Fanfic Naruto : Shinjitsu no Uta Chapter 2
Shinjitsu no Uta
Naruto
© Masashi Kishimoto
Thousand Night Love Song © Chieko Hara
Warning: AU. Rated T.
OOC. Typos. Multichapters. Adventure/Romance.
Pairing: Sasuke dan Hinata.
.
Ah, tapi ia tidak perlu berpikiran seperti itu lagi.
Hinata menyadari kalau kini ia telah dibuang oleh ayahnya sendiri. Berharap
mendapat kehidupan yang layak di sini, Hinata tidak tahu apa itu akan bisa
terwujud. Semoga saja hari ini adalah hari terakhir ia diperlakukan kasar
seperti ini oleh orang yang akan ia layani itu.
Sasuke begitu kelewat kasar pada ibunya, pasti telah
terjadi suatu konflik di kerajaan yang megah ini.
Dan Hinata tidak mau terlibat dalam masalah mereka…
.
.
Chapter
2
Rahasia
Kerajaan
.
.
Pagi yang indah. Kawanan burung bersahut-sahutan menyambutnya.
Bergerombol mencari makan atau sekadar bernyanyi bersama-sama di tangan-tangan
kecil pohon plum. Mensyukuri hari yang sayang untuk dilewatkan dengan hanya
berdiam diri. Mereka bernyanyi sesuka hati tanpa ada pemangsa yang mengganggu
aktivitas mereka. Siapa takut. Tak ada yang bisa menghalangi mereka bersukaria.
Setidaknya kawanan burung itu memiliki kebebasan mutlak yang tidak
dimiliki oleh Hinata.
Hinata sudah bangun dari pagi sekali. Tapi ia enggan keluar kamar sampai
suatu saat nanti ada yang memintanya untuk keluar. Di rumahnya saja kadang ia
merasa terasing, apalagi di rumah orang lain?
Dia takut akan dijadikan apa nanti ia di istana megah milik Uchiha ini.
Kabarnya masih simpang siur ternyata.
Menjadi istri Pangeran Sasuke? Jujur saja ia takut, karena sikap Sasuke
tampak kasar. Menjadi pelayannya? Bukankah dia adalah seorang putri? Malang
sekali nasibnya jika langsung banting setir seperti itu. Terlebih kedua pilihan
itu tak ada yang baik. Dan ia hanya dihadapkan dengan dua pilihan itu.
Kalau saja ibunya masih hidup, mungkin saja bisa menahannya agar tak
pergi dari rumah. Sebagai seorang putri yang terbuang, ia merasa kosong, tak
memiliki apa-apa. Ingin sekali ia seperti burung-burung di luar, terbang bebas
dan bisa memilih jalan hidupnya sendiri dengan leluasa.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu.
“Hinata-sama, apakah Anda
sudah bangun?”
‘Dari suaranya ini pasti Genma,’ tukas Hinata dalam hati. Ia pun segera
beranjak menuju pintu dan membukanya.
“Selamat pagi, Hinata-sama. Mikoto-sama meminta Anda untuk sarapan pagi
bersama. Beliau telah menunggu di ruang makan.”
“B-Baiklah. Terima k-kasih, Genma. Sebentar l-lagi aku akan ke s-sana.”
“Saya akan mengantar Anda ke ruang makan, pasti Anda belum tahu jalannya.”
Hinata hanya mengangguk sembari tersenyum kecil. Dia bersyukur pelayan
kerajaan itu sangat ramah padanya. Setidaknya ia menemukan satu lagi orang kerajaan
yang ramah padanya selain Ratu Mikoto.
“Lewat sini, Putri.”
Sesampainya di ruang makan…
Terlihat Mikoto sedang duduk di ruang makan, beberapa pelayan sedang
menyiapkan santapan pagi dengan hati-hati. Takut-takut membuat kesalahan dan
kena semprot majikannya. Itulah yang dapat Hinata tangkap dari wajah-wajah
cemas para pesuruh kerajaan, sepertinya Ratu Mikoto sangat disegani oleh
penghuni kerajaan Uchiha ini.
