nya, namun tiba-tiba ia teringat akan permintaan Naruto dulu padanya sebelum bencana itu terjadi.
Flashback On
“Naruto-kun, ini adalah kalung ibuku. Ini adalah jimat keberuntunganku. Aku percaya dia selalu melindungiku kala aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku ingin kau memakainya.”
Batu biru laut Aquamarine terlihat berkilauan di tangan Hinata. Naruto memperhatikannya secara saksama, ia merasa enggan untuk menerimanya. “Ano… Hinata. Sepertinya kalung itu sangat berharga bagimu. Aku tidak ingin mengambilnya. Aku tak bisa memakainya.”
“Kumohon, Naruto-kun. Tidak apa-apa, aku ikhlas memberikannya padamu.”
“Bukannya aku tak ingin menerimanya. Rasanya kalung itu tak pantas terkubur bersamaku. Kalau itu memang kalung bertuah—yang bisa menyelamatkan seseorang, aku berharap kalung itu dapat menyelamatkan Sasuke.”
Hinata tertegun. “U—Untuk Sasuke-kun?”
Naruto mengangguk.
Hinata terlihat berpikir sejenak. Ia memang tidak terlalu mengenal Sasuke. Tapi kalung itu turun-temurun diwarisi di keluarga Hyuuga. Tidak boleh diberikan ke sembarang orang. Dia ingin memberikan kalung itu pada Naruto karena perasaan spesialnya pada the Kyuubi host itu. Tapi untuk Sasuke…dia ragu.
Naruto menyadari kebimbangan Hinata. “Hinata, aku tahu Sasuke masih sangat asing bagimu. Karena itu boleh aku memberitahukan suatu hal padamu?”
“Tentang apa, Naruto-kun?”
“Tentang dibalik pembantaian klan Uchiha…”
Flashback Off
Hinata menarik kembali tangannya. Ia teringat akan janjinya pada Naruto. Tiba-tiba ia mundur satu langkah. Ia menyadari mata Sasuke terbuka, memandangnya dengan rasa heran.
“Si—Siapa kau?” Tanya Sasuke. Suaranya berbisik. Ia belum mampu mengeluarkannya dengan sempurna.
Hinata terlihat panik, tapi tidak mungkin ia langsung keluar dari sini. Bisa-bisa Anbu mencurigai tindak-tanduknya. Padahal niat Hinata hanya untuk menjenguk Sasuke.
“Wa—Watashi wa Hyuuga Hinata desu, Sasuke-kun,” ucap Hinata terbata-bata. Ia tidak bisa mengendalikan suaranya, dalam hati ia berdo’a semoga Sasuke tidak bepikir yang aneh-aneh tentangnya.
“Hyuuga? Apa aku mengenalmu?” Tanya Sasuke penasaran.
“Sepertinya tidak, Sasuke-kun. Waktu dulu aku pernah melihatmu di ujian Chuunin, tapi kita sama sekali tidak pernah pernah bertegur sapa.”
“Begitu? Aku memang sudah lama meninggalkan Konoha. Sepertinya tidak ada yang aku kenal selain Hokage Ketiga dan anggota tim tujuh.”
Jantung Hinata berdegup kencang, ia merasa tidak enak hati dengan ucapan Sasuke itu. Menurutnya mengungkit-ungkit masa lalu adalah hal yang terlalu berat untuk diperbincangkan.
“Kau ada urusan apa ke sini?” Tanya Sasuke lagi.
Hinata terkejut mendengarnya. Ia baru mengetahui, kalau Sasuke orangnya sedikit frontal. “A—Aku hanya ingin me—menjengukmu, Sasuke-kun. La—Lagipula aku cukup ke—kenal Sakura-san dan Naruto-kun. Mereka be—berdua sangat-sangat mengharapkan ke—kepulanganmu, Sasuke-kun.”
“Kau tidak apa-apa?”
“E—Eh? Maksudmu?”
“Kau terbata-bata, apa kau takut padaku?”
Hinata terkejut lagi. Lama-lama ia bisa pingsan berhadapan dengan Sasuke. “Ti—Tidak. Hanya sa—saja memang ga—gaya bicaraku seperti ini.”
