Shinjitsu No Uta Chapter 3 (Discontinue, mau dibikin novel)
Shinjitsu no Uta
Naruto © Masashi Kishimoto
Thousand Night Love Song © Chieko Hara
Warning: AU. Rated T. OOC. Multichapters. Adventure/Romance.
Pairing: Sasuke dan Hinata.
Di chapter
ini ada Naruto dan Sakura juga ^^
Selamat membaca, ya ^^
.
.
Hinata
juga memang tak ada niat untuk menikah dengan Sasuke. Karena kesan pertama
ketika ia bertemu dengan Sasuke sangatlah buruk. Yang jadi persoalan adalah
akan dijadikan apa Hinata oleh Mikoto di kerajaannya? Pembantukah? Atau yang
lain? Yang jelas ia harus lebih berhati-hati. Baru saja ia lihat tatapan tajam
mata onyx Mikoto sekilas.
Penglihatan Hinata sangatlah tajam, itu yang tak diketahui oleh Mikoto.
.
.
Chapter 3
Tamu dari Utara
.
.
Pagi yang
cerah kembali datang. Pagi dimana segala kepenatan dan kesibukan akan berawal.
Tepat setelah ayam berkokok membangunkan seluruh isi wilayah kerajaan Uchiha, Hinata
sudah berada di kebun lavender milik Ratu Mikoto yang kini dialihtugaskan
kepada dirinya.
Hinata
juga sudah siap dengan pakaian sederhananya sejenis obi putih polos yang dipadukan dengan celana hitam kain yang agak
pas di kaki jenjangnya. Tak lupa ia memakai bakiak dilapisi dengan kaos kaki putih.
Rambut panjangnya yang biasa tergerai kini diikat rapi.
Beberapa
tanaman lavender ada yang mati. Dengan berat hati Hinata pun mencabutnya sampai
ke bagian akar. Lalu ia mengumpulkannya ke dalam sebuah karung.
Genma tadi sudah menawarkan diri
akan membakarnya di bagian istana yang agak menjorok ke hutan.
Hinata pun berterima kasih atas
bantuan kebaikan pelayan setia kerajaan Uchiha itu. Ia memeriksa beberapa
perkakas yang dibawanya di dalam karung kecil yang ia genggam, tapi entah
mengapa ia merasa lupa akan sesuatu. “Ah ya, aku lupa mengambil pupuk.”
Tanpa pikir panjang lagi, Hinata
lantas beranjak pergi dari sana menuju ke gudang sempit yang menyimpan alat
khusus untuk berkebun.
Kerajaan
Uchiha memang cukup rapi menyimpan segala alat perkakasnya sesuai dengan
jenisnya. Gudang yang menyimpan alat berkebun itu letaknya tidak jauh dari
kebun lavender; sekita 50 meter. Berada di bagian belakang sayap kanan istana
yang menghadap hutan. Di tembok-tembok pembatas istana dengan hutan banyak
pengawal yang berjaga-jaga karena tempatnya memang cukup rawan untuk orang yang
tak diundang masuk ke dalam istana. Meski tembok-tembok di sana menjulang
paling tinggi di antara tembok-tembok bagian istana yang lainnya.
Hinata
lantas melangkahkan kakinya perlahan menuju gudang, namun baru lima langkah ia
menggerakkan kakinya, samar-samar terdengar keributan dari dalam istana. Hinata
sampai terpaku sejenak di tempat di mana ia berpijak. Ia menoleh ke arah pintu
masuk belakang istana yang lumayan jauh dari sana.
“Ada
apa, ya?” Tanya Hinata pada dirinya sendiri; sedikit waswas dengan keributan
itu. “Sasuke-san marah lagi, ya?”
Wajahnya tiba-tiba berubah sendu. Memang pangeran tampan lagi pongah itu tidak
pernah absen dari mengumpat para pesuruh istana setiap harinya. Jika ia tidak
marah sehari saja itu bisa sungguh prestasi yang patut diacungi jempol.
Tapi, Hinata tak pernah mau ikut
campur dengan keributan itu. Ia memang kasihan dengan para pelayan yang sering kena
semprot Sasuke, hanya saja ia bingung bagaimana harus membela mereka. Toh ia
hanya tamu yang numpang tinggal di sini.
