Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU. OOC. Typos
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Okelah langsung saja, selamat membaca :D
.
.
Chapter 5
Menguak Sejarah
.
.
Sai menuntun Sakura ke Monumen Kepahlawanan Konoha yang pagi itu nampak sepi. Karena biasa ramai pada saat hari libur. Anak-anak sering berlalu-lalang kemari hanya untuk menebar bunga. Sebagai bentuk terima kasih mereka, karena tanpa pahlawan-pahlawa shinobi itu mereka tidak akan pernah hadir ke dunia ini.
“Kita mau kemana, Sai?” tanya Sakura yang mulai tidak sabar. Bukan apa-apa, karena sebentar lagi jam kerjanya akan dimulai. Sebagai orang yang memiliki kedisiplinan tinggi ia tidak mau menjilat ludahnya sendiri.
“Sebentar lagi kok. Nah sampai!” teriak Sai girang.
Sakura menatap pemandangan di depannya. Mereka berdua berdiri di hadapan dahan tandus yang sudah lama tak berbunga.
“Lihat, Sakura-san. Dia mulai berbunga,” ucap Sai lagi sembari menunjuk ke ranting kecil dahan tersebut yang dipenuhi oleh kuncup-kuncup bunga. Salah satu dari kuncup tersebut ada yang membuka, menjadi bunga mekar kecil yang sebentar lagi akan tumbuh dengan indahnya.
Sakura lekas mengerti jenis pohon ini. Seperti nama dirinya, “Dahan bunga sakura?” tanyanya pada Sai.
Sai mengangguk sambil tersenyum padanya. “Ya, tempat favorit Naruto-kun.”
Sakura tercenung. Ia cukup tahu jika pohon ini sama sekali tidak bisa tumbuh subur di desa mereka karena faktor cuaca. Ia hanya sedikit heran, mengapa Naruto menyukai tanaman yang sepanjang tahun selalu layu ini. Tidak ada penduduk desa yang terlalau mempedulikan nasib dahan itu, dibiarkan begitu saja mungkin sampai dia menjadi gundul.
“Kau tahu, Sakura-san? Naruto-kun pernah mengatakannya padaku, jika ia menatap pohon ini dia selalu teringat pada dirimu…”
“Eh?” mata Sakura terbuka lebar mendengarnya, ia sama sekali tidak mengetahui ihwal itu.
“Pohon ini memang layu dan rapuh, Sakura-san. Tapi Naruto-kun selalu yakin, suatu saat nanti bunganya akan mekar. Kupu-kupu tak akan ragu lagi menari mengitarinya. Dia akan tersenyum seperti sedia kala. Lalu rakyat Konoha akan merawatnya karena sebenarnya ia terlalu indah untuk diterlantarkan.”
Sakura lagi-lagi tercenung dibuatnya. “Naruto mengatakan itu?”
Sai mengangguk pelan kemudian menunduk. “Sebelum hari Madara menyerang desa kita, ia memintaku untuk diantarkan kemari.”
Sakura menatap dahan itu lekat-lekat. Padahal dia benar-benar layu, mungkin tidak punya harapan lagi untuk tumbuh. Entah mengapa ada perasaan yang berdesir seketika di sanubari Sakura.
“Harapannya pada dahan sakura ini, ia juga harapkan terjadi pada dirimu, Sakura-san,” ucap Sai sembari tersenyum, namun bukan senyuman palsu yang dulu sering ia lontarkan pada siapa pun yang berbicara dengannya.
Sakura menatap Sai kembali dengan wajah syok, tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetaran.
“Naruto-kun melakukan semua hal ini karena dia berharap kau bisa tersenyum seperti dulu. Mekar dan tak pernah layu… Pernah kemarin dia melihatmu menangis di ruang inap Sasuke-kun dan hal itulah yang ia takutkan…”
Ninja medis itu memutar otak; ia tidak ingat kapan ia menangis di ruang inap Sasuke. Seketika itu juga ia menyadarinya. “Na-Naruto melihatku—”
“Waktu itu dia memaksaku untuk mengunjungi Sasuke-kun, karena aku tidak enak hati aku turuti saja kemauannya. Dan tak disangka-sangka kau juga ada di dalam, Sakura-san…”
Sakura hanya bisa memandangi tanah di bawahnya, ia tidak mengetahui kalau Naruto melihatnya pada waktu itu…
“Yang Naruto-kun takutkan, kau tidak akan tersenyum lagi jika Sasuke-kun meninggal dunia.”
Tiba-tiba tenggorokan Sakura tercekat di dalam, padahal kemarin-kemarin airmatanya sudah habis karena menangis semalaman. Dan kali ini ia akan menangis lagi…
“Jadi dia memutuskan untuk—”
“A-Aku mengetahuinya, Sai.”
“Huh?”
“Aku mengetahui jika Naruto ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun,” ucap Sakura terisak-isak, ia merengkuh baju di sekitar dadanya. “Padahal aku tidak pernah memintanya tapi dia begitu keras kepala…”
Sai terperanjat mendengarnya. “Kau tahu dari mana?”
Sakura tertunduk lesu sambil tersedu-sedu. “Surat yang ia tulis sebelum operasi dimulai… Dia pasti menitipkannya padamu… ya ‘kan? Tapi aku menemukannya lebih dulu.”
Mata onyx Sai terbuka lebar, ia mencoba membuka memorinya yang dulu. Ia sontak teringat dengan titipan Naruto setelah ia dan si ninja penuh kejutan nomor satu itu kembali dari tempat ini. Sai sempat dirawat hampir seminggu lebih di rumah sakit. Dan ia baru teringat akan surat itu sekarang.
Sai lantas mengatupkan matanya rapat-rapat. “Ah ya, aku ingat, Sakura-san. Sepertinya surat itu terjatuh pada saat aku sedang melawan Madara. Jadi tanpa sengaja kau menemukannya…”
Sakura hanya bisa terdiam di tempat di mana ia berpijak kini. Sembari terisak-isak, sebenarnya hatinya sangat pilu mengingat-ingat lagi isi surat itu. Pengakuan jujur dari seseorang terdekatnya yang kini entah di mana rimbanya berada. Andai semua dapat terulang kembali, namun mana ada manusia yang mampu membalikan waktu seperti semudah ia membalikan tangannya sendiri. Menyesal kini sudah tinggal tak berarti bukan? Karena penyesalan selalu datang belakangan.
Sakura mulai meratap. “Selalu saja begini, sejak dulu aku selalu gagal untuk menyelamatkan Naruto. Kadang aku berpikir, selama ini yang aku pelajari sia-sia. Aku—”
“Kalau begitu jadilah bunga mekar yang seperti Naruto-kun impikan.” Tiba-tiba Sai menyodorkan sesuatu pada Sakura.
Sakura memperhatikannya dengan linglung, “I-Ini…”
Sai mengangguk perlahan. “Hitae ate Naruto-kun… Kau mau menyimpannya ‘kan, Sakura-san? Naruto-kun tidak pergi kemana-mana. Dia ada di hati kita semua dan juga di hatimu… Yang paling penting adalah perasaanmu terhadapnya, bukan seberapa besar hal yang bisa kau lakukan untuk Naruto-kun.”
Kata-kata itu… Sakura masih mengingatnya. Rentetan kalimat yang pernah Yamato-taichou ucapkan juga padanya. Mengapa hal itu bisa ia lupakan?
Tanpa pikir panjang, Sakura pun mengambil hitae ate milik Naruto yang tidak dibawa pergi oleh tuannya. Karena dulu pemiliknya berpikir, bahwa dia tidak akan bisa memakai simbol anggota shinobi Konohagakure no sato itu lagi. Padahal takdir yang bergulir rupanya berkehendak lain, mungkin saja si pemilik hitae ate tersebut bisa kembali ke desanya.
“Aitakutte, Naruto (Aku merindukanmu, Naruto),” ujar Sakura sembari mengusap hitae ate itu ke pipinya yang basah karena airmatanya sendiri. Dan Sakura akan menjaga benda itu agar tetap ada dengan segenap kekuatan yang ia miliki, sampai pemiliknya pulang ke haribaannya.
Time skip Uzumakigakure.
Kushina jadi kalap, ia lupa kalau bangunan utama rumah besar Uzumakigakure dengan tempat Naruto itu lumayan jauh. Tapi kemampuan yousei salah satunya adalah mampu berlari cepat tanpa berhenti selama 24 jam dikarenakan tubuhnya yang sangat ringan. Walau di kesehariannya, mereka lebih senang berkuda dibandingkan dengan berjalan kaki.
Ia pun terus berlari tanpa memperhatikan daerah sekitarnya. Baju miko-nya yang menjelujur panjang ke bawah itu pun jadi melayang-layang akibat larinya yang sangat kencang itu.
