Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 12: To Kill Seven Deadly Sins

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure

.
.
Tiba-tiba Miyazaki menghentikan langkahnya. “Bukan. Aku ingin kau menjadi Tuhan. Dengan membuang ketujuh dosamu yang tidak terampuni.”
“Hm?” kepala Naruto meneleng ke kanan. Tidak bisa menerka maksud kakeknya. Menjadi Tuhan? Ada-ada saja….
.
.
Chapter 11
To Kill Seven Deadly Sins
.
.
            “Membuang sebenarnya tidak terlalu tepat. Membunuh. Kau harus mampu membunuh seluruh ketujuh dosa tidak terampuni yang kau miliki. Aku sudah memeriksanya. Ketujuh dosa itu semuanya ada pada dirimu,” jelas Miyazaki pada Naruto.
            Kakek dan cucu itu kini sedang berada di sebuah altar luas bernuansa gelap yang berada di dalam Menara Pusat Segel Empat Penjuru Mata Angin. Duduk di atas segel miniatur lambang bintang Earendell, yang memiliki empat ekor cahaya. Segel itu belum diaktifkan, namun Naruto bisa merasakan hawa magis—yang besar—yang terhantar dari sana. Tapi selain masalah segel yang membuatnya gundah itu, ia juga berusaha untuk menerka tentang tujuh dosa yang tidak terampuni. Ia sama sekali tidak memahami membuang dosa-dosa itu disamakan dengan membunuh. Berkali-kali ia memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
            “Sebentar, Paman—maksudku, Kakek!” seru Naruto yang memotong penjelasan dari Miyazaki. Ia masih belum terbiasa memanggil Miyazaki yang awet muda itu dengan kata ‘Kakek’ karena baginya tampang pemimpin Rumah Besar Uzumakigakure jauh dari kakek-kakek. Terlihat konyol. Padahal sebelumnya ia mengenal Tsunade, yang masih hidup hingga berumur 50 tahun dengan wajah 20 tahunnya. Tapi setidaknya ia sudah pernah melihat wajah asli Tsunade. Beda halnya dengan Miyazaki yang memang tidak akan menjadi tua.
            “Aku tidak terima keluhanmu lagi, kita sudah banyak membuang waktu,” sergah Miyazaki buru-buru. Ia lalu melipat kedua tangannya di dada dengan wajah kesal. “Dan jangan berpikir jika penampilan mudaku ini konyol. Aku sendiri tidak berkehendak seperti ini. Itu yang harus kupahami.”
            Naruto otomatis jadi cengo. “K-kakek bisa juga membaca pikiran orang lain? Ya ampun,” ia kemudian menepuk dahinya sendiri. Benar-benar kemampuan yousei yang sangat merepotkan, pikirnya.
            “Sudah! Berikutnya kau harus bertapa dan menuruti perintahku. Aku tahu apa yang mengganggu pikiranmu. Kau akan jadi Tuhan dengan membunuh ketujuh dosamu yang tidak terampuni, tapi maksudku di sini adalah tuhannya dunia shinobi.”
            Lagi-lagi dia menjawab pertanyaan yang baru ada di pikiranku, ucap Naruto di pikirannya sembari menggaruk-garuk pipi.
            “Sudah, jangan berbicara di dalam hati lagi. Kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan sajalah langsung. Kau kan laki-laki,” titah Miyazaki. Ia sedikit menyayangkan mengapa cucunya ini agak dungu. Padahal ayah dan ibu mereka termasuk keturunan baik di bangsanya masing-masing.
            Naruto mengembuskan napasnya kuat-kuat. “Ya, ya, aku mengerti.”
            “Hm, sebenarnya kemampuan membaca pikiran orang lain ini sangat berguna bagi yousei. Setelah datang masanya kau pasti akan mengerti tujuan utama kemampuan ini. Sekarang mari kuulang yang telah kujelaskan. Ada tujuh macam dosa tidak terampuni: bangga diri berlebihan, iri hati, kerakusan, kemalasan, ketamakan, hawa nafsu, kemurkaan. Dan kau memiliki ketujuhnya di dalam dirimu.”
            Naruto terlihat berpikir sejenak. Ia malah bingung dengan pernyataan kakeknya itu. Pasalnya ia sama sekali tidak mengetahui hal macam apa yang membuatnya memiliki ketujuh dosa tersebut.
            “Rikudou Sennin pertama kali mampu membuang ketujuh dosa tersebut dan menjadikannya Tuhan para shinobi. Tapi memang pada akhirnya satu dosa ia miliki kembali.”