Hinata
menghembuskan nafas kuat-kuat; kembali melangkahkan kakinya menuju gudang
dengan cepat.
Sesampainya
di gudang, Hinata langsung membuka pintu, dan masuk ke dalam. Luas gudang itu
sekitar 4x6 m. Perkakas-perkakas dalam gudang tersebut lumayan tertata rapi sesuai
jenisnya; tak banyak diraba debu. Karena para pelayan kerajaan Uchiha
membersihkannya setiap hari sesuai jadwal mereka masing-masing.
“Di
mana, ya?” Hinata mengedarkan padangannya ke seluruh ruangan. Ia pun menemukan
apa yang ia cari. “Itu dia…” Ia lalu melenggangkan kakinya ke karung-karung
berukuran sedang berisi pupuk kompos yang dibuat oleh para pesuruh kerajaan
Uchiha.
Kemarin
Genma sempat menunjukkan Hinata letak pupuk itu. Tapi karena bercampur dengan
tumpukan karung-karung berisi tanah, ia pun harus membuka satu per satu ikatan
karung tersebut untuk mengetahui karung yang mana yang ada pupuk di dalamnya.
Namun sebelumnya ia terlebih dulu harus mengangkat tumpukan karung-karung lain
yang ada di atasnya.
Gudang
itu cukup penuh dengan berbagai perkakas. Cukup pengap pula; untungnya saja
bersih. Hinata jadi tidak ragu untuk berada di sana agak lama; mengangkat
karung-karung yang berada di atas karung lain, lalu membuka satu per satu
ikatan karung itu.
“Haah,
capek juga,” ujar Hinata yang menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia
menggoyangkan pinggangnya ke kiri dan kanan; melemaskan otot-ototnya yang
tegang. Lalu ia melanjutkannya kegiatannya lagi; satu lagi karung yang harus
dipindahkannya ke lantai. Tapi…
KREK!
“Apa
itu?” Hinata melihat sebuah benda yang terjatuh tepat di kakinya. Benda itu
lumayan ringan sehingga tidak melukai kakinya. Ia memandangi sejenak benda yang
tak asing di matanya itu. “Busur panah? Kenapa bisa ada di sini?” Ia pun
meletakkan karung yang berada di genggamannya itu ke tanah, dan merunduk
mengambil busur panah; terheran-heran dengan apa yang ditemukannya.
Harusnya busur panah seperti ini
berada di gudang persenjataan, bukan di gudang untuk perkakas bercocok-tanam.
“Siapa yang menaruhnya di sini?” Ia memperhatikan busur panah itu dengan
saksama.
Alis Hinata terangkat. Busur panah
itu memang cukup berdebu, namun ada suatu hal yang menarik matanya, yaitu
tulisan kanji yang terpahat di riser1-nya.
Tabi no haji wa kakisute
“Tidak perlu merasa malu saat kau
berada jauh di rumah,” ujarnya mengeja arti dari petuah tersebut. Secara
harfiah, sebenarnya arti dari pepatah itu adalah buang rasa malumu pada saat
dalam perjalanan. Namun Hinata tahu betul arti yang mendalam dari pepatah itu. Kata-kata
itu sangat sering diucapkan oleh mendiang ibunya dulu. “Jangan-jangan ini busur
panah dari Hyuuga?” Meski ia sendiri tahu jika busur panah Hyuuga tidak begitu memiliki
tanda-tanda spesifik.
Hinata lalu memeriksa bagian
belakang tumpukan karung yang bersandar pada lemari berisi perkakas-perkakas. Dan
ia menemukan apa yang dicarinya. “Ada anak panahnya juga ternyata.” Ia
menemukan beberapa anak panah yang memiliki bulu bewarna biru; ditempatkan
dalam tabung terbuat dari kayu yang penuh ukiran abstrak.
Hinata terpaku sejenak; matanya
tertuju pada busur panah yang sedang di genggamnya. Pikirannya pun tiba-tiba kembali
berlayar ke masa lalu. Kembali memutar kenangan indah dari kaset memorinya
bersama sang ibu.
