The Time Travel Chapter 6 (Last Chapter)

.
The Time Travel
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Rated T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I Failed You. Semi Canon. Alternate Reality.
Pairing: Naruto dan Sakura.
                                                   Based on the song “In Heaven by JYJ”
Summary : Haruno Sakura yang meregang nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati karena luka yang dideritanya. Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang telah menjadi host-nya selama hampir 20 tahun. Ia pun membawa Sakura ke zaman Perang Dunia Shinobi Keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam yang serius yang sampai membuatnya mati.
.
.

Naruto menelan ludahnya. Ia menatap mata Sakura yang berapi-api. Seram. Sepertinya ia harus menuruti kata-kata si ninja medis itu.
.
Chapter 6
a New Hope
.
Hari itu Naruto kembali bangun saat matahari tegak lurus dengan bumi. Terlalu banyak tidur membuatnya menjadi pemalas seperti ini. Meski dikatakan hal tersebut cukup baik untuk kesehatannya, tetapi lama-kelamaan ia jadi kesal dengan keadaannya kini. Ia lupa padahal dulu ia adalah manusia yang pemalas. Menjadi Hokage memang banyak mengubah hidupnya, salah satunya adalah jumlah waktu tidurnya. Namun apa mau dikata, ia berada dalam keadaan ini karena keputusannya sendiri. Untungnya walau sudah siang begini, di Myoubokuzan udara masih terasa sejuk. Naruto pun memutuskan untuk jalan-jalan keluar.
Keluar dari kamar tidurnya Naruto mencium aroma masakan yang cukup tajam, dan ia tahu betul bukan Shima—si Ibu Katak—yang sedang memasak. Masakan dia tidak pernah beraroma sesedap ini. “Sakura sedang memasak, ini kesempatanku buat keluar.” Karena Naruto ingin jalan-jalan sendiri, menjernihkan pikirannya yang beberapa lama ini seperti riak pada sungai tak berujung. Ini kesempatan untuk menghindar dari si ninja medis itu. Sebenarnya Narutp bisa saja menggunakan jikuukan no jutsu untuk kembali dalam waktu singkat ke rumahnya, tetapi keadaan tubuhnya tidak memungkinkan untuk mengeluarkan jurus yang memakan banyak cakra itu.
Naruto pelan-pelan melangkahkan kakinya agar tidak terdengar. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, tidak ada tanda-tanda orang lain datang ke tempatnya berpijak. Ia pun mempercepat langkahnya sedikit, namun di langkah kelima….
“Mau ke mana?” tanya suara yang sudah tidak asing lagi bagi Naruto.
Naruto pun berdiri tegak dan langsung berkeringat dingin. Ah, sialan. Ketahuan juga.
“Kenapa diam saja?” tanya Sakura lagi sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Naruto mengatur napasnya sejenak. Ia berpikir, mengapa harus takut dengan gadis berambut merah jambu di depannya ini? Ia pun menjawab dengan jujur. “Aku ingin jalan-jalan di hutan sebentar,” jawabnya acuh tak acuh dan hendak menyalip Sakura.
“Tunggu,” ucap Sakura menahan pergerakan Naruto. “Aku akan mengambil kursi roda. Kau harus kutemani.”
“Kau tidak perlu melakukan itu. Aku bisa berjalan sendiri,” jawab Naruto yang ekspresi wajahnya mulai berubah marah. Dia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.
Kedua tangan Sakura pun mengepal. “Apa perlu aku melumpuhkan kakimu agar kau menuruti kata-kataku? 30 menit lagi kita akan melakukan pengobatan.”
Biasanya Naruto langsung pucat ketika mendengar ancaman Sakura yang menyeramkan seperti itu, tetapi kali ini ia melawan. “Aku tidak pernah memintamu mengobatiku. Lagi pula kau sudah tahu, kan? Percuma saja. Aku akan tetap mati—”
Namun belum sempat Naruto meneruskan kalimatnya, Sakura keburu menamparnya di pipi bagian kiri. “Jangan coba-coba mengatakan hal itu. Jangan pernah!”
Naruto tersentak saat melihat air mata mengalir deras di pipi Sakura. Eh? Sejak kapan?
Sakura pun cepat-cepat menghapus air matanya. “Aku akan mengambil kursi roda sebentar. Kau tunggu di sini. Titik.” Ia lalu meninggalkan Naruto yang terpaku di tempatnya.
