Naruto Fanfiksi: You're My Everything Chapter 1

You’re My Everything

Pairings : Naruto dan Sakura. Setting : AU. Rating : T. Twoshots. Song fiction tapi belum muncul. Bahasa sedikit nyeleneh dan tidak baku.
Disclaimer Naruto beserta karakter di dalamnya hanya milik Masashi Kishimoto seorang.

-
-
“Dahimu yang lebar itu sungguh indah… Membuatku ingin mencumbunya.” ~Uzumaki Naruto~
-
-

Happy reading, sahabat ^^


“GRRHHH….!!!! NARUTO!!!!!!”
BAAMMM!!!
Senja itu…pukul 17 lewat 45 menit 20 detik…untuk seribu lima ratus dua puluh sembilan kalinya—sejak dia memijakkan kakinya ke dunia—Sakura menghajar Naruto dari jendela kamarnya dengan kekuatan monstrous-nya yang super duper kuat tak tertandingi. Naruto terpental hingga ke ujung dunia. Uuppss… Bukan maksud untuk hiperbola dan mengada-ngada. Hanya saja mungkin itulah kiasan yang unik untuk menggambarkan betapa saktinya si Sakura ini.
Dan Uzumaki Naruto. Kalian pasti tahu pola pikirnya yang ibarat beton. Saklek—kalau dia sudah bilang A ya A tidak boleh membelot ke B apalagi ke Z, jauh banget. Bocah tengik yang nggak pernah berubah sifat tengilnya—sarat akan humor konyol yang nggak penting. Punya prinsip tak peduli kata orang alias semau gue. Risiko yang ada, ya ditanggung sendirilah—nggak boleh lepas dari tanggung jawab. Prinsip yang bagus tapi juga menyebalkan.
Lalu keahliannya yang bisa berada di mana saja dalam sekejap. Selalu tak disangka-sangka kehadirannya. Maka jangan heran kalau Sakura langsung menonjok Naruto ketika ditemukannya ia sedang bertengger asyik di luar jendela kamarnya sambil bilang, “Hai, Sakura-chan, kau seksi juga ternyata.”
Alhasil Sakura langsung cengo sehabis keluar dari kamar mandi. Untung dia pakai handuk, kalau nggak gimana jadinya coba? Si rambut nanas itu semakin hari semakin mesum aja otaknya.
Naruto kembali ke apartemen Sakura dengan jurus ruang hampa dan waktunya. Sedangkan Sakura berdiri dengan gagah di depan pintu rumahnya. Tangan silang di dada, alisnya mengkerut menahan amarah yang bergejolak hingga panasnya mencapai 46 derajat celcius. Belum sampai seratus derajat celcius layaknya air mendidih, kawan. Karena Sakura terlihat menahan emosinya saat ini.
“Ahaha… Konnichiwa, Sakura-chan!!! Ucap Naruto lantang sembari melambaikan tangannya pada Sakura.
Sakura mendengus kesal. Namun muka polos tanpa dosa Naruto itu sedikit meluluhkan hatinya.
Nan da yo, Naruto?! Bisakah kau datang lewat pintu rumahku saja?! Sudah berapa kali kukatakan jangan pernah bertengger di depan jendela kamarku, baka!” umpat Sakura. Bagusnya ini bukan waktu dia datang bulan. Jika ya, sudah habis Naruto sedari tadi.
Sedangkan Naruto, tetap santai. Ia menggarukkan tangan di belakang kepalanya. “Yaa… Gomenasai Sakura-chan. Aku takut kau lupa dengan janji kita. Maka dari itu aku memastikan kau tidak tidur hehehe…”
“Janji? Janji apa? Aku tidak ingat.”
Muka Naruto langsung berubah jadi serius. “Eh? Kau lupa? Tidak bisa, Sakura-chan! Kau sudah janji padaku kemarin!”
“Apa-apaan kau, Naruto? Aku tak pernah berjanji seperti itu padamu!” Karena Sakura yakin ini pasti akal-akalan Naruto saja agar ia mau menuruti ajakannya. Tapi tak disangka-sangka Naruto lebih beringas dan sedikit melawan. Padahal biasanya tolakan Sakura itu skak mat untuknya. Tanpa pikir panjang ia langsung menarik erat tangan Sakura dan segera beranjak dari sana.
“Naruto! Lepaskan tanganku! Kau mau mengajakku ke mana?!” teriak Sakura. Ia jadi seperti orang bodoh yang meneriaki orang tuli karena permintaannya malah masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
“Ikuti aku saja, Sakura-chan. Kau pasti senang nantinya. Belum makan malam ‘kan, Sakura-chan? Hehehe…” ujar Naruto nyengir kuda.
“Itu karena kau yang langsung mengajakku keluar, baka!” umpat Sakura yang tetap dianggap angin lalu oleh Naruto.
Baiklah, Sakura sudah menyerah berargumen dan mengumpat Naruto. Karena jujur saja itu buang-buang tenaga. Akhirnya dia memutuskan untuk diam dan menuruti kemauan si calon Hokage itu. Barangkali Naruto ingin mengajaknya makan malam di restoran super mewah. Keinginan gadis ABG yang sedang beranjak dewasa: seorang pemuda mengajaknya dinner di restoran romantis dengan harganya yang membuat kantong bolong alias selangit. Impian yang standar sebenarnya. Tapi entah mengapa hasil statistik yang dilakukan oleh pakar penelitian di desa Konoha mengatakan fakta itu yang bertengger di puncak diagram. Penelitian yang sama sekali nggak penting untuk kemajuan desa Konoha.
