Ayam Betutu di Pinggir Kali Cikapundung
Ayam Betutu di Pinggir Sungai Cikapundung
Dayeuhkolot, kalau diartikan ke bahasa Indonesia
artinya kota tua. Memikirkannya kadang dahiku sering mengisut. Seingatku—selama
menjelajahi kota ini walau hanya di jantungnya saja—aku tahu betul tak ada yang
terkesan tua di setiap sudut kotanya. Dibanding tua, kawasan ini lebih cocok
disebut sebagai kawasan industri.
Tapi aku tak peduli dengan segala keanehan dari
sinkronisasi penamaan dengan tata kota yang menurutku seperti puzzle. Yang sekarang menjadi masalah
bagiku adalah selama kurang lebih tiga tahun, bayangkan tiga tahun, Kawan, aku
akan menetap di sini! Aku selalu teringat akan cerita teman-temanku yang lebih
dulu menetap di kota kecil namun padat itu. Cerita-cerita menyeramkan bak
kesengsaraan yang dialami saudara-saudari kita di Nusa Tenggara. Dari kesulitan
mendapat air bersih akibat buangan pabrik yang membuat keruh air tanahnya; dataran
rendah nan gersang, panasnya menyaingi Jakarta, Man! Dan yang paling aku sesalkan, tempatnya yang sedikit jauh dari
peradaban, jauh dari gemerlap eksotisnya kota Bandung yang—katanya—tersohor
hingga ke Prancis.
Lanjut ke persoalan pertama. Perlu diketahui,
Dayeuhkolot berada di bagian selatan kota Bandung. Yang jelas pemerintahan kota
Bandung dipindahkan dari sana karena satu alasan yang kuat. Satu alasan yang
bisa mengganggu jalannya pemerintahan dari masa ke masa tentunya. Yaitu,
banjir!
Aku diam saja, tepekur di dalam angkutan umum nan
sumpek ini. Padahal hari ini panasnya membara-bara, matahari bak sejengkal dari
kepala. Inilah fenomena sebenarnya kota Bandung yang katanya sejuk lagi asri.
Belum lagi si supir angkot yang seenaknya saja menghisap rokok, asapnya ngacir
sana-sini sampai ke bagian belakang. Mentang-mentang penumpangnya semua
perempuan tak mau tahu dia.
“Bentar, Neng. Satu hisap lagi,” tukas sopir angkot
itu dengan enteng menanggapi omelan temanku, Anna—yang sangat alergi dengan bau
asap rokok.
Anna hanya bisa menggerutu dalam hati. Ingin turun,
tapi niatan itu kami urungkan karena angkutan umum seperti ini hanya ada di
persimpangan jalan satu jam sekali.
Lihat, Kawan! Salah satu contoh orang yang pendapatnya
tak didengar. Undang-undang anti asap rokok yang dibuat pemerintah daerah pun
hanya dibuang sayang. Yah, begitulah fenomena lucu di Negeri kaya lagi miskin
ini, undang-undang yang dibuat bak menjadi sampah dibuang sayang. Didaur ulang
sampai siklus yang bisa membuatnya menjadi berlaku lagi.
“Ngel, geseran dong. Di ujung udah panas banget.”
Temanku Kiki yang dari tadi diam saja akhirnya buka mulut juga. Aku menoleh ke
arah samping. Ada ibu-ibu hamil tua sedang menggendong anaknya yang kira-kira
berumur satu tahun. Aku enggan meminta geser walau tempat duduk bagian ibu itu sedikit
lapang.
“Yaudah, kita tukeran posisi aja,” jawabku.
“Kamu nggak takut kepanasan?”
“Santai,” ucapku meyakinkan. Sampai di jalan
Soekarno-Hatta, angkutan umum itu terpaksa berhenti karena macet. Aku pun
buru-buru berganti posisi duduk dengan Kiki yang kian lama wajahnya kian berpeluh.
Ditambah lagi jalannya angkutan umum ini yang terseok-seok seperti kehabisan
bensin. Padahal jalan Soekarno-Hatta, Bandung ini sangat luas dan beraspal.
Lampu lalu lintas pun berjalan dengan baik di setiap perempatan yang ada di
jalan ini. Entahlah, aku juga kadang sangat lelah mencari-cari kesalahan sistem
transportasi kota ini. Karena pihak yang berwenang saja dibuat bingung, apalagi
orang yang awam ihwal transportasi macam aku?
