BINTANG DAN CAHAYANYA: BAB 1

Assalammu’alaykum, Readers! :D
Ini adalah bab 1 dari draft novel pertama yang saya buat yang tadinya berjudul ASTERALINA, saya ganti dengan BINTANG DAN CAHAYANYA.
Ceritanya agak realistic fiction, Alhamdulillah sudah terbit di toko buku dan diterbitkan oleh Elex Media Komputindo
1
Seandainya
           
Pagi itu kembali. Membiaskan semburat cerah namun menenangkan. Nyanyian burung-burung terdengar ramah menyambutnya dengan sukacita. Namun, di dalam sebuah rumah minimalis, yang berada di komplek rumah sederhana Perumahan Bumi Menggugah, seorang cewek berumur 16 tahun masih betah menempel di atas kasur kesayangannya. Molor.
Rambut sebahunya kusut masai beradu dengan bantal. Wajahnya yang oriental seperti perempuan keturunan Tionghoa yang bermukim di sekitaran Yunnan, berlumuran air liur di kedua pipi putihnya. Ia memiliki tubuh kerempeng, namun agak gembil di bagian pipinya itu. Sudah tidak jelas yang dikenakannya itu pakaian tidur atau karung goni sehabis kena pilin. Selimutnya entah sejak kapan tergeletak di lantai. Posisi tidurnya pun nyaris ke bibir tempat tidur.
Namanya Alina Lovita Wahab. Biasa dipanggil Alin. Ia sedang hanyut dalam dunia mimpi penuh fantasi. Berpetualang di alam bawah sadar yang sebenarnya tidak indah sama sekali. Mimpi dikejar ratusan tentara zombie di kegelapan hutan belantara. Mencekam sudah pasti, seramnya pun tak perlu ditanya lagi.
Namun, Alin tampak asyik dalam lelapnya. Tak ada wajah tegang, apalagi ekspresi kengerian. Ia malah sering cengengesan sendiri. Dasar gila!
Mungkin karena ini adalah hari Minggu, hari bermalas-malasannya sejuta umat, sehingga ia tidak peduli bakal bangun lebih siang dari hari biasanya; melanjutkan tidur sesuka hati walau ada yang bakal mengusik nanti. Terlebih adegan di mimpi itu nyaris sama dengan game yang sering ia mainkan bersama Gita, sahabat sehidup sematinya.
Suasana di rumah sederhana bertingkat dua itu masih terjerembab sunyi, hanya terdengar kesibukan Bunda di dapur. Itu pun hanya suara hentakan bertalu pisau di atas talenan.
Sementara itu, di sebelah tempat tidur Alin, berdiri Aster, adik semata wayang Alin. Setiap hari ia bangun pada pukul lima pagi. Pasti. Tidak pernah terlambat sekali pun! Ia sudah siap dengan jaketnya yang memiliki penutup kepala berbentuk kepala beruang kutub. Mata beruang yang sipit menyembul dari atas kepala kecil Aster. Mengenakan jaket itu membuatnya semakin menggemaskan.
Aster memiliki postur tubuh yang kecil. Terlihat lebih kurus dari rata-rata anak yang berumur empat tahun. Mata yang besar dibarengi dengan pipi yang gembil, rambutnya juga lurus sebahu, ia lumayan mirip dengan kakaknya saat masih kecil.
Pagi ini Aster ingin bermain sepeda karena setiap hari Minggu pagi memang sudah menjadi jadwalnya untuk bersepeda. Biasanya pula Alin-lah yang menjadi pemandunya, untuk itu ia membangunkan kakaknya agar bersiap-siap.
“Aa…! Aa…!” teriak Aster sembari menggoyangkan kaki kakaknya.
“Eng….” Alin tampak bereaksi, tapi tak ada tanda-tanda ia sudi membuka matanya.
Aster tidak lantas menyerah, ia terus menggoyangkan kaki Alin. Kali ini dengan guncangan yang lebih kencang. “Aa…!”
