Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 20
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Setting
Canon. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A
bit Fantasy. OOC
PAIRING: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina,
Shika/Ino, Kaka/Kure
Menuju
Kehancuran I
.
.
Hinata hanya memperhatikan sejenak Sakura dan Naruto
yang saling adu mulut itu. Ia kembali memperhatikan langit lepas yang ada di
atasnya. Ia tidak tahu Sasuke pergi ke mana. Padahal tadi ia ingin mengucapkan
terima kasih karena Sasuke telah menyelamatkannya. Namun Sasuke malah
menghindarinya seperti itu.
.
.
Kaki Hinata nyaris
terpeleset di bebatuan sungai yang ia telusuri. Meski begitu ia tetap berusaha
menyeimbangkan tubuhnya. “Dingin.” Padahal mentari bersinar dengan gagahnya, ia
keheranan dengan airnya yang seperti berasal dari negeri es. Namun ia tidak mau
berhenti berlama-lama, ia tahu pasti Sakura dan Naruto akan mencarinya. Maka
Hinata memilih jalan tersembunyi sekaligus berbahaya itu.
Hanya satu yang
ingin ia lakukan sekarang. Ia ingin bertemu dengan Sasuke.
“Aku memang tidak
tahu jalan menuju ke sana,” lirih Hinata yang menapaki satu batu dan batu
lainnya. “Setidaknya dengan niat besarku ini siapa saja bersedia mengantarku ke
Lembah Api.” Karena ada hal yang harus segera ia selesaikan.
Mata Hinata lantas
membesar. Di depannya ada sinar putih yang begitu terang. Ia lantas tersenyum
tipis dan melihat ke arah langit. “Terima kasih sudah mengabulkan keinginanku.”
Ia pun melangkah hingga menembuh sinar putih dan tiba di tempat yang asing
baginya. Tidak seperti wilayah utama Uzumakigakure tadi, Lembah Api ini tampak
sepi dan suram. Lokasinya dikelilingi oleh pegunungan berwarna merah dan minim
bangunan. Bangunan-bangunan itu menyerupai kuil dan memanjang dari barat ke
timur tidak terlihat ujungnya.
Pandangan Hinata
mengedar ke seluruh wilayahnya. “Di mana dia?”
.
.
Kushina, Sakura,
dan Naruto kini berada di ruang makan Rumah Besar Uzumakigakure. Hidangan yang
dimasak oleh Kushina sudah tersedia di depan.
Naruto mengambil
sumpit dan mengarahkannya ke udang raksasa di sebuah piring besar. Wajahnya
mengeras ketika ada sumpit lain yang menjepit udangnya. Ia memandang tajam ke
arah Sakura. “Ini punyaku.”
“Aku duluan yang
mengambilnya. Minggir!” balas Sakura.
“Tidak mau!” omel
Naruto.
Kushina membelah
udang itu jadi dua dengan kekuatan telepatinya. “Kalian sudah 16 tahun, tapi
masih seperti bocah.” Ia geleng-geleng kepala. “Ngomong-ngomong di mana
Hinata?”
“Tadi dia ingin
mencari angin segar di pinggir laut,” jawab Sakura.
“Sebentar lagi dia
juga akan pulang,” tukas Naruto.
Kushina memandangi
Sakura dan Naruto bergantian. Ia meletakkan sumpit di atas meja. “Memangnya dia
tahu jalan menuju ke sini? Dari laut ke sini kan cukup jauh.”
Naruto langsung
bergeming. “Aku baru ingat.”
Kushina jadi kesal
karena kecerobohan anaknya. “Harusnya kita menunggunya pulang dulu. Cepat cari
Hinata. Meski di sini aman, tapi dia bukan penduduk asli daerah ini. Aku takut
ada apa-apa dengannya.” Ia mendesah panjang. “Ini gara-gara kalian bertengkar
terus.”
Sakura berdeham
karena merasa bersalah. “Saya minta maaf, Kushina-san.”
Naruto langsung
berdiri. “Aku akan mencarinya!”
“Aku juga!” timpal
Sakura.
Naruto langsung
protes. “Kau di sini saja!”
Mata Sakura
mendelik. “Siapa juga yang mau mencari Hinata bersama denganmu?!”
“Jangan banyak
tingkah! Cuma aku yang tahu wilayah di sini!”
“Aku juga tahu
kok!”
Kushina lagi-lagi
mendesah panjang. “Memang susah berhadapan dengan dua orang yang sedang dimabuk
cinta.”
“Aku tidak
mencintainya!” pekik Naruto dan Sakura berbarengan.
.
.
Sasuke memandangi
kawah Lembah Api yang mengeluarkan asap. Rambutnya menari diterpa angin hangat
yang berembus. Ia bergidik. “Seperti apa musuh yang kulawan nanti?” Ia terus
memikirkannya. Ia memang pernah bekerja sama dengan Madara, tapi instingnya
bisa mengendus banyak rahasia yang ia sembunyikan. Rahasia yang mengerikan.
