Bab 1 Novel W: Pencinta Air
“Fuah! Hahaha!” cowok itu
mengayunkan tangannya ke kolam sampai air yang warnanya setali tiga uang dengan
setan kolor ijo itu terhantar pada sosok cewek yang duduk di pinggiran kolam.
“Duh, Upil! Jangan cipratin airnya
ke gue dong! Gue udah mandi, tahu! Kalau lo sih nggak apa-apa kan belom mandi!”
gerutu Ute seraya menjauh dari pinggir kolam itu, kolam butek di depan rumah
pacarnya yang tidak terawat.
“Mandi untuk kedua kalinya nggak
masalah, kan?” tanya Upi seraya cekikikan. Dirinya sudah basah kuyup, sekaligus
berbau sengit yang sudah tak terelakkan. Kaus oblong putih dan celana pendek
putih yang ia kenakan pun berubah dekil. Padahal di pekarangan belakang
rumahnya terdapat kolam renang yang terawat sekali, namun ia lebih senang
bersenda gurau dengan kolam yang menurutnya lebih alami dibandingkan dengan kolam renang tersebut.
Membuat Ute menjauh lima langkah tak
tanggung-tanggung. “Enak aja! Gue bukan waterholic
kayak lo lagi! Sana gih mandi!”
Diomeli begitu bukannya berhenti,
Upi malah keterusan. Ia jadi seperti balita yang baru mengenali air.
“Dasar Upil gila!” teriak Ute
menunjukkan tampang masam.
Baiklah, siang ini sepertinya Ute
harus kembali mandi di rumah Upi—cowoknya si Pencinta Air. Kalau dihitung-hitung,
sepertinya ini sudah yang ke seratus kalinya. Well, buat apa juga Ute rajin menghitungnya? Ini cuma perkiraan
asal si penulis.
Saking
demennya sama air, Upi tak keberatan jika ia nantinya bakal terkena flu berat
berminggu-minggu. Toh nanti tinggal mandi air hangat saja dijamin esoknya sudah
sembuh sedia kala.
Kalau masalah kena penyakit kulit
gara-gara keseringan main air di kolam butek itu dijamin bisa diatasi. Upi
sudah menyiapkan salep kulit yang ampuh menyembuhkan
ruam-ruam-nyaris-berevolusi-menjadi-koreng dikulitnya.
Dan karena Upi cinta banget sama air, dia juga pastinya rajin
mandi dong.
Namun Ute adalah cewek yang paling
menjunjung tinggi kebersihan, ia paling tidak tahan berlama-lama dalam keadaan
kotor seperti ini. Maka dari itu ia berniat beranjak dari kolam terkutuk itu
dan masuk ke rumah Upi untuk mandi, untungnya ia selalu membawa persiapan baju.
“Mau ke mana lo?” tanya Upi yang
seketika menghentikan aksinya.
Ute menoleh ke belakang. “Mau mandilah!
Gara-gara lo gue jadi menjijikan kayak gini,” ucapnya seraya menciumi bau bajunya
sendiri. “Yuck!” namun ia akhirnya
malah merasakan mual gara-gara bau comberan kolam butek itu. Salah sendiri
pakai dicium-cium segala.
“Mandi
di sini aja sama gue, Sayang,” tak disangka Upi melompat keluar dari kolam dan
menarik tangan Ute.
“Eh? Mau ngapain lo—”
Belum sempat Ute menyelesaikan
kalimatnya, Upi sudah keburu menarik tangannya dengan kuat. Dan….
BYUR!
“Upil nyebelin!” Ute pun terjun di
kolam butek itu dengan sukses.
Upi tentu tertawa terbahak-bahak
atas kemenangannya.
Ute memang membenci orang yang
senang berkotor-kotoran, tapi sepertinya untuk Upi itu pengecualian. Akhirnya
mereka malah saling mencipratkan air sampai tidak keruan bau badan mereka.
Karena si Pencinta Air itu adalah
pacar Ute yang selama dua tahun ini selalu menghiasi suka-duka harinya. Ute selalu
bisa menerima hal-hal tak lazim yang dilakukan Upi, cowok yang sering
membuatnya tertawa. Karena baginya, cowok yang baik adalah cowok yang bisa
membuat ceweknya ketawa-ketiwi setiap hari.
v
Malam
ini menyeruak wangi yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Malam ini bukanlah
waktu khusus yang punya arti sedalam palung. Hanya ini adalah malam yang tak
biasa. Ketenangan terserap ke seluruh sendi-sendi badannya. Buat Mutiara Lingga
Karolina, merasakan tenang nan damai yang teramat kentara seperti ini adalah
sebuah anugerah.