Sedangkan Naruto, ia masih bingung dengan keadaan di sekelilingnya. Ia berpikir jangan-jangan ia memang sudah mati dan sekarang berada di nirwana tingkat tujuh yang konon katanya surge paling indah di antara nirwana-nirwana lainnya. Karena tempat ini sangat berbeda dengan desa Konoha, seperti mimpinya dulu sewaktu bertemu dengan wanita yang ia juluki si Mawar Merah. Atau jangan-jangan dia yang membawanya kemari?
Naruto juga merasakan secara fisik ada yang nadir dengan tubuhnya sendiri. Seperti lebih bertenaga dibandingkan yang kemarin-kemarin. Mungkin kalau ia paksakan; ia juga pasti bisa berjalan sekarang.
Dan foto ayahnya dengan wanita yang belum pernah ia lihat. Naruto tahu; Namikaze Minato, Hokage Keempat Konohagakure telah mati dan sebagian jiwanya ikut terkunci di dalam segel di perutnya. Kalau wanita di dalam foto ini adalah ibunya, lalu apakah tempat dan semua keanehan yang terjadinya pada dirinya ini ada hubungannya? Naruto masih harus mencari tahu.
“Naruto!”
Hampir saja Naruto menjatuhkan bingkai foto yang sedang ia genggam karena saking terkejutnya. Ia lalu menyedarkan pandangannya ke arah pintu yang terletak di samping kiri. Ada seorang wanita yang berdiri di sana dan tentunya ia sedikit mengenal sosok yang memanggilnya itu. “Ka-Kau…”
“Syukurlah kau sudah sadar.” Kushina lantas memeluk tubuh Naruto dengan erat.
Naruto jadi terheran-heran dibuatnya. Sebab wanita berambut merah itu menangis tersedu-sedu di pelukannya. Padahal ia baru tiga kali bertemu secara tatap muka dengan wanita misterius itu. Wanita yang tiba-tiba datang ke kehidupannya tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu saat ia masih terbaring lemah di rumah sakit Konoha.
Kushina lalu melepas pelukannya pada Naruto. Tersadar akan wajah bingung anaknya itu ketika menatapnya, ia pun segera menyeka airmatanya cepat-cepat.
“Kenapa menangis?” tanya Naruto kemudian dengan wajah polosnya.
Bola mata Kushina pun berputar. Ia mencari jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan anaknya yang sebenarnya biasa saja. Namun ia rasa; ia ingin secara perlahan memberi tahu rahasianya pada Naruto. Agar dia tidak terlalu kaget mengetahui semua rahasia yang telah terkubur hampir 17 tahun lamanya.
“A-Aku hanya terharu melihat kau sadar kembali. Kau tidak sadarkan diri selama dua minggu lebih.”
Naruto menatap mata scarlet Kushina lekat-lekat. “Kau menyelamatkan aku dari tangan Uchiha Madara?”
Kushina mengangguk bisu.
“Lalu ini dimana?” tanya Naruto lagi sembari melihat ke luar kamarnya. “Apa ini surga?”
Kushina tertawa kecil mendengarnya. “Bukan.” Ia mengusap pipi anak semata wayangnya itu secara perlahan. Tak lupa senyuman menawannya ia lontarkan pada pemuda yang sedang kehilangan jejak hidupnya selama ini. “Orang biasanya menyebut tempat ini sebagai Uzumakigakure.”
“Eh?”
“Selamat datang di Uzumakigakure, Naruto. Anakku,” ujar Kushina keceplosan. ia sontak menyadari kesalahan yang ia buat. Tanpa sadar ia mundur dua langkah dan menutup mulutnya dengan tangannya.
Naruto pun mematung seketika. Bingkai foto yang ia genggam lepas dari cengkramannya. Mata biru langitnya tidak bisa menjauh dari mata api milik wanita yang berada di depannya itu.
“Uzumakigakure? Ma-Maksudmu kau…”
Kushina mengatur nafasnya perlahan-lahan untuk menenangkan diri. Ia rasa memang tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. ia sudah siap dengan segala risiko yang mungkin akan terjadi nanti. “Ya, aku ibumu, Naruto. Saesa omentien lle (Senang bisa bertemu denganmu),” ujar Kushina sembari membelai lembut dagu Naruto.
Namun tiba-tiba Naruto memalingkan wajahnya dari Kushina. “I-Itu mustahil…,” ujarnya parau. “Apa maksudnya semua ini? Kenapa kau berbicara padaku dengan bahasa aneh seperti itu?” Emosinya mulai naik, ia sudah berkali-kali mengalami musibah yang hampir saja membuatnya menjadi manusia paling payah di jagat raya. Dan kini ada seorang wanita datang mengaku sebagai ibunya tanpa ada rasa dosa. Kalau memang ibunya masih hidup, lalu kemana saja dia selama ini? “Dari kecil aku hidup sendirian, aku tidak pernah tahu siapa orangtuaku sampai kemarin Hokage Keempat datang menemuiku, dan memberi tahu kalau aku ini anaknya.”
Kushina tercenung mendengarnya. “Kau bertemu dengan Minato?”
Naruto menatap kembali Kushina dengan airmuka yang tidak bisa ditebak. “Minato?”
Tatapan Kushina pun seketika melunak. “Ya, namanya Namikaze Minato, Hokage Keempat Konohagakure. Dia suamiku…”
“Lalu apa yang kau inginkan sebenarnya? Kalau aku ini anakmu, kemana saja kau dulu?” Naruto mulai naik pitam, ia sudah lelah dengan semua omong kosong ini. Ia perlu penerangan.
Kushina mulai panik, takut-takut Naruto tidak mempercayai kata-katanya dan membencinya seumur hidup. Ia tahu itu adalah risikonya, namun ia belum menyerah, “Naruto, kau harus menenangkan dirimu dulu supaya semuanya terdengar dengan jelas di telingamu.” Ia mencoba meyakinkan anaknya itu dengan meremas lembut tangannya.
“Kenapa wajahmu berbeda dengan yang terpampang foto ini? Apa kau ini makhluk ruang angkasa? Jadi ayahku menikah dengan makhluk dari luar angkasa?”
Pertanyaan Naruto semakin lama semakin ngaur. Kushina mengerti kalau seperti ini terus Naruto bisa memiliki penyakit kejiwaan akut. Ia harus bisa menjelaskan semua ini secara detail dari A hingga Z.
Kushina mengambil nafas sejenak, dalam keadaan seperti ini ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak cengeng. Memang itu tidaklah salah jika Naruto akan marah padanya. Namun yang terpenting sekarang ia harus bisa memberi tahu tentang leluhurnya sendiri, sehingga Naruto tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Kushina lantas menuju ke meja ruangan dan membuka lacinya; mengambil sebuah cermin dari sana. Ia kemudian menyodorkan cermin itu pada Naruto. “Lihatlah ke dalam cermin, Naruto. Apa kau merasa ada yang berbeda?”
Naruto dengan waswas memandang ke cermin yang memantulkan wajahnya sendiri. Dan seketika itu ia tak bisa berbicara apa-apa dalam waktu lima menit. Ia memperhatikan wajahnya yang jauh berbeda dengan biasanya. “Apa…Apa-apaan ini! Kenapa telingaku seperti telinga kelinci? Dimana kornea mataku? Dan…dan!! Sejak kapan rambutku seperti rambut Ero-sennin?” teriaknya setengah gila.
Naruto kaget setengah mati melihat wajahnya di cermin. Memang ia tampak lebih tampan seperti pangeran yang turun dari surga-loka. Tapi ia merasa risih karena ini bukanlah seperti dirinya.
Mata Naruto terlihat lebih tajam dari biasanya, azure berkerlip seakan ada jutaan bintang di dalamnya. Rambutnya yang seperti landak sedikit agak lebat. Di bagian paling bawah, rambut kuningnya memanjang tipis sampai ke pinggang. Dan daun telinganya menjadi sedikit runcing.
“Kenapa? Ada apa denganku sebenarnya…aku tak mengerti.” Naruto menutupi wajah linglungnya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menggenggam kedua tangannya.
“Naruto…kita adalah yousei. Ayahmu, Minato…dia memang manusia biasa. Tapi aku adalah yousei… Kau memiliki darah yousei dariku. Kekuatan tersembunyimu ini ikut tersegel ketika Minato menyegel Kyuubi di perutmu, sehingga kau tidak pernah tahu kekuatan itu.”
“Kekuatan yousei?” Naruto jadi tambah bingung. Ia tidak pernah mendengar apa dan siapa yousei itu.
“Sepertinya kau belum paham, tapi percuma saja jika aku berbicara. Kau mau ikut jalan-jalan denganku?”
Naruto memandangi Kushina dengan perasaan gundah. “Maksudmu bertamasya?”
Kushina tertawa pelan mendengarnya, anaknya ini mirip sekali seperti dirinya dulu waktu kecil, begitu polos lagi lugu. “Begitulah, aku akan membawa ke sebuah tempat, di mana semua masalah ini berawal.”
“Huh?”
“Kau ingin tahu ‘kan, alasan mengapa Uchiha Madara begitu ambisius mengumpulkan bijuu-bijuu? Semuanya ini ada permulaannya sendiri, yang mengantarkan dia menjadi orang yang paling mengerikan di dunia ini.”