Angin besar lalu berembus. Yang ini membuat bulu kuduk Sasuke berdiri. Matanya
mendelik.
Sasuke kemudian
berusaha menenangkan hati. Ia membalikkan badan. “Bagaimana kau bisa sampai di
sini?”
Hinata tersenyum
tipis padanya. Tangannya menunjuk ke langit. “Dia yang menuntunku.”
Sasuke paham maksud
dari perkataan Hinata. Pasti ulah Suzaku.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan padaku?”
Hinata menggigit
bibir. “Aku ingin berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku.”
“Kau tidak perlu
berterima kasih. Aku hanya—” Suara Sasuke tiba-tiba tercekat di tenggorokan.
“Urusanmu sudah selesai, kan? Kau bisa pergi dari sini.”
“Kenapa kau
menghindariku?”
“Aku melakukannya
demi keselamatanmu. Kau tidak menyadari kau hampir celaka gara-gara aku?”
volume suara Sasuke meninggi.
“Tapi kau tidak
melukaiku.” Hinata menunduk. “Yang melukaiku orang-orang dari klanku sendiri.”
Sasuke membenci
wajah penuh kesedihan itu. Ia yang tidak mau terbawa suasana, membalikkan
badan; membelakangi Hinata. “Mereka melukaimu gara-gara aku. Mereka semua takut
... mereka takut aku memanfaatkan kekuatanmu. Sama seperti Madara dulu yang
memanfaatkan Hikari.”
“Tapi kau tidak
melakukannya, kau malah menolongku, kan?” protes Hinata.
“Tapi bagaimana
jika suatu saat aku lupa diri dan benar-benar berubah seperti dia? Aku satu
keturunan dengannya! Kau tidak menyadari bahwa kita sama-sama memiliki garis
takdir yang tragis?”
Hinata lantas paham
apa yang dikalutkan oleh Sasuke. Perlahan ia melangkahkan kakinya menuju
keturunan Uchiha itu. “Kita sama-sama memiliki garis takdir yang tragis. Kita
pun dibuang oleh klan kita sendiri. Kalau begitu bagaimana jika kita berusaha
saling memahami?” Air matanya jatuh perlahan.
Sasuke tidak
mengerti apa yang merasuki dirinya. Kakinya melangkah cepat menuju Hinata.
Hinata pun tidak
pernah menyangka jika Sasuke memeluknya. Matanya lantas meletupkan binar. Air
mata itu masih mengalir di wajahnya. Tidak ada kata yang keluar dari bibir
mereka berdua, tapi mereka seolah mengerti satu sama lain. Kedua tangan Hinata
merengkuh kuat baju Sasuke.
Dan
yang tidak mereka sadari, ada dua orang yang tak diundang menyaksikan semua hal
itu.
Naruto menggaruk
pipinya. “Mereka baru saja melewati keadaan yang sulit ya.”
Sementara Sakura
diam saja, ia tersenyum tipis seraya menghembuskan napas lega.
“Ayo,
pulang. Aku masih lapar.” Naruto lalu membalikkan badan dan berjalan menjauh.
“Eh?
Lalu bagaimana dengan Hinata?”
“Dia
bersama Sasuke jadi tidak perlu khawatir.” Naruto tersenyum dengan lebar. Angin
berembus, membuat rambut kuningnya melambai-lambai.
“Apa-apaan
kau tersenyum seperti itu,” Sakura membuang mukanya malu-malu. Ia kemudian
mengikuti Naruto pergi.
.
.
Tsunade
berdiri di atas kepala patung kakeknya. Ia ditemani oleh Shizune. Memantau di
bawah dengan mata awas. Berbondong-bondong penduduk Konoha masuk ke dalam
tebing secara teratur.
Shizune
menatap Hokage Kelima itu dengan wajah prihatin. “Mereka terlihat kebingungan,
Tsunade-sama.”
Tsunade
mengembuskan napas-napas kuat. “Kali ini kita benar-benar melawan musuh yang
kuat. Aku tidak tahu apakah kita akan selamat. Aku tidak bisa menjamin
keselamatan diriku, apalagi mereka.”
Shizune
lalu menyadari burung-burung bertebangan dengan gelisah di langit Konoha. Pandangannya
menajam. “Kalau begitu saya akan melakukan patroli. Dia bisa menyerang kapan saja.”
Tsunade
mengangguk.
.
.
Sementara
itu para Shimakaru dan lainnya melakukan rapat bersama di bawah tenda. Yang
hadir cukup banyak. Dari pemimpin ANBU, petinggi klan-klan shinobi yang ada di
Konoha, dan juga rekan-rekannya.
“Jadi,
seperti apa musuh yang akan kita hadapi?” tanya Chouji dengan wajah serius.
