Fanfic NARUTO Dibuang Sayang: HEART Chapter 6
Pairings: NaruSakuSasu. Rating: T. Semi-Canon. Contains Death Character, Tragic/Romance.
Disclaimer: I don’t own Naruto. Naruto belong to Masashi Kishimoto.
Heart Chapter 6
Ancaman yang Tak Terduga
Happy Reading, Sahabat ^^
-
-
“Tsunade-sama, hasilnya sudah keluar.”
“Bagaimana?”
“Jantung Naruto cocok di transplan untuk Sasuke.”
“Begitu?”
“Ehm… Tsunade-sama, apa anda benar-benar akan melakukan operasi ini?”
“Tidak. Kau yang memimpin operasi ini, Shizune. Tim dokter sudah siap ‘kan?
“A—apa? Tsunade-sama,..mengapa aku yang—,”
“Kau yang memimpin jalannya operasi, Shizune. Titik.”
“Tsunade-sama…”
“Lebih cepat, lebih baik. Lagipula semuanya telah siap ‘kan, Shizune? Tak perlu menunggu Sakura pulang.”
“Ta—Tapi…bukankah lebih baik jika anda yang memimpin Tsunade-sama? Karena kemampuan saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan anda.”
Tsunade terlihat berpikir sejenak, lalu berjalan perlahan meninggalkan Shizune. Lantas ia berbisik, tak mampu berbicara lantang. Seolah ada sesuatu yang menghalangi tenggorokannya untuk mengeluarkan suara. “Aku tak mampu melakukannya…” Lalu ia pun melangkahkan kakinya. Gelapnya koridor rumah sakit membuat kian gelap relung hatinya. Hujan pun tak pelak menambah suramnya hari nan pilu itu. Hari dimana semua akan berubah kelabu seperti awan nimbus yang sebentar lagi akan datang—yang niscaya tak henti-hentinya menumpahkan air hujan di dataran gersang. Dan Shizune hanya bisa menatap sedih master-nya. Enggan berargumen, karena ia rasa hal itu tak ‘kan berguna.
* * *
Sakura tercenung memandang sebuah buku yang ia genggam di tangannya.
“Mawar merah Konoha? Apakah dia seorang kunoichi?” Kemudian ia membuka halaman berikutnya. “I—ini siapa? Cantiknya...” Disana terpampang foto seorang kunoichi—berambut merah tergerai indah memanjang hingga betis—berpose menyamping sembari tersenyum simpul. Wanita itu memakai obi berwarna merah dengan hitai-ate desa Konoha di dahinya. Obi yang dipakainya memanjang hingga bagian paha, selebihnya ia memakai shirt hitam ketat hingga meraih atas paha. Dari bagian kaki, ia memakai sepatu bot yang panjangnya hingga ke lutut. Anting mawar merah berkilauan di telinganya. Dia terlihat gagah tapi sisi femininnya tetap ada.
“Dia pasti kekasih Hokage Keempat. Seleranya begitu tinggi.” Sakura tersenyum. Wanita ini mengingatkannya pada Tsunade, gurunya sendiri. “Sepertinya dia sangat menyukai bunga mawar,” gumam Sakura.
Sakura memperhatikan lagi foto itu. Di sekitar pinggangnya dililit kain dan terdapat katana di bagian kirinya. Dia pasti mahir menggunakan katana layaknya Sasuke. Lalu Sakura mengarahkan pandangannya pada tulisan yang tertera di bawah foto tersebut.
‘Kushina, Konoha no rosu akai’
“Kushina, Mawar merah Konoha. Julukan yang indah. Tapi aku tidak pernah mendengarnya. Dia pasti seorang kunoichi yang hebat sampai mendapatkan julukan indah seperti itu,” ujar Sakura.