Mata onyx sang ratu akhirnya
tertuju pada seorang putri yang baru saja tiba di tempat itu. “Ah, Hinata. Ohayou gozamaisu,” ujarnya tersenyum.
Hinata menundukkan kepalanya. “O-Ohayou
gozaimasu. M-Maaf saya sedikit terlambat.”
“Tidak apa-apa, Hinata. Aku juga belum sarapan, hidangannya masih
disiapkan. Silakan duduk.”
Hinata—dengan tampak malu-malu—pun duduk di meja makan yang sangat luas
sekali ukurannya, cukup untuk sepuluh orang. Sayang, yang makan pada saat itu
mungkin hanya ia dan ratu kerajaan Uchiha saja. Hinata memilih tempat duduk di
sebelah kiri ratu yang sangat cantik itu, tak berani duduk di depannya persis
karena dia telah diajarkan oleh ayahnya, hal itu tidaklah sopan. Sementara
Mikoto duduk di kursi utama yang biasa dipakai oleh raja, apa boleh buat raja
sedang tak ada di istana.
“Oh ya, Genma. Mana Sasuke?” tanya Mikoto pada pelayannya itu yang
berdiri di belakang Hinata. Sudah jadi tradisi kerajaan Uchiha, jika para
pelayan harus menunggui tuannya makan hingga selesai.
Airmuka Genma seketika berubah. “Tuan Muda tadi saya lihat keluar istana
pagi-pagi sekali, Mikoto-sama. Tapi
saya tidak tahu beliau pergi kemana, saya tanya beliau malah membentak saya.”
Mikoto menghembuskan nafas kuat-kuat. “Anak itu semakin lama, semakin
tak punya sopan santun saja. Ya, sudahlah, kita makan duluan saja, Hinata.
Sasuke nanti bisa menyusul.”
Hinata hanya menjawabnya dengan anggukan. Dia pun menyantap hidangan
yang telah tersedia. Namun di otaknya kini sedang mereka-reka apa yang sedang
dilakukan Sasuke pagi-pagi meninggalkan istananya.
“Bagaimana Hinata menurutmu, masakannya enak?” tiba-tiba Mikoto
mengajaknya ngobrol di tengah-tengah santapan pagi itu.
Hinata menelan makanan di mulutnya buru-buru, takut-takut tersedak jika
ia bicara dengan mulut yang isinya penuh. “Ya, M-Mikoto-sama. M-Masakannya enak sekali. Mungkin m-masakan t-terlezat yang
pernah saya santap,” ujar Hinata merendah.
“Ah, kamu bisa saja, Hinata. Semua makanan ini dibuat dengan resepku
sendiri lho. Ya, tapi para pelayan juga membantu. Kubuat khusus untuk meyambut
kedatanganmu di kerajaan ini.”
Putri dari kerajaan Hyuuga itu sontak terkejut mendengarnya. Dia merasa
terlalu diberi sambutan spesial, “T-Terima kasih banyak, Mikoto-sama. P-Padahal saya hanya tamu biasa di
sini. S-Saya merasa tersanjung.”
“Tidak apa-apa, lagipula sekalian untuk Sasuke.”
Mereka pun akhirnya membicarakan banyak hal, hanya saja Hinata belum
bisa terbuka pada Mikoto. Ia sedikit membatasi diri dalam obrolan, ada beberapa
hal yang enggan ia ungkapkan menyangkut keluarganya sendiri. Baginya Mikoto
adalah orang asing yang baru saja memasuki kehidupannya kemarin, karena itu ia
tidak mau membuka aib. Terlebih yang ditanyakan Mikoto rata-rata hal yang
lumayan sensitif. Ratu Uchiha itu tampaknya senang mengulik-ulik urusan orang
lain.