“Mereka
yang sudah mati, dan ingin yang hidup merasakan kematian itu sendiri,” ungkap
Shikamaru.
Sekujur
tubuh Ten jadi menggigil. “Kita benar-benar tidak tahu siapa mereka, apalagi
bagaimana cara mengalahkan mereka.”
“Kita
bisa mengetahuinya kok,” jawab Shikamaru yang terdengar optimis. Hanya saja
ekspresinya masih begitu tegang. “Tapi kita harus melawan mereka dulu.”
Kiba
lalu menepuk dahinya dan tertawa miris. “Orang yang paling jenius saja sulit
memikirkan solusi yang tepat, kita benar-benar terdesak ya.”
Shikamaru
memejamkan matanya rapat-rapat. “Meski begitu kita harus bisa bertahan sekuat
tenaga. Aku berjanji akan mencari solusi secepatnya.” Ia menatap satu per satu
mereka yang ada di sana. “Yang jelas jangan sampai kalian menatap matanya,
jangan sampai tubuh kalian terluka karena serangannya. Dua hal itu akan membuat
kalian sulit diselamatkan.”
“Tapi
bukannya bisa disembuhkan dengan jurus khusus?” Rock Lee mengingatkan.
“Memang
bisa, tapi jika banyak berjatuhan korban hal itu pun akan percuma karena yang
bisa mengaktifkan jurus itu hanya dari Klan Uzumaki.” Ekspresi Shikamaru
mengeras. “Rapat selesai. Kalian sebaiknya berjaga-jaga selama evakuasi, jangan
sampai ada penyusup.”
Para
peserta rapat pun membubarkan diri. Shikamaru juga hendak pergi, tapi ia baru
menyadari masih ada satu orang tertinggal di sana.
“Shikamaru.”
Shikamaru
hanya melihat Ino dengan wajah betenya. Ia seperti tidak suka diintervensi saat
sedang sibuk seperti ini.
“Aku
hanya ingin bilang, pikirkan semuanya matang-matang, jangan gegabah mengambil
keputusan.”
Shikamaru
lalu membalikkan badannya. “Heh, jangan meremehkanku. Aku ini orang terjenius
di Konoha tahu.” Ia pun berlalu meninggalkan Ino.
Ino
memandangi punggung yang kian menjauh itu dengan senyuman di bibirnya. “Harusnya
dari dulu kau meresponsku dengan nada sok tahu seperti itu.”
.
.
Setelah terkena serangan fatal beberapa hari lalu,
keadaan Kakashi sudah membaik. Tapi hal itu tidak membuatnya bersantai-santai.
Sekarang ia sudah siap berada di garda depan. “Pakai
jaketmu.”
Kakashi
lalu mengambil jaket tersebut dari tangan Kurenai. Ia lalu memperhatikan
istrinya sejenak. “Akhir-akhir kau tampak pucat. Apa kau baik-baik saja?”
“Kekhawatiranmu
terlalu berlebihan, Kakashi. Harusnya aku yang menanyakan apa kau baik-baik
saja. Kemarin kau hampir saja mati.”
Kakashi
jadi merasa bersalah karena ucapannya itu. “Maafkan aku, aku akan lebih
hati-hati.”
Kurenai
mengangguk, lalu melingkarkan tangannya di punggung Kakashi. “Kau harus pulang
dengan selamat.” Ia menatap wajah suaminya lekat-lekat.
Kakashi
lantai membelai wajah Kurenai dengan mesra. “Aku akan berusaha.”
Kurenai
tersenyum tipis. “Aku akan membawa Hiruzen ke tempat pengungsian. Sebenarnya
aku ingin ikut berperang, tapi aku tidak bisa meninggalkannya.”
“Aku
paham.”
“Kalau
begitu sampai jumpa sehabis perang, Kakashi.”
Kakashi
tidak mengerti hatinya jadi kecut seperti ini, namun senyuman Kurenai yang
biasanya cantik itu saat ini jadi terlihat menyedihkan baginya.
.
.
“Sebenarnya
kenapa kita harus mengungsi?”
“Aku
juga tidak mengerti.”
“Padahal
di serangan dulu saja kita diberi peringatan awal. Yang ini benar-benar
membuatku was was.”
Para
penduduk Konoha masih terlihat mengantri rapi. Namun seiring berjalannya waktu,
kegelisahan mereka semakin membesar.
“Yang
kudengar kemarin ada kumpulan iblis yang masuk ke wilayah Konoha dan membuat
Kakashi terluka parah,” ungkap salah satu penduduk.
“Kau
tahu dari mana?” ucap yang lainnya tampak terkejut.
“Beritanya
kemarin sangat heboh. Kau tidak tahu?”
“Ah,
yang benar saja. Aku tidak ada mendengar serangan apa pun. Kau ini hanya
mengada-ada.”
