Di Bawah Kaki Langit Shizuoka
Disclaimer: Haruno Sakura dan
Uzumaki Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Rate T, Drama/Romance,
Alternate Universe. OOC
Sebenarnya
ini fanfic udah lama dibuatnya
sekitar bulan Juli 2011. Lolos seleksi di salah satu kompetisi, tapi karena
saya rencana nggak jual bukunya, saya mau publish
di sini ya ^^.
Terinspirasi
dari kisah adik kelas saya, sekaligus teman satu kampus saya Nabila Nurjanida
(www.nabilanurjanida.tumblr.com)
Happy reading, Guys
.
.
Bagiku yang payah ini, mungkin tidak ada
lagi yang tersisa. Hanya bisa duduk memandangi pohon plum di dekat jendela
kamar. Musim semi memang telah tiba, tapi ceria itu tak lagi ada. Ingin bermain;
bersenda gurau bersama teman-teman sebaya, jalan-jalan ke Shibuya untuk belanja,
atau ke Akihabara untuk ber-cosplay
ria.
Aku merasa terasing; dianaktirikan oleh
Tuhan. Padahal selama 19 tahun lamanya hidupku sangat sempurna tanpa ada cobaan
yang berarti, namun kini Tuhan menamparku sekeras-sekerasnya. Aku pasrah,
mungkinkah ini akibat dari kepongahanku yang dulu bisa dibilang merajalela?
Atau apakah aku terlalu bangga dengan apa yang aku miliki?
Sekarang aku jadi paham bagaimana
rasanya tak memiliki lengan dan kaki. Aku jadi tahu sulitnya untuk berbicara
ketika rusaknya pita suara. Aku jadi paham bagaimana rasanya satu tarikan napas
yang menghilang dalam sedetik akan membuat nyawa melayang. Itulah yang
kurasakan saat ini. Cita-citaku, rencana masa depan yang sudah kupikirkan
secara matang. Bak debu yang tertiup angin….
Aku masih bertanya-tanya, mengapa
penyakit langka ini menyerang tiba-tiba? Dia datang tanpa diundang, dia mampir
di tubuh ini tanpa aku inginkan. Satu dari seratus ribu orang…dan salah satunya
adalah aku. Mengapa harus aku Tuhan? Mengapa?
o0o
Masih ditemani cahaya matahari yang
merembes masuk melalui jendela kamarku yang setengah terbuka. Anginnya buatku
dengki, dulu dengan angin seperti ini bukan main senangnya diriku menikmati
terpaannya yang sejuk. Ramah ia membelai-belai rambut merah jambuku yang
panjangnya sepinggang. Lalu karena itu ada seorang lelaki yang mengagumi
keindahan rambut ini. Dia bilang, dia sangat senang melihat rambutku yang indah
ketika diterpa angin. Dia … Uchiha Sasuke…
Kutatap pigura yang isinya adalah
kelompok pencinta alam kampusku, Aozora. Foto itu diambil saat kami mendaki Gunung
Fuji dua tahun yang lalu. Ada Sasuke-kun,
Naruto, Hinata, Neji-san, dan Kiba.
Betapa aku merindukan masa-masa itu, masa di mana kaki ini begitu kuat untuk
mendaki sampai ke kaki langit Shizuoka. Langitnya luas, birunya dibiaskan dari
sinar mentari yang terpancar di sekitarnya, melukis dirinya sendiri dengan
segala rupa warna yang ia pantulkan ke bumi. Berbeda-beda di tiap pagi, siang,
sore, dan malam.
Aku memalingkan wajahku lagi di pigura
sebelahnya. Berdiri dengan indah fotoku berdua dengan Sasuke-kun. Melihat parasnya yang dingin itu
tetap saja bikin rindu. Hati ini lagi-lagi meringis, gara-gara penyakit ini aku
juga kehilangan belahan jiwaku. Padahal hampir tiga tahun lamanya kami menjalin
cinta, berasyik-masyuk serasa dunia hanya milik kami berdua. Tapi…
“Maaf, Sakura. Kalau boleh jujur, aku ini hanya manusia biasa. Aku tak
pernah ragu tentang perasaanmu padaku, tapi kalau seperti ini aku takut di antara
kita ada yang terluka. Karena itu jalan ini akan lebih baik … aku tak pantas
untukmu…”
Sebenarnya aku yang tak pantas untukmu, kan,
Sasuke-kun? Aku paham mana ada lelaki
yang menginginkan perempuan cacat seperti aku. Padahal aku sudah membayangkan
sisa hidupku nanti kulewatkan bersamamu. Kuguratkan semua impianku bersamamu
dalam buku harian yang sudah berpuluh-puluh jumlahnya ini. Yang isinya cuma ada
kau dan aku. Apa cintamu dulu padaku hanya isapan jempol belaka?
Sial! Sungguh sial penyakit ini
merenggut semuanya dariku, termasuk orang yang kuharap menjadi teman hidupku
nanti. Dia malah pergi meninggalkanku dan melanjutkan kuliah kedokteran di
Belanda.