Hari itu adalah sekitar tujuh
tahun yang lalu. Saat Hinata masih berumur 13 tahun. Ibu, ayahnya, dan Hanabi
bersama-sama berburu rusa di Hutan Ki—yang masuk ke wilayah kerajaan kecil Hyuuga. Menunggangi kuda-kuda tangguh milik kerajaan Hyuuga.
Hinata dan Hanabi tentunya
menggunakan kuda yang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Mereka telah diajarkan
cara berkuda sejak dari umur sepuluh tahun.
Setelah selesai berburu, keluarga
Hyuuga tersebut pasti berisitirahat di Danau Mizutani, makan bersama bekal yang
telah dibuat ibu sebelum berburu.
Danau itu adalah danau terindah di
wilayah kerajaan Hyuuga. Menghadap ke Gunung Tetsuo dengan
hamparan hijau rerumputan bak permadani pengantar ke gunung sunyi itu.
Senandung gemericik airnya yang membuat hati begitu tenang. Airnya begitu
jernih terbebas dari polusi. Belum lagi air terjun kecilnya membuat suasana
semakin syahdu. Ah, Hinata jadi merindukan masa-masa itu.
Dan juga sebuah percakapan yang
sulit dilupakan olehnya…
“Hinata…kalau sudah besar nanti,
kamu harus mahir menjadi pemanah. Kerajaan Hyuuga adalah kerajaan yang dikenal sebagai
pemanah yang unggul. Itu bisa jadi kekuatanmu untuk melindungi diri. Kamu harus
menjadi wanita mandiri yang tidak melulu mengandalkan laki-laki.”
“Jadi, aku harus ikut berperang juga seperti Ibu?”
“Haha, tidak akan ada perang lagi, Nak. Percaya sama Ibu.”
Tapi, sayangnya ibunya tewas dalam
perang. Perang yang terjadi antara kerajaan bagian utara dan bagian selatan
karena konflik yang telah lama terjadi. Perang yang tiba-tiba pecah tanpa bisa
diprediksi…
Hinata langsung memejamkan matanya
cepat-cepat; melupakan kenangan pahit itu dengan kembali berkutat pada
kegiatannya. Lekas ia melihat sisa karung yang belum diperiksanya. “Ah, ini
pupuknya.” Hinata lalu mencoba mengangkat karung itu sejenak. “Tidak terlalu
berat; bisa aku bawa sendiri.” Sebelum ia membawa karung itu dengan kedua
tangannya, terlebih dahulu Hinata meletakkan busur dan anak panah di bahu
kanannya dengan tali yang ada di kedua ujung masing-masing benda itu.
Hinata memutuskan untuk membawanya
karena ia merasa sudah lama sekali tidak memanah. Memanah bisa membantu melatih
emosi, fisik, dan ketajaman matanya. Semoga saja nanti ia diizinkan oleh Ratu
Mikoto untuk menggunakan papan tembak yang biasa digunakan untuk latihan
prajurit di lapangan tempat mereka biasa melakukan simulasi pertempuran.
Hinata lantas kembali ke kebun lavender
untuk menyelesaikan tugasnya. Tak lupa ia menutup kembali pintu gudang sebelum
melangkahkan kakinya menjauhi gudang tersebut.
“Keluar kalian!”
Serta-merta Hinata menghentikan
langkah kakinya saat mendengar teriakan yang cukup menggelegar itu. “I-Itu…suara
Sasuke-san.” Dengan tergopoh-gopoh ia berjalan menuju ke arah sumber suara;
kepanikan terpahat dari wajah lelahnya.
Hinata melihat dua orang perempuan
yang dibawa oleh Sasuke kemarin tergeletak di tanah di depan pintu belakang
istana. Ia sampai terheran-heran melihatnya, padahal kemarin-kemarin Sasuke
terlihat bersenang-senang dengan mereka. Ia tak menyangka mood Sasuke bisa berubah secepat itu.
“Pergi kalian perempuan jalang!