Mata Naruto tidak pernah lepas dari Sakura sampai gadis itu menghilang dari pandangannya. Ia pun menghembuskan napas kuat-kuat. “Hah, aku memang tidak sampai hati melihat wanita menangis di depanku.”
Terlebih jika itu Sakura….
Untuk kedua kalinya Naruto menuruti kata-kata Sakura.
.
o0o
.
Sepanjang mata memandang, yang mereka lihat hanyalah warna untaian permata zamrud yang diselimuti cahaya mentari pagi. Warna hijau memang memiliki efek mendamaikan hati siapa saja yang meilhatnya.
Naruto memandangi hijau zamrud itu lekat-lekat. Tapi ia jadi teringat sesuatu yang tiba-tiba membuatnya dihantam pedih. Mengapa warna di depanku ini mirip dengan warna yang ada pada matanya?
Yang Naruto maksud tentu saja warna mata Sakura. Untuk menghempaskan kegelisahannya ia pun memutuskan berjalan mendekati pinggir tebing. Sakura menyentuh tangan Naruto, untuk membantunya berdiri, namun ia menepisnya dengan halus. “Aku bisa melakukannya sendiri.”
Sakura tentu saja kesal dengan sifat Naruto yang sok kuat itu. Memang hal itu adalah sepele. Naruto hanya ingin berjalan sendiri menuju pinggiran tebing yang jaraknya sepuluh meter pun tidak sampai, namun Sakura berpikir bahwa tidak seharusnya Naruto menolak bantuan darinya.
Angin berembus kuat; mendinginkan pipi Naruto yang tadinya hangat. Sekujur tubuhnya tiba-tiba menggigil, tapi ia tidak menunjukkannya. Ia tidak ingin menjadi lemah di depan Sakura. Ia pun terus melangkahkan kakinya sampai di pinggir tebing. Pandangannya beralih pada jurang di bawah sana yang dipenuhi pepohonan khas Gunung Myoubokuzan. Pepohonan itu memiliki daun-daun raksasa selebar tinggi manusia dewasa. Naruto membayangkan jika ia jatuhkan tubuhnya ke jurang sana; tubuhnya akan terhempas dari daun satu ke daun yang lain. Pasti mengasyikkan.
“Kau kedinginan, Naruto? Aku akan ke kamarmu mengambilkan jaket.” Sakura sekali menawarkan kebaikan.
Hanya saja sekali lagi Naruto menolaknya mentah-mentah. “Tidak perlu, Sakura. Sekarang kau terlalu berlebihan. Aku tidak apa-apa kok.”
Sakura berdecak kesal. “Berhenti pura-pura kuat, Naruto! Kau itu sedang sekarat.”
Tanpa melihat ke Sakura, Naruto pun menanggapinya. “Kalau kau tahu aku sedang sekarat, pasti kau paham juga bahwa usahamu untuk menyembuhkanku akan sia-sia saja. Cobalah menerima kenyataan, Sakura.”
Sakura berupaya menahan emosinya sebisa mungkin. Ia ingin sekali menghajar Naruto sampai babak belur agar semangatnya dulu tersulut kembali. “Jangan meremehkanku, Naruto. Aku adalah murid Hokage kelima yang akan melampauinya!”
“Terserah kau, Sakura,” jawab Naruto tidak peduli. “Jika nanti pengobatan yang kaulakukan gagal segeralah menyerah. Kau tidak perlu membuang-buang waktu hanya untuk satu orang, sementara di luar sana banyak orang yang harus kausembuhkan.”
Sakura lantas buru-buru mendekati Naruto. “Kalau kau tidak mengorbankan dirimu untuk Sasuke-kun, pasti hal seperti itu tidak akan terjadi padamu!” serunya menggarang.
Sontak mata Naruto pun membulat dua kali lipat. Kini ia menoleh pada Sakura. Ia berharap ia salah dengar, tapi ia takut mendengar pernyataan yang sama. “Apa maksudmu, Sakura?”
“Jangan pura-pura bodoh, Naruto.” Sakura pun membalik tubuh Naruto dengan paksa agar menghadap padanya. “Aku paham kau sudah menganggap Sasuke-kun seperti saudara kandungmu sendiri, tapi tidak bisakah sekali saja kau memikirkan dirimu sendiri?”