Kugenggam keras pinggiran kayu yang
mempercantik pigura itu. Tersadar tangan ini membuatnya retak, kuremukkan saja
sampai rasa sakit ini terbalaskan dengan seimbang. Ah, mana bisa diserupakan,
rasa sakitnya benar-benar tak ada yang bisa menyamakan. Tapi aku tak ingin
menyalahkan penyakit ini, artinya kau yang tidak sepenuhnya mencintaiku,
Sasuke-kun. Kau tak mau menerima apa
adanya diriku!
Kutarik nafas sepanjang-panjangnya. Fase
depresi ini terlalu berat kulewati. Aku sudah cukup merepotkan orangtua dan
kerabat terdekat. Sifatku yang tidak suka merepotkan orang malah kini menjadi
sebaliknya. Haah, kalau sudah begini yang kulakukan hanya menumpahkan segala
kalut malutku melalui blog-ku. Blog
ini jadi ramai seketika sejak aku mem-publish
tentang penyakitku ini. Meski jari-jari ini juga tidak bisa dengan cepat
menekan tombol huruf seperti dulu. Tapi aku merasa lega, setidaknya ia masih
bisa digerakkan.
Sayang seribu sayang, emosiku masih naik
hinggap di ubun-ubun. Kalau saja Naruto ada di sini mungkin dia dapat
menghiburku sejenak, menenangkan pikiranku yang sering kalap. Tapi sahabat
kecilku itu pasti masih berada di Kyoto sekarang. Entah mengapa tiba-tiba jadi
rindu…
Aku selalu merasa kesepian. Semua
teman-temanku kuliahku di Todai rata-rata sudah lulus. Termasuk Naruto yang
kini melanjutkan usaha ayahnya di Kyoto. Sedangkan aku…yang aku kerjakan
hanyalah terapi di rumah sakit dan menulis. Untuk melanjutkan kuliah, aku tak
mampu melakukannya. Lebih tepatnya, tubuhku ini yang tak mampu melakukannya.
“Sakura, Sayang. Buka pintumu, Nak. Ada
Naruto.”
Mendengar teriakan Ibu, aku langsung menoleh
ke arah pintu. ‘Ma-Masa?’ tanyaku dalam hati. Aku buru-buru menjalankan kursi
rodaku ke arah pintu, ingin membuka kuncinya. Tapi tiba-tiba ada suara ketukan
jendela.
“Ohayou
(Selamat pagi), Sakura-chan!”
“Sakura, tak usah membuka pintu! Naruto
bilang dia lewat jendela saja biar kamu tidak repot membuka kunci,” teriak
ibuku lagi.
Aku pun segera berbalik ke arah jendela,
ternyata benar Naruto yang berada di sana.
“Aku boleh masuk, ya?” tanya Naruto.
Aku hanya menganggukkan kepala. Lantas
kulihat ia sedang melepaskan tali kernmantel
dari tubuhnya dan pelan-pelan melewati daun jendela yang sedikit sempit.
Tali untuk climbing yang selalu kusangkutkan di luar jendelaku, kupasang untuk
meminimalisir waktu. Bagiku naik turun tangga ke lantai dua itu sangat
melelahkan, alhasil itulah solusi yang kupakai kemudian. Terlihat konyol
memang, seperti orang jahil yang niatnya ingin mengintip aktivitas tetangga. Walau
aku tak dapat menggunakannya lagi, tak ada niat untukku melepaskannya dari
jendela. Dulu juga Sasuke-kun sering
menggunakannya untuk datang mengunjungiku.
“Apa kabar?” ucapnya sembari tersenyum
lebar.
Aku menghela nafas panjang, berbicara
saja aku butuh udara yang cukup banyak. “S-Sepert-ti y-yang kau l-lihat, k-kau
se-sendiri? K-Kapan p-pulang?”
Mata azure-nya
menatapku dengan lembut. Naruto pun menjawab, “Aku baik-baik saja, Sakura-chan. Baru sampai di Tokyo tadi malam.”
Ia lalu menurunkan ranselnya, membuka resleting dan mengeluarkan sesuatu dari
sana. “Oh ya, aku membawakan oleh-oleh untukmu. Tara!”
Aku memicingkan mata melihat kotak apa
yang sedang digenggamnya. Dari aroma ini aku langsung tahu apa yang Naruto
bawa. Aku pun tersenyum kecil. Itu dango,
makanan kesukaanku.
“Aaa…pasti aromanya tercium, ya? Ekspresimu
itu gampang ditebak hehehe. Kau pasti masih lapar, kan? Aku suapi, ya, Sakura-chan?” ujarnya antusias.
Aku hendak menolak karena takut
merepotkan, tapi tanpa kupinta terlebih dahulu kepala ini tiba-tiba saja
mengangguk pelan.
Kemudian
Naruto menuntun kursi rodaku ke pinggiran tempat tidur. Ia duduk di atasnya,
sedangkan aku tetap di atas kursi rodaku. Ia memposisikan tubuhku bersebelahan
dengannya. Naruto hendak memisahkan satu dango dari tangkai, tapi tiba-tiba
saja ia mengurungkan niatnya. “Wah, hampir saja lupa, tanganku tidak bersih.
Sebentar, ya.”
Kulihat
Naruto mengeluarkan handcleaner dari
ranselnya. Walau terlihat urakan, Naruto sebenarnya sangat memperhatikan
kebersihan.