Aku tak sudi kalian berada di istanaku yang bersih ini!” umpat Sasuke seraya
menatap tajam dua perempuan yang terlihat lusuh itu. Ia masih mengenakan obi tidurnya yang serba putih.
Entah apa yang dilakukan Sasuke
pada perempuan-perempuan itu sebelumnya.
Sembari berlutut, salah satu dari
menghampiri Sasuke dengan wajah memelas penuh airmata; meminta untuk
dikasihani. Kedua tangannya melingkar di kaki pangeran angkuh itu. “Kami mohon jangan
usir kami dari sini. Kami tidak punya tempat tinggal lagi.”
Perasaan iba Hinata mencuat ketika
melihat wajah-wajah memelas itu dari jarak yang lumayan jauh; ia ada niat untuk
menenangkan Sasuke, tapi hal itu ia urungkan ketika mendengar umpatan Sasuke
yang cukup sengit terdengar di telinga.
“Diam!” Sasuke melepaskan
cengkraman tangan perempuan tersebut dengan menghentakan kakinya; membuat si
perempuan kembali tersungkur ke tanah. “Kalian sama saja seperti dia! Aku membenci kalian! Pengawal!”
teriaknya.
Hinata mendengar sebutan dia dari mulut Sasuke; dahinya langsung
mengisut. ‘Dia siapa?’ tanyanya dalam hati.
Dua orang pengawal yang menjaga
pintu belakang istana pun segera menghampiri Sasuke. “Y-Ya, Tuan Muda.”
“Bawa sampah-sampah ini pergi dari
sini. Aku tak sudi melihat wajah mereka!” perintah Sasuke dengan penuh amarah.
Tanpa pikir panjang para pengawal
menuruti apa yang diperintahkan tuannya. Meski mereka tidak tega juga dengan
perlakuan kasar Sasuke pada kedua wanita itu, bagaimanapun juga mereka adalah
makhluk lemah yang harusnya dilindungi oleh laki-laki.
Kedua perempuan tersebut
meronta-ronta seperti orang kesetanan yang tidak rela dikeluarkan dari istana
megah itu.
Sementara Hinata hanya bisa
memperhatikan mereka tanpa tahu harus berbuat apa. Ia memang tidak punya nyali
untuk berhadapan dengan Sasuke. Sebenarnya ia juga bukan gadis yang senang ikut
campur masalah orang lain. Namun rasa bersalah itu tetap saja ada. Sebagai
sesama perempuan, ia berpikir seharusnya ia bisa membela mereka.
Hinata lantas kembali memandangi
Sasuke; matanya seketika sedikit melebar. Rupanya Sasuke tengah menatapnya juga
dengan tatapan yang tidak bisa ditebak oleh putri kerajaan Hyuuga itu. Yang
jelas tatapannya tak seseram tadi meski ekspresinya masih kosong.
Mereka berdua saling bertatapan
dalam waktu yang cukup lama. Seolah-olah ingin lebih mengenal satu sama lain.
Tapi…apa benar begitu?
Menyadari apa yang terjadi, Hinata
membuang muka ke segala arah dan membalikan badannya. Mukanya bersemu merah. Ia
tidak munafik, memang Sasuke sangat tampan. Perempuan mana yang tidak grogi
jika ditatap berlama-lama oleh pangeran setampan Sasuke.
“Ah, kucing sial! Jangan lari kau!
Itu jatah sarapanku untuk pagi ini!”
Terdengar satu keributan yang
berbeda dari yang tadi.
Dengan ekspresi terkejut, pandangan
Sasuke dan Hinata pun beralih pada seorang pelayan yang berlari mengejar seekor
kucing liar berwarna hitam. Entah dari mana kucing itu, yang jelas ia sedang
membawa ikan Mas mentah yang lumayan besar di mulutnya.
Hinata melihat kucing itu mendekat
ke arahnya.
“Hinata-sama, maafkan saya! Tapi tolong hentikan kucing itu!” teriak
pelayan yang masih muda itu. Dia adalah Izumo, koki handal kerajaan Uchiha.
Kasihan sekali pagi-pagi begini nasibnya sudah sial.