            “Sebenarnya apa tujuan Kakek menjadikanku sebagai tuhannya para shinobi. Menurutku Kakek lebih pantas—”
            “Tidak, aku tidak bisa,” potong Miyazaki. Ia memejamkan mata, lalu menatap tajam cucunya yang duduk di depannya itu. “Aku memang lebih berpengalaman dan lebih banyak menguasai jurus-jurus kuno Uzumakigakure, tapi aku hanya mampu membunuh empat dari tujuh dosa itu.”
            Dahi Naruto mengerut. “Tapi tugasku—”
            “Tugasmu adalah menyegel kembali bijuu ke tempat asalnya. Asal kau tahu saja, kekuatan musuhmu nanti akan lebih kejam dan besar daripada shinobi yang pernah membuat kakimu terluka parah.”
            Naruto terpaku di tempatnya. Kakeknya telah membuka luka lama yang telah di kuburnya dalam-dalam…. Ia jadi teringat waktu lalu … ketika ia nyaris mendonorkan jantungnya untuk Sasuke….
            “Kau harus mengembalikan bijuu ke tempat aslinya untuk mencegah dia memanfaatkannya untuk mengubah dunia ini ke dalam kegelapan. Setelahnya kau akan mengikutiku dan Kushina ke Valinor, ayahmu juga sudah berada di sana sejak lama.”
            Naruto kembali memikirkannya. Ia memang tidak pernah merasakan tinggal bersama kedua orangtuanya sejak lahir. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ini seperti di luar kehendaknya. Ia merasa bukan bagian dari keabadian yang ditawarkan itu….
            “Kau tidak bisa menolaknya, Naruto. Takdir telah memilihmu…. Kau tidak ingin teman-teman terdekatmu di dunia sana menjadi korban kegelapan yang akan menyelimuti bumi, kan?” mata merah Miyazaki masih menikam tajam pada mata biru Naruto.
            Tapi Naruto tak gentar menatapnya. Jika diingatkan akan teman-temannya, tidak ada alasan baginya untuk menghindar dari tugas yang dipikulkan padanya. “Baiklah,” ujarnya dengan keteguhan penuh. “Aku hanya tinggal bertapa, kan?”
            “Ya, tapi ini bukan bertapa biasa. Kau harus membunuh ketujuh dosa tidak terampuni yang ada pada dirimu.”
            Naruto sebenarnya bosan juga dengan penjelasan yang berulang-ulang, tapi tidak sepenuhnya ia pahami. “Bagaimana caraku membunuh dosa-dosa itu?”
            “Atur posisimu untuk bersemedi dan pejamkan matamu. Lalu kosongkan pikiranmu,” perintah Miyazaki. Ia melihat cucunya itu mulai melakukan apa yang diperintahnya. Ia pun menunggu beberapa menit. Kemudian ia membentuk tujuh macam segel tangan dengan perlahan dan meletakkan kedua telapak tangannya ke lantai yang di atasnya terdapat pola segel Shiru no Tsu Sūkikyō. Pola segel itu pun mengeluarkan cahaya biru. “Mari kita lihat apa kau mampu melakukannya hingga akhir.”
            Sementara itu Naruto kembali membuka matanya. “Eh, di mana ini?” Ia berada di ruangan luas dengan sinar temaram. Matanya pun memicing, berusaha mencari pelita. “Ini kan pintu masuk menara. Kenapa aku tiba-tiba ada di sini?” Ia kebingungan, tapi nuraninya mengatakan untuk membuka pintu tertutup itu.
            Naruto sedang berada di dimensi lain yang tercipta dari jurus yang kakeknya rapalkan barusan. “Baguslah dia hendak memasuki pintu pertama,” bisik Miyazaki tersenyum tipis. “Kau harus berhasil membunuh dirimu yang memiliki kebanggaan diri berlebihan itu.”
            Naruto berjalan perlahan memasuki ruangan asing yang dihiasi sinar jingga tipis. Ia lalu menyadari ia tidak sendiri di sana. “Siapa?” Ekspresinya pun berubah keras. Pada akhirnya ia mendengar sebuah tawa menggelegar yang sangat ia kenal siapa pemiliknya.
            “Aku akan menjadi Hokage dan membuat semua orang mengakuiku! Akan kubuat mereka berlutut padaku! Hahaha!” sosok itu sedang minum sake di belakang meja ruangan hokagenya.
            Mata Naruto pun melebar. Mulutnya membuka. Ia terhenyak setengah mati. “Itu kan aku?! Apa maksudnya iniiii?!”
