[CERPEN] KUKUYAAN, Dimuat di Koran Republika Tanggal 8 Mei 2016
Rendra Purnama |
Petir menggelegar mencabik udara. Ia datang tak
sendirian. Bersama dengan arakan mega kelabu, ia menebar teror di seluruh sudut
Kota Bandung. Aku tengadah. Kusadari hujan akan menyapaku segera.
Aku tahu kau sangat membenci hujan. Kau mengutuki
kemarau yang acap kali melibas tanahmu jadi kering. Anehnya kau juga menangisi
hujan yang membagi airnya pada ladangmu dengan sukarela. Karena menurutmu
seringnya itu terlalu berlebihan sehingga bisa membuatku meluap dan merampas
apa pun yang kau miliki dalam sekejap.
"Hai, Sungai. Aku mau berenang di sini, ya."
Tiba-tiba salah seorang dari kau datang menyapaku.
Bocah laki-laki berpelampung hitam. Kau menatapku penasaran, sedangkan tubuhmu
yang kerontang seketika buatku merasa kasihan. Kau menatapku sembari nyengir.
Kesan yang kutangkap saat aku balik menatapmu ... kau itu gila.
Kau pun terjun ke dalam tubuhku. Aku terheran melihat
kau yang sendirian menantang arus. Tangan kecilmu bercengk- eraman pada
bebatuan besar yang meman- cang kuat ke dasarku. Mengapa kau begitu nekat?
"Haah ... segarnya!" serumu riang. "Oh
ya, namaku Ujang. Aku senang sekali sama hujan. Hobiku adalah mandi, tapi baru
kali ini aku mandi di sungai."
Sekilas, aku melihat raut wajahmu yang memahat
kepedihan. Lantas, tak dinyana kau malah mengangkat beberapa sampah yang
melintas di depanmu, kemudian kau meletakkannya ke bantaranku yang berse- laput
semen. "Karena aku dibilang seperti sampah, aku nggak jijik sama
sampah. Cuma kasihan kau jadi tercemar sampah begini."
Baru kali ini ada manusia yang mengasihaniku.
"Kerjaanku setiap hari memang memu- ngut sampah,
tapi wilayahku bukan di sini."
"Oh ya, sungai. Dua hari lalu, ibu meninggal
karena AIDS. Kau pernah mendengar apa itu AIDS? Katanya itu adalah penyakit
mematikan." Kau menarik napas. "Saat pemakaman ibu pun hanya sedikit
tetangga yang datang menshalatkan dan mengantarkannya."
Bulir-bulir air mata turun dari sudut matamu,
membentuk aliran jeram-jeram kecil di pipimu yang langsung membuatku iba.
"Tapi, tetangga-tetangga masih meli- hatku dengan
galak. Teman-teman juga menjauhiku. Mereka sering memanggilku dengan `idiot.'
Aku sedih karena aku kesepian. Apa kau sering merasa kesepian juga?"
"Hei, kau mau celaka?! Cepat naik!"
Aku menerawang ke arah suara yang tiba-tiba muncul
itu. Ternyata ada seorang pemuda yang berdiri di tepianku. Dengan mata nyalang
dan berkacak pinggang, ia menegurmu. Menurutku penampilannya menyeramkan.
Rambutnya botak: hanya bersisa di tengah yang berdiri bak permukaan kulit
landak.
"Kukuyaan, Kang," jawabmu.
"Kau mau jadi kura-kura?" Dahi pemuda itu
mengerut. "Kalau kau mati, bagaimana? Aliran sungainya lagi deras,
tahu!"
"Tenang, Kang. Saya pakai pelampung ini,"
jelasmu seraya menunjuk pada ban hitam besar yang melingkar di tubuhmu. Lalu
kau ternyata tetap memunguti sampah yang semakin banyak mendekatimu.
Sementara, kulihat pemuda itu menatapmu dalam diam. Ia
maju selangkah ke tepianku dengan ragu-ragu, tetapi kemudian malah mundur. Dari
mulutnya keluar umpatan, ia kemudian pergi menjauhi bantaranku.
"Siapa dia? Nggak kenal. Orang kenal dan nggak
kenal sama-sama galak," gerutumu meletupkan kesal. Tapi, kemudian
perhatianmu kembali tertuju padaku. "Sebenarnya aku sudah sering kemari,
tapi nggakberani mungutinsampah di sini karena sudah ada yang punya wilayahnya.