“Duh! Masih mau bobo!” Alin menepis tangan Aster dari kakinya. Dengan mata masih tertutup, ia meraih bantal yang ada di sampingnya; meletakkannya menutupi kepala.
Karena terdengar keributan yang cukup lama dari lantai dua, Bunda pun mencoba mengambil alih keadaan. “Alin...! Temani adikmu main sepeda!”
Sontak Alin pun tersentak mendengar teriakan ibunya. Ia terjaga sejenak; terduduk di atas kasur. “Main sendiri aja, Bun! Alin masih mau bobo!” kini ia malah menggelar selimut di seluruh tubuhnya.
Melihat kakaknya yang masih enggan bangun, Aster menyerah; ia turun ke lantai bawah menuju bundanya. Sepertinya ia ingin mengadu.
“Mana bisa Aster main sendiri? Ayo, temani dia bersepeda, Nak!” volume suara Bunda naik satu oktaf.
Alin bangun kembali dari rebahannya dengan mata setengah terbuka. “Impossible Aster bisa naik sepeda, Bun.” Alasan sebenarnya, Alin bosan juga lama-lama menghadapi aktivitas adiknya yang begitu teratur dalam kurun waktu tiga tahun ini.
“Kamu pegangin pas dia lagi naik. Sayang sepeda baru nggak dipakai,” balas Bunda santai.
“Lha?” Alin melongo mendengar pernyataan seringan angin bundanya.
“Pokoknya kamu harus nemenin Aster main sepeda!”
Maka setelah mendengar suara Bunda yang menggelegar bak toa di upacara sekolahnya, Alin pun terpaksa menurut; bisa-bisa ia tak diizinkan surfing dunia maya lagi di weekend ini. Meski memiliki sikap lembut dan tidak banyak bicara, bundanya itu cukup tegas dalam mendidiknya. “Iya,” jawabnya lesu. Dengan hati dongkol Alin beranjak dari tempat tidur; ia berniat untuk ke kamar mandi, tapi sebelum itu ia memandangi poster super-duper besar yang satu-satunya terpampang di dinding kamarnya.
Sebuah poster bergambar seorang tokoh kartun cewek yang mengenakan pakaian tentara yang terlihat berbeda dengan tentara umumnya. Dua mata coklatnya menatap runcing ke depan dengan paras yang membuat ciut orang yang menatapnya (tapi tentu pengecualian untuk Alin). Yang membuatnya sangat gagah, ia memegang senapan yang juga mengarah lurus ke depan. Siap-siap akan menembak musuh!
Dan kini Alin melakukan kegiatan rutinnya sehabis bangun dari tidur tiap pagi. “Bang!” seru Alin meniru gaya si tokoh kartun, walaupun seratus persen tidak mirip sama sekali. Bagai langit dan bumi jika dibandingkan antara baju tidur lusuh dan seragam tentara yang mentereng keren.
Kegilaan Alin terhadap segala yang berbau Jepang memang sudah tak bisa dipungkiri. Apa lagi jika menyangkut soal anime favoritnya, Fullmetal Alchemist. Dan dia sangat tergila-gila dengan karakter cewek minor dari anime tersebut yang merupakan seorang tentara berpangkat Letnan Satu.
 “Kalau nggak jadi tentara kayak Riza Hawkeye yang cool abis ini, minimal jadi istrinya tentara-lah ya!” ujarnya seraya cekikikan. Daripada cita-cita, sebenarnya ini lebih tepat dikatakan sebagai obsesi. Pagi-pagi begini pun ia sudah kesambet setan daydreaming.
“Alin! Cepat! Aster sudah nunggu kamu!”  
“Iya, Bun!” Alin pun melompat dari pijakannya karena terkejut dengan teriakan bundanya. Ia langsung ngibrit ke kamar mandi.
v   
Setelah hajatnya terpenuhi, Alin menuntun Aster menuju ke garasi. Sepedanya ditaruh di sana, tepat di samping sepeda motor yang biasa Bunda gunakan untuk ke pasar.