            “Bunuh dia, Naruto. Dia adalah bagian buruk dalam dirimu. Dengan membunuhnya kau akan bisa membuka pintu selanjutnya.” Terdengar suara yang membahana ke seluruh ruangan luas itu. Naruto mengenal suara itu sebagai suara kakeknya.
            Naruto tampak berpikir. Membunuh tujuh dosa tidak terampuni … jadi begitu maksudnya? “Huh, siapa takut.” Ia lantas membentuk fuuton: rasengan mini di tangan kanannya. Dengan secepat petir ia mengarahkan jurus itu pada dirinya yang terlihat konyol tersebut. Dirinya itu pun lenyap menjadi asap hitam.
            “Seingatku, aku tidak pernah berlebihan seperti itu, atau memang aku tidak menyadarinya?” Naruto bertanya pada dirinya sendiri dengan bibir mengerucut ke depan. Ia berlari menuju sebuah direksi di mana satu-satunya cahaya terpancar dari sana. Tanpa ia sadari, di lengan kanannya muncul jubah pertapa berwarna jingga terang. Ia tanpa ragu membuka pintu berikutnya.
            Miyazaki tersenyum mengetahuinya. “Sekarang kau harus mampu membunuh kemalasanmu.”
            Naruto mengedarkan pandangannya ke sekitar. Dahinya mengerut ketika menemukan pemandangan itu. Ia menemukan dirinya tertidur di sebuah dipan dengan wajah penuh iler. “Aku tak mengerti kenapa jadi konyol begini, tapi aku tahu betul wajahku ketika tidur tidak sejelek itu,” gerutunya. Ia lalu melompat ke arah dirinya yang terbaring itu. Mengeluarkan tendangan super kuatnya hingga dirinya itu menghilang menjadi asap hitam.
            Naruto pun segera menuju direksi bercahaya biru yang dilihatnya di lantai atas. Jubah pertapa berwarna jingga terang kini menyelimuti tangan kirinya.
            “Iri hati,” ucap Miyazaki.
            Naruto membuka pintu itu. Ia langsung menemukan dirinya yang sedang bertarung dengan sahabatnya sendiri, Sasuke.
            “Kau harus ingat, Teme! Aku akan menjadi Hokage! Aku tidak sudi Sakura jatuh ke pangkuanmu! Kau lebih rendah dibandingkan aku!”
            “Hn, berisik, Dobe. Penyakit irimu itu memang menyebalkan”
            Naruto agak muak melihat dirinya dan Sasuke yang sedang bersilat lidah itu. Ia lalu mengeluarkan dua rasengan di kedua tangannya dan menghantamnya pada mereka. “Huh! Kalian berdua berisik!”
            Jubah pertapa berwarna jingga terang pun sekarang mengitari bagian atas tubuh Naruto. Dengan penuh semangat ia berlari menuju tangga atas; ke sebuah pintu di mana ia harus membunuh kemurkaannya. Dan Naruto berhasil melakukannya dengan sekali tebas.
            Kini tinggal tiga dari tujuh dosa tak terampuni yang mesti Naruto bunuh dari hatinya, yaitu kerakusan dan keserakahan. Namun, lagi-lagi ia dapat mengatasinya dengan cepat.
            Di tempatnya, Miyazaki mengetahuinya. “Ternyata dia bisa juga. Fokusnya bagus. Tapi … yang terakhir sepertinya akan sulit. Apa kau mampu melakukannya, Naruto?”
            Jubah pertapa berwarna jingga hampir menyelimuti seluruh tubuhnya. Naruto kembali berlari lebih cepat dari sebelumnya. Ia sudah menghitungnya. “Yang terakhir! Aku pasti bisa melakukannya!” Ia pun dengan kasar membuka pintu. Matanya segera beradaptasi dengan ruangan temaram itu.
            “Naruto….”
            “Heh?” Naruto terperanjat. Ia kenal suara itu. Dan suara itu bukan suaranya kakeknya, melainkan suara seorang wanita.
            “Naruto….” Kali ini terdengar lebih dekat. Tubuh Naruto menggigil. Ia tidak menyangka tahapan terakhir ini akan mengujinya dengan berat. Semangatnya yang berkobar tiba-tiba luntur.
            “Kemari, Naruto. Aku mencintaimu. Kau sejak dulu mencintaiku, kan?”
            Kedua tangan Naruto mengepal. Ia terpaku sejenak di tempatnya. Napasnya tiba-tiba memburu karena dirasa sesak. Ia menatap tajam sosok wanita yang berdiri dua meter di depannya—yang merentangkan kedua tangannya kepadanya.