Sementara
itu yang tidak mereka sadari, ia berdiri di antara penduduk dengan kepala
tertunduk. Ia tampak lemah, tapi bibirnya menyeringai. Dari mulutnya keluar air
liur yang cukup banyak. “Lapar, lapar … ada banyak makanan di sini….”
Dan
salah satu shinobi menghampirinya. “Hei, kau tidak apa-apa? Kalau sakit
sebaiknya beri yang lain untuk jalan. Kau memperlambat yang lain mengungsi.”
Ia
hanya nyengir saja melihat shinobi tersebut, kemudian berlari kencang menuju si
shinobi dan menembus tubuhnya seperti hantu. Tapi tubuh si shinobi itu jadi
membusuk dan terkapar di tanah.
“KYAAAA!”
Barisan
para pengungsi pun kacau-balau.
Teriakan
penduduk dan deru tanah yang menggelegar membuat semua para shinobi terkejut.
Terutama Tsunade. Matanya membesar memandangi arah sumber suara. “Mereka sudah
di sini?”
.
.
Naruto
melahap makanannya cepat-cepat. Ia memang selalu suka masakan Rumah Besar
Uzumakigakure.
“Pelan-pelan
makannya, Naruto. Persediaan makanan masih banyak kok,” Kushina memperingatkan.
Naruto
tapi tidak mendengarkan ocehan ibunya. Matanya menatap ke Sasuke dan Hinata
yang tampak menikmati santapannya. Ia lalu melihat ke arah kursi paling ujung
yang tidak berpenghuni. “Kaa-sama,
kenapa Ojii-sama tidak pernah ikut
makan bersama kita?”
“Dia
memang seperti itu, sudah lama sekali lebih memilih makan di kamarnya.”
Mata
Naruto menyipit. “Pasti porsinya lebih banyak daripada yang diberikan padaku.”
Namun kemudian Naruto mematung. Matanya menyalang. Ia memang masih berada di
Uzumakigakure, tapi ia melihat orang-orang berlarian. Mereka berteriak kencang
dikejar sesuatu yang seketika membuat
Naruto berdiri menggebrak meja mengagetkan semuanya.
“Kau
kenapa Naruto?” tanya Sakura.
“Konoha
diserang!”
Dan
mereka pun paham makan-makan ini harus dihentikan sekarang juga.
“Semuanya
bersiaplah untuk berperang.” Kushina ikut berdiri. Ia pergi ke ruangan lain.
“Nee-sama! Konoha benar-benar sudah
diserang?” Rin lalu muncul.
Kushina
mengangguk. “Penglihatan Naruto tidak pernah salah.” Dengan kekuatan ajaibnya,
dalam sekejap ia sudah berganti mengenakan baju perangnya berupa obi merah yang
dilapisi perisai emas. Rambutnya yang memanjang dikucir ekor kuda. Ada pedang
yang di sampirkan di punggungnya. Ia berjalan cepat ke arah aula bersama Rin
yang mengikutinya.
Kushina
menghampiri Miyazaki yang sedang memandang keluar melalui jendela raksasa. “Ada, dia sudah datang.”
“Hm.”
Kushina
memejamkan matanya sejenak. “Aku tahu Ada
tidak ingin ikut campur dalam perang ini, tapi apakah Ada ingin menyampaikan sesuatu padaku?”
Miyazaki
menatap Kushina tanpa ekspresi. “Kalau aku bisa melihatnya, pasti aku akan
memberi tahumu.”
“Dengan
hanya menyegel kesembilan bijuu,
apakah itu cukup?”
Miyazaki
kembali memandang keluar. “Harusnya cukup, tapi aku tidak tahu apa yang dia
rencanakan sebenarnya.”
“Kaa-sama!” Naruto muncul di pintu.
Kushina
lalu meletakkan satu tangan di dadanya dan membungkuk. “Kami akan kembali
memberikan kabar baik.”
Rin
dan Naruto pun melakukan hal serupa, meski Naruto lebih kikuk. Ia tidak biasa
dengan salam penghormatan itu.
Melihat
ibunya berjalan keluar dari aula, Naruto pun ikut menjauh. Kemudian Sakura
muncul dan berjalan di belakangnya.
“Naruto,
kau punya rencana apa?”
“Hah?
Kenapa harus memikirkan rencana segala?” Naruto malah menjawabnya dengan
enteng.
Sakura
lalu menarik bahu Naruto. “Apa kau bilang? Kau tahu kan musuh kita sangat
kuat?!”
Naruto
pun jadi berang. “Kenapa kau jadi marah?! Baik aku, kaa-sama, bahkan kakekku saja tidak tahu apa yang sebenarnya Madara
rencanakan.”
“Aku
tidak marah kok. Aku hanya ingin kau tidak melakukan semuanya sendirian!” lawan
Sakura.
