Fanfic NARUTO Dibuang Sayang: HEART Chapter 3
Heart
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Semi Canon. Rated T. Tragedy/Drama.
Pairing: NaruSakuSasu.
Happy Reading guys ^^
.
.
Chapter 3
Ketika Diri Harus Memilih
.
.
Hari kian petang; kicauan burung pengiringnnya telah datang. Mereka bernyanyi-nyanyi merdu tatkala Matahari nyaris tergelincir ke balik pegunungan. Jikalau kau perhatikan lautan, biru lautnya seakan memerah diterpa cahayanya yang merabunkan mata.
Pepohonan yang berdiri kokoh di tengah keramaian kota. Tak berpolusi dan sungguh asri tatkala kau melihat pemandangannya yang begitu hijau. Sekalipun kota itu ramai akan penduduknya.
Desa Konoha—desanya para ninja yang terkenal hebat itu—mulai terlihat lengang. Para penduduk desa mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Berniat untuk beristirahat atau bercengkrama dengan keluarga—melepas rindu yang seharian telah lama mengusik mereka.
Dan di sana—di salah satu ruangan di rumah sakit Konoha. Seorang gadis berambut pink terjaga dari tidur lelapnya. Dibuka matanya perlahan. Ia menyipitkan matanya. Menahan sinar merah matahari yang menyusup di celah-celah jendela.
Sakura melihat sekelilingnya. Dia heran karena dia tahu ini bukan kamar tidurnya. Kemudian dia merasakan kehangatan di sekitar kepalanya. Sakura tersentak, bantal yang dijadikannya tempat bersandar memang tidak seempuk bantal di kamarnya. Tapi entah mengapa terasa lebih nyaman. Diarahkan matanya ke samping bahunya. Sebuah tangan merengkuhnya, mengamankan dia dari dingin petang yang menerpa.
Sakura terpana melihat keadaannya. Di manakah dia saat ini? Sakura mengangkat kepalanya perlahan. Barulah rasa keingintahuannya terjawab. Ia melihat ke arah bawah, memperhatikan bantal yang seharian dia jadikan tempat sandaran kepalanya
‘Naruto!’ hampir saja dia berteriak kencang. Namun dia menutupi mulutnya agar hal itu tidak terjadi. ‘Ya Tuhan, kenapa aku bisa tidur di sini? Aku telah mengganggu pasien. Tapi kenapa Naruto tidak membangunkanku?’ Sakura bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Di lihatnya Naruto yang tertidur pulas. Wajahnya begitu damai, seakan-akan tidak pernah memiliki beban dalam hidupnya.
Sakura tersenyum. ‘Kau memang tukang tidur, Naruto.’ Kemudian Sakura membawa tangannya ke rambut landak Naruto. Dirapikannya rambutnya yang berantakan itu. Sakura melakukannya dengan penuh perasaan dan kelembutan. Lalu dibawanya tangannya menelusuri lekuk wajah Naruto hingga ke bawah dagunya. Bentuk wajah Naruto begitu tegas, menunjukkan kedewasaannya. Sakura menyadari bahwa Naruto semakin dewasa semakin tampan.
Kemudian ia perhatikan bibir Naruto yang kering. Bibirnya tipis dan melengkung indah. Jarang sekali lelaki yang memiliki bibir seperti ini. Sakura hendak membelai bibirnya, tapi terhenti di saat ada seseorang yang membuka pintu ruangan.
“Selamat Sore, Naru—” Ternyata itu Hokage Kelima. “Sa—Sakura?! Sedang apa kau di sini?! Kenapa kau naik ke tempat tidur, Naruto! Dia itu pa—”
Sakura langsung memotong kata-kata Tsunade yang nyaris tidak memiliki titik dan koma jika kau mendengarkan omelan panjangnya. “Ma—maaf, Shisou. Kau boleh saja memarahiku tapi Naruto sedang tidur,” ujar Sakura pelan.
Tsunade memang hampir akan mengomeli muridnya itu, namun ia urungkan niatnya dan mendekat ke arah Sakura. “Kau harus menjawab pertanyaanku tadi Sakura,” ucap Tsunade tegas. Walau ia seorang wanita tapi ia memiliki wibawa yang cukup tinggi.
Sakura segera beranjak dari tempat tidur Naruto. “Bisakah kita bicara di luar, Shisou? Aku tidak mau Naruto terbangun.”
Tsunade menuruti permintaan Sakura dan mengikutinya—yang keluar dari ruangan di mana Naruto dirawat—dari belakang. Mereka pun berdiri di sekitar koridor tak jauh dari ruangan itu.
Tsunade memang telah bangun dari komanya ketika Sakura kembali ke Konoha. Tentunya ada rasa bahagia dalam hati Sakura melihat gurunya itu telah sehat sedia kala. Tapi kebahagiaan itu terselubungi oleh penderitaan yang Sakura jua tak tahu kapan akan segera berakhir.