            “Jangan bercanda,” geram Naruto. “Kakek! Ini benar-benar keterlaluan! Mengapa Sakura-chan bisa berada di sini?!” teriaknya ke arah langit-langit. Berharap kakeknya mendengar rasa frustasinya. “Hawa nafsuku … mengapa Sakura-chan yang muncul?! Ini gila!”
“Lupakan dia, Naruto. Kau tidak akan pernah bisa bersamanya. Haruno Sakura. Dia terlalu lama meracuni pikiranmu. Ini ujian untukmu. Kau harus mampu membunuhnya.” Suara Miyazaki terdengar di ruangan itu.
Naruto semakin gelisah. Keringat dingin mengucur dari dahinya. “Aku tidak bisa … aku tidak ingin membunuh rasa cintaku terhadap Sakura-chan!
“Belajarlah dari masa lalu, Naruto. Yousei dan manusia terlarang untuk bersatu. Jika itu terjadi, bencana akan datang.”  Suara Miyazaki kembali terdengar.
“Ini gila….” Naruto lunglai ke lantai. Ia tidak percaya dengan ujian terakhir ini. Ia memang mencintai Sakura tanpa syarat, namun hal ini sama sekali tidak ia inginkan. “Sampai … sampai di sini saja. Aku tidak sanggup melakukannya,” lirihnya. Napas Naruto makin memburu. Takut-takut ia menatap Sakura yang masih berdiri di depannya.
Sakura mengembangkan senyum untuknya. Senyuman manisnya. Senyuman yang selalu Naruto jaga agar tetap ada….
“Kau bisa melakukannya. Kau harus, Naruto! Sudah kubilang kau dan dia tidak ditakdirkan untuk bersama! Bersamanya hanya akan membuat penderitaan lahir di sekitarmu!”
“Sialan!” Naruto memukul lantai di bawahnya dengan kekuatan penuh. Membuat lubang yang cukup besar. Ia benar-benar frustasi. Hatinya tercabik-cabik. Ia tidak mampu membunuh Sakura. Meski ini hanyalah sebuah dimensi yang diciptakan, namun tetap saja terasa nyata. Meski yang dibunuhnya adalah rasa cintanya yang besar terhadap kunoichi itu, tapi ini benar-benar di luar kendalinya.
“Naruto….” Sakura kembali memanggil Naruto. Ia berjalan perlahan ke arahnya.
“Berhenti!” pekik Naruto. Matanya berubah merah. Ia menatap Sakura dengan garang. Ia lalu menyadari jika cahaya yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari jubah pertapa itu semakin meredup. Ia paham, jika ia tidak bisa menyelesaikan ini misinya nanti akan gagal. Jika misinya gagal, maka akan banyak korban berjatuhan.
“Kau tidak perlu mencintai perempuan yang tidak mencintaimu. Itu hanya akan membuatmu terluka. Lepaskan perasaan itu! Buang … dan musnahkan!”  pekikan Miyazaki mengambang di udara.
Tanpa ragu, Naruto pun berdiri dan melesat cepat ke arah Sakura. Di tangan kirinya terdapat kunai. Ia sunshin ke belakang kunoichi berambut merah jambu itu. “Aku memang tidak bisa bersama denganmu, Sakura-chan. Karena cintamu padaku itu … palsu! Kau hanyalah ilusi!”
Naruto menebas leher Sakura dengan sekuat tenaga. Dalam waktu singkat, Sakura berubah menjadi asap hitam. Lalu cahaya terang membungkus Naruto. Cahaya itu menembus dinding dimensi dan tiba di tempat Miyazaki dan Naruto berada. Pola segel di bawah mereka pun semakin benderang. Cahaya itu melesat ke angkasa. Seluruh Menara Uzumakigakure yang terbuat dari intan itu berkilauan, hal yang sudah lama tidak terjadi.
Pancaran cahaya melesat juga dari segel yang memiliki arah mata angin, masing-masing mengarah ke tempat markas Shi no Ujigami.
Shi no Ujigami dapat merasakannya. Kekuatan itu begitu besar. Terpancar ke masing-masing menara mereka. Mereka memperhatikan menara utama yang ada di lembah mereka dengan ekspresi takjub. Hewan-hewan titisan para dewa itu seketika berubah bentuknya menjadi yousei.
“Heeh, ini sudah lama sekali,” sahut Genbu yang sebagian tubuhnya tenggelam di air. Ia mengenakan obi hijau. Mata dan rambutnya yang panjang itu pun berwarna hijau.
“Kalian berubah juga rupanya,” dari Lembah Api, Suzaku menimpali. Obi merahnya berpendar, begitu juga dengan mata merahnya yang setajam elang. Matanya beralih pada gunung berapi yang dapat ia rasakan bergejolak di bagian dalamnya. “Waktunya sudah tiba ya.”