Tiba-tiba
Naruto melihat sosok yang berlumuran darah. Ia buru-buru mengalihkan
pikirannya. “Kau, sembuhkan para pasukan sebanyak-banyaknya. Kau dibutuhkan
karena itu jadi jangan menganggu konsentrasiku. Mengerti?!”
Sakura
membelalak mendengar pernyataan Naruto yang begitu ketus.
“Apa-apaan
mereka? Di saat seperti ini malah bertengkar,” omel Kushina setibanya di sana.
“Aku
duluan,” Naruto lalu menghilang dan satu per satu dari mereka mengikuti
jejaknya.
.
.
Tsunade
melompat dari bangunan ke bangunan. Jantungnya berdegup kencang. Suara teriakan
demi teriakan yang menggelegar itu menyayat hatinya. “Kenapa mereka bisa masuk?
Apakah segelnya tidak bekerja?” Tsunade memperhatikan bayang-bayang api yang
memenuhi langit Konoha. Ia lalu memikirkan kemungkinan lain. “Berarti sebelum
segelnya diaktifkan beberapa di antara mereka ada yang menyamar dan berhasil
masuk? Sial!”
“Tsunade-sama!”
Tsunade
melihat para shinobi angkatan Naruto menyusulnya. “Kalian! Musuh ini sangat
kuat! Berhati-hatilah! Jangan sampai ada dari kalian yang mati!”
“Siap,
Tsunade-sama!”
Sementara
itu di tempat lain kerusuhan itu semakin menjadi. Musuh hanya satu, tapi sudah banyak
rakyat sipil yang menjadi korban.
“Lari,
semuanya! Lari!”
Kemudian
para ANBU berdatangan mereka
masing-masing memegang katana dan menyerang berbarengan. Tapi Iblis Berjubah
Hitam yang menggunakan tubuh manusia itu malah kesenangan karena ada yang
menginterupsi waktu makannya. Ia melihat ke langit. “Santapanku makin banyak!
GRAUUU!” Nyawa para ANBU itu pun dilahapnya habis
“Semuanya
cepat berlindung di bawah tebing!” salah satu ANBU menggiring para rakyat biasa
ke tempat yang dimaksud; setidaknya serangan mendadak itu mengalihkan si iblis dari
rakyat malang itu.
“Jangan
melarikan makananku!” si iblis menyerang ANBU itu.
ANBU
tersebut segera mengambil katananya. “Sial!” ia pun berniat menebas tubuhnya.
Namun iblis itu lebih cepat, satu lagi korban yang tubuhnya membusuk di tanah.
“Hahahaha!”
iblis itu kesenangan.
Para
ANBU berkeliling di depan rakyat biasa. Keringat dingin mengucur di tubuh
mereka.
“Dia
tidak mempunyai jurus khusus. Hanya saja gerakannya cepat dan langsung
mematikan lawan dalam sekejap,” ujar salah satu ANBU.
“Ugh!
Bau bangkainya sangat pekat!” keluh ANBU yang lain.
“Kita
harus memancingnya menjauh dari para pengungsi.”
“Tapi
bagaimana caranya? Dia bukan tipe yang bisa jatuh dalam jebakan.”
“Ck,
untung saja hanya satu.”
Iblis
itu menyeringai mendengar kalimat terakhir. Kemudian kejadian berikutnya
membuat ngeri semua orang. Mereka yang sudah membusuk bangkit kembali satu per
satu.
“Lapaaarrr!~”
“Makan!
Aku butuh makaaannn!~”
“Makan
yang mana dulu ya?!”
Para
ANBU dibuat tak berkutik. Sementara rakyat biasa melenguh ketakutan. Mereka bak
terjebak di mimpi buruk di pagi hari.
“Bagaimana
bisa?!”
“GRAAAA!”
mayat-mayat hidup itu pun berlarian ke arah mereka.
“Habislah
kita….”
Mayat-mayat
hidup itu semakin mendekat diiringi dengan teriakan-teriakan yang semakin
menjadi. Dan….
“Rasenshuriken!”
Tubuh-tubuh yang membusuk itu terpental ke langit.
Tubuh-tubuh yang membusuk itu terpental ke langit.
Naruto
dan kelompoknya ternyata tiba lebih dulu.
“Ugh,
baunya!” Sakura menutup hidungnya sesaat.
Mata
Kushina memincing melihat mayat-mayat hidup malang itu. “Mereka membangun
pengikut ya.”
“Naruto,
Kushina!” Tsunade dan para ninjanya pun berdatangan.
Para
mayat hidup menghentikan serangannya.
“Ada
makanan hebat yang datanggg…!”
“Tapi
dia sulit dimaakaann. Grrr!~”
“Mereka
semua takut melihat jurus Naruto,” ujar Kushina.
“Apa
yang kau lakukan, Naruto?! Mereka itu rakyat biasa!” omel Tsunade. Menurutnya
Naruto terlalu gegabah.