Naruto hanya mengangguk pelan. Ia memang ingin sekali mengalahkan Madara, karena orang itulah yang menyebabkan semua kekacauan ini terjadi.
“Kau siap?” tanya Kushina lagi untuk memastikan.
“Aku tidak tahu; aku belum sepenuhnya mempercayai semua omonganmu.”
Kushina tersenyum, “Tidak apa-apa. Kau harus tahu siapa dirimu sebenarnya, Naruto. Aku tidak berbohong padamu.”
Naruto masih terlihat berpikir sejenak, namun akhirnya ia setuju. “Baiklah kalau begitu.”
Akhirnya Naruto memutuskan untuk mengikuti permintaan Kushina.
“Pejamkan matamu.”
Naruto sempat ragu, tapi ia tepis perasaan mencurigakan itu agar rasa ingin tahunya terjawab. Ia pun mengatupkan matanya secara perlahan.
Kushina lantas meletakkan telapak tangan kanannya ke kedua mata Naruto yang mengatup. Ia menyebutkan sebuah mantra kuno yang dulu sedikit ia pelajari dari mendiang ibunya. Tak berapa lama kemudian, ia meminta Naruto untuk membuka matanya lagi.
Naruto memperhatikan wilayah di sekitarnya yang suasananya sangat berbeda dengan ruangan yang ia tempati.
“Ini di mana?” tanya Naruto pada Kushina. Ia memperhatikan seluruh badannya yang kini telah memakai baju seperti seorang pertapa. Ia terkaget-kaget melihatnya. “Sejak kapan aku berganti baju?”
“Tidak usah diambil pusing, Naruto. Aku membawamu ke waktu seribu tahun lalu. Di sini kau akan mengetahui seluk-beluk leluhurmu. Oh ya, kau tahu? Klan Uzumaki dan Uchiha sebenarnya masih memiliki hubungan darah…”
“Eh? Aku baru saja mendengarnya darimu.”
Uchiha dan Uzumaki bersaudara? Lelucon apa lagi ini? Semua ini bak delusi bagi Naruto. Jangan-jangan ia sedang bermimpi atau terdampar di dimensi lain.
Kushina hanya menatap sedih Naruto. Anak semata wayangnya itu belum mau memanggilnya dengan kata ‘ibu’. Tapi ia mengerti Naruto membutuhkan untuk membuka tabir rahasia yang selama ini terselubung rapi. “Ayo, ikuti aku, Naruto. Kita akan memulai perjalanan.”
Kemudian terdengar suara berisik sekali di depan mereka. Naruto jadi penasaran dan segera berlari ke sana. “Ada apa ini? Perang, eh?”
Kushina segera menyusul anaknya dengan langkah santai.
Mereka kini berdiri di atas cekungan yang di dalamnya terdapat seorang sennin yang sedang betarung dengan Sembilan orang berpakaian serba hitam.
Naruto memicingkan matanya untuk menatap lebih jauh. Ia memperhatikan mata sang sennin. “Rinnegan…?”
“Ya, dia adalah Rikudou Sennin, Naruto. Kau pasti sudah mendengar tentang legendanya sedikit ‘kan?”
Naruto menggaruk pipinya. “Lalu dia bertarung dengan siapa? Aku tidak pernah melihat shinobi yang berpakaian hitam menyeramkan seperti itu.”
“Mereka bukan shinobi, Naruto…”
“Eh?”
“Mereka adalah Sembilan Iblis Berjubah Hitam…”
“I-Iblis…?”
.
0o0o0o0
.
Sore itu, Konoha terlihat lebih panas dari pada hari biasanya. Ini dikarenakan amukan Tsunade yang sejak tadi siang menjadi-jadi karena merasa tidak dihargai. Tak seharusnya Daimyou meragukan kredibilitasnya sebagai pemimpin desa Konoha.
Ia merasa dipermainkan dengan keputusan Daimyou yang menurutnya itu hanya untuk kepentingan pribadi. Bagaimana tidak? Keputusan yang seharusnya ada di tangannya malah diambil alih oleh pemimpin Negara Hi yang setengah kemayu itu. Walaupun Konoha berada di bawah kekuasaan Kerajaan Negara Hi, namun tak seharusnya Daimyou ikut campur persoalan desa. Daimyou yang dulu telah memberikan hak istimewa pada Konoha untuk melaksanakan sendiri sistem pemerintahannya
Bisa jadi karena ini disebabkan oleh faktor pencemaran nama baik. Tsunade hanya terheran-heran, masalah ini adalah masalah Konoha. Jadi tak seharusnya Daimyou jadi ikut-ikutan pusing menyelesaikan persoalan ini.
Tsunade pun akhirnya membawa paksa Sasuke keluar dari penjara Kerajaan Negara Hi yang tidak terlalu jauh dengan wilayah Konohagakure no sato. Tanpa meminta izin dahulu pada Daimyou, para penjaga penjara itu pun dibuatnya remuk-redam karena berusaha menghalangi jalannya.
Ia menarik kerah salah satu penjaga itu dengan amarah yang memuncak. “Bilang pada tuanmu, jangan seenaknya mengambil keputusan! Aku tidak sudi dia ikut campur masalah desa yang sama sekali tidak ada hubungan dengannya. Aku bisa bertindak lebih kasar lagi dari ini, mengerti?”
Penjaga penjara itu terlihat ketakutan dengan wajah garang Tsunade yang lebih menyeramkan dibanding dengan monster.
“Heh! Jawab aku!”
“Y-Ya, aku mengerti, Godaime-sama!” Penjaga itu saking ketakutannya sampai-sampai buang air di celana.
Tsunade hanya mencibir melihatnya. “Kau ini salah satu pasukan penjaga penjara Kerajaan, tapi mentalmu mental plastik.” Ia pun langsung segera menuju ke tempat Sasuke dengan leluasa. Empat orang Anbu mengekorinya dari belakang untuk sekedar menjaga.
Tsunade memperhatikan ke dalam ruangan penjara tempat di mana Sasuke dikurung. Keturunan terakhir Uchiha itu sedang tertidur rupanya. “Sasuke…bangun.”
Tsunade berusaha membangunkan Sasuke. Dilihatnya kelopak mata Sasuke yang terlihat bergerak, itu berarti si pengendali sharingan itu mendengar panggilannya. “Uchiha Sasuke!” teriak Tsunade pada akhirnya
Mata Sasuke pun terbuka seketika. Ia melihat kesana kemari seperti orang yang baru terbangun karena hipnotis. Dan ketika ia melihat ke jeruji besi yang menjadi penghalangnya untuk keluar; ia tak menyangka orang itu yang datang ke tempatnya. “Kau…”
“Sasuke, aku akan membawamu keluar dari sini,” bisik Tsunade. Ia kemudian mundur dua langkah, mengambil aba-aba sembari mengeluarkan sejumlah chakra ke kaki kanannya. “Tsutenkyakuu!!”
BLARRR!!!
Jeruji besi itu pun hancur seketika akibat tendangan dahsyat Tsunade.
Sasuke melindungi dirinya dengan menunduk ke tanah. Setelah merasa tak ada lagi serangan, ia menatap Tsunade lagi dengan airmuka tidak percaya. “Kenapa?” tanyanya dingin.
“Bukan di sini seharusnya kau berada. Kau masih bisa berjalan?”
Sasuke berusaha bangkit untuk berdiri sendiri. Tapi ia belum mampu melakukannya.
Tsunade tidak tinggal diam, ia memandang ke arah kanan dan tanpa sengaja menemukan kursi roda di pojok dinding. Ia pun meminta anak buahnya untuk membantu Sasuke duduk di atas kursi roda tersebut. Setelahnya mereka buru-buru keluar dari sana.
Tsunade tidak mau menahan diri lagi. Kali ini ia akan mempertahankan sebuah hal yang menurutnya itu benar. Ia yakin tidak salah dalam mengambil keputusan.
Mereka pun segera kembali ke Konoha.
Tsunade dan rombongannya pergi ke Menara Interogasi. Sesampainya di sana, ia langsung mengajak Sasuke ke lantai paling atas menara tersebut. Sasuke dibawa ke sebuah ruangan yang sedikit mirip dengan ruangan interogasi. Ia akan bertemu dengan seseorang yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
“Maaf Mengganggu,” ujar Tsunade sembari membuka pintu ruangan. Di dalam ternyata ada Ibiki, Shikamaru, Shikaku, Inoichi, dan…
“Sa-Sasuke-kun…!” teriak seseorang di antara mereka.
Ibiki cepat-cepat menahan tubuh gadis berambut merah itu agar tidak mendekat ke Sasuke. “Kau diam di sini,” ujarnya tegas.
“Karin,” bisik Sasuke. Dia tak menyangka teman setimnya di tim Hebi itu masih hidup. Padahal kemarin seingatnya ia telah membunuh gadis itu. Menjadikannya sebagai umpan untuk membunuh Danzou. Hal yang sebenarnya tidak mau ia ungkit-ungkit lagi di pikirannya.