“Yah, ini untuk sementara. Kalian jangan lupa bagaimana rupa asli kalian sesungguhnya.” Seiryuu melayang-layang di Lembah Angin. Sudah lama ia tidak merasakan tubuhnya yang ringan ini. Obi birunya serupa warna langit yang biasa membentang luas di tempat asalnya.
“Aku tidak terlalu suka dengan rupaku ini. Tidak buas sama sekali.” Byakko memperhatikan kedua tangannya dengan ekspresi datar. Memang biasanya terdapat kuku-kuku indah nan tajamnya di sana. “Tapi yang jelas kini dia telah bangkit. Menurut kalian apakah dia pantas mendapatkan kepercayaan kita?”
“Tentu,” tukas Seiryuu dengan  menyeringai. “Dia akan mengobrak-abrik tempat kita. Lihat saja.”
Sementara itu Uzumaki Naruto tidak pernah merasa seprima ini. Setelah berbulan-bulan lamanya ia terbaring di tempat tidur dan masa penyembuhan yang membosankan, akhirnya kebangkitannya pun tiba. Rautnya setenang air yang mengalir. Tidak ada rasa beban apa pun yang ia rasakan di hatinya. Ia telah mampu melewati ujian itu.
Baju yang ia kenakan pun berganti. Jubah pertapa berwarna jingga terang menyelimutinya. Kakinya di lapisi sandal ninja berwarna emas. Matanya yang biru kini berubah merah darah. Rambutnya yang bagai duri landak itu tetap ada di atas kepalanya, sedangkan bagian bawah sedikit memanjang, terikat rapi dengan tali emas. Anak rambutnya di kedua sisi wajahnya pun lebih memanjang hingga menggapai dahunya.
Miyazaki yang melihatnya pun turut bangga. Akhirnya apa yang inginkan dapat dilakukan oleh cucunya itu. Ia yakin kali ini ia tidak akan salah jalan. Ia tersenyum tipis. “Sekarang cobalah mempraktekkan kekuatanmu itu.”
Naruto memandangi kakeknya sebentar. Lantas mata merahnya beralih ke tangan kanannya. Ada simbol matahari di sana. Berpola lingkaran berwarna jingga. Ia pun melihat dengan pikirannya bagian-bagian yang tersusun di dalam Menara Segel Empat Penjuru Mata Angin. Tak terlalu lama, ia menemukan sebuah altar besar di ruangan terbuka yang berada di puncak menara. Ia pun langsung tiba di altar itu dalam sekejap saja dengan jurus yang kurang lebih sama dengan yang dimiliki mendiang ayahnya.
Naruto pun menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Seperti sedang berdoa. “Lembah Api,” lirihnya. Aliran cakranya melesat keluar dari badannya.
Suzaku yang matanya masih terpaku pada gunung berapi yang tidak jauh berada dari posisinya berdiri, tampak terperanjat. Gunung berapi itu meletus hingga memuntahkan laharnya ke segala arah. Ia pun terkena muntahan lahar itu, tapi memang tidak berpengaruh apa-apa padanya. “Api tidak akan luka karena api. Aku akan terima tantanganmu,” tukasnya dengan seringai.
Naruto di tempat serupa masih tetap dalam posisinya. “Lembah Angin.”
Di Lembah Angin, Seiryuu merasakan angin di sekitarnya mendingin dan melesat lebih kencang. Lantas pusaran angin yang lebih besar datang dari bagian belakangnya, namun terpantul ketika menghantam pinggulnya dan menghancurkan sebuah tebing tak jauh dari sana. Salah satu alis Seiryuu terangkat. “Wah, wah, boleh juga.”
“Lembah Air!”
Genbu yang baru saja berjalan menuju satu-satunya daratan di markas besarnya itu tersentak ketika melihat pusaran air yang muncul dari sebelah kanannya. Pusaran air yang berupa twister di tengah laut itu bergerak secepat petir ke arahnya. Ia langsung membuat dinding raksasa dari air dalam sekejap. “Dasar! Dia benar-benar melakukannya,” decaknya agak kesal, namun kemudian tersungging senyuman di bibirnya. “Mari kita bermain-main.”
Naruto melihat ke arah barat Uzumakigakure. “Lembah Pasir.”