“Ha-Hah?” Hinata terlihat
kelimpungan; berputar mencari cara untuk menghentikan kucing itu. Ia hampir
mengambil batu, tapi tidak tega juga jika kucing yang kelaparan itu dilempari
batu. Tapi, akhirnya ia mendapatkan ide untuk menghentikan kucing itu.
Hinata lantas menurunkan karung
berisi pupuk yang sejak tadi digenggamnya, ia mengambil busur dan anak panah
yang menggantung di bahunya. Merundukkan tubuhnya hingga sejajar dengan kucing
yang sedang berlari—yang jaraknya semakin dengannya. Dengan cekatan ia
memposisikan busur yang siap menembak dengan anak panah di talinya—yang siap
menerobos angin.
Sasuke yang memperhatikan dari
tempatnya melihat perilaku Hinata dengan airmuka aneh; dahinya mengisut. Tadinya
ia mau beranjak dari sana, namun entah mengapa kakinya malah terasa berat
sekali untuk masuk kembali ke dalam istana. Seperti ada dorongan yang
menyuruhnya untuk melihat apa yang akan dilakukan Hinata.
Hinata mengarahkan anak panahnya
pada kucing liar itu; mengikuti gerakannya. Ia mengatup mata kirinya, mencari
bidikan yang tepat. Ia menyadari ada pohon yang berdiri tepat di depannya
dengan jarak sekitar 15 meter. Tanpa ragu, tepat ketika kucing liar tersebut
melintas di depan pohon itu, Hinata langsung melepas anak panahnya menuju
kucing liar itu. Dan…
SRAT!
Terdengar suara sayatan yang cukup
nyaring. Si kucing yang kaget langsung segera berlari ke arah hutan.
“Be-Berhasil,” ujar Hinata dengan
perasaan riang. “Padahal aku sudah lama tidak latihan.” Ia juga senang karena
tidak melukai kucing liar itu sedikit pun.
Pelayan muda yang bernama Izumo itu
menghentikan larinya, terbelalak kaget melihat ikannya sudah terlepas dari
gigitan kucing nakal itu. Ikan tersebut tertusuk anak panah yang dilepaskan
Hinata dan menyangkut di sebuah batang pohon kecil.
Sasuke juga tidak bisa
menyembunyikan keterkejutannya melihat adegan itu. Matanya terbuka sedikit;
menatap Hinata dengan perasaan yang ia sendiri tidak mengetahuinya. “Jadi, dia
benar-benar seorang Hyuuga…,” gumamnya pelan. “Prajurit pemanah Uchiha saja
belum tentu bisa seperti itu. Bidikan yang tepat sasaran.”
“He-Hebat sekali, Hinata-sama,” puji Izumo yang tampak tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia yang tadinya begitu kelelahan mengejar
kucing itu sekarang bisa bernafas lega. “Te-Terima kasih.” Ia lalu membungkuk
pada putri kerajaan Hyuuga itu. “Nanti saya akan memasakkan makanan spesial
untuk Anda, Hinata-sama. Makanan apa
yang Anda sukai?”
“A-Ah, ti-tidak perlu repot-repot,
Izumo,” ujar Hinata merendah.
Sementara
itu Genma muncul dari dalam istana menghampiri Sasuke. “Sasuke-sama.”
Sasuke mengalihkan pandangannya pada
Genma. Dengan nada datar ia berkata, “Ada apa?”
“Kita kedatangan tamu dari utara.
Mereka sudah menunggu di ruang pertemuan.”
Mendengar kata utara, Sasuke
langsung mengetahuinya. “Dia tidak memakai protokoler lagi?”
“Tuan Namikaze yang meminta untuk
tidak disambut secara berlebihan,” jelas Genma.
“Huh, dasar kebiasaan. Ya, sudah.
Bilang pada mereka lima menit lagi aku akan ke sana.”
“Baik, Sasuke-sama.” Genma pun melaksanakan perintah atasannya. Ia segera
beranjak dari sana. Raut mukanya terpahat kegembiraan; kegembiraan karena tamu
dari utara itu datang kemari. Karena menurutnya dengan begitu Sasuke bisa
tenang sedikit.