Naruto terus berjalan sembari menggenggam tangan Sakura. Sedangkan Sakura melihat ke arah kanan dan kirinya. Penduduk desa yang sedang berada di jalanan memperhatikan gerak-gerik mereka. Orang-orang itu saling berbisik satu sama lain. Meski Sakura tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi inti dari gosip yang mereka buat bisa ia tebak. Pasti ia dikira ada main dengan Naruto. Ugh…
Uzumaki Naruto sudah tidak asing lagi bagi para penduduk desa. Dari si tukang pembuat onar nomor satu di Konoha, lalu melejit menjadi shinobi muda papan atas bak artis dadakan. Ibarat dari mayor langsung ke jendral tidak singgah dulu ke kolonel ataupun letnan. Prestasi yang sangat cemerlang. Namun si ninja penuh kejutan nomor satu ini tetap down to earth—menempatkan kerendahan hati di atas segala-galanya. Itulah yang membuat banyak cewek tergila-gila pada Naruto.
Sakura sendiri belum bisa memastikan siapa yang sebenarnya ia cinta. Sasuke atau Naruto. Selidik punya selidik rupanya Sasuke—si simpai keramatnya klan Uchiha—telah  kembali ke desa Konoha, kawan. Ya, Naruto telah menepati janjinya. Dan itulah yang membuat Sakura ingin memberi kesempatan juga pada Naruto. Tapi ternyata...cinta itu bukan hal remeh semudah membalikkan telapak tangan.
“Nah kita sampai!”
DOENGG…
“Na—Nani?”
Sakura melotot melihat restoran di depannya. Harusnya ia sudah tahu Naruto ini tak punya selera tinggi dalam memilih makanan. Asal kenyang, sesuai dengan lidah, sesuai dengan isi dompet pula. Eittss… Tunggu dulu. Naruto kini sudah tahu tentang asal-usul keluarganya. Bahkan harta peninggalan orangtuanya pun sudah jatuh ke tangannya. Namun ternyata prinsip ekonomi kelas bawah tetap mendarah daging di kehidupan Naruto.
Ikutsu, Sakura-chan!”
Matte!!! Apa-apaan kau, Naruto! Kau tak punya pilihan tempat makan yang lain, hah?!”
“Huh? Haha tapi mau bagaimana lagi, Sakura-chan. Hanya ichiraku ramen yang sesuai dengan selera dan isi ‘gama-chan-ku’,” ungkap Naruto sembari mengeluarkan dompet kodoknya yang imut-imut. Kempes seperti tak terisi.
Sakura menggerutu dalam hati. ‘Huh, kau bohong Naruto. Sampai kapan kau tidak mau mengeluarkan harta orangtuamu yang banyak itu?’ Nuraninya pun muncul. Ia jadi seperti gadis matre yang rata-rata tertarik pada cowok berwajah biasa namun hartanya berlimpah ruah.
Tapi Naruto sangat tampan ‘kan? Buktinya banyak gadis-gadis Konoha yang mengiriminya surat cinta. Namun Naruto hanya senyam-senyum tak pernah membalas surat mereka. Bukan maksud Sakura untuk memeloroti harta kekayaan Naruto. Ia hanya prihatin melihat sahabatnya itu saban hari hanya doyan makan di ichiraku ramen. Karena terlalu banyak makan MSG itu mengakibatkan kebodohan. Sakura khawatir lama-kelamaan si bodoh itu akan bertambah bodoh nantinya.
Sakura langsung bermuram durja. Dikiranya ada apa Naruto tiba-tiba mengajaknya kencan sampai-sampai memaksanya segala tadi.
“Ayolah, Sakura-chan. Berhenti berwajah masam seperti itu,” ucap Naruto lantang.
Sakura memalingkan wajahnya. “Huh, tidak mau!”
Dan terdengar suara minta makan dari dalam perut Sakura. Ternyata dia memang sedang kelaparan.
Naruto langsung cekikan. “Hahaha… Tuh ‘kan, kau sedang kelaparan. Ayolah, kita makan di sini saja.”
Sakura tetap tak merespon, tapi Naruto tiba-tiba mendekatkan wajahnya 10 cm ke wajah Sakura. “Lagipula ada sesuatu yang aku ingin katakan kepadamu, Sakura-chan,” ujarnya sembari tersenyum mempesona.
TRIIINNGGG…
Sakura mematung. Fatamorgana mencuat dibalik cengiran semanis kuda. Kerlingan mata nilamnya, aduhai…sungguh memporak-porandakan jiwa. Lantas kidung bermain dengan nada. Bunga-bunga jatuh dari sayap angkasa. Kusadari wajahmu mengalihkan dunia. Dan…
“Oi, Sakura-chan!”
“Eh?” Teriakan Naruto membuyarkan lamunan Sakura. Rupanya ia sudah duduk di bangku restoran—atau lebih tepat dibilang kios—ichiraku ramen. Meninggalkan Sakura yang sedang melamun sendiri.
Wajah Sakura menjadi semerah tomat. Baru saja nuraninya beratraksi bak penyair jempolan. Sakura sendiri keheranan. Ia tak tahu mengapa nalurinya kini kian hari kian seperti orang gila. Barangkali memang ini yang namanya cinta. Tapi apa benar perasaannya sedalam itu pada Naruto? Sampai-sampai wajahnya mengalihkan dunia...
Well, yang jelas Sakura masih belum yakin. Dan juga dia masih belum menyadari bahwa ada udang dibalik batu nuraninya berbuat seperti itu.    