Byakko merasakan getaran hebat dari arah kakinya berpijak. Ia pun membuat pasir di bawahnya menjadi tanah padat dan membuatnya melayang. Ia dengan cepat berdiri di atas bagian tanah padat itu. Ia melihat tanahnya yang selalu ia sayangi sepanjang masa itu merosot ke bawah dengan cepat. “Kau mau menelannya ke dalam inti dunia ini? Apa kau lupa aku adalah dunia ini sendiri? Ini sudah lama sekali ada yousei yang menantangku seperti ini.”
Pertarungan untuk mengambil hati para dewa yang punya harga diri tinggi itu pun segera dimulai….
.
.
Di sebuah hutan belantara, wilayah Negara Api, Uchiha Madara menyambut kedatangan kaki tangannya dalam kegelapan. “Bagaimana, Zetsu? Apa yang kau dapatkan?”
Zetsu keluar dari balik salah satu batang pohon raksasa di sana. “Besok akan diadakan upacara kematian Uzumaki Naruto. Lusanya Sasuke akan dieksekusi di depan seluruh Petinggi Kelima Negara Elemental.”
“Heeh, waktu yang tepat. Akan kubuat acaranya lebih mengasyikkan,” tukas Madara dengan senyuman sinis di balik topengnya. Ia tidak menyangka Konoha begitu bodoh sampai saat ini tidak tahu-menahu di mana Naruto. Malah membuat upacara kematian tanpa ada jasadnya. Benar-benar tolol.
“Sepertinya penjagaan ketat akan lebih dilakukan pada saat Sasuke dieksekusi mati. Aku mendengar ada sekelompok shinobi yang hendak menyelamatkannya, tapi aku masih belum mendapatkan informasi bagaimana caranya mereka melakukan itu dan dari mana kubu mereka.”
Madara pun menebak-nebak. “Jika tidak dilakukan secara langsung, di Konoha juga masih ada Tsunade yang pintar melakukan manipulasi mayat. Yah, tapi itu agak rumit. Kemungkinan besar mereka akan melakukan perlawanan terbuka, lalu perundingan perdamaian. Sebaiknya kita akan ikut andil dalam permasalahan itu.”
“Maksud Anda?”
“Aku yang nanti membunuh Sasuke. Kau dan Kisame menyamar dan membuat kekacauan di barisan penjaga. Aku bisa memanipulasi penampilan kalian. Walaupun aku sebenarnya benci dengan cara seperti ini.”
“Ah ya, tapi sepertinya Sasuke akan hadir di upacara kematian Naruto. Apa tidak di sana saja kita melakukan penyerangan?” Zetsu berusaha realistis. Kemampuannya mencari informasi memang tidak bisa diragukan. Terlebih di hari itu penjagaan tidak seketat saat eksekusi Sasuke nanti.
“Aku tidak mau. Meski lebih mudah, tetapi aku ingin melihat pertumpahan darah yang lebih sadis lagi.” Mata sharingan Madara tampak lebih merah dibandingkan biasa. Ia memandangi bulan penuh yang mengintip dari balik dahan-dahan lebat. “Setelah itu kita mengumpulkan bijuu lagi untuk menguasai dunia ini.”
.
.
Hitam menguasai pemandangan di setiap jalan besar Konohagakure. Para rakyat sipil dan shinobi berbondong-bondong menuju sebuah tempat di mana seorang pahlawan dunia shinobi dikenang untuk selama-lamanya. Tapi di bawah patung yang terbuat dari emas mulia itu tidak terdapat jasad sang pahlawan. Patung itu hanya sebagai simbolisasi saja. Sementara pahlawan yang dibuatkan patungnya itu belum diketahui masih hidup atau mati. Keberadaannya masih misterius. Sayangnya kondisi di Konohagakure pun menghambat untuk dilakukan pencarian lebih lanjut.
Masing-masing dari penduduk Konoha membawa setangkai bunga krisan putih di tangan mereka. Setelah sampai di tempat tujuan, mereka berbaris dengan rapi; menyejajarkan diri dengan barisan paling depan. Tsunade dan para Tetua Konohagakure berdiri paling depan barisan bagian kiri. Di belakang mereka para ANBU yang siap siaga menjaga tuan mereka.
Rekan-rekan seumur Naruto berdiri di barisan bagian kanan, namun Sakura belum terlihat di sana. Padahal sebentar lagi upacara akan dilaksanakan. Tidak ada lekukan bahagia, yang ada sendu yang membuat pemandangan Konohagakure semakin mengelabu. Tak lama Sasuke tiba di sana, dan ribuan mata memandangnya dengan ekspresi terkejut. Tidak menyangka dia akan dihadirkan di sini. Sementara seluruh penduduk Konohagakure sudah tahu jika besok eksekusinya akan dilakukan.