“Nah,
buka mulutmu, Sakura-chan,” ujar
Naruto dengan tatapan lembut.
Aku
menuruti, tapi aku tak bisa membuka mulutku lebar-lebar. Ia mengerti, lalu
membelah kecil-kecil dango itu sampai ia rasa cukup masuk ke dalam rongga
mulutku. Aku pun melahapnya pelan-pelan, rasanya sangat enak. Sudah cukup lama
aku tak menyantap makanan favoritku ini.
“Bagaimana?
Enak, kan?”
“Y-Ya,
a-arig-gatou (terima kasih) N-Naruto.”
“Hei,
kita sudah lama bersahabat, jadi tak perlu sungkan, Sakura-chan. Dango ini juga ibuku yang memilihkannya,” ujarnya.
Air mukaku
seketika berubah. Sahabat? Jadi, sekarang Naruto menganggapku seperti itu… Aneh,
aku jadi galau sendiri. Padahal enam huruf itu yang selalu kujadikan alasan
untuk menolak cintanya padaku dulu. Kutatap diam-diam dia yang dimulutnya
dipenuhi dengan kue dango. Aku tersenyum kecil, ekspresi uniknya selalu saja
bisa membuatku tertawa. Tidak hanya itu sebenarnya. Satu alasan dulu mengapa aku
selalu menumpahkan keluh kesahku padanya ketika aku sedang ada masalah dengan
Sasuke-kun. Sifatnya yang alami itu,
dapat menentramkan hati orang-orang terdekatnya. Sifatnya yang hangat terhadap
sesama.
Mungkin dulu aku terlalu sempit menilai
sifat seorang lelaki. Dibandingkan dengan Sasuke-kun, sosok Naruto sebenarnya lebih terbuka. Ia punya banyak teman,
mudah bergaul, meski otaknya tidak sepintar Sasuke-kun. Dan penampilannya juga dari tahun ke tahun semakin tampan.
Bukan hanya hal itu yang kukagumi dari dirinya. Selama dua tahun lamanya
penyakit ini menyerangku, ia tetap meluangkan waktu untuk mengunjungiku minimal
seminggu sekali. Padahal jarak antara Kyoto dan Tokyo itu tidaklah dekat.
Dan aku lagi-lagi hanya bisa menyesali
tentang diriku yang selalu menolaknya dulu. Atau selalu memanfaatkan
kebaikannya untuk urusan pribadiku. Bukankah penyesalan memang selalu datang
belakangan?
“Hei,
Sakura-chan. Kenapa merenung?” sahut
Naruto tiba-tiba, membuyarkan pikiranku yang sedang kalut.
“A-Ah, t-tidak a-pa. H-hanya a-ada
y-yang sed-dang a-aku pikirkan.”
“Begitu?”
Naruto menatapku lekat-lekat, mencoba mencari sebuah kejujuran dari pancaran
sinar mata hijauku.
Takut-takut, aku langsung saja menunduk.
Kupikir ia bakal tahu ada yang aneh dari diriku. Ternyata dia tidak menelaah
lagi dengan bertanya kembali atau memaksaku bercerita tentang apa yang sedang
aku pikirkan. Tapi dia malah tersenyum kecil dan memalingkan wajahnya ke luar
jendela.
“Aku
tahu pasti banyak yang sedang kau pikirkan, Sakura-chan.” Ia lalu menatapku kembali. “Tapi tenang saja, aku selalu di
sampingmu, jadi kapan saja kau mau bercerita aku bersedia mendengarkan.” Kali
ini ditambah dengan remasan lembut di tangan kananku.
Sontak wajahku merona merah bak warna
bunga delima. Ingin melepaskannya tapi ada daya diri ini menjadi lena.
Kata orang cinta bisa tumbuh dalam waktu
sesingkat tujuh menit. Dan setiap tujuh menit bersua dengan Naruto, aku memang
bisa merasakan suasana hati yang menggelitik. Jantung dibuatnya dag dig dug
seperti suara genderang di pembukaan festival pasar malam Tokyo. Tapi semakin
kuat perasaan itu melabuh, semakin kuat juga aku ingin menghempasnya. Aku hanya
tak ingin berharap banyak. Aku pun tak mau hiprokit, mana ada seorang lelaki
mau menerima gadis cacat seperti aku?
Motor
Neuron Disease.
Penyakit ini telah merenggut segalanya, termasuk orang yang dulu aku cinta. Dia
merusak sistem saraf motorik di tubuhku, sehingga aku tak bisa lagi berjalan,
tanganku tak bisa digerakkan dengan leluasa, pita suaraku rusak—berbicara jadi
terbata-bata. Karena itu aku berusaha tahu diri, tidak mengharapkan lebih pada
seseorang di depanku yang dulu memiliki rasa khusus kepadaku. Suatu saat dia
pasti meninggalkan aku juga, seperti yang lain. Lagipula aku pun tak merasa
yakin apa perasaan Naruto kepadaku masih seperti dulu.
“Eh
ya, Sakura-chan. Apa kau masih ingin
ke Gunung Fuji?”
Aku
seketika tersentak, “E-Eh?”