Sakura lalu membuka kembali halaman berikutnya. Dia sebenarnya sedikit ragu—tidak patut untuk membaca buku seseorang yang dia tidak kenal. Apalagi buku ini sepertinya buku milik Hokage Keempat. Bisa jadi ia telah lancang, tetapi entah mengapa nalurinya mengatakan untuk menelusuri buku itu lebih dalam.
Sakura mematung, dia menemukan bunga mawar merah yang terselip di sana. Anehnya bunga mawar itu kelihatan segar dan tak menghitam, walau bentuknya sudah tidak keruan—lantaran sekian lamanya terselip di buku yang penuh debu itu.
“Hmm… Aneh. Kenapa dia tidak layu?.” Sakura menciumi bunga mawar itu. “Harumnya masih terasa, sepertinya jenis dari Rose Canina. Bukankah itu termasuk bunga langka di sini?” Sakura menciuminya sekali lagi, entah mengapa perasaannya menjadi tentram ketika harum bunga mawar menusuk-nusuk hidungnya. Mawar itu tidak berduri pula. Mungkin durinya telah dipangkas dari tangkainya.
Ia pun menuju ke halaman berikutnya. Barulah di sana Sakura menemukan deretan tulisan yang penuh dengan teka-teki. Ia tak mengerti apakah buku ini buku harian atau bukan. Karena kalaupun buku harian, tak ada tanggal dan hari yang tertera. Lantas Sakura membacanya perlahan agar tidak satupun kata terlewat dari pandangannya.
Manisku…
Kata orang kau seperti buah tomat
Ada juga yang bilang kau seperti cabai merah yang pedasnya minta ampun
Tapi bagiku kau adalah bunga mawar yang tumbuh di padang sabana.
Yang orang-orang beranggapan hanya ada ilalang di sana…
Kau wanita yang paling indah sejak dunia tercipta
Aku yakin itu, dan tak bisaku mengelaknya
Sakura tertawa geli, bahasa orang kasmaran memang terdengar sedikit mengerikan. Tutur kata yang elok dan semanis madu, tertulis cabai merah dan buah tomat di dalamnya. Tomat dan cabai merah kedua-duanya memiliki warna yang sama, lalu disama-samakan dengan bunga mawar. Lantas mengapa penjabarannya begitu jauh berbeda? Padahal mereka itu tak serupa dan tak pula sama.
Tapi Sakura mengerti. Beginilah orang yang sedang dimabuk kepayang oleh asmara. Bahasanya klise dan terkesan maksa.
Ya, barangkali isi hati Namikaze Minato yang tertera disini. Mungkin juga ada sesuatu hal yang membuatnya menulis seperti itu. Dan Kushina—Konoha no Rosu akai adalah kekasihnya, dan bisa jadi telah menjadi istrinya sekarang.
Kita akan menghadapi semua bersama-sama…
Itulah yang kau ucap berulang kali di telingaku.
Perang dunia shinobi ketiga dimulai.
Semuanya luluh lantak...
Warga sipil terluka, obat-obatan habis tak ada yang tersisa.
Tapi kamu… Kamu cintaku.
Aku tahu kau memiliki beribu-ribu kekuatan yang masih kau pendam.
Dengan Earendiru,
Kau tumbuhkan berjuta-juta mawar merah yang bisa menyembuhkan luka para warga sipil.
Meski kau tak tahu bagaimana cara meraciknya menjadi obat hehehe.
Ya, biarkan Tsunade-san yang melakukannya.’
Sakura tercenung. Dia tahu gurunya itu menjadi sangat terkenal karena penemuan obat mujarabnya pada saat perang dunia shinobi ketiga terjadi. Tapi untuk perihal mawar merah yang merupakan bahan utama obat mujarab itu, tak pernah singgah di telinga Sakura. Selama dia belajar ilmu medis pada Tsunade, tak pernah ia menceritakan pada Sakura perihal tentang mawar merah yang disebutkan di buku. Kalau memang pernah ada berjuta mawar di desa Konoha, mengapa dari dia kecil sampai sekarang Sakura tak pernah melihatnya? Kemanakah bunga ajaib itu sekarang? Dan yang lebih penting, kemanakah Kushina si Mawar merah?