Naruto
kaget juga dibentak seperti itu. “Maafkan aku, tapi mereka tidak bisa
disembuhkan dengan cara apa pun.”
“Sebenarnya
bisa kok,” sahut Sakura.
“Sungguh,
Sakura?” Tsunade memang berharap banyak pada muridnya itu.
Naruto
pun protes. “Hei, kau jangan mengada—”
Tapi
Sakura keburu mendorong wajah Naruto dengan tangannya. “Diam! Dengarkan dulu
penjelasanku! Ini gara-gara kau meremehkan yang namanya rencana!”
Sasuke
bolak-balik menatap Naruto dan Sakura. Matanya menyipit. Dari pagi mereka berisik sekali. Ia lantas memandangi langit
Konoha. Kekkai-ku masih berfungsi, tapi
tidak kusangka para iblis itu bisa membodohi kita. Mereka benar-benar penuh
kelicikan.
“Aku
bisa menggunakan genjutsu untuk memulihkan mereka, tapi nyawa-nyawa yang sudah
dimakan harus dikeluarkan dari perut iblis itu,” jelas Sakura yang kemudian
melepaskan tangannya.
“Oh
ya?” Naruto berkacak pinggang. “Aku baru mendengar tentang itu!”
Sakura
menatap Naruto kesal. “Ini karena Earendell memberiku petunjuk.”
“Yah,
kalau sudah begitu sih tidak ada yang bisa membantahnya,” ujar Kushina yang
kemudian menepuk-nepuk bahu Naruto agar tenang.
“Para
iblis itu membenci api, jadi pastikan mereka bisa memakan api,” ujar Sakura.
“Kalau
begitu serahkan padaku.” Sasuke maju ke depan. Shikamaru yang melihatnya
memasang tampang kesal. “Setelah semua rakyat sipil berhasil masuk ke tempat
pengungsian aku akan memasang kekkai api
di sekitarnya.”
Tsunade
lalu menghadap ke anak buahnya. “Kalian dengar, kan? Semuanya membagi kelompok
dan pastikan shinobi yang menguasai jurus api menyebar di antara kelompok
tersebut. Ada sembilan pintu menuju pintu masuk pengungsian. Laksanakan!”
Para
shinobi itu pun segera berpencar ke lokasi yang diperintahkan tadi.
Kushina
tersenyum melihat Sakura. Tidak kusangka
dia mampu mengendalikan Earendell secepat
ini. Jangan-jangan dia memang reinkarnasinya Sakura-sama. Ia lalu melihat
para pengungsi di sana sudah memasuki tebing.
“Di
sini sudah dipastikan aman ya. Baiklah, berarti tinggal menyegel mereka ke
tempat semula.” Naruto meninju tangannya sendiri.
Mayat-mayat
hidup itu mulai meraung.
“Err,
mereka kesal makanannya dibawa pergi,” komentar Sakura.
“Kau
jangan sampai tidak melihatnya, Naruto. Malam ini ia akan bersinar dengan
terangnya,” ujar Kushina tiba-tiba.
Ekspresi
Naruto mengeras mendengarnya. Ia tentu mengerti apa yang dimaksud oleh ibunya.
Sasuke
kembali memperhatikan langit Konoha, matanya menajam ketika sesuatu yang aneh
terjadi di sana. “Tsunade-sama,
sepertinya kita sudah kedatangan tamu lain yang kuat. Berhati-hatilah.”
“Madara?”
“Belum
bisa kupastikan, tapi yang jelas ada yang merusak perisai apiku.”
“Apa?!”
Naruto menatap ke arah yang sama.
“Berarti
kita harus bekerja ekstra ya. Selain melakukan penyerangan, juga melindungi
kekkai yang dibuat untuk melindungi rakyat sipil nanti agar tidak rusak.”
Kushina mengepalkan tangannya.
“Aku
sebaiknya ikut berpencar.”
Tsunade
menyetujuinya.
“Sasuke-kun, aku ikut,” pinta Hinata.
Sasuke
menatap Hinata sejenak, lalu mengangguk. Mereka lalu pergi ke tempat lain yang
memberikan firasat buruk kepadanya.
.
.
Sasuke
dan Hinata membelalak saat mayat-mayat bergelimpangan di depannya. Hanya ada
satu orang yang duduk di atas mayat-mayat malang itu. Mayat-mayat itu tidak
hanya rakyat biasa, tapi juga ANBU dan shinobi
lain.
Hinata
yang melihatnya menggigil sekaligus merasa merana. Ia menutup mulutnya. “Te-tega
sekali.”
“Dia
ingin menghabisi kita semua.”
“Eh,
ternyata kau sudah tiba ya?” sosok itu lalu berdiri dari tempat duduknya.
Sasuke
dan Hinata dalam posisi siap bertarung.