“Terakhir
kemarin klub pencinta alam Aozora berpetualang ke Gunung Fuji, hanya di kakinya
saja, sih. Tapi jujur saja kami sangat kehilangan kau, Sakura-chan.”
Kulihat Naruto terdiam sejenak sembari
menatap lantai kamar tidurku. Rasa sedih, itu yang bisa kuterjemahkan dari
tatapan matanya yang sendu. Satu hal lagi yang tak kusuka dari keadaanku ini,
aku jadi sering membuat orang-orang di sekitarku menjadi sedih bahkan menangis
terisak-isak. Padahal aku selalu berusaha terlihat kuat di depan mereka. Semua
itu hanya bisa membuatku tambah terpuruk, semangat tidak sama sekali.
Naruto lalu beranjak dari tempat
duduknya, ia memperhatikan laptopku yang sedari tadi kubiarkan menyala. “Kau
sering meng-update blog-mu ya, Sakura-chan? Aku sering membacanya lho, yang paling aku suka itu yang
judulnya ‘Aku Ingin Terbang’.”
Aku jadi malu sendiri, tulisan yang
berjudul ‘Aku Ingin Terbang’ itu adalah hasil goresan tanganku yang paling konyol
di sana karena terlihat ngeyel dan mustahil; isinya pun standar. Delusiku yang
tingkat tinggi itu benar-benar terlihat gila. Entah setan apa yang merasuki
Naruto hingga ia terpukau dengan tulisanku yang aneh bin ajaib itu. Belum lagi personifikasi
dan metaforanya yang sangat hiperbolis. Aku saja yang membuatnya ketika membaca
sering terpingkal-pingkal sendiri.
Kemudian Naruto berada di depanku
sembari berlutut, “Aku bisa membawamu terbang, Sakura-chan!”
“E-Eh?” Aku tercenung seketika. Apa yang
ia maksud?
“Aku memang tak memiliki sayap, tapi aku
bisa membawamu terbang tanpa sayap hehehe.”
Seperti biasa Naruto selalu bergurau
padaku. Apalagi dibarengi dengan senyuman ala kudanya, mana bisa dipercayai
kata-kata itu.
“Aku ingin mengajak kau ke suatu tempat,
Sakura-chan. Aku sudah minta izin
pada ibumu dan beliau mengizinkan. Tapi aku masih merahasiakan tempatnya
padamu.”
Aku jadi tambah penasaran. Memang selama
sakit kerjaanku hanya berada di sekitar rumah, rumah sakit, lalu pusat
perbelanjaan. Untuk ke tempat lain bukannya aku enggan, tapi juga harus
disesuaikan dengan kondisiku.
“Tenang saja, Sakura-chan. Kujamin kau tidak akan kelelahan, karena ada Uzumaki Naruto di sini!” teriaknya lantang penuh
semangat sembari menepuk dadanya. “Kau pasti sangat merindukan alam, kan, Sakura-chan? Sekali ini
saja, kumohon penuhilah permintaanku.”
Alam dan segala yang ada di dalamnya. Angin
berhembus dari dinding-dinding kokoh, lalu dibelokkan ke dalam lereng. Dahan
pohon-pohon rindang lagi lebat dibuat menari-nari olehnya. Gumpalan awan putih
tipis-tipis turun dari tempat asalnya yang tinggi. Mengepung orang-orang yang
berdiri dalam ratapan dan mencari keajaiban Tuhan. Sungguh perasaan syukur itu
masih terekam dengan jelas dalam otakku. Ketika aku masih bisa menikam segala
resah dan gelisah dengan memandangi lukisan asli Tuhan di depan mata.
Dan kini seseorang telah menawarkan
seberkas sinar yang sejak dulu aku cari sumbermya. Tujuannya agar sinar itu bisa
menerangi hari-hariku yang selama ini gelap gulita. Dan sinar itu adalah pemadangan
alam yang asli lagi asri. Seperti warna mata ini…
Aku paham, Naruto sangat berharap agar
aku mengatakan ‘ya’. Tak ada ragu, aku pun mengangguk pelan.
“YEAH! Arigatou na, Sakura-chan!”
teriak Naruto sembari lompat kegirangan. Ia lantas menggenggam tanganku lagi
dengan erat. “Kujamin kau tidak akan menyesal menerima ajakanku! Hehe.”
“Y-Ya.”
“Baiklah, Sakura-chan. Aku pulang dulu ya, jam sembilan pagi besok aku jemput.”
Naruto kemudian membereskan barang bawaannya, namun kotak dango dan isinya ia tinggalkan di kamarku. “Tetap semangat,
Sakura-chan. Ja matta ashita (Sampai jumpa besok).”
Aku geriap, Naruto dengan cepat
mendaratkan ciumannya di dahiku. Ia tersenyum, wajahnya menjadi semerah
rambutku. Dan aku tentunya tidak bisa mengutarakan apa-apa. Ingin mengumpat pun
niat itu kuurungkan karena menurutku apa yang ia lakukan tidaklah kurang ajar.
Ingin kukatakan padanya jangan pergi
dulu, tapi apa daya suara ini tidak dapat keluar sebagaimana mestinya. Lelaki
berambut kuning cerah itu pun pergi dari pandanganku. Gerakannya memang sangat
cekatan, aku lupa kalau Naruto adalah pemanjat tebing terbaik di klub pencinta
alam kami.