Lantas muncullah seberkas sinar di pikirannya.
“Mu—mungkinkah mawar ini yang disebutkan di dalam buku?” Sakura memperhatikan bunga mawar itu dengan teliti. Matanya mulai berair—takjub dengan apa yang ia temukan. Ia kembali membaca paragraf berikutnya.
Lalu karena itu mereka menjuluki kau Konoha no rosu akai
Dulu mereka mengenalmu sebagai buah tomat atau cabai merah
Tapi mereka tak tahu kalau kau adalah orang yang sama.
Katamu, kau tak ingin. memberitahu mereka identitas kau yang sebenarnya.
Tapi hanya aku, Jiraiya-sensei, Tsunade-san, dan murid-muridku saja yang tahu tentang kau, Kushina.
Oh ya, tak lupa Mei Terumi yang sempat akan kunikahi dulu.
Namun kau mengacaukan pernikahanku dengannya.
Hahaha… Kau adalah wanita ternakal yang pernah aku temui, Kushina.
Tapi sungguh kasihku, aku sangat mencintaimu.
Sebelum aku tahu kau adalah seorang Yousei aku sudah mencintaimu.
Bukan karena kau adalah seorang makhluk perkasa melebihi manusia pada umumnya.
Karena belum pernah aku melihat rambut indah seperti yang kau miliki.
Kau yang keras kepala, kau yang cerewet bukan main.
Maafkan aku karena pernah meragukan cintamu, cinta kita.
Aku tak menyangka kau membatalkan perjalanan terakhirmu ke Barinoru.
Persinggahan terakhir klanmu, orang-orang terlupakan yang menepi ke Barat.
Mengikat jiwamu kepadaku menjadi tak abadi lagi seperti klanmu.
Pada akhirnya, aku berhasil mendapatkan satu mawar merah yang tersisa.
Kupikir aku tidak bisa bertemu lagi denganmu, jadi aku curi satu tangkai ketika banyak orang yang membutuhkannya.
Oleh karenanya kuharap dia bisa berguna nanti.
Mungkin untuk anak kita kelak kalau dia sakit
Hehehe entah mengapa aku sudah memikirkan memiliki anak, Kushina. Padahal menikah saja kita belum.
Atau juga untuk seorang shinobi kuat yang sedang diambang kematian.
Karena kita terlalu banyak kehilangan shinobi-shinobi muda dan tangguh.
Aku sangat terpukul kehilangan muridku Uchiha Obito, Kushina.
Dia mati muda, padahal aku rasa dia bisa menjadi shinobi yang hebat nantinya.
Karena dia adalah keturunan klan terhebat di desa kita tersayang ini.
Uchiha… Sakura terbelalak kaget. Tubuhnya gemetaran, pandangan matanya tak ia lepas sedetik pun dari kalimat terakhir paragraf yang baru saja dibacanya.
Mati muda… Dia langsung teringat pada satu sosok yang selalu ada di mimpi-mimpi malamnya. Dambaan hatinya, cinta matinya… Yang selama ini ia dan Naruto perjuangkan agar bisa kembali bersenda gurau bersama mereka. Dan kini ia telah kembali, namun dalam keadaan yang sama sekali tak Sakura harapkan terjadi. Apa harus secepat itu Sasuke meninggalkannya? Sakura tak menyangka perjuangan itu kini akan sia-sia jadinya.
Sakura memejamkan matanya. Kali ini ia tahan sebisa mungkin air matanya agar tidak jatuh. Ia menyeka air matanya yang kadung keluar. Ia kembali membaca halaman itu, lalu kalimat-kalimat ini menarik perhatiannya.
‘Oleh karenanya kuharap dia bisa berguna nanti.’
‘Atau juga untuk seorang shinobi kuat yang sedang diambang kematian.’