“Oh ya, Hinata. Mungkin ini agak lancang. Tapi apakah dari dulu cara
bicaramu terbata-bata seperti itu?”
Hinata nyaris tersedak mendengarnya. “A-Ah?” Ia lalu buru-buru minum air
untuk menghilangkan kegugupannya. “B-Bagaimana m-menjelaskannya ya? Saya juga
t-tidak terlalu mengerti, d-dari kecil c-cara bicara s-saya sudah s-seperti
ini,” ujarnya sedikit jengah.
“Mungkin karena kebiasaan, tapi pasti hal itu dapat disembuhkan. Sayang
sekali, gadis secantikmu sedikit tak lancar dalam berbicara. Padahal tak ada
yang salah kan dengan pita suaramu?”
Frontal memang, tapi Hinata berusaha menjawab pertanyaan Mikoto sesopan
mungkin. “A-Ayah pern-nah memeriksanya, tapi t-tak ada masalah dengan pi-pita
suara saya. S-saya memang agak pe-pendiam.”
“Kalau begitu keadaannya, aku akan sering mengajakmu bicara. Siapa tahu
kebiasaanmu itu bakal berubah,” sahut Mikoto sembari mengelap bibirnya dengan
sapu tangan yang telah disediakan.
“Te-Terima kasih a-atas perhatiannya, M-Mikoto-sama.”
“Tak perlu sungkan, aku dulu juga begitu. Yang penting harus ada niat
untuk berubah,” ujar Mikoto sembari tersenyum. Kini ia mengubah lagi topik
pembicaraan. “Kudengar anggota kerajaan Hyuuga sangat hebat dalam memanah. Apa
kau juga diajari memanah oleh ayahmu?”
Gadis berambut ungu kebiru-biruan itu menegak air di dalam gelasnya
perlahan-lahan. Hidangannya telah ia habiskan rupanya. Yang lebih penting,
pembicaraan dengan topik ini tak terlalu menurunkan rasa percaya dirinya. “Y-Ya,
saya diajari sedari kecil. A-Ayah dan Mendiang Ibu j-juga sering membawa saya b-berburu
di hutan. T-Tapi kemampuan memanah s-saya tak sehebat Ayah, Mendiang Ibu, Kak
Neji, dan adik saya Hanabi.”
“Ah ya, waktu masa perang antara kerajaan selatan dan utara, kerajaan
Hyuuga sangat membantu sekali dalam memenangkan peperangan. Tapi yang tak
kusangka mereka juga mengajarkan ilmu memanah pada anak-anak perempuannya.”
Hinata tersenyum simpul. “M-Memang benar, M-Mikoto-sama. P-Perempuan-perempuan di kerajaan Hyugga di-diajarkan memanah
se-sekadar untuk menjaga di-diri.” Ah, ia jadi mengingat ‘kejadian’ yang ingin
dilupakannya.
Hinata yang dipandang sebelah mata oleh ayahnya sendiri. Ia tak
mengerti, padahal kerajaannya tidak terlalu patrialis dalam menjalankan
fungsi-fungsi dalam istana. Perempuan tak terlalu dikekang. Namun entah
mengapa, ayahnya terlalu mengekang dirinya, dan ia dibatasi untuk berinteraksi
dengan dunia luar. Berburu dengan panah atau latihan memanah saja sering
dilarang; meski Hinata pernah melakukannya secara diam-diam. Hal itu terjadi
semenjak ibunya meninggal dunia.
“Bicara tentang laki-laki, aku jadi rindu pada suamiku dan Itachi. Aku
sudah lama sekali tak mengunjungi tempat peristirahatannya. Dan Itachi juga
sudah lama tidak pernah main ke sini,” ujar Mikoto sembari mengelap bibirnya,
ia juga telah selesai dengan hidangannya. Namun sepertinya ia belum ada niat untuk
beranjak dari sana.