Tapi tidak apa-apa, pipiku jadi merona
merah lagi. Penasaran…akan Naruto bawa ke mana aku yang setengah tak bertenaga
ini. Kalau itu adalah alam, semoga saja ia bisa membawaku ke tempat yang sangat
aku ingin kunjungi sejak penyakit ini menyerangku. Yang dulu tak sempat aku ke
sana karena begitu banyak kendala. Yang kekhasan aromanya masih kuingat hingga
sekarang. Sekali saja aku ingin pergi ke sana, mengulang rentetan memori-memori
indah yang masih terekam jelas dalam benakku. Walau bukan dengan orang yang
sama.
o0o
Aku sungguh terkejut. Di luar rumah
sudah ada dua mobil gunung berwarna merah terang yang menungguku. Sebelumnya
ibuku langsung mengantarkanku ke pekarangan saat mobil itu berhenti di depan
rumah. Tapi sebenarnya bukan itu yang mengejutkanku, melainkan orang lain
selain Naruto yang berada di dalam mobil. Aku tak menyangka ayah dan ibu Naruto
juga ikut dalam perjalanan nanti.
Kuperhatikan ibu dan ayahku menyapa
Minato-san dan Kushina-san. Sepasang suami istri itu memakai
baju safari yang umumnya dipakai untuk berpetualang. Mereka begitu terlihat
muda jika dilihat dari umurnya yang sudah kepala empat. Aku jadi dag dig dug
sendiri, pasalnya untuk apa Minato-san
dan Kushina-san ikut juga? Kupikir
hanya aku dan Naruto yang akan pergi.
“Ohayou,
Sakura-chan. Apa kabarmu hari ini?
Sehat, kan?” Kushina-san berdiri di
depanku sembari tersenyum.
“O-Ohayou,
Kushi-shina-san.” Lalu kubalas dengan anggukkan yang dibarengi senyuman.
“Oh ya, tunggu sebentar, ya.” Wanita
berambut merah lebat itu kemudian berbicara pada Naruto. “Naru-chan, sudah selesai? Kita berangkat
sekarang!” teriaknya. Lalu ia kembali berbicara padaku. “Sudah siap, kan,
Sakura-chan?”
Aku tersenyum sembari mengangguk.
Kulihat Naruto berjalan ke arahku.
“Hai, Sakura-chan. Aku bantu masuk ke mobil, ya?” Lantas ia mengangkat tubuhku
dari kursi roda dengan hati-hati sekali. Kemudian dengan pelan-pelan pula ia
memasukkan tubuhku ke dalam mobil. Aku ditaruhnya di jok sebelah pengendara,
dan sudah kuduga yang mengendarai mobil ini adalah dirinya. Minato-san dan Kushina-san menaiki mobil yang satunya lagi.
Aku perhatikan Naruto, Minato-san dan Kushina-san berpamitan pada ayah dan ibuku. Kemudian mereka mulai berjalan
memasuki mobil masing-masing. Kusadari ayah dan ibu menatapku dengan wajah
sumringah.
“Ki
o tsukete (Hati-hati), Sakura-chan,”
ucap ibu sembari melambaikan tangan padaku. Melihat matanya yang berkaca-kaca
aku jadi merasa ada yang aneh. Padahal aku hanya pergi dari rumah sebentar,
tapi ini seperti akan lama saja. Yang kulakukan akhirnya membalasnya dengan
lambaian tangan pula. Dan tak kugubris airmuka sedih tapi senang itu.
o0o
Hijau, seperti warna korneaku yang selalu
kusyukuri karena memilikinya. Akhirnya—setelah kurang lebih dua jam perjalanan—hanya
warna itu yang nampak sejauh mata memandang. Dan sedikit demi sedikit aku memiliki
bayangan ke mana Naruto membawaku pergi. Dari jauh terlihat permukaan tanah
menjorok ke langit. Warnanya biru tua, kontras dengan warna langit Shizuoka
yang terlihat cerah. Ya, kami telah sampai di Shizuoka.
Aku menggermang, tak kusangka Naruto
mengajak ke tempat yang sangat aku rindukan ini. Tempat di mana dulu pernah
kudaki sampai ke puncaknya. Lalu melihat fajar menyingsing di sana, sebuah
momen yang tidak akan pernah kulihat di kota besar macam Tokyo yang semrawut.
Tempat elok itu nirwananya dunia…Gunung Fuji.
“I-Ini…”
“Ya, selamat datang di kaki langit
Shizuoka, Sakura-chan. Selamat datang
di Gunung Fuji.”
Getaran di tubuh ini tiba-tiba menjadi
hebat. “K-Kit-ta a-akan men-ndak-ki?”
“Tidak, Sakura-chan. Masih ingat pepatah ini? ‘There are
two kinds of fool: those who have never climbed Mount Fuji, and those who have
climbed it more than once’. Hehehe. Dulu Aozora juga datang ke sini hanya bertamasya di Bukit
Hoshi. Dan mengingat keadaanmu juga, aku tak mau mengambil risiko.” jelasnya. Sepertinya
Bahasa Inggris Naruto makin bagus saja. Memang sebagai pengusaha, sepertinya ia
dituntut untuk bisa bicara dalam Bahasa Inggris oleh ayahnya.