Pemulung di Cihampelas ini, membagi wilayah sendiri, kalau ada yang ambil
wilayahnya nanti dikeroyokin."
Kau lalu membenamkan kepalamu ke dalam diriku, hanya
sepersekian detik, kepalamu kemudian muncul kembali ke permukaan. Kau pun
berseru, "Hore!"
Kalau aku memiliki bibir, mungkin sekarang aku akan
tersenyum....
"Kalau kau bawa aku berpetualang bagaimana?
Sampai ke Baleendah. Aku mau kukuyaan, sekalian mungutin sampah
di sana."
"Ah, jangan kau berpikiran aneh begitu,
Ujang," ujarku tanpa kau tahu. Baleendah ada di wilayah Bandung Selatan
dan wilayah daratannya paling rendah di Bandung. Lokasi yang sering langganan
banjir saat hujan membuatku meluap.
"Aku ingin kau menjadi bersih tanpa ada satu pun
sampah. Bagaimana?" Kau memperhatikanku dengan senyuman dibalut raut
percaya diri.
"Itu mungkin kalau ada sejuta orang di sini yang
sepertimu, Ujang. Tapi, kenyataannya...."
***
Kemudian aku menyadari arakan mega Nimbus terbelah.
Buru-buru beruraian seperti setan yang dikejar-kejar cahaya surga. Lalu
seberkas pelita muncul perla- han di baliknya. Hujannya berhenti total.
"Aku harus pergi."
Jangan pergi.
"Besok aku akan ke sini lagi. Semoga besok sepi.
Biar nggak ada yang ngusir," ucapmu, seolah tahu apa yang
tengah kupikirkan. Kau menjejalkan timbunan sampah yang kau pungut tadi ke
dalam karung goni. Hatiku pun melapang: rela membiarkanmu pergi.
Dan keesokan hari sampai hari-hari berikutnya, kau
selalu menyempatkan datang kemari saat hujan turun. Hingga pada hari kedelapan
kau menguraikan kalimat yang mencengangkan.
"Aku yakin kau adalah al-Kautsar yang terdampar
di bumi."
Al-Kautsar?
"Sungai yang membentang di Surga Firdaus. Kata
ibu, itu sungai susu yang rasanya nikmat. Para penghuninya nggak bosan duduk di
pinggirannya. Hanya ada bahagia di sana. Setiap hari mereka memuji keindahan
sungai itu dengan ayat-ayat cinta."
Aku sampai gemetaran mendengarnya.
"Aku yakin di hari yang dijanjikan Allah nanti,
kau akan menjadi Al-Kautsar."
Sungguh?
"Jadi, kau mau kan mengantarku
berpetualang sampai di Sungai Citarum? Tugasmu hanya menjaga aku agar nggak
tenggelam. Aku yakin aku kuat!" di akhir kalimatnya kau bersorak dengan
lantang. "Nanti kalau ada warga yang melihatku, mereka pasti akan
membantu!" kemudian kau berkidung dengan bahasa yang tidak aku mengerti.
Sabilulungan, urang gotong-royong
Sabilulungan, urang silih rojong
Sabilulungan, genteng ulah potong
Sabilulungan, persatuan tembong
Tohaga, rohaka, rempug jukung ngabasmi
pasalingsingan
Satia, sajiwa, rempug jukung ngabasmi
pasalingsingan.
(Sabilulungan - Koko Koswara)
***
"Hei, Ujang! Pergi sana! Ini wilayah kami! Idiot,
nggak tahu malu!" tiba-tiba sekawanan anak seumuranmu berdiri di sisiku.
Mereka kemudian menarik paksamu agar keluar dari tubuhku. Kau pun melawan, tapi
kau kalah telak soal kekuatan. Karena jumlah anak-anak itu ada lima orang.
"Lepasin! Lepasin! Aku mau berenang
sampai Baleendah!"
"Sampah seperti kau dibuang ke sungai kotor ini
saja!" salah satu dari mereka mendorongmu ke tubuhku. Tubuhmu terhempas ke
dalam tubuhku. Namun, kepalamu yang lebih dulu terjun... membentur batu besar
yang ada di sana. Kau membeku seketika, kuperhatikan dari salah satu sudut
kepalamu memancar air warna merah pekat.