“I-Itachi?” sahut Hinata tiba-tiba. Ia merasa asing dengan nama itu. Dia
pikir anggota keluarga Uchiha hanya Raja Fugaku, Ratu Mikoto, dan Pangeran Sasuke
saja.
“Ah ya, kau tak tahu kalau aku memiliki dua orang putra, Itachi adalah
putra sulungku, kakaknya Sasuke.”
Untuk hal itu Hinata sama sekali tak mengetahuinya. “K-Kalau saya b-boleh
tahu kemana Itachi-san s-sekarang?”
“Aturan kerajaan ini sangat ketat, Hinata. Itachi menikahi seorang gadis
sipil yang dicintainya, gelar pangerannya pun dicabut. Sekarang ia tinggal
bersama istrinya. Mereka sudah memiliki satu anak laki-laki, tampaknya mereka
sangat bahagia,” jelas Mikoto yang tiba-tiba menundukkan kepalanya.
Ada yang bisa Hinata lihat dari wajah sendu itu. Kesepian. Selain beban
berat yang dipikul sendiri di pundak seorang wanita yang mengharapkan perhatian,
karena memimpin sebuah kerajaan tidaklah gampang. Ah, padahal dia begitu terlihat
sempurna. Tapi memang betul petuah yang mengatakan tak ada yang sempurna di
dunia ini. Semuanya memiliki jalannya masing-masing. Hinata merasa senasib, ia
mengerti akan perasaan Mikoto. Mikoto adalah cerminan dirinya. Ia juga sangat
kesepian, meski kesepian yang dirasakan oleh mereka masing-masing ada dalam konteks
yang berbeda.
“Makanya aku sangat berharap, suatu saat nanti Sasuke menikah dengan
seorang putri dari kerajaan. Biar tidak keluar dari kerajaan ini.”
Ya, cukup jelas apa masalah yang sedang dihadapi oleh kerajaan Uchiha
ini. Meski belum transparan seluruhnya. Lagipula ini masalah keluarga, Hinata
juga tak mau ikut campur di dalamnya. Ia hanya berharap dapat tinggal di
lingkungan yang tenang, di rumahnya sendiri dulu dia tidak pernah merasa
tenang. Kalaupun ia nanti dijodohkan dengan Sasuke kelak, bolehkah ia
menolaknya? Karena pertama kali melihat perangai Sasuke yang sangat buruk,
perasaannya menjadi tak enak sama sekali.
“Ahahaha! Sasuke-sama…!”
“Berhenti, Sasuke-sama…geli!”
“Hahaha, ayo! Kita ke kamarku sekarang ya, Wanita-wanita cantik!”
Terdengar suara ribut tak jauh dari ruang makan. Hinata dan Mikoto langsung
melihat ke direksi itu.
“Ada apa, ya ribut-ribut? Genma, tolong kau lihat ke sana. Tampaknya aku
kenal suara itu, apa jangan-jangan Sasuke?” Perintah Mikoto pada Genma yang
berdiri tak jauh di belakangnya.
Tak lama orang-orang yang mengeluarkan suara ribut tadi lewat di depan
jalan menuju ruang makan. Hinata dan Mikoto tersentak melihatnya. Terutama
Mikoto yang gerakan matanya tampak gelisah, ia terlihat jengah dengan
pemandangan yang ada di depannya. Jengah pada Hinata.
“Sasuke, siapa wanita-wanita itu?!” teriak Mikoto yang terlihat marah.
Apalagi tampak sekali wanita-wanita itu umurnya lebih tua dari Sasuke.
“Ah, kau rupanya. Kenapa menatapku seperti itu? Bukankah harusnya kau
senang aku membawa wanita-wanita cantik ini? Mereka akan kujadikan
selir-selirku. Hahahaha,” sahut Sasuke sembari tertawa terbahak-bahak. Asal
sekali ia bicara.
“Yang benar, Sasuke-sama?”
Tanya wanita satu.
Yang satunya lagi menimpali sembari bergelayut mesra di tubuh Sasuke,
“Wah, senangnya!”