“Ayo, Ter. Kita main sepeda, tapi jangan lama-lama, ya! Kakak masih mau bobo!”
Sementara itu Aster hanya berjingkrak kegirangan ketika melihat kakaknya membuka pintu garasi; membawa sepedanya keluar. Ia tidak begitu paham dengan celotehan Alin yang tak berhenti menggerutui nasib jeleknya di pagi ini. Sepeda itu bercorak bunga-bunga pink ditambah juga taburan kepala kucing cantik—yang mendunia—yang dikenal bernama Hello Kitty berkumpul di antara bunga-bunga itu.
“Ayo, naik!” perintah Alin.
Susah payah Aster menaiki sepeda roda empatnya yang sebenarnya tak sebanding dengan ukuran tubuhnya yang kecil. Telapak kaki kanannya mengungkit ke atas untuk membantu kakinya yang lain menggapai sadel. Bara semangat menaiki sepeda terpancar dari wajahnya yang polos. Namun, sayangnya memang terlalu tinggi.
Dan hap! Seketika saja tahap pertama bersepeda berhasil Aster lewatkan; dibantu oleh kakaknya “Hah, memang kamu nggak bisa melakukannya sendirian, Ter,” tukas Alin manyun. 
Sementara Aster—yang lagi-lagi memang tidak mengerti apa yang Alin ucapkan—tertawa renyah merayakan keberhasilannya duduk di sadel berwarna merah itu. Ia pun mencoba memutar pedalnya sekuat tenaga, tapi hanya mampu memutar setengah.
Alin terang saja frustasi dibuatnya. “Ayo, Aster! Coba dinaikkan kedua kakimu ke pedal berbarengan supaya bisa memutar penuh. Ayo belajar! Nah, di sini. Taruh di sini kakinya!” Ia buru-buru meletakkan kaki kiri adiknya yang mungil di atas pedal. Namun, yang ada sepeda nyaris oleng ke kanan.
            “Hati-hati, Aster!” lenguh Alin tertahan. Kesabarannya memang cepat habis; ia kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri. Belakangan ini ia selalu berusaha untuk tidak meledak-ledak, karena bisa-bisa Aster membalasnya dengan ledakan bom yang lebih dahsyat. Si kecil Astera jika marah bisa membuat seisi penghuni Jalan Bougenville keluar dari rumahnya.
“Aaa … aaa….” Aster tiba-tiba menarik baju kakaknya.
Dahi Alin mengerut. “Hah?”
“Aaa … aaa…,” ucap Aster lagi yang kini menggoyangkan sepedanya ke arah depan, lalu meraih tangan Alin memegangi handlebar sepeda
Dan bingo! Akhirnya Alin paham apa yang Aster coba utarakan. Ia mengembuskan napas kuat-kuat. “Oke, Kakak tuntun, tapi nanti belajar sendiri, ya. Capeknya pagi-pagi begini,” keluhnya mengelap dahinya yang dibanjiri peluh. Sang surya mulai menunjukkan kekuasaannya ternyata. Ia kemudian mendorong sepeda Aster secara perlahan.
Reaksi Aster pun makin ceria. Bibir tipisnya menyulam senyum lebar dibarengi dengan hentakan bertubi-tubi kedua tangannya.
Melihat kelakuan lugu Aster, kakaknya itu hanya geleng-geleng kepala. “Aster … Aster….” Dengan sisa kedongkolan di hatinya, Alin mendorong sepeda adiknya bolak-balik di sekitar jalan depan rumah; berputar-putar di jalan yang sama entah berapa kali karena Bunda tidak mengizinkan mereka sampai pergi ke jalan yang jauh dari rumah.