* * *

Naruto memesan 3 mangkuk miso ramen untuk dimakan sendiri. Sedangkan Sakura—karena sedang diet—hanya memesan setengah dari satu porsi miso ramen. Makan mie menjelang malam akan cepat menggemukkan badan, itu yang diketahuinya.
Ano… Naruto.”
“Hmm?” tukas Naruto yang mulutnya penuh dengan ramen. Sehingga hanya bisa mengeluarkan kata ‘hmm’ saja.
“Apa yang ingin kau katakan padaku?” Tanya Sakura.
Naruto langsung tercenung memandang Sakura. Mulutnya terbuka, mie ramen yang dikunyahnya nyaris keluar dari sana jika dia tidak buru-buru menutupi mulutnya dengan tangan.  
Sakura tak mengerti mengapa Naruto jadi terlihat tegang. “Daijobuka, Naruto?”
Semua ramen di mulutnya ia telan dalam waktu dua detik. “Ehm… Hahaha… Daijobu desu, Sakura-chan. Nanti saja kita bicarakan. Kau habiskan saja dulu ramenmu.”
‘Hmm… Aneh,’ ucap Sakura dalam hatinya. “Ya sudah kalau begitu. Aku sudah habiskan ramennya. Aku mau ke WC dulu.” Lalu Sakura pun meminta izin pada Teuchi untuk menggunakan toiletnya.
Melihat Sakura hilang dari pandangan, Naruto mulai bermeditasi dalam hati. Mulutnya komat-kamit seperti sedang mengeluarkan mantra.
‘Bilang sekarang… Tidak… Bilang sekarang… Tidak…’ itu yang ia ucapkan berkali-kali.
“Hai, Naruto. Sedang sendirian di sini?” sapa seseorang yang terdengar dari suaranya adalah seorang perempuan. Naruto pun menoleh. Gadis berambut panjang berwarna ungu berdiri di sampingnya. Dan oh, NO! Dia tadi memang meminta petunjuk dari Dewa Kayangan. Tapi mengapa dedemit ini yang datang?