Ada benarnya juga yang Naruto katakan,
selain itu aku juga tak mau lebih jauh merepotkan. Untuk diajak ke sini saja
aku sudah sangat senang.
Tak berapa lama semakin tinggi jalan
yang kami lewati, penuh dengan bebatuan. Jalannya memang tak terlalu ramai di
hari biasa. Kemudian mobil masuk ke jalan setapak yang dikelilingi pohon yang
rindang lagi lebat. Aku langsung kenal hutan ini, ini adalah Hutan Aokigahara.
Hutan yang nyatanya paling sering dijadikan warga sekitar untuk bunuh diri.
Namun bagiku hutan ini sangat indah. Berarti kita sudah berada tepat di lereng
Gunung Fuji.
Setibanya di tempat tinggi—yang
sepertinya adalah Bukit Hoshi—Naruto mematikan mobil, lalu memalingkan wajahnya
kepadaku. “Kita keluar sekarang ya, Sakura-chan.”
Ia keluar dari mobil dan menggendongku keluar juga dari arah pintu jok tempatku
duduk.
Hanya berjalan sebentar ke pinggiran
bukit, Naruto menurunkan tubuhku ke rumput hijau di bawah. Aku memintanya untuk
tak perlu mengeluarkan kursi rodaku, aku ingin duduk di permadani alam yang
selama dua tahun ini tak pernah kulihat. Ia kemudian meminta izin untuk ke
mobil sebentar yang diletakkan tak jauh dari tempatku duduk. Katanya ada yang
ingin ia bawa ke sini.
Aku menyedarkan pandangan ke daerah
sekitarku. Panoramanya menyegarkan mata, di bawah sana terlihat barisan rapi
pepohonan Hutan Aokigahara yang membentang melingkari Gunung Fuji. Tapi hanya
bagian atas pohonnya saja yang terlihat, kalau untuk melihat lebih dalam ke
sana, aku harus duduk ke tepian bukit. Sembari menunggu Naruto, terdengar suara
mobil lain datang. Aku pun menoleh ke belakang, ternyata itu adalah Minato-san dan Kushina-san. Mereka langsung berjalan ke arah Naruto sekeluarnya dari
mobil. Mereka bertiga terlihat bercakap-cakap, tapi itu pun tak lama. Naruto
segera menghampiriku lagi dengan membawa alat semacam seat harness (semacam pelindung tubuh dan seatbelt untuk panjat tebing dan parasailling), helmet,
dan tas besar yang biasanya ia gunakan pada saat mendaki. Lalu ia duduk di
sebelahku sembari meluruskan kakinya.
“Sakura-chan, kita terbang bersama, yuk!”
Aku menatapnya termangu. Lagi-lagi ia
melontarkan sendaannya padaku. Baiklah, aku pun akan mengikuti permainannya
kali ini. “B-Bol-leh, i-itu p-pun ka-kalau k-kau m-mampu,” ujarku sembari
menjulurkan lidah.
Naruto tertawa terpingkal-pingkal,
mungkin karena tak menyangka balasanku bakal seperti itu. Rasanya sudah lama
tak bersenda gurau dengannya. “Kalau aku mampu, kau akan memberiku apa? Kita
taruhan, ya? Hehe.” Ah, inilah yang kutunggu-tunggu.
“A-Aku a-akan m-menik-kah d-denganmu,”
ucapku dibarengi dengan cengiran kecil.
Mendengarnya Naruto mematung seketika
seperti orang yang mati berdiri. Tapi itu tak lama, ia malah tertawa
terbahak-bahak setelahnya. Artinya dia menganggap ucapanku hanya candaan saja. “Kalau
aku tidak bisa membawamu terbang bagaimana?” tanyanya lagi.
Aku memutar otak mencari jawaban yang
tepat. “K-Kau h-harus m-meng-ngurusiku s-selama sebul-lan pe-penuh.”
“Maksudmu menjadi pembantumu selama
sebulan?”
Aku menahawan tawaku, kalau kulepaskan aku takut sakit perut. Ekspresi Naruto
benar-benar lucu. Alisnya terangkat, mulutnya terbuka lebar, pasti dia tak
menyangka aku bisa berbicara seperti itu padanya. Lagi-lagi yang ia lakukan
hanyalah tertawa menanggapi omonganku.
“Baiklah kalau itu maumu.” Ia mencubit
pelan kedua pipiku. “Oh ya, sekarang kau pakai baju ini ya biar tidak
kedinginan, lalu sepatu ini, helmet
ini, dan seat harness. Kubantu
mengenakannya ya?”
Aku terperangah ketika ia menyebutkan
alat-alat itu satu per satu. “I-Ini k-kan—”
“Kemarin sudah kubilang, kan? Aku memang
tak punya sayap, tapi aku bisa membawamu terbang, Sakura-chan. Karena itu kita akan terbang dengan itu…,” ucapnya sembari
menunjuk ke belakang. Ternyata di sana sudah terbentang parasut yang biasa di
pakai untuk parasailing. Minato-san dan Kushina-san yang menyiapkannya.