Sasuke
memandang tajam ke Kabuto. “Aku kira kau salah satu dari sembilan iblis yang
menjijikan itu.”
Kabuto
terbahak-bahak sampai bikin bulu kuduk Hinata naik. “Ya, bisa dibilang aku juga
sama seperti mereka.”
Namun
pemandangan selanjutnya membuat Sasuke dan Hinata terbelalak. Hinata langsung
mencengkram belakang obi Sasuke. “Sasuke-kun—”
“Jangan
mengaktifkan byakuganmu. Kau bisa berakhir seperti Neji,” titah Sasuke.
Hinata
pun mengurungkan niatnya. Tadinya ia hendak melihat apa yang sebenarnya terjadi
pada Kabuto.
Sasuke
mengeluarkan katananya. “Ternyata kau juga dimakan ya, tapi kau dimanfaatkan
sebagai inangnya.”
“Jangan
mengada-ada, Sasuke. Aku tetap Kabuto, tahu.” Kabuto tiba-tiba muncul di depan Sasuke
dan Hinata; menyerang mereka dengan tangannya yang berubah jadi ular.
Mereka
bisa menghindar, tapi Kabuto berputar dan menyerang keduanya secara bersamaan.
Sasuke
berhasil menebas ularnya dengan katana, sedangkan Hinata mengeluarkan jurusnya
yang membuat tangan kanan Kabuto terputus.
“Kunoichi
sialan. Belum apa-apa sudah membuatku terluka.” Kabuto menyeringai memandangi
Hinata.
Hinata
tetap awas pada posisinya. Tiba-tiba ada ular yang muncul dari tanah dan berada
di belakangnya.
“HINATA!”
Sasuke hendak menyerang ular itu dengan pedang apinya yang memanjang. Tapi….
ZRAT!!!
Seringai
Kabuto semakin lebar. “Tertipu!”
Ular
di belakang Hinata menghilang, ia merasa dunianya telah berakhir ketika ular
buas itu menembus dada Sasuke. “SASUKE-KUNN!”
.
.
Naruto lalu menengok ke arah Sasuke dan Hinata pergi. Mereka baik-baik saja, kan? Kenapa
perasaanku jadi tidak enak ya? Fokusnya kembali pada para shinobi yang
menyerang mayat-mayat hidup itu secara membabi-buta. Sasuke pernah berlatih bersamaku sih, jadi harusnya ia tidak mudah
dikalahkan. Ya, walaupun aku berhasil
mengalahkannya. Di saat begini Naruto masih sempat-sempatnya membanggakan
diri.
Sakura
membentuk beberapa segel di tangannya dan menghentakannya ke tanah. “Sakura no jutsu!”
Lalu
muncul ratusan pohon sakura dalam waktu bersamaan.
“Yosh!
Mari kita menyembuhkan mereka yang terinfeksi.”
Lantas
ada keanehan yang bisa Kushina rasakan. “Semuanya! Menghindar!”
Lalu
bola api raksasa berwarna biru menghitamkan semua yang dilewatinya.
“Aakkk!
Pohonnya!” Sakura kaget sekaligus kesal.
Hampir
semuanya menghindar, tapi ada beberapa shinobi yang terlambat melakukannya.
Tsunade
pun merasa kecolongan. “Bijuu?! Yang
benar saja!”
Naruto
melihat ke segala direksi. Kali ini ia benar-benar marah. Di mana kau, Madara sialan?!
“Sepertinya para iblis itu hanya permulaan. Serangan
sebenarnya adalah ini.” Kushina lantas mengubah wujudnya. “Baru muncul satu.
Kalau semuanya muncul, terpaksa kita harus memanggil Suzaku dan lainnya.”
“Kau
serius, Kushina? Padahal Konoha baru saja melakukan pembangunan akibat serangan
Pein!” Tsunade tidak menyangka dalam kurun waktu yang cukup dekat desanya
mendapatkan serangan besar-besaran seperti ini. Pertarungan para monster pasti
akan memporak-porandakan Konoha kembali.
Kemudian
Bumi bergetar. Nekomata berlari kencang.
Sakura
yang berlindung di pepohonan, kemudian melompdat dari satu pohon ke pohon
lainnya. “Kucing kurang ajar! Dia membuat chakraku terbuang sia-sia!”
“Sakura,
jangan gegabah!” teriak Naruto. Ia hendak mengejar, tapi sebuah tangan
mencegatnya.
“Kau
juga jangan gegabah, Naruto. Perhatikan sekitarmu baik-baik. Bijuu lain bisa tiba-tiba muncul.
Serahkan yang ini pada Sakura.”
Naruto
tidak mengerti mengapa ibunya berkata demikian.
Sakura
semakin mendekat Nekomata. Ia melompat
tinggi-tinggi. “Hyaaatttt!” Lalu meninju dahi Nekomata dengan kemampuan
andalannya itu.