Kemudian ia tidak pernah melihat Karin lagi setelah tragedi pertemuannya kembali dengan Tim Tujuh. Ternyata Konoha menangkapnya juga.
“Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Tsunade-sama?” tanya Shikamaru yang sesekali menatap Sasuke dengan tampang dingin. Ia tidak suka keturunan terakhir klan Uchiha itu berada di sini.
“Aku ingin Sasuke berada dalam pengawasan kalian, jangan biarkan Daimyou berbuat seenaknya lagi.”
Sasuke menatap Tsunade dengan airmuka datar, ia sudah mengetahui bahwa pada akhirnya ia akan tetap tinggal di penjara juga. Jadi ia nampak tenang saja menghadapi segala kesulitan ini.
“Baiklah, kalau begitu Sasuke akan ditempatkan di ruangan sebelah saja,” ujar Ibiki kemudian. “Kita perlu banyak informasi darinya tentang pembantain klan Uchiha yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.”
Sasuke terperanjat mendengarnya. Ia langsung menatap seluruh orang yang ada di dalam dengan perasaan nadir. Tiba-tiba kepalanya mendidih seketika karena hal mengerikan yang sangat ia benci itu diungkit-ungkit kembali. “Apa yang kalian inginkan sebenarnya?” tanyanya dengan nada geram.
Tatapan mata Tsunade kemudian melunak. Ia menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan Sasuke. “Dengar Sasuke, kami akan menyelidiki orang-orang yang terlibat dalam pembantaian klan Uchiha dan mengumpulkan bukti. Orang-orang yang terlibat itu akan kami adili,” jelasnya singkat.
Sasuke terkesiap. “Ba-Bagimana kalian bisa tahu?”
“Nanti aku akan menjelaskannya padamu,” jawab Tsunade. “Bagaimana pun klan Uchiha adalah bagian dari desa ini. Tanpa kalian desa ini tak akan pernah terbentuk,” ujarnya lagi sembari tersenyum. “Tapi kau tetap tidak akan lepas dari hukuman Sasuke. Kau akan mendapatkan hukuman yang sepantasnya kau dapatkan.” Raut wajah Tsunade berubah menjadi serius. “Namun aku menjamin, kau tidak akan dikenai hukuman mati. Karena itu bersikaplah kooperatif, dan jangan sia-siakan pengorbanan Naruto untukmu. Dia sudah membayarnya dengan nyawanya sendiri.”
“Naruto?” Sasuke bertanya-tanya lagi pada dirinya sendiri. Bagaimana Naruto bisa mengetahuinya? Padahal bercakap-cakap biasa pun tidak pernah mereka lakukan. Terlalu banyak konflik yang terjadi di antara mereka.
Tsunade menghembuskan nafas perlahan sembari bangkit berdiri. “Ngomong-ngomomg dimana Kakashi? Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya.” Ia menatap Shikamaru, menunggu untuk dijawab.
“Kebetulan seharian ini saya tidak bertemu dengannya, Tsunade-sama,” jawab Shikamaru.
“Ya, saya juga begitu. Mungkin saja dia masih berada di rumahnya, apa perlu saya susul?”
“Aneh… Tidak perlu, Inoichi. Nanti juga dia akan datang sendiri.” Tsunade terlihat berpikir lagi. Kakashi memang sering datang terlambat dengan alasan macam-macam yang terbilang aneh. Ah, sudahlah. Lagi pula Kakashi orang yang sangat bertanggung jawab meski kadang ia lamban melaksanakan tugasnya.
“Shikamaru,” panggil Tsunade.
“Hn?”
“Aku ingin kau mengantar Sasuke ke ruang sebelah, ruangan itu akan menjadi tempat tinggalnya untuk sementara waktu. Dan kau, Sasuke. Kau tak perlu khawatir, nanti aku akan meminta Ino atau Sakura untuk membantumu.”
“Hn.” Hanya itu yang Sasuke katakan pada Tsunade.
Shikamaru terlihat malas untuk mengantar Sasuke ke ruang tahanannya. Ia menggerutu, harusnya Sasuke ditempatkan di penjara bawah tanah, bukan di penjara lantai atas menara yang biasanya menjadi tempat pesakitan tahanan biasa.
Sementara Karin, ia hendak mengikuti kemana Sasuke dibawa pergi. Namun lagi-lagi Ibiki menahannya. “Tempatmu bukan di sana, Bocah. Sini! Aku akan mengantarmu ke penjara bawah tanah. Besok kami akan menginterogasimu lagi,” ucapnya sembari menarik paksa lengan Karin.
“Eh? Kalau begitu kenapa Sasuke tidak ditahan di ruangan bawah tanah juga?”
“Dia belum mengikuti persidangan, lagi pula semalaman ini dia akan diinterogasi habis-habisan oleh kami. Tapi tenang saja, nanti dia akan menyusulmu ke sana.” Ibiki berujar dengan nada yang sangat mengerikan. Seperti ingin memakan Karin hidup-hidup.
Karin sontak saja menunduk, tidak mau berdebat lagi dengan Ketua Tim Interogasi Konoha yang sangat sangar itu.
Time skip di kediaman Hatake.
Kakashi membuka matanya perlahan. Mata onyx-nya mengerjap, mencari sebuah cahaya untuk menelaah pemandangan samar-samar yang ada di depan matanya. Ia menyadari bahwa sekarang ia sedang berada di kamarnya sendiri dalam keadaan gelap. Ia ingin segera bangun dari rebahannya, namun tertahan karena ia merasakan tubuhnya sangat berat.
Kakashi pun berusaha mencari apa yang membuat tubuhnya berat begini dengan mata setengah tertutup. Ia meraba-raba bagian dadanya sendiri.
Rambut…
Sontak Kakashi membuka matanya lebar-lebar. Ia langsung menyadari siapa pemilik rambut ini yang tertidur dengan pulas di sampingnya. “Kurenai?” ujarnya keheranan. Ia segera berbaring kembali sambil mengingat-ingat apa yang ia lakukan sehingga mereka dalam posisi seperti ini.
Kakashi menyadari kalau tubuhnya dan tubuh Kurenai hanya terselubung oleh selimutnya saja tanpa sehelai benang pun. Kaki kanan Kurenai menghimpit kaki kirinya. Kepala istrinya itu juga berada di atas dada bidangnya. Ia jadi blushing sendiri mengingat kejadian tadi pagi menjelang siang. “Heh, aku lupa, aku dan Kurenai telah melakukannya,” ujarnya tersipu malu sembari mengusap rambut hitam Kurenai. “Sepertinya sudah malam ya?” Kakashi menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Tapi entah setan apa yang merasukinya, lantas ia seperti orang yang ingatannya kembali sehabis lupa ingatan selama bertahun-tahun.
“Eh? INI SUDAH MALAM!” teriaknya sembari bangkit tanpa mempedulikan Kurenai yang terpelanting ke sebelah kiri kasur karena tindakannya itu. Kakashi segera menyalakan lampu dan memakai baju jounin-nya dengan terburu-buru. Tak lupa ia memakai celananya pula.
Kurenai bangkit sembari menggerutu kesal. Ia memakai selimut Kakashi untuk menutupi tubuhnya. “Ada apa, Kakashi?”
“Ah, Kurenai. Maafkan aku, aku harus menghadap Tsunade-sama sekarang. Kemarin aku berjanji padanya untuk menemuinya di Menara Interogasi sore ini,” ujarnya dengan nada terburu-buru.
“Oh, begitu. Lain kali kau harus secara halus membangunkan aku, Kakashi. Aku nyaris jatuh ke lantai karena ulahmu,” ucap Kurenai ketus.
Kakashi segera mengambil hitae ate-nya dan mengaitkan pengikatnya di kepala. “Ya, maafkan aku, Sayang.” Ia pun mencium kening Kurenai. “Oh ya, kau ingin menginap di sini? Kemungkinan aku agak lama berada di sana.”
Kurenai pun segera beranjak dari tempat tidur, mengambil bajunya yang berserakan di lantai. “Sepertinya tidak, Kakashi. Aku ingin menjemput Hiruzen dulu. Nanti kunci aku taruh di pot bunga depan pintu rumahmu,” ujarnya, lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
“Baiklah, Kurenai. Ittekimasu!”
“Itterashai,” jawab Kurenai dari dalam kamar mandi.
Kakashi segera pergi menuju ke Menara Interogasi dengan sunshin, tanpa menyadari ia berpenampilan tidak seperti biasa di kesehariannya.
Bersambung…
Sembilan Iblis Berjubah Hitam? Sepertinya kurang menyeramkan ya? Hoho. Bingung nyari nama yang pas. Elven ambil dari LOTR The Nine itu lho, Ringwraiths aka Nazgul wkwkwkw *oke makin gila aja ceritaku ini*. Sasuke juga aku buat OOC banget hehe.
Semoga para pembaca masih sudi membaca fic abal bin gaje ini.
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. AU. OOC. Typos
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure.