Naruto menyadarinya, mata hijau nan indah itu kini berubah merah nyaris menyaingi warna darah.  Tidak. Ia tidak bermaksud membuat Sakura sedih seperti ini. Maka dari itu ia ingin menanggungnya sendiri. Kalau bisa ia ingin mati sendiri. Naruto pun sudah merasakannya akhir-akhir ini, bahwa kematiannya begitu dekat. Berkali-kali ia mengecap bagaimana rasanya meregang nyawa. Dan ia tidak ingin pada saat ia mati nanti Sakura berada di sisinya; memahat ekspresi yang sama. Jika terjadi seperti itu, bisa-bisa ia diterkam perasaan bersalah dan tidak sanggup meninggalkan dunia fana ini.
Naruto pun akhirnya menyerah, sepertinya ia kehabisan akal untuk menghindar dari Sakura lagi. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Sakura kemudian mengatur napasnya. “Pada saat kau tertidur, aku meminta bantuan Ino untuk masuk ke memorimu. Dan Ino menemukan hal yang mengejutkan sampai membuatnya menangis. Semuanya yang ia lihat, ia ceritakan padaku tanpa terlewat sedikit pun.”
“Tubuh ini adalah milikku. Jadi, aku berhak  memilih takdirku,” tukas Naruto seolah membela diri.
“Kau selalu saja egois, Naruto! Kau seharusnya tahu bahwa bagi dunia shinobi nyawamu lebih berharga dibandingkan nyawa Sasuke-kun!” Sakura saja paham jika Naruto sangat dibutuhkan untuk menjaga perdamaian dunia.
Dan bagimu nyawa Sasuke juga sangat berharga, kan, Sakura? Naruto sebenarnya ingin sekali mengucapkan hal itu pada Sakura, namun urung ia lakukan. Ia memandangi sekali lagi jurang di bawah sana. Niatnya untuk kabur dari situasi rumit ini pun muncul.  
“Lalu apa maksudmu dengan kata-kata itu?” Sakura kembali melanjutkan manuvernya. “Kau pikir jika Sasuke-kun mati aku akan ikut mati juga karena saking merananya? Kau pikir aku sama seperti saat umurku 12 tahun dulu?” Ia memaksa Naruto untuk mengingat kejadian yang sebenarnya tidak ingin diingatnya.
Naruto tetap saja terdiam tanpa mau menanggapi kata-kata Sakura. Sakura tahu jika Naruto tidak ingin membahasnya, tetapi ia ingin menandaskan semuanya.  Ia pun membalikkan tubuh Naruto dengan paksa agar menghadapnya. “Kau tahu, Naruto? Setahun kemarin aku selalu dihantui mimpi yang sama. Aku bermimpi kau mati di sisiku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi pada akhirnya aku tahu mimpi itu akan menjadi kenyataan.”
Sekelebat bayangan masa lalu pun kembali berputar bak kaset usang di memorinya.
“K-Kau ta-tahu, Sa-Sakur-ra … k-kau a-adalah wa-wanita y-yang p-paling … c-cantik d-di du-dunia ini … te-terima k-kasih … s-sudah ma-mau m-menemaniku ma-malam-malam b-begini….”
Masih diingatnya wajah pias dengan mulut yang berlumuran darah itu, terbaring lemah di atas kasur bersamanya Dan juga … napas tersengal-sengal yang berjuang untuk hidup.
“A-Aku c-cint-ta k-kamu, S-Sakur-ra-chan….”
Layar EKG yang memampangkan satu garis hijau dibarengi dengan satu jenis suara monoton. Ratapan laranya saat itu kembali menghampiri daun telinga….
“Aku juga … aku juga mencintaimu, Naruto.”
Lalu pada akhirnya Sakura membenamkan dirinya pada tubuh Naruto. Ia rengkuh tubuh kekar lagi lemah itu dengan kuat, seolah-olah takut jika ia kehilangan Naruto saat itu juga. “Aku tidak akan membiarkanmu mati, Naruto. Aku tidak ingin kau mati…. ”
Bisa Naruto rasakan baju di bagian dadanya mulai basah, tapi ia tak terlalu memikirkannya. Yang ia khawatirkan saat ini adalah gadis berambut merah jambu yang menangis di pelukannya. Sebenarnya ia tidak ingin Sakura mengetahuinya. Untuk itulah setahun kemarin ia menjauhinya dan pada akhirnya hal tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Kini Naruto tidak bisa menutupi dan menghindarinya lagi. Ada orang yang ingin membagi beban hidup berdua dengannya dan Naruto tentu saja tidak bisa menolaknya. Karena dari lubuk hatinya yang terdalam, ia juga sangat membutuhkan Sakura berada di sisinya, di sepanjang hidupnya.