“Maaf, Shisou. Tadi pagi aku baru saja pulang. Aku langsung mengunjungi Naruto. Tapi aku sangat kelelahan dan aku tidak sengaja tidur di ranjangnya,” jelas Sakura. Ia menatap Tsunade waswas. Takut-takut Tsunade akan memarahinya.
“Begitu? Lalu bagaimana? Apa kau sudah menemukan obat untuk menyembuhkan kaki Naruto?” Tsunade tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Memang itu sebenarnya yang ia ingin bicarakan jika bertemu dengan Sakura di satu waktu. Namun tak disangka The Slug Sannin itu malah menemukan muridnya di ruangan Naruto.
“A—Aku belum menemukannya, Shisou,” jawab Sakura jujur.
“Belum? Lalu kemana saja kau selama ini, hm?” Nada suara Tsunade mulai meninggi. Ia menyilangkan kedua tangan di dadanya. Menunggu dengan sabar kalimat apa yang akan dilontarkan mulut Sakura. Namun muridnya itu malah diam seribu bahasa.
Sakura memutar matanya; mencari jawaban yang tepat untuk shisou-nya itu. Namun kekalutannya terbaca oleh Tsunade. Tsunade menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
“Sudahlah, Sakura. Maaf aku terlalu menginterogasimu. Aku tahu kemana saja kau pergi kemarin hari.”
“…”
“Sakura tidak hanya Sasuke tapi Naruto juga sangat membutuhkanmu. Kau tahu itu?”
Mendengar pernyataan Tsunade, Sakura merasa disentil. Ada perasaan tidak enak muncul di hatinya. Apakah dia begitu pilih kasih terhadap Naruto selama ini?
“A—Aku tahu, Shisou. Sebenarnya terasa berat bagiku melakukan dua perkerjaan sekaligus. Aku tidak bisa mencari pendonor jantung untuk Sasuke-kun sembari mencari literatur obat untuk luka bakar Naruto.” Sakura menggigit bibirnya sendiri. Apakah Tsunade akan merasa puas dengan jawaban yang ia berikan?
“Aku sudah memberikan daftar buku dan sampel obatnya padamu Sakura. Kau tinggal mengembangkan dan menganalisisnya. Memang membutuhkan analisis yang berat untuk menyatupadukan bahan-bahan obat yang sesuai. Tapi hanya kau ninja medis yang memiliki kemampuan analisis tajam. Kau sudah tahu ‘kan Sakura?/ Jika kau tidak segera menemukannya kaki Naruto bisa diamputasi.”
“A—Aku mengerti, Shisou. Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu menimpa Naruto.” Sakura tertunduk lemah. Rasa bersalahnya kembali mencuat. Mengapa ia tak bisa menjadi sahabat yang berguna bagi Naruto?
Entah mengapa juga rasa kantuk cepat sekali menerpa dirinya. Minggu-minggu ini merupakan minggu terberat baginya. Ia memiliki tugas berat untuk menyelamatkan kedua temannya yang sedang sekarat. Yang satu sedang melawan maut. Yang satu lagi terancam kehilangan kedua kakinya.
“Aku sangat mengerti, Sakura. Aku tahu bebanmu karena itu aku dan ninja medis lain juga membantu agar Sasuke dan Naruto bisa diselamatkan. Walau kecil sekali kemungkinan kalau Sasuke akan hidup.”
Sakura langsung mendongak; ia menatap gurunya itu dalam-dalam. Sakura tahu apa maksud Tsunade berbicara seperti itu. Secara tidak langsung ia berkata sudah saatnya Sakura untuk menentukan pilihan. Tapi Sakura memilih berpura-pura bodoh dengan menanyakan hal itu pada Tsunade.
“Maksud, Shisou?”
“Kenapa kau jadi tidak cepat tanggap begini, Sakura? Aku hanya ingin kau bertindak cepat. Tapi maaf memang ada sesuatu hal yang mengganjal di hatiku.”
Sakura langsung lemas. Rasa-rasanya ia ingin menutupi telinganya. Ia takut untuk mendengarkan kata-kata Tsunade selanjutnya.
“Kenapa Sakura? Kenapa kau tidak merelakan Sasuke pergi saja?” Tanya Tsunade tiba-tiba. Sakura terkesiap, matanya mulai berair. Bagaimana bisa ia merelakan cinta pertamanya itu meninggalkannya untuk selamanya? Dia tahu usahanya mencari pendonor jantung untuk Sasuke tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi setidaknya dia bisa menemukan seseorang yang merelakan jantungnya untuk menyelamatkan Sasuke.