Sasuke dikawal dengan ketat. Meski ia berstatus tahanan Negara, ia diperkenankan mengenakan pakaian serba hitam. Kedua tangannya di borgol di lingkarkan ke belakang punggungnya. Sudah dipastikan ia tidak akan memberikan penghormatan terakhir pada Naruto nanti dengan menaruh bunga krisan di altar kecil yang menjadi alas bagian bawah patung Naruto. Bagaimana bisa? Tangannya saja tidak bergerak dengan leluasa. Ia tidak balas memandangi mata-mata penasaran itu. Matanya tetap mengarah ke depan tidak peduli. Ekspresi wajahnya pun seperti biasa datar. Empat orang ANBU mendampinginya. Mereka lalu mengambil posisi di bagian depan—di antara barisan kiri dan kanan.
Mata Sasuke kemudian tertuju pada patung Naruto. Ia lalu bergumam dalam hati, Dobe, bahkan Hokage terdahulu tidak ada dibuatkan patung sepertimu ini. Sekarang mereka benar-benar menghambur-hamburkan uangnya. Apa kau benar-benar tidak akan kembali?
Tak lama Sakura muncul sendirian. Sepertinya ia akan menjadi penduduk terakhir yang datang tepat beberapa menit upacara akan dimulai. Kepalanya tunduk ke bawah, ia tampak kusut dibandingkan penampilannya sehari-hari. Poninya yang belah di tengah kini menjuntai menutupi dahinya. Di tangannya ia menggenggam bunga krisan putih yang tangkainya hanya setengah. Ia sama sekali tidak menatap orang-orang di sana, temannya saja tidak. Ia berbaris di sebelah Ino yang memberikannya ruang untuk masuk ke dalam barisan.
Ino memperhatikan sahabatnya itu dengan wajah yang memahat kecemasan. Sejak pengumuman semena-mena Daimyou, ia menyadari jika Sakura masih terperangkap dalam kesedihannya. Ino bisa memaklumi Sakura karena hal ini merupakan pukulan berat baginya. Kehilangan orang-orang yang berharga bagimu di waktu yang tak terduga akan membuatmu patah berkeping-keping. Dalam pikirannya, Ino mencari ide bagaimana caranya ia bisa menghibur Sakura nanti. Karena ia tahu Sakura tidak akan mampu melewatinya sendirian. Aku akan terus berada di sampingmu, Sakura. Aku juga tidak ingin kehilanganmu. Jadi, kau jangan melakukan hal yang tidak-tidak ya. Ino hanya bisa mengucapnya dalam hati.
Upacara kematian itu pun dimulai. Yang memimpin upacara adalah seorang biksu yang berasal dari kuil terbesar di pusat Negara Hi. Daimyou pun turut serta di acara itu. Ia mendapatkan tempat eksklusif di bawah sebuah tenda yang disiapkan bangku megah kerajaannya di sana. Tidak lupas sebuah kipas ia genggam di tangannya.
Biksu yang memimpin upacara pun menyalakan dupa dan merapalkan beberapa doa di depan altar cukup besar yang menjadi alas patung Naruto berdiri tegak. Setelah ia meletakkan dupa di wadah yang telah disediakan, ia mempersilakan penduduk Konohagakure dengan tertib menaruh bunga krisan yang mereka bawa ke atas altar.
Dimulai dari Tsunade dan para Tetua Konohagakure yang berjalan perlahan menuju altar dan meletakkan bunganya di sana. Para penduduk yang berbaris di belakang Tsunade pun ikut menyusul. Raut wajah mereka kebanyakan berupa kebingungan. Kebanyakan dari mereka sendiri beranggapan bahwa upacara kematian ini terlalu terburu-buru, padahal mereka tahu Hokage Kelima bukanlah wanita yang pantang menyerah. Mereka tidak percaya jika Naruto malah dianggap mati oleh para petinggi Negara Hi.
Giliran teman-teman sebaya Naruto yang meletakkan bunga di altar. Mereka sebenarnya melakukannya dengan setengah hati. Yang paling terlihat air wajahnya adalah Rock Lee yang mulai tersedu-sedu. Ia begitu sedih melakukan upacara seperti ini, padahal keadaan rivalnya itu tidak diketahui di mana rimbanya. Ia tentu berharap Naruto masih hidup dan baik-baik saja.
Sedangkan Shikamaru kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Merepotkan saja. Setelah upacara ini selesai ia memutuskan menghisap rokok lagi untuk melindapkan kepeningannya
Hinata menggigit bibirnya sendiri hingga ia merasakan nyeri yang luar biasa. Ia berusaha menahan tangisnya agar tidak membuncah keluar. Ia pun menaruh krisan putih nan cantik itu di atas altar.