Sasuke lalu mengalihkan pandangannya dari Hinata ke langit-langit yang ada di atasnya. “Tidak perlu menutupinya. Aku mengerti semua orang di Konoha pasti menganggapku sebagai ninja yang berbahaya.”
The Hyuuga Heiress itu memandang Sasuke dengan iba, dari ekspresinya saja Hinata bisa membaca ada tampak sedikit penyesalan dalam hati si pemuda raven itu.
“Kau tahu di mana Sakura dan Naruto berada? Sampai saat ini hanya Kakashi saja yang pernah menjengukku.”
Hinata tercenung. Apa yang harus ia katakan pada Sasuke? Untuk perihal Sakura, ia tidak tahu mengapa ninja medis itu belum pernah mengunjungi teman se-timnya itu. Dan untuk Naruto… Rasanya tidak etis berkata jujur pada orang yang sedang sakit. Tapi berbohong juga bukan hal yang dapat memecahkan masalah bukan?
“Kau mendengarku, Hyuuga-san?”
“Hi—Hinata saja cukup, Sasuke-kun,” ujar Hinata tiba-tiba. “Ano… Sakura-san… Aku juga jarang melihatnya dalam dua minggu terakhir. Setahuku dia juga bertugas di rumah sakit ini. Dan Naruto-kun…” Hinata menggigit bibirnya sendiri.
Dahi Sasuke mengkerut. Melihat ekspresi Hinata ia jadi mereka-reka, apakah terjadi sesuatu pada Naruto?
“Na—Naruto-kun diculik oleh A—Akatsuki dua minggu yang lalu d—dan saat ini belum diketahui ke—keberadaannya.”
“A—Apa?!” Informasi dari Hinata itu bagai petir di siang bolong bagi Sasuke.
“Maaf, Hyuuga-san. Waktu anda telah habis.” Tiba-tiba Anbu masuk ke dalam ruangan, meminta secara halus pada Hinata untuk meninggalkan ruangan.
“Ya, maafkan saya.” Hinata lantas memandang Sasuke. “Sa—Sasuke-kun, kau tenang saja. Tim investigasi Konoha terus mencari tahu di mana Naruto-kun berada. Ma—Maaf waktu kunjunganku ha—habis, kalau a—aku mendapatkan info tentang Naruto-kun aku a—akan menjengukmu la—lagi.”
Sasuke hanya bisa menatap Hinata yang beranjak meninggalkan kamarnya. “Ada Anbu yang menjagaku? Dan Madara berhasil menangkap Naruto.” Sasuke menyadari sepertinya tidak mudah baginya untuk memulai kehidupan baru di Konoha. Giginya bergemeretuk hebat. Kalau seperti ini jadinya, dia harus segera keluar dari rumah sakit.

0o0o0o0o0

“Maaf, Ino-chan. Sakura sejak dua minggu yang lalu tidak ingin berbicara pada siapa-siapa. Pagi-pagi ia pergi ke rumah sakit, lalu sorenya ketika sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar. Makan saja ia lakukan di sana. Apa kau tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Sakura, Ino-chan?” Tanya ibu Sakura yang khawatir dengan perilaku tak biasa anak semata wayangnya.
Sore itu Ino berkunjung ke rumah Sakura karena ada yang ingin dibicarakannya dengan sahabatnya itu. Tak hanya ibu Sakura, Ino juga menyadari sikap Sakura yang dua minggu terakhir menjadi tertutup ke semua orang.
Ino mengerti, hilangnya Naruto adalah penyebab Sakura bersikap seperti ini. Tapi bukankah dulu juga Sakura pernah ditinggalkan oleh Sasuke? Bahkan dalam waktu yang lebih lama. Dan itu bukanlah sifat Sakura yang cepat menyerah begitu saja menerima kenyataan yang ada. Ia termasuk gadis yang memiliki rasa optimis tinggi dibandingkan dengan gadis-gadis seumurannya. Jadi ia semestinya tidak akan se-depresi ini ‘kan?
“Maaf, Haruno-san. Saya juga belum tahu pasti, maka dari itu saya ke sini sekalian mencari tahu. Bolehkah saya ke kamar Sakura sekarang?”
“Ah, silahkan, Ino-chan. Tapi aku tak yakin Sakura akan mengizinkanmu masuk.”