Naruto pun merengkuh wajah Sakura dengan kedua tangannya. Baru disadarinya wajah putih Sakura yang memerah dikarenakan tangisannya yang sampai saat ini masih terus turun dari matanya. Melihatnya hati Naruto tambah teriris. Ibu jarinya lalu menyeka sisa air yang tersisa di pipi Sakura. Ia baru menyadari jika sekarang tinggi Sakura hanya mencapai dadanya saja.
Ia lalu merunduk; mendekatkan wajahnya ke wajah Sakura, hingga hidung mereka saling bersinggungan … mata mereka terpejam. Sampai-sampai mereka dapat merasakan deru napas satu sama lain. “Kalau begitu kau harus bisa menyembuhkanku, Sakura. Agar mimpi burukmu tidak menjadi nyata.”
Sakura pun menyambutnya dengan melingkarkan kedua tangannya di leher Naruto. Ia ingin merasakan kehangatan itu lebih dalam lagi.
 .
o0o
.
Kini Sakura dan Naruto duduk bersila di atas batu besar yang berada di tengah kolam Gunung Myoubokuzan. Kolam itu cukup luas dan terdapat berbagai macam ikan berwarna-warni di sana. Kolam itu bermuara pada sungai yang berada di kaki Gunung Myoubokuzan.
Sakura sedang melakukan pengobatan terhadap Naruto. Ia hanya menggunakan tank top dan celana pendek di atas lutut. Sedangkan Naruto hanya menggunakan celana pendek selutut. Mereka duduk berhadapan. Kedua telapak tangan Sakura menyentuh dada bidang Naruto; menyalurkan energi dalam tubuhnya ke tubuh Hokage Keenam itu. Kedua mata mereka terpejam. Sudah satu jam lamanya mereka berada di posisi itu.
Beberapa lama kemudian, mata Sakura membuka. Ia melihat ekpresi Naruto yang gelisah. Seluruh tubuhnya sudah dipenuhi peluh. “Sedikit lagi….” Ia pun menambahkan energinya pada Naruto hingga pada akhirnya kedua mata Naruto membuka.
Naruto buru-buru membalikkan tubuhnya ke pinggir kolam. Ia kemudian memuntahkan darah segar ke dalamnya. Sakura yang melihatnya pun tidak tinggal diam. Ia duduk di samping Naruto; membelai lehernya dengan lembut. Setelah tidak ada lagi darah yang keluar dari mulutnya, Naruto pun menjauh dari pinggir kolam. Ia menyeka bibirnya yang berlumuran darah. “Ugh, menjijikan. Ikan-ikan yang lucu itu jadi kabur semua,” keluhnya.
“Kau merasa baikan, Naruto?”
Naruto lalu mendekat ke arah Sakura yang kembali ke posisi duduk semula. “Ya, tapi agak lelah.” Ia pun menyandarkan kepalanya di paha Sakura; merebahkan diri di atas batu besar.
Sakura pun membiarkannya. Ia lalu memainkan rambut kuning Naruto secara perlahan.
Sementara itu Naruto tengah asyik memandangi lembayung senja di atas sana. Ia jadi ingin naik ke atas bukit untuk melihat lebih jelas pemandangan itu. Dari kolam tidak terlalu kelihatan karena terhalang oleh dahan pohon yang memiliki daun-daun raksasa. “Senjanya indah, Sakura. Kapan-kapan kita ke atas bukit, yuk,” ajaknya antusias.
“Boleh saja, tetapi harus menunggu sampai pengobatanmu selesai. Hanya lima hari kok.”
Naruto lalu mengalihkan pandangannya ke Sakura. “Kau sudah berjuang keras hari ini, Sakura. Terima kasih banyak.” Ia lalu membawa tangannya membelai pipi Sakura.
Sakura kemudian menggenggam tangan besar itu dan menciumnya. Ia pun tersenyum tipis. “Apa pun akan kulakukan agar kau tetap hidup.”
Senyuman lalu dibalas dengan senyuman.
“Oh ya, malam ini kau ingin makan apa, Naruto?”
“Ramen?” tawar Naruto seraya menunjukkan cengiran khasnya.
Melihatnya rasa-rasanya Sakura ingin menangis. Sudah lama sekali ia tidak melihat cengiran khas Naruto itu. “Baiklah. Tapi hanya hari ini ya.”