Okelah langsung saja, selamat membaca :D
.
.
Chapter 5
Menguak Sejarah
.
.
Sai menuntun Sakura ke Monumen Kepahlawanan Konoha yang pagi itu nampak sepi. Karena biasa ramai pada saat hari libur. Anak-anak sering berlalu-lalang kemari hanya untuk menebar bunga. Sebagai bentuk terima kasih mereka, karena tanpa pahlawan-pahlawa shinobi itu mereka tidak akan pernah hadir ke dunia ini.
“Kita mau kemana, Sai?” tanya Sakura yang mulai tidak sabar. Bukan apa-apa, karena sebentar lagi jam kerjanya akan dimulai. Sebagai orang yang memiliki kedisiplinan tinggi ia tidak mau menjilat ludahnya sendiri.
“Sebentar lagi kok. Nah sampai!” teriak Sai girang.
Sakura menatap pemandangan di depannya. Mereka berdua berdiri di hadapan dahan tandus yang sudah lama tak berbunga.
“Lihat, Sakura-san. Dia mulai berbunga,” ucap Sai lagi sembari menunjuk ke ranting kecil dahan tersebut yang dipenuhi oleh kuncup-kuncup bunga. Salah satu dari kuncup tersebut ada yang membuka, menjadi bunga mekar kecil yang sebentar lagi akan tumbuh dengan indahnya.
Sakura lekas mengerti jenis pohon ini. Seperti nama dirinya, “Dahan bunga sakura?” tanyanya pada Sai.
Sai mengangguk sambil tersenyum padanya. “Ya, tempat favorit Naruto-kun.”
Sakura tercenung. Ia cukup tahu jika pohon ini sama sekali tidak bisa tumbuh subur di desa mereka karena faktor cuaca. Ia hanya sedikit heran, mengapa Naruto menyukai tanaman yang sepanjang tahun selalu layu ini. Tidak ada penduduk desa yang terlalau mempedulikan nasib dahan itu, dibiarkan begitu saja mungkin sampai dia menjadi gundul.
“Kau tahu, Sakura-san? Naruto-kun pernah mengatakannya padaku, jika ia menatap pohon ini dia selalu teringat pada dirimu…”
“Eh?” mata Sakura terbuka lebar mendengarnya, ia sama sekali tidak mengetahui ihwal itu.
“Pohon ini memang layu dan rapuh, Sakura-san. Tapi Naruto-kun selalu yakin, suatu saat nanti bunganya akan mekar. Kupu-kupu tak akan ragu lagi menari mengitarinya. Dia akan tersenyum seperti sedia kala. Lalu rakyat Konoha akan merawatnya karena sebenarnya ia terlalu indah untuk diterlantarkan.”
Sakura lagi-lagi tercenung dibuatnya. “Naruto mengatakan itu?”
Sai mengangguk pelan kemudian menunduk. “Sebelum hari Madara menyerang desa kita, ia memintaku untuk diantarkan kemari.”
Sakura menatap dahan itu lekat-lekat. Padahal dia benar-benar layu, mungkin tidak punya harapan lagi untuk tumbuh. Entah mengapa ada perasaan yang berdesir seketika di sanubari Sakura.
“Harapannya pada dahan sakura ini, ia juga harapkan terjadi pada dirimu, Sakura-san,” ucap Sai sembari tersenyum, namun bukan senyuman palsu yang dulu sering ia lontarkan pada siapa pun yang berbicara dengannya.
Sakura menatap Sai kembali dengan wajah syok, tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetaran.
“Naruto-kun melakukan semua hal ini karena dia berharap kau bisa tersenyum seperti dulu. Mekar dan tak pernah layu… Pernah kemarin dia melihatmu menangis di ruang inap Sasuke-kun dan hal itulah yang ia takutkan…”
Ninja medis itu memutar otak; ia tidak ingat kapan ia menangis di ruang inap Sasuke. Seketika itu juga ia menyadarinya. “Na-Naruto melihatku—”
“Waktu itu dia memaksaku untuk mengunjungi Sasuke-kun, karena aku tidak enak hati aku turuti saja kemauannya. Dan tak disangka-sangka kau juga ada di dalam, Sakura-san…”
Sakura hanya bisa memandangi tanah di bawahnya, ia tidak mengetahui kalau Naruto melihatnya pada waktu itu…
“Yang Naruto-kun takutkan, kau tidak akan tersenyum lagi jika Sasuke-kun meninggal dunia.”
Tiba-tiba tenggorokan Sakura tercekat di dalam, padahal kemarin-kemarin airmatanya sudah habis karena menangis semalaman. Dan kali ini ia akan menangis lagi…
“Jadi dia memutuskan untuk—”
“A-Aku mengetahuinya, Sai.”
“Huh?”
“Aku mengetahui jika Naruto ingin mendonorkan jantungnya untuk Sasuke-kun,” ucap Sakura terisak-isak, ia merengkuh baju di sekitar dadanya. “Padahal aku tidak pernah memintanya tapi dia begitu keras kepala…”
Sai terperanjat mendengarnya. “Kau tahu dari mana?”
Sakura tertunduk lesu sambil tersedu-sedu. “Surat yang ia tulis sebelum operasi dimulai… Dia pasti menitipkannya padamu… ya ‘kan? Tapi aku menemukannya lebih dulu.”
Mata onyx Sai terbuka lebar, ia mencoba membuka memorinya yang dulu. Ia sontak teringat dengan titipan Naruto setelah ia dan si ninja penuh kejutan nomor satu itu kembali dari tempat ini. Sai sempat dirawat hampir seminggu lebih di rumah sakit. Dan ia baru teringat akan surat itu sekarang.
Sai lantas mengatupkan matanya rapat-rapat. “Ah ya, aku ingat, Sakura-san. Sepertinya surat itu terjatuh pada saat aku sedang melawan Madara. Jadi tanpa sengaja kau menemukannya…”
Sakura hanya bisa terdiam di tempat di mana ia berpijak kini. Sembari terisak-isak, sebenarnya hatinya sangat pilu mengingat-ingat lagi isi surat itu. Pengakuan jujur dari seseorang terdekatnya yang kini entah di mana rimbanya berada. Andai semua dapat terulang kembali, namun mana ada manusia yang mampu membalikan waktu seperti semudah ia membalikan tangannya sendiri. Menyesal kini sudah tinggal tak berarti bukan? Karena penyesalan selalu datang belakangan.
Sakura mulai meratap. “Selalu saja begini, sejak dulu aku selalu gagal untuk menyelamatkan Naruto. Kadang aku berpikir, selama ini yang aku pelajari sia-sia. Aku—”
“Kalau begitu jadilah bunga mekar yang seperti Naruto-kun impikan.” Tiba-tiba Sai menyodorkan sesuatu pada Sakura.
Sakura memperhatikannya dengan linglung, “I-Ini…”
Sai mengangguk perlahan. “Hitae ate Naruto-kun… Kau mau menyimpannya ‘kan, Sakura-san? Naruto-kun tidak pergi kemana-mana. Dia ada di hati kita semua dan juga di hatimu… Yang paling penting adalah perasaanmu terhadapnya, bukan seberapa besar hal yang bisa kau lakukan untuk Naruto-kun.”
Kata-kata itu… Sakura masih mengingatnya. Rentetan kalimat yang pernah Yamato-taichou ucapkan juga padanya. Mengapa hal itu bisa ia lupakan?
Tanpa pikir panjang, Sakura pun mengambil hitae ate milik Naruto yang tidak dibawa pergi oleh tuannya. Karena dulu pemiliknya berpikir, bahwa dia tidak akan bisa memakai simbol anggota shinobi Konohagakure no sato itu lagi. Padahal takdir yang bergulir rupanya berkehendak lain, mungkin saja si pemilik hitae ate tersebut bisa kembali ke desanya.
“Aitakutte, Naruto (Aku merindukanmu, Naruto),” ujar Sakura sembari mengusap hitae ate itu ke pipinya yang basah karena airmatanya sendiri. Dan Sakura akan menjaga benda itu agar tetap ada dengan segenap kekuatan yang ia miliki, sampai pemiliknya pulang ke haribaannya.
Time skip Uzumakigakure.
Kushina jadi kalap, ia lupa kalau bangunan utama rumah besar Uzumakigakure dengan tempat Naruto itu lumayan jauh. Tapi kemampuan yousei salah satunya adalah mampu berlari cepat tanpa berhenti selama 24 jam dikarenakan tubuhnya yang sangat ringan. Walau di kesehariannya, mereka lebih senang berkuda dibandingkan dengan berjalan kaki.
Ia pun terus berlari tanpa memperhatikan daerah sekitarnya. Baju miko-nya yang menjelujur panjang ke bawah itu pun jadi melayang-layang akibat larinya yang sangat kencang itu.