* * *

Tak lama, Sakura kembali ke tempat duduknya. Tapi pemandangan mengerikan di sana ia lihat langsung dengan mata kepalanya.
“Kau berbeda dari yang dulu, Naruto. Kau sangat tampan.”
“Eh, benarkah? Hahaha… Menurutku aku sih biasa-biasa saja.”
“Maafkan aku sering menjahilimu semasa waktu di akademi dulu.”
“Ahh, itu sih kumaklumi. Dulu kita masih kecil dan tak mengerti apa-apa,” ujar Naruto sembari tertawa terbahak-bahak.
‘Huh, dasar penjilat,’ umpat Naruto dalam hati. Sebenarnya tertawanya tadi sedikit dipaksakan. Lagipula memang dia tidak menyukai Ami karena dulu sering menjahili Sakura-chan-nya. Naruto mewanti-wanti apa jadinya nanti kalau Sakura melihat dirinya dengan Ami sedang asyik mengobrol. Apalagi Ami terlihat pecicilan dan berusaha menarik perhatian Naruto. Tapi  tunggu… Untuk apa dia mengira Sakura akan marah? Toh mereka tidak ada hubungan apa-apa.
Tanaka Ami—adalah musuh bebuyutan Sakura sewaktu di akademi dulu. Gadis kecil berambut ungu yang dulu terang-terangan mengejek dahi lebarnya hingga ia tak percaya diri. Dan Sakura tak ayal menjadi geram seketika. Untuk apa gadis centil itu mendekati Naruto? Yang bikin betenya lagi dia duduk di kursi yang Sakura duduki tadi.
“Jadi Naruto. Kau mau tidak jadi pacarku?”
PWAHH!!!
Pernyataan tiba-tiba Ami membuat Naruto kaget setengah mati. Ia memuntahkan semua teh yang sedang diteguknya. “NA—NANI?”
“EHEM!”
DEG…!
Naruto mematung seketika. Suara dehaman itu dia kenal sekali siapa pemiliknya. Aura jahannam mengitari daerah kirinya. Naruto langsung menoleh ke arah Sakura. Mukanya tak berekspresi tapi Naruto mengerti sebentar lagi akan menunjukkan wujud asli.
“Ha—Hai, Sakura-chan. Aku kira kau masih di toilet,” ujar Naruto terbata-bata.
“Aku sudah di sini dari 5 menit yang lalu, Naruto.”
Celaka tiga belas! Berarti Sakura mendengar percakapannya tadi dengan Ami, Naruto menyadari hal itu. Walaupun dikira Sakura tak akan marah, namun tetap saja firasat buruk menggerayangi otaknya.  
Sakura tak lagi membendung diri. Nuraninya pun beraksi dan mengambil alih pikirannya. Bom atom yang meluluh-lantakkan Hiroshima dan Nagasaki pun siap-siap akan mengukir sejarah kembali di kios ichiraku ramen.
“Maaf, aku ada urusan sebentar dengan Naruto,” ucap Sakura pada Ami dengan melontarkan senyuman palsunya yang penuh dengan amarah. Ia tak membiarkan Ami menjawab dan langsung menarik Naruto keluar menjauhi ichiraku ramen.
Kini Sakura dan Naruto saling berhadapan satu sama lain.
“Jadi begitu, Naruto?”
“Eh? Jadi begitu apa? Wakanai yo, Sakura-chan.
“Jadi kau mengajakku ke sini karena kau ingin menunjukkan bahwa kau berpacaran dengan Ami, begitu?”
Lho? Dia belum berpacaran dengan Ami kok. Dan juga Naruto sama sekali nggak niat berpacaran dengan Ami. Apa Sakura tadi salah dengar? Besar kemungkinan, Sakura yang menambahkannya sendiri. Karena itulah sifat alami perempuan. Kalau sedang marah, dibesar-besarkan padahal masalahnya adalah masalah remeh yang sepele. Tapi memang Sakura sangat tidak menyukai Ami. Dan dia tidak rela Ami mendekati Naruto.