Cekikikan mereka buat gendang telinga Mikoto mau pecah. “Wanita jalang!”
umpatnya pada akhirnya. “Sasuke, harusnya kau memilih wanita terhormat seperti
Hinata!”
“Jangan bertingkah seperti kau peduli padaku, Mikoto. Aku berhak memilih
mana yang aku suka dan mana yang tidak kusuka.” Sasuke lalu menatap Hinata
dengan sinis. “Lebih baik kau pulangkan saja si Hyuuga itu, mataku sakit
melihat wajahnya yang sok lugu. Hahaha!” Sasuke pun membalikkan badannya.
Hinata terkesiap mendengarnya. Tapi kemudian ia lihat airmuka Sasuke
yang tadi tiba-tiba berbeda pada saat hendak membalikkan tubuhnya. Bukan sinis,
tapi sendu. Sepersekian detik sehingga memang tidak terlalu kelihatan. Maka
Hinata tak menghiraukan kata-katanya barusan.
“Sasuke!” bentak Mikoto. Tapi putranya itu malah melengos pergi tanpa
mengucapkan permisi terlebih dahulu. Kedua wanita yang entah dari mana Sasuke
temui, diajaknya masuk ke kamar. Seluruh penghuni ruang makan hanya bisa
menatap sedih tingkah laku pangeran muda mereka. Seorang pangeran yang
diharapkan dapat membawa kerajaan Uchiha ke masa emasnya bersikap memalukan seperti
ini.
“Ma-Maafkan Sasuke, Hinata. Tadi dia terlihat mabuk, jadi aku harap kau
tidak memasukan ke dalam hati kata-katanya.”
Tapi Hinata seperti tak mendengarkan Mikoto, matanya tetap terarah ke
direksi yang sama saat Sasuke dan wanita-wanita nakal itu berdiri.
Mikoto jadi cemas melihatnya, jangan-jangan gadis Hyuuga itu malah syok
dengan sikap Sasuke tadi terhadapnya. “Hinata…,” panggilnya sembari
menggoyangkan bahu Hinata.
“Ah, ti-tidak apa-apa, Mikoto-sama.
A-Anda tak perlu meminta maaf, saya memaklumi sikap Sasuke-san terhadap saya. S-Saya masih orang asing baginya. M-Malah Anda
yang saya khawatirkan,” ujar Hinata mencoba simpati.
Mikoto menghembuskan nafas perlahan, “Aku sudah terbiasa dengan sikapnya
itu, Hinata. Sekali lagi aku mohon maaf.”
Hinata mengangguk sembari tersenyum kecil. Sudah terbiasa? Apa Sasuke
sering seperti ini sebelumnya? Sebenarnya Hinata ingin beranggapan kalau
pangeran kerajaan Uchiha itu sudah benar-benar tak waras otaknya. Tapi apa yang
ia lihat barusan sedikit menahannya untuk menarik kesimpulan seperti itu.
Mengapa Sasuke tertawa terbahak-bahak, namun setelahnya wajah sangar itu
terlihat begitu sendu? Apa tawanya yang menggelegar itu benar-benar menunjukkan
bahwa dia benar-benar bahagia? Ihwal itu ia tangkap saat-saat terakhir Sasuke
membalikkan badannya berjalan menjauhi ia dan Mikoto. Penglihatannya memang
cukup tajam.
Semuanya terlihat nadir bagi Hinata. Kalau saja ia bisa dekat dengan
Sasuke, mungkin ia bisa mengerti mengapa sikap Sasuke terlihat begar seperti
itu.
“Hinata, siang nanti kau temani aku ya? Aku ingin mengunjungi suamiku di
desa Aokisoba.” Mikoto segera berdiri dari tempat duduknya, ia jadi ingin
menyudahi saja santapan pagi ini. Sasuke benar-benar membuang niatnya untuk
mengobrol lebih lama dengan Hinata.