Naruto pun tertawa kegirangan.
.
o0o
.
Bulan tampak menggantikan matahari yang selama 12 jam menguasai singgasana langit. Malam belum semakin larut. Sembari menunggu waktu makan malam, Sakura sedang membaca kembali tata cara pengobatan Naruto yang terdapat pada gulungan rahasia yang ia miliki. Tapi baru saja membaca beberapa baris tulisan, kepalanya dihantam pening. “Baru hari pertama, tapi efeknya lumayan cepat.” Ia pun merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Padahal ia sudah berjanji akan memasak ramen untuk Naruto. Ia lalu membereskan gulungan rahasia itu dan menaruhnya dengan rapi di lemari yang tidak jauh letaknya dari meja.
Sakura kemudian berjalan tertatih ke tempat tidurnya, ia merebahkan dirinya perlahan di atas ranjangnya. “Kalau aku tidur sebentar, mungkin efeknya akan hilang.” Ia lalu menggelarkan selimut ke seluruh tubuhnya, tak lama kemudian jiwanya sudah terbang ke alam mimpi.
Sementara itu Naruto yang tengah kelaparan berjalan menuju dapur. Berharap menemukan Sakura di sini, tapi orang yang dicarinya tidak ada di sana. Ia menengok ke tudung saji dan hampir muntah melihat makanan yang tersaji di sana. Masakan yang dibuat oleh Shima memang bukan diperuntukkan untuk dirinya atau pun Sakura. “Kebiasaan deh Ma Kodok itu. Harusnya ia tidak menaruh masakannya di sini. Bikin mual saja.”  Naruto pun memutuskan mengunjungi Sakura di kamarnya. Sesampai di sana ia mengetuk pintu, namun baru beberapa ketukan ia menyadari pintu itu membuka sedikit.
Naruto agak ragu, tapi kemudian ia memutuskan untuk menengok ke dalam kamar. “Sakura?” panggilnya. Ia pun melihat ke ruangan yang agak gelap itu dan mendapati rambut merah jambu Sakura yang menyembul dari balik selimut. “Ya … dia tertidur rupanya,” tukas Naruto yang agak kecewa. Kemudian Naruto mengingat jika ia membawa beberapa cup ramen instan. “Apa boleh buat aku makan itu saja.” Padahal baru kali ini nafsu makannya mulai ada. Sejak ia sakit, tidak pernah ia merasa selapar ini. Ia pun menutup rapat pintu kamar Sakura. “Selamat tidur, Sakura.” Kemudian beranjak kembali ke kamarnya untuk menandaskan kelaparannya.    
      .
      o0o
.
Di lima hari terakhir ini Naruto menemukan keanehan pada diri Sakura. Murid kesayangan Hokage Kelima itu selalu tidur cepat. Sakura juga selalu mengunci pintunya sehabis melakukan pengobatan pada Naruto, sehingga Naruto tidak bisa mengintip ke dalam.
Naruto sendiri meski berkali-kali muntah darah saat melakukan pengobatan, setelahnya pasti merasa segar bugar. Sakura pernah mengatakan padanya jika darah yang ia muntahkan adalah darah kotor yang mengandung kuman dan racun. Jadi, memang tidak ada masalah. Namun kini masalahnya beralih pada Sakura dan Naruto tentu saja menjadi sangat khawatir.
Di hari keempat Naruto menyembunyikan kunai yang dimiliki ayahnya di kamar Sakura secara diam-diam. Dan malam hari di hari kelima pengobatan, ia pun nekat mengeluarkan jikuukan no jutsu untuk masuk ke dalam kamar Sakura dengan mudah. Rencana Naruto pun berhasil. Lagi-lagi ia menemukan Sakura yang berbaring pulas di tempat tidurnya. Melihatnya Naruto hanya bisa menghembuskan napas. “Ternyata pengobatan itu sangat menguras tenagamu ya, Sakura.” Ia lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Matanya lalu tertuju pada gulungan rahasia yang terletak di atas meja kerja Sakura yang tampak berantakan.
“Apa itu?” Karena penasaran Naruto pun melihat isi gulungan itu. Ia membaca tulisan di gulungan itu dengan saksama. Setiap kata yang tertera di sana ia resapi agar tidak salah mengartikan. Dan pada akhirnya sekujur tubuh Naruto mulai gemataran, tidak percaya dengan apa yang sedang dibacanya saat ini. Mata birunya bergerak gelisah. Tubuhnya lemas seketika. Ia tidak terima ini … sangat tidak terima.