Sasuke kembali menatap Hinata
sejenak. Putri kerajaan Hyuuga itu melanjutkan ke pekerjaannya mengurusi kebun
lavender yang dulu sering dirawat oleh ibunya. ‘Huh, mau-maunya dia melakukan
pekerjaan rendahan itu,’ ujarnya dalam hati. Entah mengapa terlintas sebuah
rencana di otaknya.
“Hei, kau!” seru Sasuke pada
Hinata sembari mempersempit jarak mereka dengan berjalan ke arah kebun bunga
lavender. Ia sendiri tidak begitu tahu mengapa ia mau melakukan ini.
Hinata menggoyangkan kepalanya ke
segala arah; mencari sumber suara yang memanggil namanya. Memutar tubuhnya 180
derajat hingga menatap Sasuke sejenak. Namun karena ia merasa tidak mungkin
Sasuke yang memanggilnya, ia pun memalingkan wajahnya dari pangeran kerajaan
Uchiha tersebut—mencari seseorang yang lain yang memanggilnya.
“Hei, aku yang memanggilmu!” seru
Sasuke yang agak dongkol.
“E-Eh? Sa-Sasuke-san,
memanggil s-saya?” tanya Hinata tergagap-gagap seraya menunjukkan jari
telunjuknya ke dirinya sendiri.
“Memangnya siapa lagi yang ada di
sini selain kau?” hardik Sasuke dingin.
Hinata seketika bergidik. Melihat
ke arah sekitarnya. Memang benar di sekitar kebun lavender itu hanya ada mereka
berdua.
Sasuke memang tak hilang-hilang
juga pesona seramnya.
“A-Ada apa, Sasuke-san?” Tanya Hinata pada akhirnya.
“Ganti bajumu, ada tamu kerajaan
yang datang. Aku tunggu di ruang pertemuan,” ujar Sasuke tanpa ekspresi.
Hinata menelan ludahnya sendiri;
berpikir ada apa gerangan si pangeran Uchiha yang tak pernah mengobrol
dengannya kini mengajaknya bicara? “Ke-Kerajaan? Ke-Kerajaan apa?”
“Kau ditugaskan untuk melayaniku
kan? Jadi, tidak usah banyak tanya. Lakukan saja apa yang aku katakan!” jawab
Sasuke dengan nada tinggi sembari berlalu menuju pintu masuk ke dalam kerajaan.
“Ba-Baik.” Tanpa berkata apa-apa
lagi, Hinata langsung menuruti perintah Sasuke. Ia segera masuk ke dalam istana
menuju ke kamarnya untuk berganti baju. Tak lupa ia membawa busur panah beserta
anak panahnya.
o0o
Sasuke memasuki ruang pertemuan
kerajaan dengan mengenakan montsuki2 hitam yang dilengkapi dengan hakama3. Rapi sekali. Ia
masuk lewat pintu biasa yang berada di sebelah kiri balairung.
Hinata mengikuti Sasuke dari
belakang dengan kepala menunduk; mengenakan irotomesode4
berwarna biru muda. Rambut birunya digerai; tersisir dengan rapi.
Hanya ada sekitar empat prajurit
yang menjaga pintu utama ruang pertemuan kerajaan Uchiha. Tidak ada dilakukan
semacam protokoler; upacara penyambutan tamu kehormatan dalam kerajaan. Ini
atas pemintaan tamu itu sendiri yang menginginkan disambut dengan suasana
biasa-biasa saja.
Tamu itu memang memiliki sikap
penuh kesederhanaan.
Kedua tamu tersebut duduk di
balairung ruang pertemuan kerajaan Uchiha. Mereka adalah raja dan ratu kerajaan
Namikaze. Kerajaan yang mempunyai wilayah kekuasaan atas kerajaan-kerajaan
daerah seperti, Uchiha, Hyuuga, Nara, Yamanaka, Haruno, dan Inuzuka.
Ya, kerajaan Uchiha bukanlah kerajaan
terbesar di wilayah Kinomoto. Namun ia lebih kaya dibandingkan dengan kerajaan
Hyuuga dan lainnya.