“Tidak apa-apa. Saya akan berusaha membujuknya, Haruno-san.” Ino pun melangkahkan kakinya ke kamar Sakura yang berada di lantai dua.
Sampai di pintunya yang tertutup, ia lalu mengetuknya. Ketukan pertama tak di respon oleh Sakura. Ino mengetuk pintunya lagi. “Sakura, ini aku Ino. Tolong buka pintumu. Ada yang ingin aku bicarakan.”

Sakura yang sedang meringkuk di depan jendela kamarnya yang tersingkap, menoleh ke pintu kamarnya ketika ia mendengar suara Ino dari sana. Ia masih mengenakan pakaian ninjanya yang biasa ia pakai pada saat misi. Saat ini, si pinkish itu sama sekali tidak ingin berbicara pada siapa pun.
Sakura hanya berbicara seperlunya saja. Bahkan pada Tsunade pun, ia hanya melaporkan misi dan hasil kerjanya. Untuk masalah perasaan dan isi hati, ia enggan berbicara pada gurunya itu. Lagipula ia tak ingin menambah beban pada Tsunade. Hokage Kelima itu pasti sedang sangat sibuk dengan urusan-urusan yang berhubungan dengan desanya.
“Sakura, kalau kau sedang ada masalah…kenapa tidak membicarakannya padaku? Dan juga, kenapa kau tidak pernah menjenguk Sasuke-kun? Padahal kau hampir berada di rumah sakit dari pagi hingga sore. Kau tidak cemburu jika aku yang merawat Sasuke-kun? Hehehe.” Ino mencoba menambahkan gurauan untuk mencerahkan suasana.
Sakura terkesiap. Uchiha Sasuke… Ia hampir lupa dengan teman satu timnya itu. Sebenarnya ia ingin segera menjenguknya seminggu kemarin. Tapi Sakura belum siap… Ia belum siap untuk berhadapan dengan Sasuke.
“Sakura…,” panggil Ino sekali lagi.
Sakura lantas melangkahkan kakinya ke depan pintu kamar. Ia hanya bersandar di daunnya, tidak ingin membuka pintu untuk Ino. “Aku tidak apa-apa, Ino. Aku belum ingin berbicara pada siapa pun. Kau pulang saja ke rumahmu,” ucapnya lesu.
“Sakura, ibumu sangat mengkhawatirkanmu. Tidakkah kau kasihan dengan ibumu yang akhir-akhir ini selalu memikirkan perilaku anehmu ini? Aku tahu apa yang mengganggumu, Sakura.”
“Kau…tidak mengerti apa-apa, Ino.”
“Kenapa kau menjadi seperti ini, Sakura? Padahal saat Sasuke-kun meninggalkan desa, kau tidak aneh seperti ini. Kau malah bertekad untuk membawa Sasuke-kun pulang dengan berguru pada Tsunade-sama.”
Tiba-tiba setetes airmata jatuh dari mata hijau Sakura. “Kau tak perlu tahu. Biarkan aku sendiri dulu, Ino. Aku akan menceritakannya padamu nanti ketika aku siap.” Suara Sakura terdengar parau di telinga Ino.
“Sakura, kau menangis?! Ada apa sebenarnya, Sakura?! Sakura, kau ha—”
“Sudah kubilang tinggalkan aku sendiri, INO!!!”
BUUKKK!!!
Sakura melempar bantalnya ke arah pintu.
Ino bergidik kaget sembari mundur satu langkah. Baiklah, Sakura jadi naik pitam, rasa-rasanya ia tak perlu memaksa si pinkish menceritakan masalahnya kepadanya. Akhirnya Ino menyerah, hatinya menjadi pilu ketika mendengar suara tangisan Sakura semakin menjadi-jadi. Ia pun berniat pergi dari sana, tapi sebelumnya… “Sakura, Naruto juga tak akan senang melihatnya jika kau seperti ini terus…” Kemudian ia tinggalkan sahabatnya itu tenggelam dalam kepedihan yang ia harapkan tidak terlalu lama menggerogoti pikiran Sakura.
0o0o0o0o0
Keesokan harinya, Shikamaru bangun pagi-pagi sekali untuk merayakan 10 bulan meninggalnya Asuma. Ia, Chouji, dan Ino berencana untuk mengunjungi makam mendiang gurunya itu. Rencananya, Kurenai juga akan ikut bersama mereka. Untuk itu Shikamaru berniat ke rumah Kurenai dahulu, kunoichi yang ahli dalam genjutsu itu akan membawa anaknya yang baru lahir sebulan yang lalu.