Karena
selama menjalani hari-harinya, ia terlalu sering dikelilingi kegelisahan.
Mungkin salah satu penyebabnya karena
rinai kecil hujan yang menghentak pelan di atap kosnya membuat irama yang cukup
nyaman didengar. Entah mengapa instrumen dari alam tersebut lebih bisa membuat
Ute tenteram.
Tapi yang membuat malam ini lebih terasa
damai adalah karena Ute kembali melihat rupa mendiang ibunya yang paling cantik
di dunia ini. Meski hanya dalam bentuk benda mati mungil hasil output dari sebuah kamera yang biasa
disebut foto.
Ute sedang memandangi foto itu, yang
ada seorang wanita anggun di sana. Dari sudut pandang datangnya kamera ia tersenyum
ke arahnya. Rambutnya bergelombang hitam pekat, tubuhnya memang tak terlalu
tinggi jika tak memakai high heels, namun
tetap proporsional, lalu bibir tipisnya yang tetap merekah dengan lipstick warna peach, warna kulitnya coklat eksotis asli Indonesia.
“Nggak salah kenapa banyak yang bilang gue
cantik, ternyata gue adalah keturunan wanita yang paling cantik di dunia ini,”
ungkap Ute terkikih bernasis ria. Ia memang bagai pinang dibelah dua dengan
ibunya, tapi kulit coklat Ute lebih tampak terang. Dan ia lebih tomboy ketimbang mendiang ibunya itu.
Cantik-cantik begitu ia lebih suka mengenakan jeans yang dipadukan dengan kemeja.
Tubuh
Ute yang tengkurap lantas membalik sehingga kini ia menghadap langit-langit
kamarnya. Rambutnya yang bergelombang—yang panjangnya mencapai dada terberai di
atas kasur. “Heran gue sama Papa yang seenak jidatnya ngebakar semua foto Mama,
untung masih ada yang bisa gue selamatkan,” gerutunya.
Ah, kalau mengingat ayahnya, amarah
Ute jadi menguap. Padahal ia sedang ingin mengenang masa-masa bahagia dengan
ibunya yang tak akan lekang oleh waktu. Tapi pikirannya malah bergelayar pada
satu sosok yang sangat dibenci namun dibutuhkannya itu, yaitu ayahnya sendiri.
Bagaimana ia bisa memiliki dua rasa berbeda dalam satu waktu? Kalau dilihat,
ini bisa saja terjadi untuk orang-orang terdekat.
Kesal, Ute mencampakkan album foto
yang memuat beberapa foto ibunya itu ke lantai. Kemudian matanya beralih pada
bingkai foto yang terpampang di meja dekat tempat tidurnya.
Fotonya bersama dengan Lutfi Zain
Hekmansyar, atau yang biasa dipanggilnya dengan Upi. Di foto itu ia dan Upi
tersenyum seraya menunjukkan gigi mereka yang bagian tengahnya hitam-hitam
persis mak dan pak lampir—yang giginya keropos. Ute mengingat mereka habis
makan coklat saat itu.
“Dasar Upil. Selalu aja buat gue
bisa ketawa,” ujar Ute menyulam senyum. Ute selalu memanggil Upi dengan Upil
apabila ia sedang kesal atau lagi happy-happy-nya.
Sewaktu kecil dulu, Mama selalu
bercerita tentang kisah cinta abadi antara raja pemimpin Kerajaan Gondor,
Aragorn dan putri dari suku abadi Elf, Arwen—di sebuah pelataran bukit yang
sekarang sudah tak diingatnya. Sampai sekarang ia masih berusaha mencari tempat
itu, namun sayang ia tak pernah menemukannya. Mama meninggal saat Ute masih
berumur enam tahun. Dan Ute kecil langsung jatuh hati dengan kisah percintaan
manis yang diarungi Arwen dan Aragorn. Kisah cinta dengan penerimaan menyeluruh
tanpa pandang bulu. Ia pun bercita-cita ingin memiliki kisah cinta yang sama.