“Mu—Mungkinkah?” Sakura pun tersenyum lebar. Buku ini seperti mukjizat. Ia merasa memang telah ditakdirkan untuk menemukan buku tersebut.
Jikalau benar adanya bahwa mawar merah inilah yang menyembuhkan luka para shinobi kala perang dunia ninja ketiga, mungkin saja ia bisa menyembuhkan luka Naruto. Dan tak menutup kemungkinan pula bisa menyembuhkan Sasuke.
Sakura nyaris kegirangan. “Apakah aku bisa menyelamatkan mereka berdua?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku pasti bisa! Aku sudah berjanji pada diriku sendiri sejak lama,” ucapnya lantang. Ya, semoga saja begitu. Karena rasa-rasanya meracik obat dari tumbuhan sudah sangat sering ia lakukan. Sakura berharap eksperimennya akan berhasil.
Kalau begitu artinya Sakura tidak apa-apa ‘kan mengambil bunga itu untuk ramuan obatnya? Karena obat itu untuk dua orang shinobi yang masih terbilang muda namun begitu hebat di kalangannya.
Sakura pun langsung kembali ke eksperimennya. Lantaran waktu berlalu sangat cepat dan enggan untuk berhenti sejenak. Tak ada yang lain yang ia pikirkan selain dua orang tim rekannya. Mereka yang sangat berarti bagi dirinya. Mereka berdua yang mengisi relung hatinya. Sakura tak mau kehilangan salah satu dari mereka. Dan semoga saja ia tidak dianggap pencuri oleh Tsunade karena tak sengaja mengambil arsip rahasia di rak bukunya.
Sakura tak lagi membaca buku itu. Hal tersebut terlupakan olehnya. Meskipun sebenarnya masih banyak misteri—yang belum terkuak—yang tersirat di sana.
* * *
Naruto memandang langit-langit di ruangannya. Wajah begitu lesu, masygul selimuti ke mana pun alam pikirannya pergi. Ia tak begitu yakin apakah hal yang dilakukannya ini benar atau salah. Akankah Sakura kembali tersenyum? Akankah rakyat Konoha menerima dengan mudah kembalinya Sasuke kelak? Dan yang lebih ia takutkan, akankah dunia berubah menjadi damai dan tentram? Semua itu masih menghantuinya hingga saat ini.
Tapi Naruto tetap yakin hanya inilah jalan yang tepat. Jalan kelam yang ia ambil padahal masih banyak hal yang ingin ia lakukan.
Ia mengatupkan matanya rapat-rapat. Kelopak mawar berterbangan kesana kemari, lautan lepas membentang hingga batas cakrawala. Burung camar menari mencari ikan segar di atasnya. Ombak bergulung—berlomba menuju pesisir yang terhubung dengan sungai kecil dibalik lembah yang berhalimun. Semua pemandangan itu masih terekam di otaknya.
Naruto berdo’a dalam hati. Semoga saja sang mawar merah adalah benar-benar seorang malaikat, sehingga dia bisa tinggal di tempat asri nan elok itu. Tempat yang tak memiliki nama. Atau memang dia bernama namun Naruto tak mengetahui namanya. Ya, cukup di sana. Cukup di sana ia tinggal—dia tidak mau lekas ke Nirwana.
“Hei, kyuubi,” sapa Naruto ke iblis yang tersegel di perutnya. Cukup lama ia tak berbincang-bincang dengan bijuu paling angkuh di antara semua bijuu itu.
“Grrrhhh… Nani, gaki? Mengganggu tidurku saja!” umpat kyuubi seraya membuka sebelah matanya.
Naruto tertawa kecil. “Huh, dasar iblis pemalas!”
“Damare! Kau yang menyebabkan aku jadi begini. Kalau aku baik-baik saja, sudah kucincang kau sejak lama! Lagipula harusnya kau berterima kasih padaku. Jika tak ada aku, kau pasti langsung tewas ketika Madara menyerangmu dengan amaterasu!”