Anak-anak nakal itu panik, lalu lari tunggang langgang
menjauhiku.
Hei, bangun...! Bangun...! Aku dilanda ketakutan yang
membara. Aku rasakan tak ada napas kehidupan lagi dari dirimu. Dengan pilu yang
menggarang, aku membawamu terus menjauh mengikuti arusku. Tak kubiarkan kau
tersangkut di bendungan ataupun terhimpit di antara bebatuan. Jasadmu
lama-kelamaan tenggelam karena kemasukan air dariku. Aku membawamu sampai
kepada ibuku, Citarum. Dan laraku kian meluap melebihi volume airku sendiri.
***
Sebulan kemudian, 19 Juni 2011
Menurutku, langit hari ini memancarkan rupa paling
eloknya. Namun, tetap tak bisa menghilangkan benci yang telah menggumpal ini.
Aku tidak sudi memaafkan perlakuan anak-anak nakal yang menye- babkanmu mati.
Kalau mereka berenang di tubuhku, aku pasti akan menenggelamkan mereka di
timbunan sampah! Biar mereka tahu seperti apa rasanya mati bersama sampah!
Aku lantas dikejutkan dengan manusia- manusia yang
hadir di tepianku. Mereka menggunakan ban yang melingkari tubuh. Ada anak-anak
sampai yang sudah tua. Mereka pun turun ke tubuhku, lalu mulai memunguti sampah
yang ada di sekitar. Mereka menyusuriku dengan hati-hati sekali, tapi yang
membuatku heran, rupa mereka begitu riang.
Di antara mereka ada yang menggu- nakan perahu karet.
Aku mendengar apa yang mereka bicarakan. "Harinya cerah ya, Pak Wali Kota.
Oh ya, saya mewakili teman-teman berterima kasih pada peme - rintah yang mau
menyelenggarakan acara ini." Ternyata itu si pemuda menyeramkan!
"Seharusnya yang berterima kasih itu pemerintah,
Ivan. Kau dan komunitasmu yang mencetuskan ide ini, anggota geng motor yang
stereotipnya sering membuat onar. Tapi, kau berhasil mengubah pandangan kami.
Saya aja nggak nyangka ada 900 warga yang ikut Hari Kukuyaan ini."
"Sebenarnya ini bukan ide saya, Pak. Sekitar
sebulan lalu saya melihat anak kecil berenang di sungai ini saat hujan. Saya
menegurnya karena berbahaya, tapi dia bilang dia sedang kukuyaan, terus
saya melihatnya memungut sampah. Saya langsung tertohok. Saya baru melihat ada
anak kecil yang peduli dengan lingkungan sek- itarnya. Kalau kita menemukannya
di sini, kita harus berterima kasih padanya, Pak."
"Masya Allah. Saya ingin memberinya santunan.
Semoga saja kau masih mengingat wajahnya."
"Iya, Pak, saya masih ingat kok."
....
Jika aku memiliki air mata, pasti aku sudah menangis
mendengarnya....
Entah lara atau bahagia, aku mulai berpikir, apakah benar
aku adalah al-Kautsar? Apakah aku bisa mengantarmu ke surga? Tetapi, yang jelas
... sekarang aku mengerti bahwa aku ada ... aku eksis di dunia ini. Di
duniamu....
Aku akan tetap menjadi Sungai Cikapundung dan
membiarkan Dia yang mengatur. Dan saat itu pula tiba-tiba aku me lihat sosokmu
bermain di dalam tubuhku bersama anak-anak lain yang berada di sana. Kau
meneriakkan kukuyaan... kukuyaan dengan gembira.
Tags:
Cerpen
4 komentar
Like this mba, btw gimana caranya bisa kirim ke republika mb?
ReplyDeletekirim cerpennya lewat email sekretariat@republika.co.id dan aliredov@yahoo.com, pakai subjek: Cerpen-Judul Cerpen
ReplyDeleteMba kalau tayang ada pemberitahuan kah dari republikanya?mohon share y mba :) makasih sebelumnya
ReplyDeletekemarin waktu yang saya sih nggak ada. Saya bisa tahu setelah cek di website Kliping Sastra hehe
ReplyDelete