Buru-buru Naruto berjalan ke arah Sakura dan diperhatikannya lekat-lekat gadis yang sudah menjadi hidup keduanya itu. Ia pun mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Sakura, ia lalu menyadari jika suhu tubuh Sakura begitu panas. Gadis itu menggigil kedinginan. “Sial!” umpat Naruto, ia lalu mengambil langkah seribu menuju ke tempat Fukasaku dan Shima.         
      .
      o0o
      .
“Naruto…. Kau tidak perlu merasa bersalah begitu. Kau pun sudah tahu jika Sakura melakukannya untukmu. Aku bisa menjamin jika jurus itu adalah asli milik Sakura. Dia sudah sangat berkembang sejauh ini,” ucap Fukasaku berusaha menghibur Naruto yang saat ini sedang duduk di samping Sakura. Ia sedang menggenggam erat tangan gadis bermata hijau zamrud itu.
Naruto, Fukasaku, Shima, dan Gamakichi sedang berada di kamar Sakura. Barusan Shima membuatkan ramuan untuk Sakura. Dan Naruto sendiri yang memaksa Sakura agar mau meminumnya perlahan untuk meredakan panasnya.
“Dia bukan menyelamatkanku, Fukasaku-san. Ia bermaksud mati bersamaku,” lirih Naruto. Ia lalu meremas lembut tangan Sakura yang mulai mendingin.
“Jangan berkata seperti itu, Naruto. Aku tahu jika Sakura tidak punya pilihan lain. Usahanya pun tidak sia-sia, kau mulai membaik, kan?” Shima berusaha mengingatkan Naruto agar menghargai pengorbanan Sakura.
“Tapi ini hanya sementara, sewaktu-waktu bisa kambuh kembali,” jawab Naruto pasrah.
“Sakura tidak ingin kau mati secepat itu. Ia melakukannya agar memiliki banyak waktu bersamamu. Ia juga tahu jika kau masih memiliki kewajiban sebagai Hokage Keenam.”
“Ya, tapi—”
“Jika kau masih tidak nyaman hati, lebih baik saat Sakura bangun kau harus membicarakannya,” ucap Fukasaku melanjutkan.
Gamakichi hanya terdiam melihat tuannya bermuram durja. Ukuran tubunya ia kecilkan agar bisa masuk ke dalam ruangan. Sejak kecil ia tahu betul bahwa Naruto sangat mencintai Sakura.
“Malam ini suhu aku turun sampai temperatur delapan derajat celcius. Pasti akan sangat dingin. Kau sebaiknya menemani Sakura di sini,” tukas Shima. Setelah itu ia, Fukasaku, dan  Gamakichi kembali ke tempatnya masing-masing.
Sementara itu Naruto masih di posisi yang sama. Duduk di sebelah Sakura yang kini panas tubuhnya sudah menurun. Tadi ia ketakutan setengah mati ketika mengetahui suhu tubuh Sakura sepanas itu. Untungnya ia berhasil meredam kepanikannya dan segera meminta bantuan. Ia pun diterjang kelelahan dan merebahkan dirinya di samping Sakura. Ia memasukkan tubuhnya ke selimut dan menggelarkan satu selimut lagi di atasnya. Dingin udara Gunung Myoubokuzan mulai menusuk-nusuk kulitnya. Ia juga tidak ingin Sakuranya kedinginan.
Tubuh Sakura menghadap langit-langit, sedangkan Naruto sendiri memposisikan tubuhnya menyamping. Ia lalu membawa tangannya memeluk gadis berambut merah jambu itu. Ia benamkan kepalanya di atas kepala Sakura, merasakan wangi rambut gadis itu yang berbau strawberry. Ia pun mengikuti Sakura yang sudah pergi ke alam mimpi terlebih dahulu.
      .
      o0o
      .
Sakura merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Lima hari sebelumnya ia mengalami keadaan yang begitu buruk, sampai-sampai membuatnya sakit-sakitan. Kali ini ia merasa segar bugar. Semalam ia bermimpi Naruto ke kamarnya, menemukan gulungan rahasia itu dan seketika menjadi panik. Dalam mimpi ia melihat Naruto pergi dari kamarnya lalu kembali bersama Fukasaku dan Shima.  Sakura sangat ketakutan sekali jika Naruto mengetahuinya, untungnya hal itu hanya mimpi.