“Jadi kau kehilangan kekuatanmu, kyuubi? Ternyata kau sangat lemah,” Naruto terkekeh-kekeh.
Kyuubi hanya mendengus kesal, malas menanggapi. Kekuatan amaterasu menggerogoti tubuhnya pula. Hal ini terjadi lantaran dia mencegah efek amaterasu agar tidak menjalar ke organ vital Naruto lainnya. Baru kali ini dia bersusah payah membantu Naruto agar tetap hidup. Tapi anak itu malah memilih mati. Sungguh terlalu.
Naruto diam sejenak, lalu kembali mengajak kyuubi berbicara. “Kyuubi…”
“Nani?”
“Kalau kau mati nanti, kau akan ke mana?” Tanya Naruto.
“Aku? Untuk apa kau tahu?”
“Dasar sombong. Aku hanya ingin bertanya!”
Kyuubi kembali meringkuk, hendak tidur. “Aku—aku hanya ingin kembali ke Tuanku saja. Aku merindukannya.”
“Eh? Tuanmu? Maksudmu Madara?”
“Jangan bercanda, gaki! Tuanku bukan sembarang orang. Dia paling istimewa di antara yang istimewa. Sampai mati pun aku tak sudi tunduk pada Uchiha tak tahu diuntung itu!”
“Bukankah Madara yang mengendalikanmu pada saat kau menyerang Konoha 16 tahun yang lalu? Kukira dia tuanmu. Aku tak mengerti.”
“Dia mengendalikanku dengan genjutsu terhebatnya. Sudah! Aku ingin tidur. Berhenti mengajakku berbicara!”
“Cih!” cibir Naruto. Namun tiba-tiba ia tertawa terpingkal. “Tak kusangka kau ini hewan peliharaan juga, kyuubi. Seperti burung perkutut.”
“Grrrrhhhhh…. Urushai!!!”
“Ano… Shitsureishimasu, Naruto-kun.”
Naruto segera mendongakkan kepalanya ke arah sumber suara. Ternyata itu Sai yang berdiri di tengah pintu ruangan yang terbuka. “Sai! Masuklah,” ujarnya sembari tersenyum.
Sai melangkah ke arahnya. Naruto memandang Sai dengan saksama. Entah penglihatannya yang salah apa bukan, bisa dilihat olehnnya sebongkah ekspresi dari air muka Sai yang selama ini sulit untuk dipersepsikan secara benar. Wajahnya begitu sendu, begitu yang Naruto lihat. Mungkin dia sudah tahu perihal keputusan bulat Naruto mendonorkan jantungnya untuk Sasuke.
“Jadi kau sudah tahu, Sai?”
Sai mengangguk pelan. “Ya, Shizune-san yang memberi tahu aku.”
“Yang lain?”
“Sepertinya kabar ini belum menyebar luas,” jawab Sai.
“Baguslah,” tukas Naruto acuh tak acuh. Dia memang tidak ingin perihal ini langsung menyebar dalam waktu 12 jam. Bisa-bisa ada yang mengganggu jalannya operasi nanti.
Naruto melihat ke arah jam dinding. Dia masih memiliki banyak waktu. Namun ada sesuatu hal yang ia ingin lakukan sebelum waktu itu tiba. “Sai, aku ingin meminta tolong padamu.”
“Apa?”
“Aku ingin ke Monumen Kepahlawanan Konoha sebentar. Kau mau mengantarkanku ke sana?”
Sai terlihat berpikir. Permintaan terakhir Naruto tidak sepatutnya ia tolak. “Baiklah,” Sai melangkahkan kakinya ke arah jendela. “Ninpou. Choujugiga,” dan seekor burung elang muncul dari jurus yang dikeluarkan olehnya. Ia memilih jalan udara karena menurutnya lebih baik ketimbang jalan darat, meskipun tempatnya tak terlalu jauh dari rumah sakit Konoha.