“Aku pikir kau salah paham, Sakura-chan. Barusan Ami memang menembakku untuk menjadi pacarnya. Tapi aku ti—.”
Mo ii, Naruto! Aku tidak ingin mendengarkan penjelasanmu!”
“Ta—tapi mengapa kau jadi marah begini kepadaku?”
“Itu karena kau mengajakku keluar tapi kau malah bersenda gurau dengan orang lain! Dan orang lain itu adalah orang yang dari dulu sampai sekarang aku benci!”
Naruto tertawa kecil.
“Mengapa tertawa?!”
“Jadi kau cemburu, Sakura-chan?” Tanya Naruto sembari cekikan.
Sakura tersipu malu. Namun sepertinya nuraninya tetap menguasai alam pikiran, sehingga entah mengapa mulutnya makin garang mengeluarkan kata-kata. “Urushai! Kau tidak mengerti Naruto, semua ini sangat membuang waktuku! Setiap hari kau mengajakku keluar dan selalu—selalu saja makan di tempat ini. Aku bosan setiap hari keluar denganmu! Padahal Sasuke-kun sudah kembali. Tapi kenapa kau tidak mengajaknya keluar juga bersama-sama kita, hah?!”
Tidak juga, hampir setiap hari tim 7 berkumpul bersama. Semenjak musuh besar Naruto, Uchiha Madara berhasil dikalahkan dan dia berhasil membawa Sasuke pulang. Mereka jadi sering berkumpul bersama-sama. Hanya saja entah mengapa sejak kepulangan Sasuke, Naruto semakin beringas mendekati Sakura. Mengajaknya keluar, mengantarkannya pulang sehabis bekerja di rumah sakit Konoha, ke tempat inilah, itulah.
“A—Aku tidak tahu Sakura-chan kalau selama ini ajakanku selalu membuang waktumu.”
“A—a… Itu…” Sakura terdiam. Damn! Sakura tahu ia telah menyakiti perasaan sahabatnya karena itu bisa ia lihat dari ekspresi Naruto yang terlihat sedih. Maka ia pun segera beranjak dari sana untuk menghindar, takut nuraninya bertindak lebih jauh kalau ia masih di sana.
Tapi Naruto menahan Sakura. “Kau mau kemana, Sakura-chan? Dengarkan dulu ada suatu hal penting yang ingin kusampaikan padamu.”
“Aku mau pulang. Tak usah mengantarku! Lainkali saja kau menyampaikannya! Aku sedang tak enak hati berbicara denganmu!” Sakura segera melenggangkan kakinya perlahan menjauhi Naruto. Sebenarnya ia ingin berbalik arah karena ia sadar ia sedikit keterlaluan. Tapi tengsin tingkat tingginya membuat Sakura enggan melakukannya. Ia tahu Naruto tidak akan mengejarnya karena tadi dia memberikan kartu mati ke Naruto agar tak mengantarnya pulang.
Sedangkan Naruto hanya bisa memandang Sakura pergi menjauhinya. Ia tak mengambil hati kata-kata yang Sakura lontarkan tadi. Naruto selalu berpikir positif, bahwa ini adalah the time of the moon-nya Sakura, jadi mungkin ia bersikap lebih emosi daripada hari-hari biasa. Tapi  ada sesuatu hal penting yang memang ingin Naruto utarakan pada Sakura.
Naruto pun berbisik. “Tidak ada lainkali lagi, Sakura-chan.” Ia merogoh kantong celananya dan mengambil sebuah bungkusan kado kecil dari sana. “Yaa… Apa boleh buat, mungkin dua tahun lagi baru aku bisa sampaikan.”