Ute selalu bermimpi memiliki kekasih
seorang cowok yang memperlakukannya bak ratu kerajaan. Meski harus
malang-melintang menghadapi kerasnya dunia, ia ingin memiliki kekasih yang sudi
membagi beban dunia berdua di pundak. Ute ingin memiliki cinta pertama yang
seperti itu. Cinta yang dapat ia banggakan ke semua orang. Cinta yang memang
patut ia perjuangkan.
In
reality memang tidak ada cowok sesempurna itu di dunia ini. Sekarang yang
menjadi cinta pertama Ute adalah seorang cowok bengal lagi berisik yang
sifatnya absurd sekali.
“Kenapa ya gue bisa nerima cinta
Upi?” Ute hanyut dalam renungannya. “Oh ya, karena kita banyak memiliki
kesamaan.”
Bagi kebanyakan orang, perbedaan di
antara pasangan yang menjalin kasih adalah bahtera tantangan yang patut untuk
diarungi. Perbedaan yang ada membuahkan hubungan yang lebih terikat karena
penerimaan yang begitu besar. Namun bagi Ute persamaan tetaplah yang utama.
Melihat sosok Upi, Ute selalu
berpikir melihat bayangannya sendiri di cermin. Bersama dengan Upi, Ute selalu
tak ragu untuk menyampaikan keluh kesahnya yang tidak mudah ia curahkan kepada
orang lain, apalagi ke keluarganya sendiri. Semenjak ibunya meninggal, Ute merasa
tidak punya posisi di dalam keluarganya, meski sekarang ia memiliki ibu tiri
dan ayah kandung yang masih hidup, namun mereka seperti tak eksis di dunia ini.
Perkenalannya dengan Upi terjadi di
dunia maya. Di sebuah forum yang di dalamnya berkumpul para pecinta film ber-genre fantasi. Ya, Ute adalah penggila
film terutama film fantasi, hal ini ia dapatkan dari ibunya yang juga penggila
film fantasi. Lihat saja di salah satu sudut kamar kosnya yang berdiri sebuah
lemari yang berdiri macam-macam action
figure dari berbagai macam film fantasi. Lemari itu memiliki lima ruang,
dan seluruh ruangannya penuh oleh miniatur karakter tokoh dari film fantasi
kesukaan Ute. Action-action figure koleksinya itu adalah pemberian ibunya.
Saat berbagi cerita tentang kesukaan
mereka akan film fantasi, entah mengapa percakapan antara Ute dan Upi mengalir
begitu saja. Berawal dari saling berbagi opini tentang film fantasi yang paling
mereka sukai, yaitu The Lord of The Rings,
sampai ke masalah yang lebih pribadi, yaitu masalah keluarga.
Pada saat itu, Ute menyadari bahwa
ia dan Upi sama-sama memiliki problem pelik dengan keluarganya masing-masing. Sejak
ibunya meninggal, Ute tidak tahu lagi posisinya di dalam keluarganya sendiri,
sedangkan Upi berasal dari keluarga broken
home.
Maka
persamaan yang menyakitkan itu membuat mereka saling berbagi dan saling
memahami dalam waktu yang cukup singkat.
“I
love you, Upil. Forever and ever,”
bisik Ute seraya membelai figur Upi dalam foto yang sedang digenggamnya. Untuk
ke sekian kalinya ia jatuh cinta dengan cowok penggila air itu.
Lantas Ute mengembalikan foto itu ke
posisinya semula. Dan tanpa disengaja matanya tertuju pada lemari yang terdapat
koleksi action figure-nya. Ia memandangi miniatur Aragorn dari The Lord of The Rings yang berdiri
sendiri di sekat lemari paling atas.
Ute ingat betul dulu sang raja dari
Kerajaan Gondor itu tidak sendirian, ia dulu bersanding dengan istrinya yang
merupakan keturunan Elf terakhir yang
ada di Middle Earth yaitu, Arwen Evenstar.
“Action
figure Arwen gue ke mana, ya? Gue nggak ingat pinjemin ke siapa,” ujarnya
mendengus kesal. “Mungkin ketinggalan pas pindahan dulu,” padahal action figure itu adalah benda
kesayangannya.
Ute pun menyampingkan tubuhnya,
lantas menutupi kepalanya dengan bantal. Ia pergi ke alam mimpi. Mengharapkan
bunga tidur yang sangat indah karena esok hari sepertinya akan melelahkan
dirasa.
0 komentar