* * *
“Hmm… Segarnya!!!” Naruto memejamkan matanya lekat-lekat, menghirup udara yang sebenarnya kian dingin menyengat. Sai hanya membisu, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa udara terlalu dingin untuk dinikmati. Tapi apa boleh buat, Naruto terlalu keras kepala untuk dinasihati.
Mereka dalam waktu singkat tiba di Monumen Kepahlawanan Konoha. Tak lupa Sai membawa kursi roda yang ia benarkan bentuknya. Naruto pun duduk di atasnya sembari memandangi pemandangan sekitar.
Lalu pandangannya tertuju pada pohon Sakura yang letaknya tak jauh dari sana. Bunganya berserakan di tanah karena terpaan angin yang mengganas. Ia hampir gundul tak berbunga. Layu seperti seorang gadis yang ia cinta sejak lama. Terlalu lama ia layu hingga tak menampakkan indah pesonanya. Terlalu lama ia sembunyikan senyuman manis di bibirnya.
“Naruto, pohon Sakura ini begitu rapuh dan layu. Mengapa kau begitu senang memandangnya?” Tanya Sai.
“Karena pohon Sakura ini mengingatkan aku akan dia,” jawab Naruto sembari tersenyum simpul.
Sai terperangah. Sakura. Haruno Sakura ‘kan yang dia maksud? Perasaan Naruto pada Sakura sudah tak asing baginya. Waktu itu Sai tak tahu apakah yang dikatakannya—sewaktu dulu pada Sakura—adalah hal yang tepat atau tidak. Ia berbuat seperti itu pada dasarnya untuk kebaikan Naruto. Janji seumur hidupnya pada Sakura yang membuatnya hidup dalam kutukan tiada akhir. Bagi Sai itu adalah beban yang sangat berat untuk Naruto pikul sendiri.
“Tapi aku tak pernah berharap dia membalas perasaanku,” lanjut Naruto.
Pada dasarnya kejujuran adalah hal rumit yang baik untuk dikatakan. Tapi kenyataan yang ada…terlalu menyakitkan untuk diterima.
Ada sebongkah perasaan bersalah yang Sai pendam selama ini. Kalau saja waktu itu ia tidak mengatakan perasaan Naruto yang sebenarnya pada Sakura, mungkin gadis itu tak akan berbohong pada Naruto. Karena hanya rasa sakit hati yang Naruto dapat. Dan kalau saja ia tidak menuruti Naruto untuk menjenguk Sasuke. Tentunya Naruto tidak akan pernah tahu Sasuke dalam keadaan sekarat. Dan dia tidak akan pernah tahu bahwa Sakura begitu sengsara ketika ia harus merelakan cinta pertamanya itu pergi untuk selamanya.
Dan pada akhirnya, Naruto tidak akan mendonorkan jantungnya untuk sahabat dan rival sejatinya itu. Tapi apa mau dikata, karena ia begitu keras kepala. Tak peduli apa kata orang nantinya. Baginya hidup adalah untuk melindungi orang-orang berharga. Lantaran tanpa hal itu dia serasa mati tanpa nama.
Entah mengapa Sai menjadi se-emosional ini. Sejak berteman dengan Naruto lambat laun ia menjadi mengerti bagaimana ekspresi-ekspresi yang sepatutnya dia keluarkan saat dia senang, sedih, jengkel, dan sebagainya. Artinya, Sai jadi mengerti ekspresi apa yang harus ia keluarkan di saat-saat seperti ini. Tapi ia malu untuk menunjukkannya, karena itu ia kemudian menjauh dari Naruto—duduk di bangku yang telah tersedia di sana.
Sai mengeluarkan alat lukisnya yang biasa ia bawa kemana pun ia pergi. Ia pandangi Naruto yang berada di bawah pohon Sakura—yang sedang mengulurkan tangan kanannya. Mengambil kelopak-kelopak bunga Sakura yang berguguran di tiup angin. Tak ada yang berhasil ia genggam, tapi Naruto tetap tersenyum riang.