Kinamoto sendiri adalah wilayah
yang dianugrahi sumber daya alam emas yang begitu melimpah. Terdiri dari dua
kerajaan besar yang terpecah menjadi dua wilayah karena konflik masa lalu. Kerajaan
Namikaze menguasai Kinomoto bagian utara, sedangkan kerajaan besar lain yang
bernama kerajaan Orochi berada di selatan. Sampai sekarang konflik itu masih
berlanjut.
Sasuke menghadap di depan raja dan
ratu yang kini berdiri dari tempat duduknya di balairung. Ia membungkukan badan
kepada raja dan ratu itu sebagai tanda hormat.
Sementara Hinata mengikuti apa
yang Sasuke lakukan—di belakang pangeran itu—dengan wajah penuh tanda tanya
karena ia tak menyangka jika Sasuke tahu tata krama kerajaan juga.
“Lama tidak jumpa, Sasuke-kun!”
Seketika Hinata menegakkan
tubuhnya ketika mendengar ada yang memanggil Sasuke seperti itu. Panggilan yang
sebenarnya kurang sopan di sampaikan dalam tata krama kerajaan. “Eh?” ucapnya
yang terkejut saat melihat Sasuke dipeluk oleh ratu dari kerajaan Namikaze.
“Lepaskan, Sakura-sama,” seru Sasuke dengan nada datar; ia
melepas rengkuhan tangan ratu kerajaan Namikaze itu secara perlahan.
“Kau formal sekali, Sasuke-kun,” balas sang ratu sembari
terpingkal-pingkal. Rupanya barusan ia menuruni balairung untuk memeluk Sasuke.
Ia mengenakan irotomesode bercorak
bunga sakura; cocok sekali dengan rambutnya yang berwarna serupa.
Alis Hinata serta-merta terangkat
melihat kejadian itu.
Sasuke lantas mengalihkan
pandangannya pada raja kerajaan Namikaze yang berjalan turun dari balairung
menuju ke arahnya. Melihatnya, Sasuke membungkukkan badannya kembali. “Selamat
datang di kerajaan Uchiha, Naruto-sa—”
Namun sebelum Sasuke menyelesaikan
ucapannya, Raja Naruto terlebih dahulu merengkuhnya dalam dekapan. “Hahaha. Kau
masih saja kaku, Teme!”
Tapi Sasuke malah menepis pelukan
itu. “Diam, Dobe! Aku hanya menuruti
tata krama kerajaan. Kau ini, kebiasaanmu tidak pernah berubah!”
Kemudian hening…dua orang pemuda
itu saling berada mata dengan airmuka yang menunjukkan hendak adu jotos.
Hinata bolak-balik memandangi
Sasuke dan sosok raja yang dari perawakannya seperti tidak jauh berbeda umurnya
dengan si pangeran kerajaan Uchiha itu.
Terdengar cengengesan seorang
perempuan. Hinata langsung menoleh ke arah gadis yang bernama Sakura itu;
ternyata benar dia yang tertawa.
Sasuke dan Naruto pun saling
berpelukan sembari terbahak-bahak.
Hinata memiringkan kepalanya
sedikit melihat kejadian yang baginya langka itu. Masih dengan airmuka yang terkaget-kaget.
Walau tidak tertawa layaknya Naruto, tapi ia sama sekali tidak pernah melihat
Sasuke tersenyum seperti itu. Senyuman yang tampaknya benar-benar dari hati…
“S-Sasuke-san bisa te-tersenyum?’ tanya Hinata dalam hatinya.
Prajurit-prajurit
yang berada di sana tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah dua orang pemimpin
mereka. Terutama prajurit dari kerajaan Uchiha yang nampak senang melihat
tuannya sedikit berbeda dari hari yang biasanya.
“Sifatmu
memang masih saja membosankan, Sasuke. Padahal hampir setahun lamanya kita
tidak pernah bertemu. Hahaha,” ujar raja kerajaan Namikaze bernama Naruto
sembari menepuk-nepuk bahu Sasuke.
“Kau
juga masih saja berisik seperti dulu, padahal kau sudah menikah dengan Sakura-sama dan resmi memimpin kerajaan besar
Namikaze. Aku sangat malu memiliki raja sepertimu,” balas Sasuke tak kalah
sengit sembari menyeringai tipis.