Tapi lama-lama hal itu tak aku hiraukan lagi. Biarlah
terkaman sinar matahari menggigit kulitku yang semakin hari semakin legam. Aku
masih bersyukur dapat duduk di tempat ini, karena di luar sana banyak yang
dengan terpaksa berjalan kaki padahal keletihannya tak sebanding denganku. Aku
masih beruntung… Ya, masih beruntung…
Akhirnya setelah satu jam perjalanan, sampai juga di
depan komplek kampus yang sangat megah ini. Entah mengapa perasaanku yang
kacau-balau dari kemarin-kemarin, sedikit terobati dengan pemandangan
meyakinkan ini. Nyatanya, tak seburuk yang aku kira.
“Bangunannya sudah jadi,” celetuk Anna datar.
“Yah, lebih besar dibandingkan dengan yang di kota,”
ujar Kiki menimpali.
Anna membuka payung yang dia ambil dari tas. “Makan
dulu, yuk! Nanti baru kita cari kostan.” Ia lantas buru-buru menyebrangi jalan
yang menjadi jalan utama kampus.
Aku dan Kiki lintang-pukang mengejarnya. Lekas aku
merapat ke trotoar karena ada truk yang tiba-tiba meluncur dengan cepat.
Mentang-mentang jalannya luas, sopirnya pikir aku dan Kiki ini bak semut kecil
buta yang main nyebrang saja. Terlalu. Ingin kulontarkan repetan panjangku pada
truk tersebut. Tapi niatku itu aku urungkan karena suatu pemandangan yang
membuatku jijik seketika.
Sebuah hamparan sungai kecil. Hitam… Sampah... Orang
membuang hajat… Dan semua itu mengalir tak jauh dari kampus nan megah itu. Aku
bolak-balik memandangi kampusku dan pemandangan sungai yang sangat ‘eksotis’
itu. Ibaratnya seperti langit dan bumi yang enggan menyatu kecuali saat kiamat
datang menerjang.
“Naon ieu2?” tanyaku sembari melotot.
“Hahaha, baru liat ya? Tenang aja nanti juga
terbiasa,” celetuk Anna asal.
“Ini sungai apa? Kok bentuknya beda ya sama yang di kota?”
tanyaku pada kedua temanku yang berjalan paling depan.
“Katanya sih bagian hilir sungai Cikapundung. Jadi
jangan heran kalau sampah banyak bertebaran di sini. Jangan kira Bandung itu
bersih, masyarakatnya saja buang sampah sembarangan,” gerutu Kiki. Ia baru
setahun tinggal di Bandung, namun gaya bicaranya seperti penduduk asli di kota
metropolitan ini. Persoalan sampah itu sangat membuat pusing tujuh keliling
pemerintah di kota-kota besar. Selain penduduknya yang padat, lahan yang
semakin sempit karena bisnis sana-sini membuat tempat pembuangan sampah akhir
makin berkurang saja.
“Ah, sudahlah. Lagi pula ini bukan bagian hilir. Masih
jauh sampai di Baleendah, jadi nggak usah khawatir kena banjir. Palingan meluap
di pinggirannya aja. Di sini sih waktu hujan dua hari dua malam nggak berhenti
saja, banjirnya datang.”
Aku melongo seketika, bayangan seram akibat banjir
yang membuat kulitku gatal tiba-tiba kembali menghampiri.
“Eh, ngomong-ngomong, Ngel, pernah ke Bali?”
Lamunanku langsung buyar. “Nggak, memangnya kenapa?”
tanyaku penasaran.
“Meski di pinggir sungai. Tapi aku jamin kamu bakal
ngerasa lagi ada di Bali. Hehehe.”
Dahiku mengisut, tidak mengerti arti dari kalimatnya
yang menurutku agak ngaur. “Maksudnya?”
“Pokoknya ikut aku deh,” ujar Anna lagi meyakinkan.
Aku dan Kiki mengikuti jalan Anna yang sangat cepat.
Dia memiliki tubuh yang sangat ramping dibandingkan kami.
“Kemarin ada temanku yang nemu kedai masakan Bali di
sini. Pada lapar ‘kan?”
“Sangat! Tapi yang lebih penting minum dulu!” teriak
Kiki tiba-tiba. Ia seperti orang kelaparan yang tidak dikasih makan selama
seminggu.
Tanpa pikir panjang Kiki langsung menyerbu warung
kecil yang pertama kali kami jumpai saat masuk jembatan menuju daerah tempat
kostan. Jembatan itu adalah salah satu jembatan yang menghubungkan daerah
kostan dengan komplek kampus. Di bawahnya tentulah sungai yang sangat ‘eksotis’
itu.