“Eh? F-Fugaku-sama?”
Mikoto mengangguk antusias. “Sekalian aku ingin mengenalkanmu padanya.
Kau bersedia kan?”
“K-Kalau itu tidak merepotkan Anda, s-saya bersedia, Mikoto-sama.”
“Baiklah, aku permisi. Masih ada urusan kerajaan yang harus aku
selesaikan sebentar, Hinata. Kalau kau mau kau bisa mengelilingi istana, biar
Genma yang menemani. Anggap saja seperti rumahmu, ya.”
“Terima kasih, Mikoto-sama.”
Hinata membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat. Ia lalu
mengelilingi istana luas itu ditemani Genma.
o0o
“Ini kebun lavender Mikoto-sama. Dulu sebelum Fugaku-sama jatuh sakit, Mikoto-sama yang merawat kebun ini setiap hari.
Tapi sekarang tidak sempat, karenanya kebun ini jadi tidak terawat dengan baik.
Hanya Mikoto-sama yang mengetahui
cara merawat tanaman lavender dengan benar,” jelas Genma panjang lebar.
“S-Sayang sekali, b-banyak tanamannnya
yang layu.” Hinata mengambil salah satu bunganya, kemudian menciumi aromanya.
Benar-benar hilang. “K-Kalau diizinkan a-aku bisa mengurusnya, Genma. Di r-rumahku
juga ada k-kebun lavender punya Mendiang Ibu yang tak seluas ini. Aku sedikit
mengerti cara merawatnya, m-meski mungkin tak seahli Mikoto-sama.”
“Kebetulan sekali, nanti akan saya sampaikan pada Mikoto-sama.” Genma terlihat senang dengan apa
yang diucapkan Hinata. Masalahnya penghuni kerajaan masing-masing sudah
memiliki tugasnya sendiri. Dan untuk yang satu ini, memang tak ada yang mahir
melakukannya.
Tiba-tiba Hinata teringat dengan kejadian barusan. Ia ingin sedikit
menguliknya secara perlahan, karena belum berani menanyakan langsung pada
Sasuke ataupun Mikoto. Barangkali pelayan yang sekarang sedang bersama dirinya
saat ini mengetahui masalah yang terjadi di istana, terutama soal Sasuke. “O-Oh
ya, Genma. A-Ada y-yang ingin k-kutanyakan. T-Tapi ini mungkin agak pribadi.”
“Tentang apa, Hinata-sama?
Barangkali saya bisa membantu,” ujar Genma ramah.
Hinata menarik nafas dalam-dalam. Semoga saja ia tak dikira lancar
mulut. “S-Sasuke-san a-apakah dia
dulu seperti itu?”
Mereka terus berjalan sampai di pertigaan koridor. “Kita ke sebelah sana,
Hinata-sama,” ucap Genma menuntun
jalan belok ke kiri. “Sifatnya memang sangat lancang, tapi sebenarnya dia
pemuda yang sangat baik, Hinata-sama.”
Hinata melihat airmuka Genma prihatin, sepertinya dia sangat mengenal
Sasuke. “Saya menjadi temannya sejak kecil, dia menganggap saya sebagai kakaknya
setelah Itachi-sama. Mereka berdua
sangat akur dan saling melindungi satu sama lain. Hanya saja ketika Itachi-sama keluar dari kerajaan dan menjadi
rakyat biasa, Sasuke-sama
perlahan-lahan berubah.”
Alis Hinata tiba-tiba terangkat. Sedikit berbeda dengan ucapan Mikoto
yang sebelumnya mengatakan kalau Sasuke mulai berubah sejak ayahnya sakit. Ah,
tapi mungkin waktunya bersamaan.
“A-Apakah i-ini ada h-hubungannya dengan sakitnya Fugaku-sama?” tanya Hinata lagi, ingin mendapatkan
informasi lebih.