Aster dan Alin meneruskan kegiatan itu sampai matahari naik tepat di atas kepala mereka.
v   
            Selesai dengan kegiatan rutin paginya di hari Minggu, Alin langsung kabur ke dapur. Sampai di dapur, Alin buru-buru menyerbu botol air dingin di kulkas; duduk di meja makan. Ia menegak seluruh air yang ada di botol besar—yang sedang digenggamnya hingga terbatuk-batuk.
Sampai Bunda pun menukas, “Pelan-pelan, Nak.”
Sudah dipastikan Alin tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi karena pagi telah berganti tahta menjadi siang. Mood untuk melanjutkan tidurnya yang terinterupsi tadi hilang begitu saja.
“Haah … Capeknya…,” sahut Alin menatap langit-langit dapur; bersandar di badan kursi meja makan. 
“Baru segitu saja sudah capek, Lin. Ini lebih capek bundamu lho,” komentar Bunda yang matanya tetap terpaku pada bawang merah yang sedang diirisnya.
Alin tiba-tiba jadi serba salah. “Iya … iya. Bunda komentar melulu deh kalau Alin ngeluh sedikit, kan masih dalam batas wajar.”
“Bunda cuma mau kamu mengurangi keluhan dan menambah rasa syukur,” titah Bunda
“Bukan maksud Alin begitu, Bun,” Alin jadi teringat ketika bundanya mengajari Aster naik sepeda roda empat beberapa bulan lalu. Saat itu Aster meminta jajan di supermarket depan komplek rumah. Bunda pun dengan rela mendorong sepeda yang dinaiki Aster sampai ke sana. Padahal untuk sampai ke supermarket dari rumah saja biasanya menggunakan ojek karena jaraknya yang memang jauh.
Alin tentunya tidak sampai hati melihat perjuangan bundanya. Ia pun cukup kaget ketika Bunda membelikan Aster sepeda baru roda empat yang agak besar dibanding sepeda sebelumnya. Beliau bilang ada tetangga yang menawarkan sepeda itu karena sedang membutuhkan uang. Dengan alasan simpati, Bunda pun membantunya.
Kesunyian sempat mengambang di ruang dapur. Namun, tiba-tiba ramai kembali ketika Aster berujar, “Aa…!”
Bunda pun mengerti apa yang anak bungsunya itu maksud. “Tolong masak mi itu buat Aster, Lin.”
“Hmm … iya … iya … tunggu sebentar, Bun. Aster ini ngerepotin terus deh dari pagi. Makannya juga mi melulu katanya dia nggak boleh kebanyakan makan fast food, kan, Bun?”
“Apa boleh buat, Nak. Dia itu autis-hiperaktif, jadi perlu kesabaran ekstra untuk mengurusnya. Kamu masih ingat sama janji kamu untuk memikul beban ini bersama-sama dengan Bunda, kan? Meski nggak setiap hari Bunda memintamu menepati janji. Aster sendiri masih susah untuk makan seperti kita-kita.”
Alin menghela napas sepanjang-panjangnya. “Iya, ingat, Bun.” Bohong. Ia selalu lupa kalau tidak diingatkan. Sebenarnya ia memang cukup muak dengan semua ini. Tapi ia juga tak sampai hati jika melihat bundanya berjuang sendirian.
 Alin lalu merebus mi untuk Aster, adiknya itu hanya mengoceh-oceh tidak jelas melihat kakaknya memasak. Sejak kecil Aster tidak lancar berbicara. Ia lebih sering menyampaikan keinginannya dengan tangisan atau amarah. Tapi untuk sepatah dua kata, hanya Bunda yang tampaknya mengerti. Sedangkan Alin, masih perlu belajar lagi untuk memahami.
Kalau boleh jujur, Alin benar-benar sayang Aster, kok. Ia lalu menatapi adiknya tanpa ekspresi sama sekali. Seandainya aja gue punya adik yang normal.
v   














Share:

0 komentar