Aku menyedarkan pandanganku ke pinggiran kali yang
berdiri rumah-rumah kostan. Setidaknya dengan itu aku mulai bisa memutuskan
bahwa aku tak akan pernah memilih rumah-rumah itu untuk kutinggali nanti.
Jaraknya terlalu dekat dengan sungai.
Lantas Anna membawaku masuk ke sebuah gang di pinggir
kali yang pada akhirnya mengantarkan kami pada sebuah kedai kecil yang terlihat
lengang. “Baguslah lagi nggak ramai. Kemarin aku makan sampai ngantri. Mungkin
karena lagi pada Shalat Jum’at. Masuk yuk!” ucap Anna. Ia memang kemarin sempat
ke daerah ini sekali, dan sekarang kembali lagi karena belum menemukan kostan
yang sesuai dengan hatinya.
Aku memicingkan mata ke dalam kedai, kuperhatikan
keadaan kedai yang sangat sederhana. Di luarnya hanya ada spanduk kecil bertuliskan ‘Warung Ibunda’ dan daftar
menu masakan Bali yang disediakan. Jujur saja, aku sangat asing dengan
nama-namanya karena malang betul aku tidak pernah berlibur ke Bali walau umur
sudah kepala dua. Aku kembali berspekulasi sendiri; malah tak yakin jika ini kedai
masakan Bali, apalagi tadi Anna mengatakan kalau makan di sini serasa makan di
Bali. Padahal letaknya saja di pinggir sungai yang nyaris seperti pembuangan
limbah khusus.
“Kenapa buka warungnya di pinggir sungai begini ya?”
“Anggap saja sungai ini pantai Tanah Lot, Ngel,” canda
Anna. “Permisi, Bu.” Ia pun yang berjalan duluan masuk ke dalam.
“Silakan, Neng. Makan di sini?”
Anna menoleh sebentar padaku dan Kiki. Kami hanya diam
saja, tapi hanya dengan melihat mata kami Anna bisa mengerti. Ia pun
mengangguk. “Iya, Bu.”
“Oke, siapa dulu yang mau pesan? Ini ada ayam betutu, pelecing
kangkung, tempe goreng…” Ibu pemilik kedai mulai menyebutkan satu-satu masakan
yang telah disediakannya. Memang tak terlalu banyak, tapi entahlah, baru
melihatnya saja aku sudah ngiler. Namun sejurus airmukaku berubah, aku baru
ingat kalau lidahku tidak tahan dengan makanan pedas.
Aku jadi ragu-ragu untuk menyantapnya. “Pedas semua
ya, Bu?” tanyaku pada akhirnya. Seenak apa pun masakan itu, jika pedasnya bukan
main pasti bakal menyiksa perutku tujuh hari tujuh malam. Untuk itu aku tak mau
nekat.
“Jangan khawatir, bumbunya nggak pedas kok. Kalau
pakai sambal baru pedasnya kerasa.”
Jawaban yang meyakinkan, semoga saja ibu itu tidak
berbohong. Si Ibu itu pun tidak menaruh sambal pada piringku. Sementara Kiki
dengan liar menatap hidangan-hidangan yang baginya sangat menggiurkan itu.
Masalahnya baunya pun sangat khas dan menggugah selera. Aku malah keasyikkan
menatap muka lucu Kiki yang sangat natural itu, benar-benar apa adanya dan
terlihat lugu.
“Mau pesan apa lagi, Neng?” tanya Ibu itu.
“Oh ya, ayam betutu sama pelecing kangkung. Itu saja,
Bu.”
Ibu itu pun memberikan makanan pesanan padaku.
“Kelihatannya kalian orang baru di sini ya? Ini Ibu kasih bonus ayam suir.”
“Wah, Bu. Tidak—”
“Nggak apa-apa, gratis kok.”
Aku terima saja rezeki yang datang, kata ayah juga
tidak baik menolak pemberian orang lain. Apa lagi kalau niat orang itu tulus.
“Yang ayam hitam ini, apa, Bu? Menu baru?” Anna
bertanya pada Ibu pemilik kedai, rupanya ia tak melihat menu itu sewaktu makan
kemarin.
“Oh, itu Ayam Biadab.”
“Biadab?” tanyaku berbarengan dengan Kiki. Ia juga
pasti sama kagetnya denganku karena nama hidangan itu terdengar sangat
menakutkan.
“Iya, Neng. Ayamnya pedes, dijamin badan jadi anget delapan hari delapan malam. Hehe.”