BOOM!
Tubuh
Nekomata pun terpental berkali-kali di atas tanah.
Naruto
sampai melongok melihatnya.
“Maafkan
aku kucing manis!” Sakura jadi kasihan karena ia memang menyukai kucing. Namun ia
tahu kucing satu ini tidak akan membiarkannya hidup.
“RAWRRR!”
Nekomata lalu bangun perlahan. Ia lebih garang dari yang tadi.
Kedua
tangan Sakura mengepal.
Tsunade
lantas melihat ke direksi lain. Matanya membesar. “Sepertinya aku harus
mengurus hal lain.”
Kushina
pun melihat ke direksi yang sama. “Iblis itu punya rencana lain.”
“Biar
aku yang membereskan mereka, Baa-chan.”
“Kau
tahu bagaimana menyegel mereka?”
Naruto
mengangguk pasti. Ia akhirnya mengingat salah satu cara yang cukup ampuh. “Aku akan
membawa mereka ke dimensi lain.” Ia lantas memperhatikan Sakura yang berhadapan
dengan Nekomata. “Kalau mereka semua berkumpul aku akan membiarkan Kyuubi
keluar lalu melakukan penyegelan terakhir.”
.
.
Pintu
ketiga pengungsian
Shikamaru
dan shinobi lainnya terpaksa membunuh para rakyat sipil yang berubah jadi mayat
hidup.
“Shikamaru-san!
Ini tidak ada habis-habisnya,” pekik salah satu ANBU.
Shikamaru
sendiri sibuk membunuh para mayat hidup yang berusaha menyerangnya. “Aku
terlalu menganggap remeh mereka. Mereka benar-benar mengerikan.”
Shikamaru
memperhatikan teman-temannya yang berjuang untuk mempertahankan diri.
Kekhawatirannya memuncak, kalau begini terus maka keadaan mereka akan semakin
memburuk. Mereka akan mati duluan karena kehabisan chakra, sementara para mayat
hidup ini jumlahnya terus bertambah.
Namun,
Shikamaru tiba-tiba merasa dunianya berhenti. Ia menyadari Ino yang
bersusah-payah melindungi diri dari serangan bertubi-tubi para mayat hidup itu.
Salah satu dari mayat hidupnya menyerang dari belakang. Ia lantas tahu apa yang
harus dilakukannya.
Shikamaru
mendorong Ino dengan cepat. Sementara tubuhnya ditembus oleh salah satu mayat
hidup itu.
Hati
Ino hancur berkeping-keping melihatnya. Teriakannya lantas membumbung tinggi ke
udara. “SHIKAMARU!”
BERSAMBUNG….
Halooo, maaf baru update. Bikin adegan pertarungan itu susah, apalagi yang bertarung orangnya banyak :'D.
Btw, mau sekalian ngabarin Alhamdulillah salah satu draft novelku
tayang di akun wattpad Belia Writing Marathon punya Bentang Pustaka, judulnya CURIGA. Ada yang main wattpad? Baca ceritaku yuk. Begini sinopsis lengkapnya.
========================================
SINOPSIS CURIGA
Awalnya Vaniolla Zita atau yang
dipanggil Olla ngisengin tiga temen cowoknya; ngirimin surat kaleng yang
seolah-olah berasal dari masa lalu. Sandi dan Wendi hampir kemakan kata-kata di
suratnya. Tapi berkat kecerdasan Lexi, si cowok paling jutek di SMK Multimedia
Jayakarta, kedok Olla pun kebongkar. Yah.... Olla gagal ngusilin mereka deh!
Tapi....
Keesokan harinya giliran Olla yang dapetin surat kaleng!
Olla
pun ngerasa gondok. Pasalnya surat tanpa nama yang ia temukan di lokernya itu
aneh banget. Bilang cinta, tapi ngehina-hina juga. Udah gitu sok ngatur pula.
Belum tahu dia kalau Olla paling nggak suka diatur, apalagi sama orang yang
nggak berani nampakin diri kayak gitu.
Olla
curiga sama Sandi, Wendi, dan Lexi, cowok-cowok keren yang lagi dekat
dengannya. Cuma... mungkinkah salah satunya itu mereka? Namun yang lebih bikin
Olla penasaran, kenapa dia malah pakai surat? Kenapa nggak ngomong langsung
aja?
============================
Gimana?
Bikin penasaran, kan? Covernya sendiri dibuatin sama sahabatu tercinta, Andini
Fitri Lubis ^^/.
Ayo dibaca! Bakal aku publish sampai
ending lho. Oh ya, buat yang baca dan kasih vote + komentar di ceritaku ini
juga punya kesempatan dapetin buku gratis dari Bentang Pustaka.
Silakan
berkunjung ke link ini: https://www.wattpad.com/484269945-curiga-bab-1
0 komentar