* * *

Pagi-pagi buta Sakura sudah berdiri di depan rumah Naruto. Naruto memang kini sudah menetap di rumah peninggalan ayah dan ibunya. Rumah besar klan Namikaze-Uzumaki. Ya, memang sudah janji Tsunade, bahwa ia akan menyerahkan rumah itu ketika Naruto menginjak umur 20 tahun.
Tapi berkali-kali Sakura mengetuk pintu rumahnya tak ada yang menyahut. Ia pun tak mau keras kepala dan segera beranjak dari sana. Ia teringat akan sesuatu. Beberapa hari yang lalu Naruto pernah bilang bahwa hari ini dia mau ke Suna untuk mengunjungi Gaara sekalian menyerahkan dokumen penting dari Tsunade.
Misi itu dia laksanakan sendiri, sedangkan Sakura hari ini juga ada misi level B bersama Sasuke. Misi perdana bagi Sasuke yang selama dua tahun dikerangkeng oleh Tsunade—tidak melaksanakan misi apa-apa, seperti dianggap pesakitan walau tak dikurung dalam penjara. Sakura sendiri harusnya merasa senang karena melaksanakan misi hanya berdua dengan Sasuke. Hanya berdua tanpa ada gangguan dari Naruto. Lantaran memang hal itu jarang terjadi. Tapi entah mengapa hatinya serasa hampa, separuh jiwanya pergi entah ke mana.
Sakura sebenarnya ingin cepat-cepat meminta maaf pada Naruto. Karena tak sepatutnya ia berkata seperti itu kemarin. Tapi apa mau dikata, mungkin 5 hari lagi ia baru bisa bertemu dengannya.

* * *

Sebelum berangkat menjalankan misi Sakura dan Sasuke terlebih dahulu menghadap Tsunade. Ada beberapa instruksi yang ingin Tsunade sampaikan pada mereka.
“Sebenarnya ini bukan misi yang sulit tapi kalian akan masuk ke medan yang berbahaya maka dari itu berhati-hatilah.”
“Ya,” ucap Sakura dan Sasuke berbarengan.
“Baiklah, kalian boleh pergi sekarang.”
Shisou, sebelum pergi ada yang ingin kutanyakan padamu,” ucap Sakura tiba-tiba. Sasuke langsung menghentikan langkahnya dan memandang Sakura. “Sasuke-kun kau keluar duluan saja.”
“Hn,” jawab Sasuke dan ia pun meninggalkan ruangan.
Shisou, kapan Naruto kembali?”
“Hari ini dia juga akan kembali.”
“Eh? Secepat itu?”
“Kau lupa, Sakura? Dia menguasai jurus ruang hampa dan waktu jadi bisa ke mana saja dalam waktu sekejap.”
“Oh iya, aku lupa,” ucap Sakura tersenyum kecil.
“Ada apa memangnya, Sakura?”
“Oh, tidak ada apa-apa, shisou. Aku hanya ingin bertanya saja. Baiklah aku permisi dulu, shisou.” Sakura membungkukkan badannya dan pergi meninggalkan ruangan.
Tsunade mengangguk pelan, setelah Sakura keluar dari ruangannya ia pun berujar, “Naif, seperti biasa.”