Lagi-lagi aku takjub dengan kejutan yang
Naruto berikan. Belum melayang di udara saja jantungku berdegup kencang bukan
main.
“Tenang saja, Sakura-chan. Aku akan menjagamu, kujamin kita
akan selamat mendarat.”
Rupanya perasaan cemasku terbaca oleh
Naruto. Tapi aku bungkam, entah mengapa setelah mendengar ucapannya aku jadi
merasa lega, malah makin menggebu-gebu ingin mencoba olahraga ekstrim ini. Lalu
dengan cepat ia memakaikan semua peralatan parasailing
di tubuhku. Ia pun memeriksanya beberapa kali untuk memastikan apa seat harness, helm, sepatu sudah terpasang dengan betul. Lantas tali dari parasut
pun disambungkan dengan seat harness-nya.
Kulihat Naruto sedang memperhatikan
suatu alat yang ada di tangannya. Sepertinya itu adalah windmeter, alat untuk mengukur kecepatan angin. Ia lalu menggantung
alat itu di ikat pinggang seat harness.
Rupanya di sana juga ia menggantungkan beberapa alat seperti handy talky, GPS, handycam dan
variometer.
“Sip, kecepatan anginnya pas,” ujar
Naruto. Ia kemudian menyambungkan rantai yang ada di seat harness kami masing-masing karena kami akan terbang bersama dengan
satu parasut. Ia kemudian menggendong tubuhku dan berjalan ke pinggiran bukit
yang langsung mengarah ke dalam lereng Gunung Fuji. Lalu aku diletakkan
berdiri, ia menggenggam dan menopang tubuhku bersender di tubuhnya agar aku tak
terjatuh. Kami berdiri benar-benar di tepi bukit, tinggal berjalan selangkah
sudah pasti langsung jatuh ke sana.
Aku memperhatikan pemandangan di lereng,
benar-benar indah, aku tak sabar untuk menjelajahinya dari langit sana.
“Siap, Sakura-chan?”
Aku mengangguk cepat, lalu berdoa dalam
hati pada Tuhan semoga ini bisa berjalan dengan lancar.
Kemudian Naruto menoleh ke belakang.
Memberikan aba-aba pada ayah dan ibunya. “Siap, Otou-san!” teriaknya sembari mengangkat tangan kanannya. Kemudian
Minato-san dan Kushina-san membentangkan parasut—yang tadinya
diletakkan di tanah—ke udara. Angin yang cukup kuat pun membuat parasut itu
mengembang. Dan…
WUUUSSSHHH…!
Parasut mengembang, terbang terbawa
angin. Kami pun mulai terbang melayang di atas lereng Gunung Fuji.
Aku ingin berteriak kencang ketika
terpaan angin Gunung Fuji menghantam wajahku dengan keras. Asik rasanya. Sama
sekali tak kututup mata ini walau begitu tingginya aku dan Naruto melayang di
langit Shizuoka. Karena aku tak takut dengan ketinggian, semakin tinggi aku
melayang rasanya senang bukan kepalang.
Hutan Aokigahara yang begitu terlihat
hijau bak permata zamrud. Angin membawa kami semakin mendekat padanya. Terlihat
kelinci-kelinci liar—yang tak kalah lucunya dengan peliharaanku di rumah—berlari-lari
dengan teman-temannya, seperti sedang bermain.
“Say
hi, Sakura-chan!” teriak Naruto
sembari menyodorkan handycam di
depan mataku. Ya ampun, dia masih sempat-sempatnya merekam momen mengasyikkan
ini. Tapi sudahlah, aku malah bergaya di depan handycam dengan centilnya. Naruto hanya tertawa melihat aksiku.
Lantas Naruto memutar ke kanan tali
parasut bagian kiri sehingga kami pun berbelok ke arah kanan. Dan ternyata di
bagian kanan lereng, pemandangannya lebih elok lagi. Tampak danau Yamanaka dan
Kawaguchi yang dikelilingi oleh ilalang raksasa berwarna emas. Mereka
meliuk-liuk indah di terpa angin lereng. Di sebelah baratnya tampak perkebunan
teh penduduk sekitar. Aku benar-benar tergugah dengan panoramanya.
“Yuhuuuuu…!!! Bagaimana Sakura-chan? Aku bisa membawamu terbang, kan?”
teriak Naruto bangga.
Ya, tak ada sayap, parasailing pun jadi. Naruto juga terlihat mampu dan mengenal seluk
beluk lereng ini karena sepanjang aku memandang ke bawah, pemandangannya selalu
indah. Dia pintar memilih direksi, dan mengarahkan parasut dengan teliti.
Sepertinya bukan pertama kalinya ia melakukan olahraga esktrim ini. Tak semua
kelompok pencinta alam Aozora dapat melakukannya, aku tahu itu.
“Sebentar lagi kita mendarat di sana,
Sakura-chan!” teriaknya sembari
menunjuk ke bawah. Naruto buru-buru menyangkutkan handycam di belt seat
harness-nya. Ah, rasanya terlalu cepat untuk mengakhiri bahagia ini, aku
ingin terbang lebih lama lagi. Hanya sekitar sepuluh menit kami mengudara.