Sedangkan Naruto, ia masih bingung dengan keadaan di sekelilingnya. Ia berpikir jangan-jangan ia memang sudah mati dan sekarang berada di nirwana tingkat tujuh yang konon katanya surge paling indah di antara nirwana-nirwana lainnya. Karena tempat ini sangat berbeda dengan desa Konoha, seperti mimpinya dulu sewaktu bertemu dengan wanita yang ia juluki si Mawar Merah. Atau jangan-jangan dia yang membawanya kemari?
Naruto juga merasakan secara fisik ada yang nadir dengan tubuhnya sendiri. Seperti lebih bertenaga dibandingkan yang kemarin-kemarin. Mungkin kalau ia paksakan; ia juga pasti bisa berjalan sekarang.
Dan foto ayahnya dengan wanita yang belum pernah ia lihat. Naruto tahu; Namikaze Minato, Hokage Keempat Konohagakure telah mati dan sebagian jiwanya ikut terkunci di dalam segel di perutnya. Kalau wanita di dalam foto ini adalah ibunya, lalu apakah tempat dan semua keanehan yang terjadinya pada dirinya ini ada hubungannya? Naruto masih harus mencari tahu.
“Naruto!”
Hampir saja Naruto menjatuhkan bingkai foto yang sedang ia genggam karena saking terkejutnya. Ia lalu menyedarkan pandangannya ke arah pintu yang terletak di samping kiri. Ada seorang wanita yang berdiri di sana dan tentunya ia sedikit mengenal sosok yang memanggilnya itu. “Ka-Kau…”
“Syukurlah kau sudah sadar.” Kushina lantas memeluk tubuh Naruto dengan erat.
Naruto jadi terheran-heran dibuatnya. Sebab wanita berambut merah itu menangis tersedu-sedu di pelukannya. Padahal ia baru tiga kali bertemu secara tatap muka dengan wanita misterius itu. Wanita yang tiba-tiba datang ke kehidupannya tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu saat ia masih terbaring lemah di rumah sakit Konoha.
Kushina lalu melepas pelukannya pada Naruto. Tersadar akan wajah bingung anaknya itu ketika menatapnya, ia pun segera menyeka airmatanya cepat-cepat.
“Kenapa menangis?” tanya Naruto kemudian dengan wajah polosnya.
Bola mata Kushina pun berputar. Ia mencari jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan anaknya yang sebenarnya biasa saja. Namun ia rasa; ia ingin secara perlahan memberi tahu rahasianya pada Naruto. Agar dia tidak terlalu kaget mengetahui semua rahasia yang telah terkubur hampir 17 tahun lamanya.
“A-Aku hanya terharu melihat kau sadar kembali. Kau tidak sadarkan diri selama dua minggu lebih.”
Naruto menatap mata scarlet Kushina lekat-lekat. “Kau menyelamatkan aku dari tangan Uchiha Madara?”
Kushina mengangguk bisu.
“Lalu ini dimana?” tanya Naruto lagi sembari melihat ke luar kamarnya. “Apa ini surga?”
Kushina tertawa kecil mendengarnya. “Bukan.” Ia mengusap pipi anak semata wayangnya itu secara perlahan. Tak lupa senyuman menawannya ia lontarkan pada pemuda yang sedang kehilangan jejak hidupnya selama ini. “Orang biasanya menyebut tempat ini sebagai Uzumakigakure.”
“Eh?”
“Selamat datang di Uzumakigakure, Naruto. Anakku,” ujar Kushina keceplosan. ia sontak menyadari kesalahan yang ia buat. Tanpa sadar ia mundur dua langkah dan menutup mulutnya dengan tangannya.
Naruto pun mematung seketika. Bingkai foto yang ia genggam lepas dari cengkramannya. Mata biru langitnya tidak bisa menjauh dari mata api milik wanita yang berada di depannya itu.
“Uzumakigakure? Ma-Maksudmu kau…”
Kushina mengatur nafasnya perlahan-lahan untuk menenangkan diri. Ia rasa memang tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. ia sudah siap dengan segala risiko yang mungkin akan terjadi nanti. “Ya, aku ibumu, Naruto. Saesa omentien lle (Senang bisa bertemu denganmu),” ujar Kushina sembari membelai lembut dagu Naruto.
Namun tiba-tiba Naruto memalingkan wajahnya dari Kushina. “I-Itu mustahil…,” ujarnya parau. “Apa maksudnya semua ini? Kenapa kau berbicara padaku dengan bahasa aneh seperti itu?” Emosinya mulai naik, ia sudah berkali-kali mengalami musibah yang hampir saja membuatnya menjadi manusia paling payah di jagat raya. Dan kini ada seorang wanita datang mengaku sebagai ibunya tanpa ada rasa dosa. Kalau memang ibunya masih hidup, lalu kemana saja dia selama ini? “Dari kecil aku hidup sendirian, aku tidak pernah tahu siapa orangtuaku sampai kemarin Hokage Keempat datang menemuiku, dan memberi tahu kalau aku ini anaknya.”
Kushina tercenung mendengarnya. “Kau bertemu dengan Minato?”
Naruto menatap kembali Kushina dengan airmuka yang tidak bisa ditebak. “Minato?”
Tatapan Kushina pun seketika melunak. “Ya, namanya Namikaze Minato, Hokage Keempat Konohagakure. Dia suamiku…”
“Lalu apa yang kau inginkan sebenarnya? Kalau aku ini anakmu, kemana saja kau dulu?” Naruto mulai naik pitam, ia sudah lelah dengan semua omong kosong ini. Ia perlu penerangan.
Kushina mulai panik, takut-takut Naruto tidak mempercayai kata-katanya dan membencinya seumur hidup. Ia tahu itu adalah risikonya, namun ia belum menyerah, “Naruto, kau harus menenangkan dirimu dulu supaya semuanya terdengar dengan jelas di telingamu.” Ia mencoba meyakinkan anaknya itu dengan meremas lembut tangannya.
“Kenapa wajahmu berbeda dengan yang terpampang foto ini? Apa kau ini makhluk ruang angkasa? Jadi ayahku menikah dengan makhluk dari luar angkasa?”
Pertanyaan Naruto semakin lama semakin ngaur. Kushina mengerti kalau seperti ini terus Naruto bisa memiliki penyakit kejiwaan akut. Ia harus bisa menjelaskan semua ini secara detail dari A hingga Z.
Kushina mengambil nafas sejenak, dalam keadaan seperti ini ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak cengeng. Memang itu tidaklah salah jika Naruto akan marah padanya. Namun yang terpenting sekarang ia harus bisa memberi tahu tentang leluhurnya sendiri, sehingga Naruto tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Kushina lantas menuju ke meja ruangan dan membuka lacinya; mengambil sebuah cermin dari sana. Ia kemudian menyodorkan cermin itu pada Naruto. “Lihatlah ke dalam cermin, Naruto. Apa kau merasa ada yang berbeda?”
Naruto dengan waswas memandang ke cermin yang memantulkan wajahnya sendiri. Dan seketika itu ia tak bisa berbicara apa-apa dalam waktu lima menit. Ia memperhatikan wajahnya yang jauh berbeda dengan biasanya. “Apa…Apa-apaan ini! Kenapa telingaku seperti telinga kelinci? Dimana kornea mataku? Dan…dan!! Sejak kapan rambutku seperti rambut Ero-sennin?” teriaknya setengah gila.
Naruto kaget setengah mati melihat wajahnya di cermin. Memang ia tampak lebih tampan seperti pangeran yang turun dari surga-loka. Tapi ia merasa risih karena ini bukanlah seperti dirinya.
Mata Naruto terlihat lebih tajam dari biasanya, azure berkerlip seakan ada jutaan bintang di dalamnya. Rambutnya yang seperti landak sedikit agak lebat. Di bagian paling bawah, rambut kuningnya memanjang tipis sampai ke pinggang. Dan daun telinganya menjadi sedikit runcing.
“Kenapa? Ada apa denganku sebenarnya…aku tak mengerti.” Naruto menutupi wajah linglungnya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menggenggam kedua tangannya.
“Naruto…kita adalah yousei. Ayahmu, Minato…dia memang manusia biasa. Tapi aku adalah yousei… Kau memiliki darah yousei dariku. Kekuatan tersembunyimu ini ikut tersegel ketika Minato menyegel Kyuubi di perutmu, sehingga kau tidak pernah tahu kekuatan itu.”
“Kekuatan yousei?” Naruto jadi tambah bingung. Ia tidak pernah mendengar apa dan siapa yousei itu.
“Sepertinya kau belum paham, tapi percuma saja jika aku berbicara. Kau mau ikut jalan-jalan denganku?”
Naruto memandangi Kushina dengan perasaan gundah. “Maksudmu bertamasya?”
Kushina tertawa pelan mendengarnya, anaknya ini mirip sekali seperti dirinya dulu waktu kecil, begitu polos lagi lugu. “Begitulah, aku akan membawa ke sebuah tempat, di mana semua masalah ini berawal.”
“Huh?”
“Kau ingin tahu ‘kan, alasan mengapa Uchiha Madara begitu ambisius mengumpulkan bijuu-bijuu? Semuanya ini ada permulaannya sendiri, yang mengantarkan dia menjadi orang yang paling mengerikan di dunia ini.”