Ia lalu memaksakan kedua matanya untuk membuka. Bisa Sakura rasakan badannya begitu berat, seperti ada sesuatu yang bertumpu pada perutnya. Ia lalu merasakan ada embusan angin di sekitar kepalanya, saat menoleh ke kanan betapa terkejutnya ia melihat Naruto berada di sana, sedang memperhatikannya sembari berbaring menyamping.
Ohayou, Sakura,” ujar Naruto seraya nyengir. Sakura ingin mengutarakan sesuatu dari mulutnya, tapi Naruto menahannya. “SSsttt…. Kau jangan terlalu banyak bicara dan bergerak Sakura. Keadaanmu belum sepenuhnya stabil. Semalam badanmu panas sekali, aku sampai takut setengah mati.”
Sakura pun mengerti apa maksud. Berarti semalam bukan mimpi, melainkan nyata terjadi. “N-naruto—”
“Kau seharusnya tidak melakukan hal itu, Sakura. Sebagian sakit yang aku alami jadi berpindah padamu. Kau menggunakan jurus terlarang yang sangat berbahaya.” Hampir sama seperti yang Naruto lakukan dulu, namun kini beberapa disfungsi organ dalam Naruto berpindah ke Sakura. Kini mereka benar-benar membagi beban bersama.
Sakura pun mulai menangis. “Tapi setidaknya kau bisa membagi sakitmu itu denganku. Kau bisa bertahan hidup lebih lama lagi….”
Naruto lalu cepat-cepat menyeka air mata Sakura yang terlanjur keluar. “Kau bodoh, Sakura.”
“Jangan mengataiku seperti itu. Yang paling bodoh adalah kau, tahu!” seru Sakura yang tiba-tiba jadi emosi. Ia sebenarnya tidak ingin Naruto mengetahuinya, tapi rencananya pun gagal total.
Namun Naruto malah tertawa mendengarnya. “Yah, apa boleh buat. Aku harus menghargai usahamu. Jangan khawatir, mulai sekarang kita akan bersama-sama, selamanya, Sakura-chan.”
Sakura terdiam sejenak, tapi tak berapa lama jeram air terbentuk di pipinya yang sedikit pucat.
“Hah, kau memang cengeng, Sakura-chan.”
“Kau memanggilku Sakura-chan.”
“Eh?” tanya Naruto yang agak bingung.
 “Kau memanggilku Sakura-chan. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya.”
Kedua alis Naruto terangkat. Ia tak menyangka jika panggilan itu begitu spesial buat Sakura. Ia pun tersenyum lebar dan merengkuh wajah Sakura dengan kedua tangannya. “Aishiteru yo, Sakura-chan. Terima kasih karena selalu berada di sisiku.” Ia pun mengecup bibir Sakura yang sedikit membiru.
Sakura tidak mengelak, justru malah membalasnya dengan menyentuh bagian belakang kepala Naruto. Air mata bahagia mengalir di kedua pipinya yang semakin menghangat.
      .
      o0o
      .
“Tsunade-sama!” teriak Shizune saat menyadari jika layar EKG bergerak monoton membentuk garis lurus. Suara yang dihasilkan dari alat mesin pendeteksi denyut jantung itu pun serupa. Ia menutup mulutnya. Hal ini begitu cepat terjadi, padahal mereka sedang melakukan berbagai usaha agar Sakura tetap hidup.
Tsunade sampai tidak berkutik di buatnya. Dilihatnya wajah pucat Sakura yang menyunggingkan senyuman bulan sabit. Ada air mata yang mengalir di kedua pipi muridnya tersebut, tapi dari ekpresinya ia tampak bahagia sekali.
Tsunade pun tak bisa menahannya. Ia menangis tersedu-sedu saat mengetahui murid kesayangannya telah pergi. Dan yang tak dipercayainya, ia melihat bayang-bayang sosok Naruto yang mengulurkan tangannya pada Sakura dan Sakura menyambutnya dengan sukacita. Kemudian mereka pergi meninggalkan ruangan sembari tersenyum. Meninggalkan dunia dalam bahagia.
Tsunade menyadari bahwa ia harus merelakannya. “Jaga Sakura, Naruto. Itu permintaan terakhirku.”
Lagi-lagi yang muda lebih dahulu meninggalkan yang tua.

THE END

Share:

0 komentar