* * *

            Sakura dan Sasuke sedang dalam misi mengantarkan dokumen aliansi ke Negara Iwa. Baru kali ini Iwa dan Konoha melakukan perjanjian aliansi setelah perang dunia ninja keempat berakhir.  
            Perjalanan ke sana butuh waktu dua hari. Mereka baru melakukan perjalanan selama 3 jam tapi mereka sudah kelelahan.
            “Sakura sebaiknya kita istirahat dulu.”
            “Baiklah.”
            Untuk itu Sakura dan Sasuke berniat beristirahat di bangku yang tak sengaja mereka temukan di tengah-tengah perjalanan.
            Sakura membuka tasnya dan membuka bento yang dia bawa dua kotak.
            “Sasuke-kun, aku membawakan bento untukmu. Makanlah.” Sakura menyodorkan bento ke arah Sasuke dan diterima dengan baik oleh the Uchiha prodigy itu.
            “Arigatou, Sakura,” ucap Sasuke sembari tersenyum kecil.
            Sakura jadi luluh seketika. Memang perasaannya pada Sasuke belum hilang seratus persen. Ditanya tinggal berapa persen pun Sakura tak mengetahuinya.
            Hanya saja, Sakura jadi senang bukan kepalang. Baru kali ini Sasuke tersenyum semanis itu kepadanya. Jantungnya pun langsung dag dig dug seperti suara gendang betalu-talu. Ia berpikir beruntung sekali dirinya bisa berduaan saja dengan Sasuke dalam melaksanakan misi perdana mantan missing-nin itu. Hampir-hampir nuraninya hendak berpuisi di panggung alam bawah sadarnya. Tapi tak ada satu pun kata manis yang keluar, yang ada hanya pemandangan yang serupa yang kembali menghampirinya.
            Semilir angin berputar di antara mereka. Lalu daun-daun layu berguguran karena terpaannya. Sakura mengedarkankan pandangannya di sekitar area. Tiba-tiba semuanya terasa seperti waktu dulu. Seperti waktu pertama kali dia mengobrol dengan Sasuke di bangku yang dikelilingi oleh pohon rindang dekat akademi ninja. Saat cintanya untuk Sasuke sedang matang-matangnya. Bahkan semakin matang perasaannya akibat kejadian ini.
            “Dahimu yang lebar itu sungguh indah, membuatku jadi ingin mencumbunya.”
            “Eh? Masa?”
            “Haha… Bohong… Naruto pasti yang akan mengatakan itu, Sakura.”
            “Huh.”
            Sakura tertawa sendiri mengingat kejadian itu. Betapa polosnya dia sewaktu kecil dulu. Sikapnya saat itu memang seperti gadis-gadis kecil yang sedang beranjak remaja pada umumnya. Yaitu mengidolakan lelaki perlente yang tampan, tajir, dan juga pintar. Terlebih ketika itu dia dan Sasuke nyaris berciuman kalau saja Sasuke tidak sakit perut dan lari lintang-pukang ke toilet.
            Sasuke keheranan melihat Sakura yang senyam-senyum sendiri. “Kau kenapa, Sakura?”
            “Eh? Ah, tidak aku hanya mengingat kejadian waktu dulu,” ungkap Sakura sembari tersenyum.
            “Kejadian apa memangnya?”
            “Kau ingat, Sasuke-kun? Dulu kita pernah duduk berdua di bangku seperti ini. Kau bilang kau suka dengan dahi lebarku dan ingin menciumnya tapi itu hanya gurauan, kau kembali mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin kau ucapkan karena pasti Naruto yang berujar seperti itu.”
            “Hn?” Sasuke memutar otaknya berusaha mengingat kejadian yang ia pikir tak pernah terjadi selama hidupnya. “Aku tidak ingat, Sakura. Memangnya kapan itu terjadi?”
            Sakura langsung gondok, harusnya ia tahu kalau Sasuke tidak akan pernah mengingat kejadian konyol itu. Apalagi itu terjadi sudah cukup lama.
            “Waktu kita tim 7 akan berkumpul dengan Kakashi-sensei untuk pertama kali. Kau tidak ingat, Sasuke-kun?”
            “Hn?” Sasuke memutar otaknya kembali. Dan kini ia ingat kejadian itu. “Oh, ya aku ingat.”
            Sakura tersenyum malu. “Waktu itu kita masih kecil. Memang terlihat konyol, Sasuke-kun. Bahkan kita nyaris berciuman.” Sakura tertawa terpingkal. Tapi Sasuke tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
            “Itu bukan aku, Sakura,” ucapnya datar.
            “Heh? Apa maksudmu itu bukan kau, Sasuke-kun?” mendengar pernyataan Sasuke, Sakura rasa-rasanya ingin menjedotkan kepalanya ke arah batang pohon yang ada di belakangnya. Lantaran takut otaknya sedang error, dan memorinya terkorupsi oleh waktu. Namun Sakura yakin bahwa dia tidak salah ingatan. Kalau bukan Sasuke, lalu siapa?