Naruto hanya mengangguk pelan. Ia memang ingin sekali mengalahkan Madara, karena orang itulah yang menyebabkan semua kekacauan ini terjadi.
“Kau siap?” tanya Kushina lagi untuk memastikan.
“Aku tidak tahu; aku belum sepenuhnya mempercayai semua omonganmu.”
Kushina tersenyum, “Tidak apa-apa. Kau harus tahu siapa dirimu sebenarnya, Naruto. Aku tidak berbohong padamu.”
Naruto masih terlihat berpikir sejenak, namun akhirnya ia setuju. “Baiklah kalau begitu.”
Akhirnya Naruto memutuskan untuk mengikuti permintaan Kushina.
“Pejamkan matamu.”
Naruto sempat ragu, tapi ia tepis perasaan mencurigakan itu agar rasa ingin tahunya terjawab. Ia pun mengatupkan matanya secara perlahan.
Kushina lantas meletakkan telapak tangan kanannya ke kedua mata Naruto yang mengatup. Ia menyebutkan sebuah mantra kuno yang dulu sedikit ia pelajari dari mendiang ibunya. Tak berapa lama kemudian, ia meminta Naruto untuk membuka matanya lagi.
Naruto memperhatikan wilayah di sekitarnya yang suasananya sangat berbeda dengan ruangan yang ia tempati.
“Ini di mana?” tanya Naruto pada Kushina. Ia memperhatikan seluruh badannya yang kini telah memakai baju seperti seorang pertapa. Ia terkaget-kaget melihatnya. “Sejak kapan aku berganti baju?”
“Tidak usah diambil pusing, Naruto. Aku membawamu ke waktu seribu tahun lalu. Di sini kau akan mengetahui seluk-beluk leluhurmu. Oh ya, kau tahu? Klan Uzumaki dan Uchiha sebenarnya masih memiliki hubungan darah…”
“Eh? Aku baru saja mendengarnya darimu.”
Uchiha dan Uzumaki bersaudara? Lelucon apa lagi ini? Semua ini bak delusi bagi Naruto. Jangan-jangan ia sedang bermimpi atau terdampar di dimensi lain.
Kushina hanya menatap sedih Naruto. Anak semata wayangnya itu belum mau memanggilnya dengan kata ‘ibu’. Tapi ia mengerti Naruto membutuhkan untuk membuka tabir rahasia yang selama ini terselubung rapi. “Ayo, ikuti aku, Naruto. Kita akan memulai perjalanan.”
Kemudian terdengar suara berisik sekali di depan mereka. Naruto jadi penasaran dan segera berlari ke sana. “Ada apa ini? Perang, eh?”
Kushina segera menyusul anaknya dengan langkah santai.
Mereka kini berdiri di atas cekungan yang di dalamnya terdapat seorang sennin yang sedang betarung dengan Sembilan orang berpakaian serba hitam.
Naruto memicingkan matanya untuk menatap lebih jauh. Ia memperhatikan mata sang sennin. “Rinnegan…?”
“Ya, dia adalah Rikudou Sennin, Naruto. Kau pasti sudah mendengar tentang legendanya sedikit ‘kan?”
Naruto menggaruk pipinya. “Lalu dia bertarung dengan siapa? Aku tidak pernah melihat shinobi yang berpakaian hitam menyeramkan seperti itu.”
“Mereka bukan shinobi, Naruto…”
“Eh?”
“Mereka adalah Sembilan Iblis Berjubah Hitam…”
“I-Iblis…?”
.
0o0o0o0
.
Sore itu, Konoha terlihat lebih panas dari pada hari biasanya. Ini dikarenakan amukan Tsunade yang sejak tadi siang menjadi-jadi karena merasa tidak dihargai. Tak seharusnya Daimyou meragukan kredibilitasnya sebagai pemimpin desa Konoha.
Ia merasa dipermainkan dengan keputusan Daimyou yang menurutnya itu hanya untuk kepentingan pribadi. Bagaimana tidak? Keputusan yang seharusnya ada di tangannya malah diambil alih oleh pemimpin Negara Hi yang setengah kemayu itu. Walaupun Konoha berada di bawah kekuasaan Kerajaan Negara Hi, namun tak seharusnya Daimyou ikut campur persoalan desa. Daimyou yang dulu telah memberikan hak istimewa pada Konoha untuk melaksanakan sendiri sistem pemerintahannya
Bisa jadi karena ini disebabkan oleh faktor pencemaran nama baik. Tsunade hanya terheran-heran, masalah ini adalah masalah Konoha. Jadi tak seharusnya Daimyou jadi ikut-ikutan pusing menyelesaikan persoalan ini.
Tsunade pun akhirnya membawa paksa Sasuke keluar dari penjara Kerajaan Negara Hi yang tidak terlalu jauh dengan wilayah Konohagakure no sato. Tanpa meminta izin dahulu pada Daimyou, para penjaga penjara itu pun dibuatnya remuk-redam karena berusaha menghalangi jalannya.
Ia menarik kerah salah satu penjaga itu dengan amarah yang memuncak. “Bilang pada tuanmu, jangan seenaknya mengambil keputusan! Aku tidak sudi dia ikut campur masalah desa yang sama sekali tidak ada hubungan dengannya. Aku bisa bertindak lebih kasar lagi dari ini, mengerti?”
Penjaga penjara itu terlihat ketakutan dengan wajah garang Tsunade yang lebih menyeramkan dibanding dengan monster.
“Heh! Jawab aku!”
“Y-Ya, aku mengerti, Godaime-sama!” Penjaga itu saking ketakutannya sampai-sampai buang air di celana.
Tsunade hanya mencibir melihatnya. “Kau ini salah satu pasukan penjaga penjara Kerajaan, tapi mentalmu mental plastik.” Ia pun langsung segera menuju ke tempat Sasuke dengan leluasa. Empat orang Anbu mengekorinya dari belakang untuk sekedar menjaga.
Tsunade memperhatikan ke dalam ruangan penjara tempat di mana Sasuke dikurung. Keturunan terakhir Uchiha itu sedang tertidur rupanya. “Sasuke…bangun.”
Tsunade berusaha membangunkan Sasuke. Dilihatnya kelopak mata Sasuke yang terlihat bergerak, itu berarti si pengendali sharingan itu mendengar panggilannya. “Uchiha Sasuke!” teriak Tsunade pada akhirnya
Mata Sasuke pun terbuka seketika. Ia melihat kesana kemari seperti orang yang baru terbangun karena hipnotis. Dan ketika ia melihat ke jeruji besi yang menjadi penghalangnya untuk keluar; ia tak menyangka orang itu yang datang ke tempatnya. “Kau…”
“Sasuke, aku akan membawamu keluar dari sini,” bisik Tsunade. Ia kemudian mundur dua langkah, mengambil aba-aba sembari mengeluarkan sejumlah chakra ke kaki kanannya. “Tsutenkyakuu!!”
BLARRR!!!
Jeruji besi itu pun hancur seketika akibat tendangan dahsyat Tsunade.
Sasuke melindungi dirinya dengan menunduk ke tanah. Setelah merasa tak ada lagi serangan, ia menatap Tsunade lagi dengan airmuka tidak percaya. “Kenapa?” tanyanya dingin.
“Bukan di sini seharusnya kau berada. Kau masih bisa berjalan?”
Sasuke berusaha bangkit untuk berdiri sendiri. Tapi ia belum mampu melakukannya.
Tsunade tidak tinggal diam, ia memandang ke arah kanan dan tanpa sengaja menemukan kursi roda di pojok dinding. Ia pun meminta anak buahnya untuk membantu Sasuke duduk di atas kursi roda tersebut. Setelahnya mereka buru-buru keluar dari sana.
Tsunade tidak mau menahan diri lagi. Kali ini ia akan mempertahankan sebuah hal yang menurutnya itu benar. Ia yakin tidak salah dalam mengambil keputusan.
Mereka pun segera kembali ke Konoha.
Tsunade dan rombongannya pergi ke Menara Interogasi. Sesampainya di sana, ia langsung mengajak Sasuke ke lantai paling atas menara tersebut. Sasuke dibawa ke sebuah ruangan yang sedikit mirip dengan ruangan interogasi. Ia akan bertemu dengan seseorang yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
“Maaf Mengganggu,” ujar Tsunade sembari membuka pintu ruangan. Di dalam ternyata ada Ibiki, Shikamaru, Shikaku, Inoichi, dan…
“Sa-Sasuke-kun…!” teriak seseorang di antara mereka.
Ibiki cepat-cepat menahan tubuh gadis berambut merah itu agar tidak mendekat ke Sasuke. “Kau diam di sini,” ujarnya tegas.
“Karin,” bisik Sasuke. Dia tak menyangka teman setimnya di tim Hebi itu masih hidup. Padahal kemarin seingatnya ia telah membunuh gadis itu. Menjadikannya sebagai umpan untuk membunuh Danzou. Hal yang sebenarnya tidak mau ia ungkit-ungkit lagi di pikirannya.