“Saya mau ayam
biadab saja, Bu,” ucap Kiki tiba-tiba. Aku memperhatikannya sembari melotot.
“Saya juga.” Makin besar saja mataku terbuka kala Anna
mengikuti jejak Kiki. Namun aku biarkan saja mereka memesannya, lantaran mereka
memang gemar dengan masakan pedas-pedas.
Beberapa lama kemudian, kami pun menikmati masakan
khas Bali yang—aku tahu dari televisi—sangat digandrungi oleh turis-turis
mancanegara. Duduk di sebuah bilik terbuat dari papan yang luasnya tak
seberapa. Kusantap setiap potongan ayam betutu dan pelencing kangkungnya dengan
perlahan. Santan dan bumbu-bumbu yang aku tak tahu apa itu, teresap sempurna
sekali di indera pengecapku. Lalu pelecing kangkungnya yang asam-asin,
menggelitik lidahku untuk berani cepat-cepat menelannya masuk ke kerongkongan.
Fantastis!
Dan Ibu kedai itu memang tak bohong, masakannya tak
terlalu pedas. Aku jadi tambah semangat menyantapnya. Entah mengapa Balinya
terasa sekali, padahal ke pulau Dewata saja belum pernah. Aku benar-benar lupa
jika sekarang kami sedang berada di pinggir kali comberan yang sama sekali tak
ada bagus-bagusnya. Tapi pesona masakan kedai sederhana ini mengubah semua pikiran
jelek itu.
Aku memperhatikan Anna dan Kiki yang sedari tadi tak
henti-hentinya menegak air putih dingin. Aku terkekeh-kekeh sendiri, mereka
terlihat sangat kepedasan. Bibir Kiki juga nampak memerah dan maju satu centi
karena pedasnya yang aku kira sangat dahsyat. Sedangkan Anna, dia sedikit jaga image, tapi aku yakin dia sama dengan
Kiki. Matanya sedikit memerah umpama orang habis menangis. Walau mereka
terlihat kepedasan, namun tetap saja aku yang terakhir menghabiskan santapanku.
Mungkin karena saking pedasnya mereka juga tak tahan berlama-lama mengunyah
ayam biadab itu dilidah.
“Enaknya…,” ucap Kiki sembari menegak air minum
terakhirnya.
“Kamu mau nambah?” tanyaku padanya usil.
“Oh, tidak, sudah cukup,” jawabnya buru-buru. Perutnya
sudah kembung lantaran kebanyakan minum air.
Setelah selesai, kami pun memutuskan keluar dari kedai
itu karena sehabis Shalat Jum’at, banyak sekali mahasiswa yang berdatangan ke
kedai. Aku langsung mafhum; walau kecil, masakan kedai ini banyak penggemarnya.
Harus kuakui harganya juga sangat pas untuk anak kostan seperti kami. Aku
keluar dari kedai duluan; celingak-celinguk sana sini lalu terlihat sepi, aku
tak malu mengeluarkan sendawaku yang lumayan keras.
“Kenyang ni!”
Aku menoleh ke belakang, ternyata Anna. Aku tertawa
tanda malu.
“Gimana menurut kamu? Nggak seburuk yang kita kira
‘kan?”
Aku memperhatikannya sejenak dan mengalihkan
pandanganku pada riak sungai Cikapundung yang tenang siang itu. Senyuman manis
melengkung dari bibir tipisku. “Ya, tampaknya aku bakal betah di sini.
Gara-gara ayam betutu. Hehehe.”
Anna tertawa geli.
Ayam betutu di pinggir sungai Cikapundung yang sangat ‘eksotis’
ini. Memberikan paradigma tersendiri yang lain untukku. Paranoia kembali
menyerangku, gara-gara ayam betutu, sungai yang berada di depanku sekarang tiba-tiba
berubah menjadi pantai Tanah Lot. Tebing-tebing tinggi, suara ombak yang
berdeburan pada tebing-tebing itu, dan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan kain
kudungku. Hm, pemandangan yang sangat indah, Kawan.
Glossary
1.
Kolot :
Tua
2.
Naon ieu? :
Apa ini?
Ini
cerpen yang sudah lama banget dibuat, salah satu cerpenku yang gagal menang
suatu kompetisi hehehe. Well,
sepertinya aku bakal post lagi
karya-karya aku yang gagal di sini :D. Terinspirasi dari warung makanan Bali
langgananku di daerah PGA, Yayasan Pendidikan Telkom, Warung Bu Fatimah. Ayam
Betutunya mantap sekali ^0^.
Tags:
Cerpen
0 komentar