Hinata
membuka bibirnya sedikit seraya cengo. Percakapan mereka sangat aneh.
“Haha.
Aku sangat rindu dengan cara bicaramu yang sangat jujur, Teme.” Naruto kemudian tak sengaja menangkap sosok wanita yang baru
disadarinya berdiri di belakang Sasuke. Ia memang terlalu terbawa suasana
setelah sekian lama tidak bertemu dengan sahabat masa kecilnya Sasuke. “Eh?
Siapa putri ini, Teme?”
“Iya,
aku juga baru menyadarinya. Siapa dia Sasuke-kun?” tanya Sakura juga yang penasaran.
Hinata
jadi salah tingkah sendiri. Takut-takut Sasuke menjawabnya dengan jawaban yang
bukan-bukan. Ia membungkuk kepada raja dan ratu Namikaze itu.
“Dia
putri dari kerajaan Hyuuga. Hyuuga Hinata. Pelayan pribadiku,” jawab Sasuke
singkat, namun wajahnya tiba-tiba menjadi serius.
Hinata
pun menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Sedikit lega karena Sasuke menjawab
pertanyaan kedua raja dan ratu itu dengan jujur.
“Pelayan? Secantik ini? Kau memang
aneh, Teme. Hahaha.” Naruto kemudian
membawa tangannya melingkari bahu Sasuke. “Baiklah, sekarang lebih baik kau
mengajakku jalan-jalan mengelilingi istana megahmu ini. Pasti ada yang berubah
kan?” Ia lalu mengalihkan pandangannya ke istrinya. “Sakura-hime, aku tinggal sebentar ya. Kau
mengobrol-ngobrol saja dengan putri dari kerajaan Hyuuga itu.”
Sakura mengangguk sembari
tersenyum.
“Lepaskan, Dobe. Awas saja kalau di depan rakyat. Kau tak boleh seperti ini,”
omel Sasuke sembari menghempaskan tangan Naruto dari bahunya.
Naruto hanya terpingkal-pingkal
melihat tingkah laku Sasuke yang begitu dingin.
Raja dan pangeran itu pun lalu
keluar dari ruang pertemuan.
Sementara mata Hinata mengikuti
gerakan Sasuke dengan penuh tanya di pikirannya.
v
Pangeran
dan raja itu kini berdiri di sebuah jembatan kecil. Jembatan kecil yang
menghubungkan antara bagian istana sayap kiri dengan istana bagian utama
kerajaan Uchiha. Di bawahnya adalah sebuah kanal yang di atasnya ditumbuhi
bunga teratai-bunga teratai yang akan mekar.
Suasana
di sana tidak ceria seperti suasana di ruang pertemuan tadi. Muka kedua pemuda
itu terlihat tegang. Tak ada siapa pun di sana, para pengawal tak diizinkan
mengikuti mereka.
“Apa
yang kau ingin bicarakan, Naruto? Aku sangat paham sifatmu kalau sedang ingin
bermain dalam kerahasiaan. Apa yang sebenarnya terjadi?” Sasuke membuka
pembicaraan; matanya tertuju pada katak yang bertengger di atas daun teratai
yang mengambang di kanal.
“Bukankah
kau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Sasuke? Kau bisa menebak maksudku
untuk ke sini kan?” Naruto malah bertanya balik. Ia menatap Sasuke sejenak yang
hanya diam. “Sasuke, kau tidak bisa berpangku tangan begitu saja.”
Sasuke
mengerutkan dahinya.
“Kau
tahu betul kan kita sedang dalam masalah besar?” tanya Naruto lagi yang mencoba
membuka pikiran Sasuke yang telah lama tertutup. “Dan juga ini menyangkut
ibumu…”
Bersambung…
1.
Riser: Pegangan dalam busur.
2.
Montsuki: Kimono
pria yang paling formal.
3.
Hakama: Dipakai untuk menutupi pinggang sampai mata kaki.
4. Irotomesode: sejenis
kimono untuk wanita yang dibuat dari kain berwarna. (arti harfiah: tomesode berwarna)
0 komentar