Sai berniat mengabadikan pemandangan itu di kanvasnya. Lantas ia mulai menggerakkan kuasnya di atas kanvas. Meski pilu hatinya ia tetap menggambar dengan sepenuh hati.
“Dia memang layu dan rapuh, Sai. Tapi tak usah khawatir, sebentar lagi dia akan mekar. Lebih berseri dari waktu dulu. Kupu-kupu tak akan ragu lagi menari mengitarinya. Dia akan tersenyum seperti sedia kala. Rakyat Konoha akan merawatnya karena sebenarnya ia terlalu indah untuk diterlantarkan,” ucap Naruto yang sesekali memandangi Sai. Ia tidak tahu apakah Sai mendengar ocehannya atau tidak, Tapi butiran-butiran air mata yang jatuh dari mata hitam Sai disadari olehnya.
Naruto tersenyum. Rasanya ia ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat raut muka Sai yang baru kali ini ia lihat. Tapi Naruto tak ingin menambah kesedihan seseorang yang telah dia anggap sebagai bagian dari tim 7. Untuk itu ia berkelakar seperti kelakarnya yang biasa ia lontarkan. “Tak kusangka seperti itu mukamu jika kau menangis, Sai. Hehehe,” canda Naruto sembari cekikikan. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan tawanya tapi sedikit gagal walaupun tidak gagal total. Dalam hati ia merasa senang akhirnya Sai memiliki emosi seperti yang dimiliki manusia normal umumnya. Dulu Sai tidak mengetahui ekspresi apa yang harus ia pasang ketika kakak seperguruannya meninggal karena sakit.
“Ekspresi seperti itulah yang harusnya kau keluarkan pada waktu dulu kakakmu meninggal, Sai,” ujar Naruto lagi. Namun Sai tetap diam membisu. Fokus terhadap apa yang sedang ia gambar walaupun hatinya lara bukan main. Air mata tetap mengalir di pipi pucatnya.
“Haahh… Musim hujan akan tiba. Rasa-rasanya bumi seperti menangis mengiringi kepergianku,” Naruto kembali tertawa terpingkal sambil mengusap belakang kepalanya. Sedangkan Sai tetap larut dalam aktivitasnya. Ia tahan sebisa mungkin emosinya agar tidak mengganggu hasil gambarannya. Sedikit lagi akan rampung, tinggal kelopak bunga Sakura yang berjatuhan yang belum ia gambar. Sedikit lagi—sedikit lagi ia bisa menumpahkan sedu sedannya.
Naruto kembali berujar. Kali ini tinggal satu kelopak bunga Sakura yang harus Sai gambar. Dan yang satu ini bisa Naruto genggam. “Tak perlu bersedih, Sai. Karena pada umumnya kematian adalah hal yang akan dialami oleh setiap manusia.”
Akhirnya gambar itu pun selesai. Sai buru-buru meletakkan kanvas di sampingnya. Ia tidak mau hasil kerjanya rusak terkena air mata—yang kini mengalir deras tak terbendung—yang jatuh di atas kanvas. Kini tak ia tahan lagi perih hatinya. Ia menunduk, giginya bergemeretuk hebat. Karena luka akan kehilangan orang yang telah dia anggap sebagai ‘nakama’ terdekatnya, baru ia mengerti sekarang. Dan tak ia sangka seperti inilah rasanya. Jikalau seperti inilah kenyataannya, maka sesungguhnya Sai lebih memilih untuk tidak mempunyai emosi.
Naruto pun menghampiri Sai dengan menggerakkan kursi rodanya. Kemudian mengambil kanvas yang ada di sebelah Sai.
Naruto tersenyum pada Sai. “Seperti biasa. Gambarmu bagus, Sai.”