            “Si super bodoh itu henge menjadi aku,” ungkap Sasuke tersenyum kecil. “Waktu itu aku masuk ke dalam perangkapnya dan dia mengikatku di dalam ruangan pengap.”
            Kini Sakura yang memutar otaknya. Si bodoh manakah yang Sasuke maksud?
            “Sasuke-kun, maksudmu si bodoh itu siapa?”
            “Masa kau tidak tahu, Sakura? Orang yang aku panggil super bodoh tentu saja hanya Naruto,” ujar Sasuke tertawa pelan. “Jadi memang dobe yang mengatakan hal itu kepadamu, Sakura.”
            Sakura langsung sweatdrop, tak menyangka mendengar kebenaran yang baru diketahuinya sekarang.
            “Dan kalian hampir berciuman? Haha… Ano dobe…” Sasuke menggelengkan kepalanya sembari tertawa terpingkal.
            Sedangkan Sakura cengo di tempatnya. Ia tidak percaya kalau itu Naruto. Selama bertahun-tahun ia selalu mengingat kejadian itu karena hari itu adalah hari bersejarah baginya. Sasuke nyaris memuji dahinya, dan nyaris pula menerima ciuman darinya. Dan ternyata itu bukanlah Sasuke yang ia puja-puja selama ini.
            “Dari dulu si super bodoh itu memang tak punya nyali padamu, Sakura,” ucap Sasuke lagi sembari menahan tawanya.
            ‘Jadi…’
            Sasuke kembali berbicara. “Tak kusangka ano dobe yang kukenal itu kini menjadi pahlawan di dunia shinobi. Dulu ia selalu banyak omong dan terlalu percaya diri. Tapi sekarang dia membuktikan semua omongannya ya, Sakura.”
            Sakura tak mampu berkata apa-apa, speechless.
            “Rasa-rasanya kita akan merindukannya.”
            “E—Eh? Memangnya kenapa?
            “Kau tidak tahu? Sehabis dari Suna mungkin dia akan kembali ke Konoha untuk melapor misinya pada Tsunade-sama. Tapi setelah itu dia akan ke Myoubokuzan selama dua tahun.”
            “Na—NANI? DUA TAHUN?” teriak Sakura yang merinding seketika.
            “Hn, kau juga tak tahu tentang itu? Kukira kemarin Naruto mau memberitahukannya padamu. Bukankah kemarin kalian sempat bertemu?”
            “I—Itu…” Sakura ingin mengeluarkan suara. Namun terpotong karena teringat oleh kejadian kemarin yang membuat hatinya porak-parik.
            “Kau mau kemana, Sakura-chan? Dengarkan dulu ada suatu hal penting yang ingin kusampaikan padamu.”
            “Aku mau pulang. Tak usah mengantarku! Lainkali saja kau menyampaikannya! Aku sedang tak enak hati berbicara denganmu!”
            Jadi yang Naruto ingin bicarakan adalah… Itu…
            ‘Ugh… SIAL! Harusnya kemarin aku mendengarkan penjelasannya dulu. Bagaimana ini? Aku tak punya waktu untuk bertemu dengannya,’ ucap Sakura dalam hatinya. Ia mengatupkan matanya rapat-rapat, nyaris menangis. Terlalu gelisah memikirkan cara agar ia bisa bertemu dengan Naruto. Ia tidak ingin Naruto pergi tanpa berpamitan dengannya karena memang Sakura sama sekali tidak mengetahui perihal ini. Dan yang lebih penting lagi, dia tidak rela Naruto pergi selama itu…
            Tanpa ba bi bu lagi Sakura membereskan kotak bentonya dan memasukkannya ke dalam ransel.
            “Sakura, kenapa tak menghabiskan makanmu?”
            “Aku tidak punya banyak waktu, Sasuke-kun.”
            “Tidak punya banyak waktu apa? Kita masih punya banyak waktu perjalanan ke desa Iwa.”
            Sakura terdiam, dan memandangi Sasuke dengan butiran air mata di pipinya. “Aku tidak punya waktu untuk bertemu Naruto lagi. Aku mau kembali ke desa sekarang, Sasuke-kun!”
            “Eh? Kenapa tiba-tiba, Sakura?” Tanya Sasuke yang tak sempat dijawab oleh Sakura karena ia keburu pergi ke arah jalan utama menuju desa. “Tu—Tunggu, Sakura! Nanti kita bisa kena marah Tsunade-sama.” Sasuke pun menyusul Sakura yang ternyata sudah tak terlihat dari pandangannya.
            “Huh? Ce—cepat sekali dia.”


Bersambung…









Share:

1 komentar

  1. owh ternyata anak yg ngejek sakura itu namanya Tanaka ami ya, baru tau aku.

    btw, aku suka chara sasuke disini.

    ReplyDelete