“A—Aku hanya ingin menyelamatkan Sasuke-kun saja, Shisou. Aku ingin Sasuke-kun memiliki kesempatan kedua. Dia—Dia telah menyelamatkan Naruto dari serangan Madara. Sasuke-kun pasti akan berubah.” Suara Sakura mulai bergetar. Ia tidak pernah beradu argumen dengan Tsunade. Biasanya ia langsung mau menuruti kata-kata shisou-nya. Tapi kali ini Sakura berusaha untuk tetap tegak pada garis pendiriannya.
“Jadi begitu yang kau pikirkan?” Tsunade kemudian kembali menghembuskan nafasnya perlahan. “Aku tahu kau sangat mencintai Sasuke, Sakura. Tapi bukan berarti kau mengesampingkan hal lain yang jadi kewajibanmu. Aku tahu kau hanya memandang Naruto hanya sebagai sahabatmu saja.”
Sakura langsung merespon pernyataan Tsunade itu. “Aku sama sekali tidak bermaksud membeda-bedakan mereka, Shisou! Aku hanya—aku hanya—” Sakura tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Batang tenggorokannya tercekat, seperti ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk berbicara. Sakura menahan tangisnya. Ia tidak mau air matanya jatuh di depan guru yang selalu mengajarkan dia untuk menjadi seorang wanita berhati baja.
Tsunade memandang Sakura dengan perasaan lara. Ia mengerti akan kesulitan yang Sakura hadapi. Dan tentunya ia tidak mau Sakura mengalami hal yang sama dengannya dulu.
\Adalah Dan dan Nawaki, dua orang yang paling berharga dalam hidupnya. Namun mereka telah tiada dikarenakan bengisnya peperangan yang kala itu sulit sekali untuk diakhiri. Yang Tsunade inginkan tentunya adalah kebahagiaan muridnya itu.
“Maaf aku sepertinya memang terlalu memaksakan kehendakku. Aku pernah kehilangan dua orang yang kusayangi sekaligus. Jadi aku mengerti apa yang kau rasakan sekarang rasakan, Sakura.” Tsunade menatap Sakura sembari tersenyum kecil. Tapi raut sedihnya tak bisa ia sembunyikan. Sungguh berat baginya untuk melanjutkan kalimat berikutnya. “Karena itu aku tidak mau kau mengalami kepahitan yang sama denganku. Kehilangan dua orang yang paling berharga bagimu itu adalah hal yang sangat menyakitkan ya ‘kan, Sakura?”
Sakura tercengang. Dia mulai meresapi maksud dari kata-kata Tsunade tersebut. Sedikit demi sedikit ia mulai mengerti. Sakura tahu masa ini akan datang. Masa dimana dia harus memilih dan melepas sesuatu yang begitu bernilai bagi dirinya. Setidaknya satu nyawa bisa hidup jikalau yang lain gagal diselamatkan. Namun Sakura telah berusaha semaksimal mungkin bukan? Bukan berarti dia tidak mau menyelamatkan salah satu di antara mereka.
“Aku mengerti, Shisou,” ujar Sakura setengah mantap setengah ragu-ragu. Bagaimanapun hal ini begitu berat baginya. Merelakan cinta pertamanya untuk pergi selama-lamanya. Sakura ingin menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala kelu kesahnya kepada yang tak sanggup ia gapai hatinya. Untuk terakhir kalinya ia ingin sekali mengunjungi Sasuke. Karena besok dia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di laboratorium.
Tsunade tidak mau menambah beban muridnya lagi. Oleh karena itu dia segera mengakhiri pembicaraan mereka.
“Baiklah, Sakura. Aku mau memeriksa keadaan Naruto dulu. Kau ingin kembali ke dalam?”
“Tidak, Shisou. Aku mau membelikan ramen dulu untuk Naruto. Dia bilang dia sangat ingin makan ramen.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Aku permisi dulu, Shisou.”
“Ya.”
Sakura kemudian mulai berjalan menjauhi Tsunade. Yang tidak diketahui oleh Tsunade, butiran air mata Sakura mulai jatuh perlahan. Ia berjalan sampai di persimpangan dan berhenti di sana. Dilihatnya ke belakang tempat dimana tadi dia dan Tsunade berdiri. Rupanya Tsunade telah masuk ke dalam ruangan Naruto. Sakura mengambil kesempatan ini. Dia malah ke kanan, berlawanan dengan arah dimana seharusnya ia pergi seperti yang ia katakan barusan. Namun kakinya menuntunnya untuk pergi ke ruangan dimana Sasuke dirawat.
.
0o0o0o0o0
.
Tsunade memperhatikan wajah Naruto dengan lembut. Anak ini telah menjadi idola desa Konoha sekarang. Dilihatnya di sekeliling meja ruangan itu. Ada banyak bunga terpajang di sana. Dari chysis yang berwarna kuning-putih, azalea yang berwarna pink kemerahan, camellia yang rupanya seperti bunga mawar, dan masih banyak lagi. Tsunade sendiri takjub melihat pemandangan itu. Ia tersenyum lembut. Semua orang di Konoha ingin Naruto sembuh secepatnya. Dan Tsunade menyadari pula bahwa semakin dewasa Naruto terlihat semakin mirip dengan ayahnya.