Shikamaru duduk di depan rumahnya, ia memakai sandalnya terlebih dahulu sebelum bangkit dari teras rumahnya. Tapi sebelum pergi…ia menyalakan satu puntung rokok, kemudian menghisapnya.
Time skip di tempat pemakaman ninja Konoha.
Shikamaru, Chouji, dan Kurenai sedang khusyuk berdo’a di depan makam Asuma. Mereka memejamkan mata mereka, setelah itu menebar bunga di atas nisan Asuma.
Shikamaru memandang nisan Asuma dengan perasaan lara di hatinya. Saat ini ia membutuhkan seseorang yang bisa memberinya solusi untuk memecahkan permasalahan yang tengah ia hadapi.
“Maaf kami terlambat,” ucap seseorang dari gerbang utama pemakaman. Rupanya itu Ino dan Kakashi.
“Kakashi,” panggil Kurenai.
“Maaf aku terlambat, Nai-chan.”
Shikamaru, Chouji, dan Ino sontak menatap Kakashi. Sejak kapan si ninja peniru itu memanggil Kurenai dengan nama kecilnya?
“Hai, Hiruzen apa ka—wah, dia sedang tidur rupanya. Hehehe.” Kakashi hendak mengajak bercanda bayi Hiruzen yang sedang tertidur lelap dalam gendongan ibunya. Ya, Kurenai memberi namanya Hiruzen untuk mengenang kakeknya, Sarutobi Hiruzen yang tak lain adalah mendiang Hokage Ketiga.
Kakashi lantas melenggangkan kakinya menuju makam Asuma dan berdo’a dengan khusyuk untuk mendiang temannya itu. Dalam do’anya ia juga meminta izin tentang sesuatu pada Asuma.
Shikamaru hendak pergi dari makam karena harus kembali beraktivitas di menara investigasi Konoha. Sebelum itu ia menghampiri Kurenai untuk pamit. “Kurenai-sensei, aku pamit dulu.”
“Akhir-akhir ini kau sepertinya sangat sibuk, Shikamaru,” ucap Kurenai sembari tersenyum. “Terima kasih karena sudah datang.”
“Bagaimana pun juga Asuma adalah guruku. Aku tak ‘kan pernah melupakan hari kematiannya begitu saja.” Shikamaru lalu menoleh ke arah Chouji. “Chouji, kau tolong antar Kurenai-sensei ke rumah ya. Aku sedang buru-buru.”
“Ya, semoga berhasil, Shikamaru.”
Shikamaru ingin berpamitan juga dengan Kakashi, tapi si ninja peniru itu sedang khuyuk berdo’a untuk itu ia mengindahkannya karena tidak sopan juga mengganggu orang yang sedang berdo’a. Lalu ia melihat Ino telah selesai melakukan kegiatannya, tapi ia membalikkan tubuhnya, tak peduli dengan kehadiran gadis blonde itu. Shikamaru malah mengambil sepuntung rokok dari kantung kunai-nya. Ia pun segera beranjak pergi dari sana, sembari menyalakan rokoknya.
“Tunggu, Shikamaru!” teriak Ino tiba-tiba. Ia menyadari Shikamaru menghindarinya. Sejak peristiwa penculikan Naruto kemarin, hubungannya dengan Shikamaru memang kurang baik. Tapi Ino juga tidak ingin berlama-lama dalam keadaan yang tak mengenakan ini. Ia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Shikamaru. Sepertinya si pewaris tunggal klan Nara itu masih marah kepadanya.
Shikamaru menoleh ke belakang. “Oh, Ino. Kau rupanya…,” ucapnya santai sembari menghisap rokoknya.
“Kau rupanya? Apa kau tidak menyadari dari tadi aku berdiri di sini?” ucap Ino menyindir. Kadang-kadang ia tak mengerti apa yang Shikamaru inginkan sebenarnya.