Kemudian ia tidak pernah melihat Karin lagi setelah tragedi pertemuannya kembali dengan Tim Tujuh. Ternyata Konoha menangkapnya juga.
“Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Tsunade-sama?” tanya Shikamaru yang sesekali menatap Sasuke dengan tampang dingin. Ia tidak suka keturunan terakhir klan Uchiha itu berada di sini.
“Aku ingin Sasuke berada dalam pengawasan kalian, jangan biarkan Daimyou berbuat seenaknya lagi.”
Sasuke menatap Tsunade dengan airmuka datar, ia sudah mengetahui bahwa pada akhirnya ia akan tetap tinggal di penjara juga. Jadi ia nampak tenang saja menghadapi segala kesulitan ini.
“Baiklah, kalau begitu Sasuke akan ditempatkan di ruangan sebelah saja,” ujar Ibiki kemudian. “Kita perlu banyak informasi darinya tentang pembantain klan Uchiha yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.”
Sasuke terperanjat mendengarnya. Ia langsung menatap seluruh orang yang ada di dalam dengan perasaan nadir. Tiba-tiba kepalanya mendidih seketika karena hal mengerikan yang sangat ia benci itu diungkit-ungkit kembali. “Apa yang kalian inginkan sebenarnya?” tanyanya dengan nada geram.
Tatapan mata Tsunade kemudian melunak. Ia menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan Sasuke. “Dengar Sasuke, kami akan menyelidiki orang-orang yang terlibat dalam pembantaian klan Uchiha dan mengumpulkan bukti. Orang-orang yang terlibat itu akan kami adili,” jelasnya singkat.
Sasuke terkesiap. “Ba-Bagimana kalian bisa tahu?”
“Nanti aku akan menjelaskannya padamu,” jawab Tsunade. “Bagaimana pun klan Uchiha adalah bagian dari desa ini. Tanpa kalian desa ini tak akan pernah terbentuk,” ujarnya lagi sembari tersenyum. “Tapi kau tetap tidak akan lepas dari hukuman Sasuke. Kau akan mendapatkan hukuman yang sepantasnya kau dapatkan.” Raut wajah Tsunade berubah menjadi serius. “Namun aku menjamin, kau tidak akan dikenai hukuman mati. Karena itu bersikaplah kooperatif, dan jangan sia-siakan pengorbanan Naruto untukmu. Dia sudah membayarnya dengan nyawanya sendiri.”
“Naruto?” Sasuke bertanya-tanya lagi pada dirinya sendiri. Bagaimana Naruto bisa mengetahuinya? Padahal bercakap-cakap biasa pun tidak pernah mereka lakukan. Terlalu banyak konflik yang terjadi di antara mereka.
Tsunade menghembuskan nafas perlahan sembari bangkit berdiri. “Ngomong-ngomomg dimana Kakashi? Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya.” Ia menatap Shikamaru, menunggu untuk dijawab.
“Kebetulan seharian ini saya tidak bertemu dengannya, Tsunade-sama,” jawab Shikamaru.
“Ya, saya juga begitu. Mungkin saja dia masih berada di rumahnya, apa perlu saya susul?”
“Aneh… Tidak perlu, Inoichi. Nanti juga dia akan datang sendiri.” Tsunade terlihat berpikir lagi. Kakashi memang sering datang terlambat dengan alasan macam-macam yang terbilang aneh. Ah, sudahlah. Lagi pula Kakashi orang yang sangat bertanggung jawab meski kadang ia lamban melaksanakan tugasnya.
“Shikamaru,” panggil Tsunade.
“Hn?”
“Aku ingin kau mengantar Sasuke ke ruang sebelah, ruangan itu akan menjadi tempat tinggalnya untuk sementara waktu. Dan kau, Sasuke. Kau tak perlu khawatir, nanti aku akan meminta Ino atau Sakura untuk membantumu.”
“Hn.” Hanya itu yang Sasuke katakan pada Tsunade.
Shikamaru terlihat malas untuk mengantar Sasuke ke ruang tahanannya. Ia menggerutu, harusnya Sasuke ditempatkan di penjara bawah tanah, bukan di penjara lantai atas menara yang biasanya menjadi tempat pesakitan tahanan biasa.
Sementara Karin, ia hendak mengikuti kemana Sasuke dibawa pergi. Namun lagi-lagi Ibiki menahannya. “Tempatmu bukan di sana, Bocah. Sini! Aku akan mengantarmu ke penjara bawah tanah. Besok kami akan menginterogasimu lagi,” ucapnya sembari menarik paksa lengan Karin.
“Eh? Kalau begitu kenapa Sasuke tidak ditahan di ruangan bawah tanah juga?”
“Dia belum mengikuti persidangan, lagi pula semalaman ini dia akan diinterogasi habis-habisan oleh kami. Tapi tenang saja, nanti dia akan menyusulmu ke sana.” Ibiki berujar dengan nada yang sangat mengerikan. Seperti ingin memakan Karin hidup-hidup.
Karin sontak saja menunduk, tidak mau berdebat lagi dengan Ketua Tim Interogasi Konoha yang sangat sangar itu.
Time skip di kediaman Hatake.
Kakashi membuka matanya perlahan. Mata onyx-nya mengerjap, mencari sebuah cahaya untuk menelaah pemandangan samar-samar yang ada di depan matanya. Ia menyadari bahwa sekarang ia sedang berada di kamarnya sendiri dalam keadaan gelap. Ia ingin segera bangun dari rebahannya, namun tertahan karena ia merasakan tubuhnya sangat berat.
Kakashi pun berusaha mencari apa yang membuat tubuhnya berat begini dengan mata setengah tertutup. Ia meraba-raba bagian dadanya sendiri.
Rambut…
Sontak Kakashi membuka matanya lebar-lebar. Ia langsung menyadari siapa pemilik rambut ini yang tertidur dengan pulas di sampingnya. “Kurenai?” ujarnya keheranan. Ia segera berbaring kembali sambil mengingat-ingat apa yang ia lakukan sehingga mereka dalam posisi seperti ini.
Kakashi menyadari kalau tubuhnya dan tubuh Kurenai hanya terselubung oleh selimutnya saja tanpa sehelai benang pun. Kaki kanan Kurenai menghimpit kaki kirinya. Kepala istrinya itu juga berada di atas dada bidangnya. Ia jadi blushing sendiri mengingat kejadian tadi pagi menjelang siang. “Heh, aku lupa, aku dan Kurenai telah melakukannya,” ujarnya tersipu malu sembari mengusap rambut hitam Kurenai. “Sepertinya sudah malam ya?” Kakashi menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Tapi entah setan apa yang merasukinya, lantas ia seperti orang yang ingatannya kembali sehabis lupa ingatan selama bertahun-tahun.
“Eh? INI SUDAH MALAM!” teriaknya sembari bangkit tanpa mempedulikan Kurenai yang terpelanting ke sebelah kiri kasur karena tindakannya itu. Kakashi segera menyalakan lampu dan memakai baju jounin-nya dengan terburu-buru. Tak lupa ia memakai celananya pula.
Kurenai bangkit sembari menggerutu kesal. Ia memakai selimut Kakashi untuk menutupi tubuhnya. “Ada apa, Kakashi?”
“Ah, Kurenai. Maafkan aku, aku harus menghadap Tsunade-sama sekarang. Kemarin aku berjanji padanya untuk menemuinya di Menara Interogasi sore ini,” ujarnya dengan nada terburu-buru.
“Oh, begitu. Lain kali kau harus secara halus membangunkan aku, Kakashi. Aku nyaris jatuh ke lantai karena ulahmu,” ucap Kurenai ketus.
Kakashi segera mengambil hitae ate-nya dan mengaitkan pengikatnya di kepala. “Ya, maafkan aku, Sayang.” Ia pun mencium kening Kurenai. “Oh ya, kau ingin menginap di sini? Kemungkinan aku agak lama berada di sana.”
Kurenai pun segera beranjak dari tempat tidur, mengambil bajunya yang berserakan di lantai. “Sepertinya tidak, Kakashi. Aku ingin menjemput Hiruzen dulu. Nanti kunci aku taruh di pot bunga depan pintu rumahmu,” ujarnya, lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
“Baiklah, Kurenai. Ittekimasu!”
“Itterashai,” jawab Kurenai dari dalam kamar mandi.
Kakashi segera pergi menuju ke Menara Interogasi dengan sunshin, tanpa menyadari ia berpenampilan tidak seperti biasa di kesehariannya.
Bersambung…
Sembilan Iblis Berjubah Hitam? Sepertinya kurang menyeramkan ya? Hoho. Bingung nyari nama yang pas. Elven ambil dari LOTR The Nine itu lho, Ringwraiths aka Nazgul wkwkwkw *oke makin gila aja ceritaku ini*. Sasuke juga aku buat OOC banget hehe.
Semoga para pembaca masih sudi membaca fic abal bin gaje ini.
Wrote by PrettyAngelia