Tsunade kemudian mengarahkan pandangannya ke kaki Naruto. Kakinya telanjang, sama sekali tidak dilapisi sehelai kain pun. Dia hanya memakai celana pendek sebatas paha. Luka bakarnya nyaris meraih lututnya. Sebenarnya lukanya sudah kering namun entah mengapa setiap Tsunade mengeluarkan ninjutsu medisnya, luka bakar Naruto itu sama sekali tidak menutup total. Sel-selnya lambat sekali beregenerasi. Memang pada dasarnya hanya sharingan-lah yang bisa menangkal serangan jurus amaterasu. Orang biasa yang terkena serangan tersebut pasti sudah langsung rusak saraf-sarafnya. Dan juga aliran darah di sekitar luka akan berhenti dikarenakan pembuluh darah yang rusak. Sehingga untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, kaki korban harus langsung diamputasi.
Beruntung hal-hal buruk itu tidak terjadi dengan cepat menimpa Naruto. Mungkin karena Kyuubi yang ada di dalam tubuhnya yang memperlambat lukanya untuk menyebar. Ya, dia bisa menggerak-gerakkan kakinya sedikit. Tapi keadaan baik itu tidak akan berlangsung lama. Tsunade memperkirakan seminggu efek dari amaterasu itu akan terlihat. Jadi janganlah heran jika Tsunade begitu memaksa Sakura untuk melakukan tugasnya. Karena waktu yang meteka punya tinggal 5 hari. Tsunade tidak egois, dia juga ikut melakukan eksperimen untuk menemukan obat luka bakar yang tepat agar kedua kaki Naruto bisa menjadi normal seperti dulu. Tentunya orang yang menjadi Hokage harus sehat secara fisik dan jasmani bukan?
Yang Tsunade tidak ketahui, Naruto bermimpi dalam tidurnya. Dia berdiri di kegelapan. Dia sendiri tidak tahu mengapa suasana menjadi begitu gelap. Apakah karena malam atau karena hilangnya sinar rembulan. Yang dia tahu bahwa ada sekumpulan kelopak bunga mawar yang mengelilinginya. Mereka mengeluarkan suara-suara yang tidak Naruto mengerti apa maksudnya.
“Kau Uzumaki Naruto…aku datang untuk menolongmu. Dengarkan suaraku…”
Naruto menerka-nerka, sepertinya ini adalah suara seorang wanita. Tapi baru kali ini ia mendengar suara layaknya seorang bidadari surga. Sekalipun Naruto belum pernah mengunjunginya. Entah mengapa suara itu pernah ia kenali sebelumnya. Suara yang lembut namun tak menunjukkan kelemahan. Seperti sebuah nyanyian yang Naruto sering dengar di antara bunga-bunga sakura yang tumbuh di Monumen Pahlawan Konoha. Walau hanya semilir angin yang berhembus Naruto bisa mendengar suara-suara indah dibaliknya.
Naruto mencoba mencari tahu siapa pemilik suara indah itu. “Siapa kau?”
“Seseorang yang akan menyelamatkanmu. Kembali ke cahaya, Naruto. Dengarkan kata-kataku. Ayo kemari, waktunya telah tiba.” Sekumpulan kelopak bunga mawar—yang beterbangan itu—pun menjauhinya. Sepertinya mereka menginginkan Naruto mengikuti kemana mereka pergi.
“Tiba apa maksudmu? Aku tak mengerti!” teriak Naruto sembari berjalan mengikuti mereka. Lantas sekumpulan kelopak bunga mawar tersebut berkumpul dan membentuk sosok seorang wanita. Namun tetap saja Naruto tak mengenalinya karena ia tak menunjukkan rupanya.
Naruto hendak menyentuh dia yang tak diketahui wujudnya. Tiba-tiba sekumpulan kelopak bunga mawar itu kembali menyebar—mengelilingi Naruto. Pandangan Naruto jadi kabur karenanya. Kepalanya terasa berat dan tiba-tiba ia pingsan di tempat.
“Naruto!”
Naruto mulai terbangun dari alam mimpinya, ia bisa merasakan sebuah cahaya menerpa wajahnya. Dan kini ada yang memanggilnya kembali, namun suara ini sangat berbeda dengan yang tadi. Suara wanita ini sungguh kasar dan menakutkan.
“Hmm…,” gumam Naruto sembari membuka matanya perlahan.
“Naruto!” teriak wanita itu lagi. Rasa-rasanya Naruto kenal sekali akan suara ini.
Kemudian mata Naruto terbuka seutuhnya. “Ini dimana?” ujarnya bingung.