Masing-masing dari mereka kembali ke tempatnya berpijak tadi setelah melakukan penghormatan terakhir untuk Naruto. Kini giliran Sakura yang berjalan menuju altar. Kepalanya yang menunduk perlahan menegak seiring semakin dekat jaraknya dengan altar itu. Sorot matanya kosong. Ia membuang bunga yang digenggamnya ke tanah dan tanpa ia ketahui bunga itu terinjak olehnya.
Tsunade yang melihat gelagat aneh Sakura pun memutuskan maju satu langkah ke depan. Apa yang akan kaulakukan, Sakura?
Langkah Sakura semakin cepat. Sampai di depan altar ia memekik garang dan mengobrak-abrik kumpulan bunga krisan putih itu hingga membuatnya berserakan ke tanah. “Keterlalu kalian! Aku muak dengan kepura-puraan kalian!”
Para ANBU tanpa diperintahkan bergerak cepat ke arah Sakura. Mereka tahu jika kunoichi muda itu hendak mengacaukan jalannya upacara yang khidmat itu. Para penduduk sebagian belum meletakkan bunganya di sana.
Sakura kembali memekik lantang dan tanpa ragu meninju altar itu dengan kekuatan supernya hingga hancur. Patung Naruto yang berdiri di atasnya pun terbaring ke tanah tanpa ada yang menopangnya. “Naruto belum mati! Harus berapa aku bilang sampai kalian mengerti?! Dia belum mati! Dia belum mati!!! Kalian hanya ditipu saja oleh si Tua Bangka Keriput itu!!!” Ia kini menginjak-injak bunga-bunga itu dengan membabi buta.
“Apa-apaan dia?! Aku sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk membangun patung itu! Pengawal! Tangkap kunoichi yang kerasukan setan itu!”
Semua yang berada di sana tersentak dengan aksi brutal Sakura. Tak terkecuali Sasuke yang dalam hatinya tidak menyangka Sakura akan berbuat seperti itu.
Kami! Sakura!” teriak Tsunade yang berlari cepat ke arah Sakura. Ia bukan berniat menghentikan aksi murid kesayangannya itu. Ia hendak melindunginya. Ia tahu betul Sakura bisa masuk pengadilan Negara Hi karena berbuat yang tidak menyenangkan secara terang-terangan. Apalagi ia menghina Daimyou secara frontal.
Sakura menyadari para ANBU yang berpuluh-puluh itu hendak menghentikan aksinya. Dengan angkara murka ia pun melawan para ANBU itu sekuat tenaga. Salah satu ANBU yang mulai menyerangnya ia tangkis serangannya dengan tangan kiri; ia lalu  menendang bagian kepala ANBU itu hingga topengnya terlepas dari wajahnya. Dari bagian belakang seorang ANBU hendak memukulnya di leher, namun Sakura berhasil menyadarinya; memelintir tangan ANBU dan membanting tubuhnya ke tanah.
Di saat genting seperti ini Tsunade harus mampu menghentikan kekacauan yang tidak akan ada habisnya. Ia pun mendapatkan ilham. “Shikamaru!” serunya dengan menengok ke shinobi cerdas itu.
“Cih! Merepotkan saja!” Shikamaru pun menunduk dan membentuk segel tangan yang biasa ia gunakan untuk mengeluarkan jurus andalannya. “Kagemane no jutsu!” bayangannya pun memanjang dan bercabang; melesat cepat ke arah orang-orang yang sedang berseteru itu. Mengikat mereka agar diam.
Tidak terkecuali Sakura yang merasakan tubuhnya begitu sulit digerakkan. Ia langsung menyadari penyebab tubuhnya menjadi seperti itu ketika melihat bayangan di bawah kakinya. Ia menoleh ke Shikamaru dengan wajah beringas. “Lepaskan, Shikamaru! Jangan menghalangiku!”
“Perempuan merepotkan! Kau melakukannya bukan untuk Naruto! Tapi kau hanya ingin melepaskan rasa frustasimu! Memangnya dengan melakukan hal bodoh itu Naruto akan kembali?!” seru Shikamaru tak kalah beringas.
Sakura pun seketika menghentikan perlawanannya. Matanya membesar, memandangi Shikamaru dengan lubang yang menganga di dadanya. Memangnya dengan melakukan hal bodoh itu Naruto akan kembali?! Ucapan Shikamaru itu terulang-ulang di pikirannya hingga membuat remuk hatinya.
To be continued






Share:

0 komentar