“Saya rasa tidak, karena Fugaku-sama
sudah lama sakit. Fugaku-sama jatuh
sakit sekitar lima tahun yang lalu. Dan Itachi-sama keluar dari kerajaan dua tahun setelahnya. Saya sendiri juga
tidak terlalu tahu hubungan kepergian Itachi-sama dengan sikap Sasuke. Hanya sejak saat itu, Sasuke-sama jadi tidak terbuka lagi dengan
orang-orang di sekitarnya. Dia selalu sibuk sendiri, padahal banyak sekali yang
perhatian padanya termasuk saya.”
Apa Sasuke merasa kesepian juga? Hinata tak terlalu mengerti, namun
entah mengapa rasa ingin tahunya begitu besar. Ia ingin bisa akrab dengan
Sasuke karena kini tinggal di atap yang sama. Ia juga tak ingin merasa kesepian
di istana yang luas nan megah ini. Ia ingin mendapatkan sesuatu yang baru
semenjak keluar dari kampung halamannya kemarin. Untuk saat ini, ia ingin
keberadaanya dianggap oleh orang lain.
o0o
Rombongan kerajaan Uchiha tiba di Desa Aokisoba petang itu. Karena malam
nyaris menjelang, kemungkinan besar mereka akan menginap di sana. Perjalanan
dari pusat kerajaan ke desa terpencil itu memakan waktu sekitar tiga jam. Cukup
melelahkan, maka dari itu Mikoto memutuskan untuk tinggal di sana semalam saja.
Tempat
perisitirahatan raja Fugaku memang minimalis, tak sebesar kerajaannya di sana.
Tapi bangunannya tak kalah indah; ditambah lagi dengan aroma pedesaan yang
menambah nilai keindahannya. Tidak heran memang jika Fugaku lebih memilih
tinggal di sini sejak tiga tahun yang lalu. Suasananya buat hati tenang, terapi
alam yang sangat bagus untuk menghindari kepenetan. Istrinya juga memahami dan
mengabulkan permintaannya itu, walau pada awalnya berat hatinya untuk jauh
tinggal bersama sang suami. Apa boleh buat, dia harus mengutamakan kewajibannya
karena ini adalah amanah suaminya juga.
Fugaku
sudah merasa sangat tua diumurnya yang belum mencapai kepala lima. Penyakit
saraf yang menyebabkannya lumpuh total membuatnya tak bisa melakukan apa-apa
dengan leluasa. Ia paling tidak suka merepotkan orang banyak, untuk itu ia
lebih memilih dilayani oleh dua pelayan saja.
Kedatangan
Mikoto tak diprediksi olehnya. Ia tampak sumringah ketika melihat rombongan
dari kerajaannya datang pada petang itu. Apalagi setelah tahu kalau istrinya
akan menginap di sana selama semalam. Ia rindu. Meski dalam keadaan lumpuh,
otaknya masih bisa mengingat siapa-siapa saja penghuni kerajaan Uchiha.
Dilihatnya ada penghuni baru tak merisaukannya, yang ia tanyakan pada akhirnya
keabsenan anak bungsunya yang lagi-lagi tak ada di sana.
“Mana
Sasuke?”
Mikoto
meminta pelayannya untuk meninggalkan kamar. Hanya Hinata saja yang dibiarkan berada
di tempat itu. “Sasuke tak bisa hadir, Sayang. Masih ada urusan kerajaan yang
harus ia kerjakan.”
Dahi
Hinata mengerut, tampaknya Mikoto ingin menyembunyikan kenakalan Sasuke pada
suaminya. Alasannya bisa jadi untuk menjaga kesehatan suaminya itu.
Fugaku menatap istrinya lekat-lekat. “Benarkah? Tak kusangka sekarang
dia begitu peduli pada urusan kerajaan, apa dia masih nakal seperti dulu?”
Mikoto tersenyum lebar. “Dia masih dalam pencarian jati diri, wajar saja
kalau dia agak nakal diusianya.”