“Hei, Naruto. Kau tidak apa-apa? Kau sedang berada di rumah sakit. Bagaimana kau bisa lupa?”
“Hmm? Eh, aku masih di sini rupanya.” Naruto mengarahkan pandangannya ke kedua kakinya. Ternyata masih sama dengan keadaan di hari-hari sebelumnya. Padahal tadi dia bermimpi bisa berjalan.
“Tentu saja, Gaki. Sepertinya kau sedang bermimpi ya? Kau membuatku ketakutan saja.”
“Tsunade-baba? Sejak kapan ada di sini? Dimana Sakura?” Naruto menyadari bahwa Sakura tidak ada disampingnya. Dia mengacuhkan pertanyaan Tsunade.
“Sakura sedang membelikan ramen untukmu. Kau kenapa, Naruto? Aku kaget melihat ekspresimu pada saat kau tidur. Kadang seperti ketakutan, kadang kau nyengir sendiri. Kau bermimpi apa Naruto?”
“Yah, tidak apa-apa. Hanya sebuah mimpi biasa,” jawab Naruto. Naruto mengangkat badannya perlahan untuk duduk. Tsunade membantunya.
“Begitu? Lalu bagaimana keadaanmu, Naruto? Kau tidak merasakan mati rasa lagi ‘kan?” Tanya Tsunade. Naruto mengangguk perlahan. Ya, kakinya makin hari makin bisa digerakkan dan dia bersyukur karenanya. Tapi Naruto masih belum bisa berdiri maupun berjalan.
“Aku bisa sembuh total ‘kan, Baba?” Tanya Naruto. Entah mengapa dia merasa pesimis kali ini. Ia tahu betul amaterasu bukan jurus sepele yang bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Ia tahu betul efek paling menakutkan dari jurus tersebut adalah kematian.
“Tentu saja Naruto. Kenapa kau menjadi pesimis begini?” Tsunade menatap wajah Naruto dengan ekspresi khawatir.
“Aku bukannya pesimis, Tsunade-baba. Aku hanya memikirkan hari ke depan. Kalau kakiku diamputasi aku pasti akan merepotkan banyak orang.”
BLETAKK!!
“Aduh! Kenapa memukulku, Baba?!”
“Kau bodoh, Gaki. Kau akan sembuh, kau harus ingat itu. Sakura sedang berusaha meramu obat untuk kakimu!” omel Tsunade. Seperti menggigit jarinya sendiri; kenapa Naruto jadi berpikir seperti ini?
“Ya, ya aku mengerti. Kau tak perlu marah-marah begitu, Baba,” ujar Naruto meringis sembari mengusap-usap kepalanya, ‘Huh…Baba dan Sakura-chan memang sama persis. Wanita-wanita yang menyeramkan,’ ungkap Naruto dalam hatinya.
“Tok…tok….” Pintu ruangan diketuk oleh seseorang. Tsunade dan Naruto langsung menoleh ke arah sumber suara.
“Ano…Shitsureishimasu.” Rupanya orang itu adalah Sai.
“Silahkan masuk, Sai,” ujar Tsunade ramah. Terlihat Sai menggenggam keranjang buah dan sayur-mayur di tangannya. Naruto mengerenyitkan dahinya berdo’a semoga itu bukan oleh-oleh untuknya. Mengingat buah-buahan dan sayur-mayur adalah dua hal yang paling tidak ia gemari.
“Naruto-kun, ini saya bawakan oleh-oleh untukmu, Douzo.” Sai menyodorkan keranjang itu dengan tidak berekspresi. Raut wajahnya yang khas itu membuat Naruto berpikir bahwa tak ada ketulusan dalam hati Sai. Padahal sudah lumayan lama Sai berada di kelompok tujuh namun tetap saja ekspresinya itu sering kali membuat Naruto berburuk sangka.
“Tidak MAU!” teriak Naruto seperti anak kecil. Tsunade kembali naik pitam. Ia menjewer telinga Naruto.
“Berhenti bertindak seperti anak kecil, Naruto. Buah dan sayuran itu bagus untuk kesehatanmu. Apalagi kau sangat memerlukannya saat ini.”
“Aduh—duh, iya…aku mengerti! Lepaskan tanganmu dari telingaku, Baba!” Naruto bernafas lega ketika Tsunade melepas cengkramannya dari telinganya. Begitulah Tsunade, tidak pernah memanjakan Naruto baik dikala dia sakit maupun sehat. Naruto memang telah dia anggap sebagai adiknya sendiri karena dia melihat diri Nawaki—adiknya kandungnya yang telah meninggal—dalam diri Naruto.
“Bagus kalau begitu.” Tsunade tersenyum simpul. Dilihatnya Sai yang hanya memelototi mereka dengan airmukanya yang datar. Benar-benar pemuda yang sulit dimengerti jalan pikirannya, “Baiklah. Sai, kau temani Naruto, ya? Aku mau memeriksa keadaan pasien lain. Dan kau Naruto, kau harus menghabiskan buah dan sayuran yang Sai berikan. Jangan sampai ada yang tersisa,” perintah Tsunade.