“Ya, begitulah. Dah…”
Ino lalu menyadari kalau Shikamaru sedang merokok. “Apa yang sedang mengganggu pikiranmu, Shikamaru? Kau jadi aneh akhir-akhir ini.” Ino mendekat ke arah si rambut nanas itu dengan wajah khawatir, ia tahu betul jika Shikamaru merokok itu artinya ia sedang menghadapi permasalahan yang sangat rumit.
Shikamaru menghentikan langkahnya, ia menoleh ke belakang. “Huh, sejak kapan kau peduli?”
“A—Apa?” Ino tersentak.
“Ah, ya aku lupa. Kenapa kau tidak pindah saja ke tim 7, Ino? Mumpung ada lowongan untukmu,” ucap Shikamaru dingin. Ia membuang puntung rokoknya yang sudah habis dan menyalakan lagi yang baru.
“Apa maksudmu?” Ino mulai naik pitam. Apa Shikamaru berniat mengusirnya dari tim?
Melihat kedua temannya nyaris bertengkar, Chouji pun berusaha untuk melerai. Apalagi di sini ada Kurenai dan Kakashi. Walaupun tempat mereka agak jauh dari makam, tapi apa jadinya nanti kalau guru-guru mereka melihat mereka sedang bertengkar? “I—Ino, lebih baik kau melanjutkan do’amu untuk Asuma-sensei…,” ucap Chouji sembari meraih tangan Ino.
“Aku sudah melakukannya, Chouji!” Ino melepas genggaman tangan Chouji dengan kasar. Ia pun menghampiri Shikamaru. “Kalau kau sedang berbicara, kau harus menatap lawan bicaramu, Shika!”
Shikamaru lantas menuruti permintaan Ino, ia membalikan tubuhnya sehingga kini mereka saling berhadapan.
“Kau ingin aku keluar dari tim?” Tanya Ino frontal.
“Memangnya kau peduli? Dua minggu ini saja kau jarang berkumpul bersama aku dan Chouji, kau malah sibuk mengurus Sasuke-kun-mu itu.”
“Dengar, Shika! Aku melakukan hal itu karena permintaan Tsunade-sama dan juga aku bukan berma—”
“Huh, alasan,” potong Shikamaru
“Apa katamu?!”
Kurenai dan Kakashi sontak menoleh pada Ino ketika suara si blonde itu terdengar menggelegar di area makam.
“Ahaha, maaf sensei. Ada yang ingin kami bicarakan dulu.” Lekas Chouji menggiring kedua temannya agar keluar dari sana. Sesampainya mereka bertiga di luar gerbang. “Cukup, kalian berdua! Shikamaru, kau pergi ke menara investigasi sekarang!”
“Sejak tadi aku memang mau pergi kok, tapi ada saja pengganggu yang menghalangiku.”
“Ka—Kau…” Ino maju satu langkah ke arah Shikamaru tapi Chouji menahannya.
“Hn.” Shikamaru tersenyum sinis pada Ino. Ia mulai beranjak meninggalkan kedua teman se-timnya. Tapi baru beberapa langkah, ia menghentikan langkahnya. “Aku tidak bercanda, Ino. Aku benar-benar menawarkannya padamu. Kau dan Sakura bisa leluasa mendirikan Sasuke fans club ‘kan? Bukankah itu adalah impianmu, Ino? Satu tim dengan si pengkhianat itu…”
“Shi—Shika…ka—kau…” Ino nyaris menangis.
Sedangkan Shikamaru sudah tak peduli, ia terus berjalan menjauhi Ino dan Chouji. Yang tidak Ino ketahui tubuh si nanas itu bergetar hebat, sejak tadi ia berusaha menahan emosinya agar tidak membludak. Sebagai gantinya Shikamaru mengepal kuat kedua tangannya hingga setetes demi setetes darah mengalir dari sana. “Mendokusei!” ucapnya geram sembari menunduk.
Sedangkan di lain tempat, Chouji berusaha untuk menghibur Ino. “Ino, maafkan Shikamaru. Jangan ambil hati kata-katanya barusan. Shikamaru sedang dalam masalah besar saat ini. Kau menyadarinya ‘kan? Dia tak henti-hentinya menghisap rokok sejak kita berkumpul tadi.
Ino menyeka airmatanya. “Memangnya ada apa sebenarnya, Chouji?”
Chouji menatap Ino dengan prihatin. “Ini…tentang hilangnya Naruto…”

Bersambung…

Share:

0 komentar