Namun Sai makin menunduk, tak mau melihat ekspresi apa yang sedang Naruto pasang saat ini. Karena senyuman getir Naruto mengoyak-ngoyak hatinya.
“Aku ada satu permohonan lagi padamu, Sai?”
Sai menelan ludahnya, agar ia dapat mengeluarkan suara. Meski ia masih terlihat terisak. “Nani?”
“Aku titip Sakura-chan dan Sasuke padamu. Aku tak bisa melindungi mereka lagi nanti.”
Air mata Sai semakin deras mengalir. Ia mengangguk pelan.
Sedangkan Naruto tak berusaha untuk menghibur Sai. “Arigatou na, Sai.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
* * *
“Jadi begitu? Hampir saja aku kehilangan informasi. Aku harus cepat melaporkannya ke Madara.”
Naruto dan Sai tidak menyadari bahwa ada yang memperhatikan pembicaraan mereka. Zetsu—si mata-mata Akatsuki yang lihai dalam penyelidikan, terlihat bersembunyi di balik pepohonan rindang. Ia segera pergi dari area itu dan menghadap Madara di markas mereka. Markas baru yang tersembunyi di perbatasan desa Ame dan desa Iwa.
“Marada-sama, aku mendapatkan kabar terbaru untukmu,” ucap Zetsu yang tiba-tiba muncul di sebelah Madara. Rupanya Madara sedang duduk manis memandang hutan di sekitarnya.
“Oh, kau Zetsu. Aku sedang menunggumu. Ada apa?”
“Sepertinya Sasuke sedang sekarat tapi Naruto akan menolongnya.”
“Maksudmu?”
“Yang aku dengar dia mau mendonorkan jantungnya untuk Sasuke.”
“Eh? Majika? Baik sekali bocah itu,” olok Madara. “Tapi kau tak salah dengar ‘kan?”
“Tidak, Madara-sama. Karena aku sudah mencari informasi dari dua hari yang lalu. Aku terus memperhatikan tindak-tanduk Uzumaki Naruto, tentunya aku pastikan tidak ada orang yang menyadari kehadiranku.”
“Bagus, kau tahu kapan operasi itu akan dilakukan?”
“Jam 3 malam, dan yang aku dengar lagi Tsunade tidak ikut dalam proses operasi.”
“Hahaha. Ini kesempatan bagus. Baiklah, nanti kita akan menculik Naruto. Dia tidak boleh mati. Jika dia mati kesempatan kita untuk mengumpulkan bijuu akan sirna begitu saja,” ucap Madara tersenyum puas.
“Hanya Naruto saja? Bagaimana dengan Sasuke?
“Bocah itu biarkan saja. Dia sekarat, tak lagi berguna bagiku. Yang penting sekarang aku bisa mendapatkan kyuubi,” ujar Madara sembari menyeringai.
Inikah akhir dari perjalanan Uzumaki Naruto? Kalau operasi itu digagalkan, Sasuke juga dalam bahaya. Sepertinya Tsunade terlalu bersedih hingga melupakan ancaman terbesar yang seperti menghilang, tak terdengar kabarnya. Semuanya akan menjadi sesuatu hal yang tak terduga. Dan Madara masih menjadi ancaman paling berbahaya yang harus dikalahkan.
Bersambung…
Gomenasai baru sempet update. Dan maaf juga buat reviewers gak login gak sempet lagi dibales reviewnya. -_-.
Btw ada beberapa istilah yang asing bagi teman2 semua. Tapi elven sengaja gak tulis glossary-nya sekarang. Nanti kalau dibahas lebih dalam lagi baru elven tulis ). Oia udah baca Naruto chapter terbaru ‘kan? Kushina di sini bakal sedikit Elven bikin melenceng dari karakter dia di manga Naruto. Kisah cinta Minato dan Kushina juga sedikit terinspirasi dari film favorit elven. Nanti bakal elven lebih jabarkan lagi secara lengkap hehe.
Akhir kata, review please… ^^
0 komentar