“Tapi Ba—” Naruto hendak protes tapi terhenti tatkala Tsunade memasang tatapan death glare-nya pada Naruto. Ia langsung ciut seketika, “Baiklah, Baba,” ujarnya bermuram durja.
Tsunade nyaris terpingkal melihat wajah masam Naruto, “Baiklah aku permisi dulu.”
Sai membungkukkan badannya sedikit ketika Tsunade lewat di sampingnya. Setelah itu ia mendekat ke arah Naruto.
“Bagaimana keadaanmu, Naruto-kun?” Tanya Sai.
“Hmm? Haha…ya…keadaanku begini-begini saja, Sai. Tak ada perubahan. Tapi kakiku sudah bisa digerakkan sedikit demi sedikit,” jelas Naruto sembari tetawa. Ia bermaksud tegar tapi entah mengapa ia sedikir khawatir juga dengan kondisinya.
“Syukurlah kalau begitu.”
Tiba-tiba angin kencang membuka paksa jendela ruangan yang tidak terlalu di tutup rapat. Berhembus masuk ke dalam ruangan. Naruto memperhatikan bunga mawar pemberian Konan yang mulai bergoyang-goyang tangkainya, lalu kelopaknya mulai gugur perlahan.
“Kau Uzumaki Naruto. Waktunya telah tiba. Kenapa kau tidak mengikutiku saja?”
Suara itu lagi. Ia bergidik ketakutan. Naruto tidak mengerti karena ia beranggapan yang tadi hanyalah sebuah mimpi belaka. Suara seperti bidadari surga itu kembali menghantuinya. Tapi kenapa pada saat dia sedang terjaga seperti ini. Adakah suatu pertanda dari suara itu?
Kemudian pikiran kalutnya buyar ketika ia lihat Sai beranjak ke arah jendela dan menutupnya rapat-rapat, “Anginnya dingin. Kututup tidak apa-apa ‘kan?”
“Eh? Y—Ya tidak apa-apa.” Naruto mengepalkan tangannya. Ia mulai merasa aneh. Sebenarnya dia takut sekali akan makhluk halus. Tapi ia tepis jauh-jauh pikiran konyol itu. Bukankah dia tidak terlalu percaya dengan yang namanya hantu?
“Sakura-san apa sudah kembali, Naruto-kun? Aku mendengar dari segelintir orang dia sudah tiba di desa namun aku belum bertemu dengannya.”
“Dia sudah kembali dari tadi pagi. Sekarang dia sedang membelikan ramen untukku,” jawab Naruto. Naruto tersenyum kecil mengingat hal yang terjadi pagi barusan. Sakura tertidur di sampingnya dan menggenggam tangannya mesra. Hampir-hampir ia melayang karenanya. Namun terhenti tatkala ia mengingat apa yang Sakura ucapkan dalam tidurnya.
‘Sasuke-kun…’
Naruto menjadi waswas. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sasuke? Ia jadi teringat akan Sasuke.
“Sai, bisakah kau menolongku?”
“Ya, tentu saja. Ada apa?”
“Aku ingin menjenguk Sasuke,” jawab Naruto.
“A—apa? Kau belum bisa berjalan Naruto-kun. Bagaimana bisa menjenguk Sasuke-kun?” dalam hati Sai mulai panik. Kalau Naruto mengunjungi Sasuke. Bisa-bisa dia tahu keadaan Sasuke yang sebenarnya, sementara Sakura telah memintanya untuk tutup mulut.
“Aku bisa memakai kursi roda,” ujar Naruro sambil menunjuk ke arah kursi roda di sebelahnya. “Aku mohon, Sai; aku ingin melihat Sasuke sebentar saja.”
Sai yang merasa bersalah karena telah menutupi kebenaran mencoba berpikir realistis. Sasuke adalah orang yang sangat berharga bagi Naruto. Sahabat yang ia perjuangkan mati-matian dengan tetesan darah dan linangan air matanya. Dia selalu optimis dan yakin bahwa suaru saat Sasuke akan pulang ke Konoha. Dan usahanya terbukti bukan? Meski yang ia harapkan itu berbeda, tapi setidaknya Naruto tahu keadaan Sasuke yang sebenarnya.
Sai pun meng-iyakan. Dia mengambil kursi roda itu dan menuntun Naruto untuk duduk di atasnya. Ia mengutuk dirinya sendiri. Semoga yang ia putuskan itu benar.
.
0o0o0o0
.