Kuperhatikan di sana ada lingkaran merah
berdiameter besar. Ada beberapa orang di sana yang melambaikan tangannya ke
arah kami. Semakin dekat jaraknya semakin aku bisa melihat dengan jelas.
Ternyata mereka…
“Kita mendarat, Sakura-chan. Lima…empat…tiga…dua…satu!”
Sontak aku menutup mataku saat hamparan
tanah berada di depanku. Naruto cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah lebih
dulu dariku sehingga aku berada tepat di atas tubuhnya. Kami tersungkur keluar
dua meter dari dalam lingkaran. Aku pun membuka mataku perlahan, dan saat itu
pun aku menyadari aku memeluk tubuh Naruto dengan erat. Kepalaku bersandar di
atas dadanya.
“Hei, kau tidak apa-apa, Sakura-chan?” Naruto mencoba bangkit dari
tanah. Orang-orang yang ada di sana membantu melepas seat harness dari tali parasut yang terpasang ditubuhku dan Naruto.
Aku memperhatikan orang-orang itu sembari mencoba duduk dan kembali bersandar
di tubuh Naruto. Ternyata benar, orang-orang itu adalah teman-teman yang sudah
lama tak aku jumpai. Ada Hinata, Kiba, Neji-san,
dan Sasuke-kun! Tak kusangka Sasuke-kun ada di sini juga.
“Hei, Sakura-chan, masih ingat dengan taruhan kita, kan?” tanya Naruto sembari
mengangkat daguku perlahan, cengengesan seperti orang gila. Tiba-tiba ia
mengangkat tangan kanannnya. Ada suatu benda yang sedang ia genggam di sana,
warnanya perak melingkar dengan permata zamrud menghiasi bagian atasnya. Aku
tercenung menatapnya
“Will
you marry me?”
Sejurus kutatap lekat-lekat mata azure yang menatapku dengan pancaran
sejuta cinta yang sulit diuraikan satu per satu dengan kata. Kini aku tak bisa
memungkirinya lagi, aku ingin lebih sering bersama dengan sahabat kecilku itu
setiap waktu. Dan aku benar-benar tak menyangka Naruto akan melamarku dengan
cara seperti ini. Amazing!
Aku tertawa sembari menangis
tersedu-sedu. Kurapatkan wajahku ke dadanya karena malu.
“Jadi, jawabannya, Sakura-chan?” tanyanya tak sabaran.
Aku menatap wajahnya sebentar kemudian
menaruh kepalaku lagi di dadanya. “T-Tentu s-saja a-aku ma-mau, B-Baka (Bodoh)!” teriakku sembari
memukul dadanya, manja. Lalu kudengar suara riuh teman-temanku yang bertepuk
tangan. Aku memandang mereka satu per satu dengan mengembangkan senyumanku.
Semuanya terasa begitu indah sampai aku
merasakan tetesan air mengenai dahiku. Kupikir itu hujan. Maka aku perhatikan
langit Shizuoka yang tak ada mendung-mendungnya. Terheran-heran sendiri,
kutatap lelaki yang sedari tadi menjadi sandaran tubuh lemah ini. Ternyata air
itu jatuh dari mata seorang lelaki yang akan segera menjadi suamiku itu. Entah
haru biru, atau tangis bahagia, kubawa saja tangan kiriku untuk menghapus
airmata di kedua pipinya. Lantas dia mencium keningku.
“Yang kuat, Sakura-chan. Aishiteru yo, boku ga soba ni iru kara (Aku cinta
kamu, maka dari itu aku akan selalu berada di sampingmu),” ucap Naruto
terisak-isak. Ia mempererat dekapannya padaku.
“A-Aku j-juga m-mencintai-imu,
N-Nar-ruto.” Aku ikut menangis pula, hanyut dalam kehangatannya yang telah
menguatkan diri ini. Ya, sekarang aku punya alasan untuk hidup. Aku memiliki
alasan untuk berjuang melawan penyakit ini. Karena ada seseorang yang bisa
menerimaku apa adanya, memperlakukanku seperti wanita yang paling sempurna di
dunia. Terlebih Naruto bersedia menanggung beban ini di pundaknya juga.
Tak akan kubiarkan Naruto pergi, sahabat
kecilku … teman hidupku…
Di bawah kaki langit Shizuoka, kami
mengikat janji, bahwa hanya kematian yang bisa memisahkan kami….
.
.
SELESAI
.
.
Oh ya, mohon maaf update fanfic saya yang lain lagi-lagi
terbengkalai. Saya lagi fokus sama pembuatan novel pertama saya ^^v, doakan
saja cepat selesai jadi saya bisa lanjutin fanfic2
saya hehehe. Kalau ada yang mau tahu apa novel yang sedang saya buat bisa
lihat di blog saya yang ada di profil
^^.
Btw, saya bukan anak pecinta alam. Untuk parasailing-nya saya melakukan riset
kecil-kecilan dan terlihat ngasal ^^a.
Untuk kalian yang ingin mengenal Nabila dan ingin mengetahui apa itu Motor Neuron Disease, kunjungi
saja blog-nya di www.nabilanurjanida.tumblr.com.
Dia adalah motivator saya ^^.