“Haah, kalau seperti itu terus kapan dia bisa memiliki istri? Aku ingin
dia cepat-cepat menikah dan mengambil alih kerajaan, supaya kau bisa berada di
sampingku terus. Menikmati masa-masa tua kita bersama.” Fugaku menatap istrinya
mesra. Ia meremas lembut tangan istrinya yang sedari tadi bergelayut di sekitar
lengan kanannya. Memberikan pijatan-pijatan kecil agar ototnya lebih rileks. Ia
benar-benar rindu akan masa-masa kebersamaan mereka.
Mikoto tersenyum. “Oh ya, Sayang. Ini aku kenalkan penghuni baru kerajaan
kita, namanya Hinata. Ia dari kerajaan Hyuuga yang kemarin memiliki urusan yang
tertunda dengan kita. Untuk itu aku meminta anaknya sebagai jaminan.”
Hinata terhenyak, ia hampir lupa alasan mengapa ia sekarang diminta
tinggal di kerajaan besar itu. Jujur sekali ucapan Mikoto. Memang
perlahan-lahan Hinata menyadari, terkadang ucapan wanita itu bisa menjadi
semanis madu, terkadang bisa menjadi sepahit buah maja.
“K-Konbanwa, Fugaku-sama,” ujar Hinata sembari menundukkan
kepalanya malu-malu.
“Selamat datang di kerajaan Uchiha, Hinata. Aku harap kau betah tinggal
di sana sampai urusan kami dan ayahmu selesai. Tapi kalau boleh kuakui kau
sangat cantik, kenapa kau tak menjodohkan dia dengan Sasuke, Mikoto?”
Mata putih Hinata terbuka lebar.
Sedangkan Mikoto setali tiga uang, ia tampak kaget dengan pernyataan
suaminya itu. “Ma-Masa? Tapi Sasuke—”
“Aku rasa mereka berdua cocok. Sasuke juga sudah harus siap melaksanakan
kewajibannya. Dia terlalu cantik untuk dijadikan sebagai pelayan Sasuke. Apa
kau tidak lelah bekerja terus?”
“Bukannya begitu, Sayang. Tapi—”
“Sssttt…” Fugaku meletakkan jari telunjuk ke bibir istrinya. “Sekarang
saatnya kau beristirahat. Aku yakin mereka bisa menjadi keluarga yang bahagia.
Lagipula Hinata adalah seorang putri, karena itu Sasuke tidak akan senasib
dengan Itachi. Sekalian bisa mempererat hubungan kita dengan kerajaan Hyuuga.
Bagaimanapun Hiashi adalah teman baikku juga, Mikoto.”
Mikoto tampak tak bisa melawan kata-kata suaminya. Ia memang tak
memiliki kuasa lebih dibandingkan dengan raja arif itu. “Baiklah, akan
kupikirkan. Semoga saja Sasuke bersedia.”
“Kalau itu perintah ayahnya, Sasuke pasti mau, Sayang. Dia adalah anakku
yang paling penurut.”
Hinata menelan ludahnya sendiri. tidak menyangka masalahnya akan tambah
runyam. Terlihat sekali tadi bahwa Mikoto memang tak ada niat untuk menikahkan
ia dengan anak bungsunya. Ia seperti memiliki rencana lain yang Hinata tak
tahu, gerakan matanya yang menunjukkan itu.
Hinata juga memang tak ada niat untuk menikah dengan Sasuke. Karena
kesan pertama ketika ia bertemu dengan Sasuke sangatlah buruk. Yang jadi
persoalan adalah akan dijadikan apa Hinata oleh Mikoto di kerajaannya?
Pembantukah? Atau yang lain? Yang jelas ia harus lebih berhati-hati. Baru saja
ia lihat tatapan tajam mata onyx
Mikoto sekilas. Penglihatan Hinata sangatlah tajam, itu yang tak diketahui oleh
Mikoto.
Bersambung…
0 komentar