Haruno Sakura menatap cinta pertamanya itu dengan penuh lara. Sungguh menyedihkan keadaan Uchiha Sasuke. Pernafasannya dibantu dengan alat, tabung-tabung besar oksigen mengelilingi ruangannya. Alat pendeteksi detak jantung juga ada di sana. Terlihat sekali betapa lemahnya jantung Sasuke bekerja. Jeda detak jantung yang berdenyut cukup lama dibandingkan dengan kinerja jantung normal. Begitu juga dengan kesadarannya. Mungkin sekarang Sasuke sedang berimajinasi dalam tidurnya.
Sakura kemudian duduk di bangku yang berada di sebelah tempat tidur Sasuke. Ia genggam tangan Sasuke perlahan dengan kedua tangannya. Ia tatap wajah Sasuke dalam-dalam. Airmata Sakura jatuh perlahan melihat keadaan Sasuke yang mengoyak-ngoyak hatinya ini. Muka Sasuke pucat pasi nyaris seperti mayat. Di bawah matanya ada lingkaran hitam yang kontras sekali terlihat. Uchiha Sasuke seperti orang yang tak memiliki roh dalam tubuhnya pada saat ini.
Sakura mengingat-ingat apa yang tadi ia bicarakan dengan Tsunade. Dalam hati sungguhlah berat baginya membiarkan Sasuke pergi dari kehidupannya. Sejak dulu ia telah berlatih menjadi wanita kuat dan ninja medis yang ahli dalam menyembuhkan penyakit apapun. Tapi mengapa ia kali ini merasa semuanya itu sia-sia? Kenapa ia tidak bisa mengobati satu nyawa yang sangat berarti baginya?
Dan dia juga menyadari betap sia-sia pula perjuangan Naruto. Ia tidak mau membayangkan bagaimana rekasi Naruto jika mengetahui Sasuke sedang sekarat seperti ini. Pastinya hati Naruto tak kalah sedihnya.
Sakura kemudian ia bawa tangan Sasuke ke pipi kirinya. Membelainya lembut sembari tersedu-sedu. Dan yang tak ia sadari adalah kehadiran dua orang yang baru saja tiba di daun pintu ruangan itu.
‘Ugh si—sial. Kenapa Sakura-san ada di sini?’ umpat Sai dalam hati. Ia membujuk agar Naruto kembali ke ruangannya dengan alasan bahwa yang menjenguk Sasuke harus perorangan.
“Tunggu, Sai. Kenapa Sakura-chan menangis?” Tanya Naruto pelan. Ia menggenggam tangan Sai tapi pandangannya tak lepas dari Sakura. Ia betul-betul ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Sasuke.
Sai menggerutu dalam hatinya. Harusnya ia tolak saja tadi permintaan tolong Naruto. Sekarang masalah akan bertambah runyam. Tadi Tsunade berkata bahwa Sakura sedang membelikan ramen untuk Naruto. Artinya Sakura berbohong pada Tsunade. Terlebih sekarang mereka memergoki Sakura menangis sembari menggenggam mesra tangan Sasuke. Ini bisa menjadi akibat yang buruk untuk Naruto.
“Aku—Maafkan aku, Sasuke-kun,” ujar Sakura parau. Naruto menatap Sakura tanpa mengedipkan matanya. Ia pasang telinganya baik-baik untuk mendengar apa yang akan Sakura utarakan.
“Maafkan aku—aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku tidak bisa menemukan pendonor jantung untukmu.”
‘Pendonor jantung?’ Tanya Naruto terkaget-kaget. Separah itukah luka Sasuke sehingga memerlukan pendonor jantung?
‘Kenapa—kenapa Sakura-chan berbohong padaku?’ Kemudian ia mengingat kembali kejadian itu—kejadian dimana Sasuke menyelamatkannya dari serangan Madara. Naruto memang melihat kusanagi menembus dada kiri Sasuke. Dia berpikir bahwa kemarin Sakura berhasil mengobati luka Sasuke. Tapi realita yang ada ternyata sangat berbeda seperti yang ia bayangkan sebelumnya.
Sai meninjau Naruto dengan perasaan linglung. Ia takut melihar reaksi Naruto setelah mendengar semua ini. Meskipun telah lama ia berusaha memahami perasaan orang. Tetap saja ia merasa simpati pada rekannya tersebut.
“Aku mencintaimu, Sasuke-kun. Kau tak akan terganti untukku. Meskipun kita akan berpisah. Cintaku akan selalu ada untukmu.”
Mendengar hal itu Naruto menutup matanya rapat-rapat. Dalam hatinya ia merasakan\ perih yang teramat sangat. Harusnya ia tahu…harusnya ia mengerti bahwa perasaan Sakura pada Sasuke akan kekal abadi selamanya. Harusnya ia tidak berharap lebih… sehingga tak sesakit ini hatinya.
“Maafkan kelemahanku, Sasuke-kun; seandainya aku lebih kuat…,” tangisan Sakura semakin menjadi-jadi. Ia meletakkan kepalanya di atas dada Sasuke. Bahunya naik turun karena saking terisaknya.
Nafas Naruto sesak seketika. Ia sangat tahu apa penyebab Sasuke menjadi seperti ini. Bukankah seharusnya yang tergeletak di tempat tidur itu adalah dirinya? Naruto mulai berandai-andai. Kalau saja waktu itu Sasuke tidak menyelamatkannya pasti tidak akan begini jadinya. Dan juga Sakura pasti tidak akan menderita seperti ini. Semua ini salahnya—salahnya karena ia tidak bisa memprediksi gerakan Madara. Salahnya karena ia tidak cukup kuat.
Naruto mempererat genggaman di bahu kursi rodanya. Kalau saja kursi roda itu tidak terbuat dari besi pastilah langsung remuk. Lalu ia pandangi lagi Sakura yang sedang membelai lembut wajah Sasuke. Kemudian Sakura hendak mencium dahi Sasuke. Naruto tak ingin melihatnya, ia langsung menundukkan wajahnya.
“Sai, bawa aku kembali ke kamarku.” Perintah Naruto. Sai mengerti, ia tak bertanya lagi. Dilihatnya Sakura yang masih tersedu-sedu dalam ratapannya. Kemudian mereka jauhi ruangan tersebut secara perlahan.
.
0o0o0o0o0
.
Malamnya Naruto kembali memandangi langit-langit di ruangannya. Terpaku dalam waktu yang terus bergulir tak berhenti. Kenangan-kenangan indah itu akankah terlewat begitu saja?
Tadi Sai akhirnya mau membeberkan semuanya setelah mereka kembali ke ruangannya. Akhirnya Naruto mengetahui kemana saja Sakura pergi saat ia tidak menjenguknya. Dan alasan mengapa Sakura tidak memberi tahu hal yang sebenarnya.
“Sakura-san mengelilingi desa tetangga untuk mencari seseorang yang mau mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun. Dia tidak mau membeberkan hal ini kepadamu karena dia tak ingin membebanimu lagi. Selama ini Sakura-san berpikir jika dirinya hanya bisa merepotkanmu saja, Naruto-kun. Karena itu dia berusaha sendiri mencari pendonor jantung untuk Sasuke-kun dan meramu obat untuk mengobati luka bakarmu juga. Tapi sepertinya hal itu sulit ia kerjakan dalam waktu yang bersamaan. Menurutku dia juga sangat khawatir dengan keadaanmu.”
Sai juga menjelaskan bahwa serangan Madara kemarin mengenai bagian bilik kiri jantung Sasuke sehingga suplai darah ke seluruh tubuh menjadi lambat. Sasuke memerlukan alat bantu untuk pernafasannya karena organ tubuh yang bersangkutan tak mampu untuk mengambil oksigen dari luar. Oleh karena itu Sasuke membutuhkan transplantasi jantung agar ia bisa bernafas secara normal. Tapi dengan ketenarannya sebagai seorang kriminal, tak ada seorang pun yang sudi mendonorkan jantung untuknya. Naruto nyaris menangis mendengar hal ini.
‘Apa yang harus aku lakukan?’ batin Naruto dalam hati. Kemudian ia pejamkan matanya sejenak.
“Bayangan belum menggoyangkan dirimu, Naruto. Dia tidak akan menguasaimu. Tidak pada dirimu, dan tidak pada diriku. Kenapa kau biarkan kepedihan menghantuimu?”
Naruto sontak membuka matanya. Suara itu lagi. Ia melihat jendela ruangan yang telah terbuka padahal dia ingat sekali tadi Sai sudah menutupnya. Ia perhatikan kembali bunga mawar dari Konan yang kali ini berguguran seluruhnya. Sungguh aneh, angin begitu kencang berhembus tapi bunga mawar itu saja yang kelihatan goyah.
“Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” teriak Naruto. Ia mulai merinding. Siapa sebenarnya wanita ini? Kenapa ia selalu mengganggunya?
“Orang yang mengenalimu, tapi kau tidak pernah tahu siapa diriku.”
“Apa maksudmu? Berhenti menggangguku!” Naruto kemudian melemparkan vas bunga berisi daffodil ke arah dinding sekitar jendela. Vas bunga itu pun hancur berkeping-keping bersamaan dengan hilangnya angin dan suara wanita aneh itu.
Nafas Naruto tersengal-sengal jadinya. Ia benar-benar ketakutan. Apakah wanita itu adalah hantu? Tapi kenapa dalam satu hari ini mengganggunya? Dia tahu Uchiha Madara masih hidup. Dan kalaupun dia juga adalah ninja—yang memakai jutsu tertentu—tetap saja Naruto tidak bisa melawannya dengan keadaannya yang seperti ini.
Mengapa masalah sepertinya tidak pernah berhenti menghampirinya?
Bersambung…
Kritik, saran, dll silahkan di kolom review^^
0 komentar