I’m Your Angel
Naruto © Masashi Kishimoto
Angel
Duster © Susugi Sakurai
Warning:
AU. Rated T. OOC. Multichapters. Angst/Romance/Fantasy.
Main Characters: Sasuke and Hinata.
And some NaruSaku, ItaIno.
Selamat membaca ya ^^
Summary: Hinata,
malaikat yang dijuluki sebagai Evening
Star karena merupakan malaikat terakhir yang sampai sekarang belum selesai
mengerjakan tugasnya. Tugas para malaikat adalah membuat semua manusia di muka
bumi bahagia sebelum pergantian tahun baru. Namun Hinata gagal sebelum itu.
Akhirnya Kami memberikan tugas
terakhir yang lumayan berat padanya. Yaitu menghilangkan kepedihan yang sedang
dirasakan seorang pemuda bernama Uchiha Sasuke. Pertama yang ia lakukan
tentunya mencari tahu apa yang membuat Sasuke mengalami lara berkepanjangan.
Tapi harus sebelum hari pergantian tahun yang akan datang seminggu lagi. Kalau
tidak Hinata akan…
.
.
Oh my soul is dying,
It's crying
I'm trying to understand
Please help me
(How Could An Angel Break My Heart
– Tony Braxton)
.
Chapter 2
Bunga Tidur
.
.
Malam
melipur, dan pagi menjelang. Namun langit masih dikuasai warna kelabu yang
membaur dengan jingga yang remang-remang. Bekas malam masih belum mau beranjak
berganti singgasana dengan pagi.
Meski jam kerja masih lama untuk
dimulai, Haruno Sakura selalu menyempatkan diri untuk bangun pukul 5 pagi.
Duduk di atas kasurnya seraya memandangi daun jendelanya yang masih tertutup
tirai. Menunggu bagi kebanyakan orang adalah hal yang membosankan, tapi untuk
hal ini, Sakura tak pernah mempermasalahkannya. Karena ia sedang menunggu
matahari merangkak naik, menunjukkan kuasanya pada pagi di belahan langit
timur. Ia sedang menunggu dirinya.
Dirinya yang
seperti matahari terbit.
Seberkas
cahaya tipis pun masuk melalui sela-sela jendelanya. Sakura tak ragu lagi untuk
membuka jendela.
“Ohayou, Naruto,” lirihnya. Kemudian
Sakura membawa tangannya untuk mengelus perutnya yang membesar itu. “Berikan
salam sama Otou-san, Nak,” ucapnya
mengembangkan senyum. Tak berapa lama ia merasakan gerakan lembut dari dalam
perutnya. Sakura pun tersentak kaget.
Ini
adalah pertama kalinya janin di dalam perutnya bergerak. Senyuman Sakura pun
semakin melebar diiringi buliran air mata yang mengalir dari matanya yang
sehijau wilayah Khatulistiwa.
“Harusnya
kau juga bisa merasakan gerakan pertama anak kita ini, Naruto.”
Sakura
meratap.
“Apakah
matahari akan menyampaikan pesanku untukmu? Kau berada di langit belahan mana?”
Sebuah
pertanyaan yang tidak pernah dijawab oleh siapa pun.
.
o0o
.
Teluk Odaiba…
Dan seorang perempuan berwajah pucat pasi
yang berdiri di tepiannya.
“Sasuke…maafkan
aku. Biarkan aku pergi. Aku tak pantas untukmu.”
Peluh membasahi kening Sasuke.
Jiwanya berada di tempat lain, namun raganya masih tergolek di tempat tidurnya.
“Ada
apa ya?” Hinata yang masih berada di sana, memperhatikan Sasuke dengan raut
cemas.
“Jangan gegabah! Cepat turun!”
Tubuh Sasuke menggelepar seperti
ikan yang tergeletak di daratan—lepas dari habitat airnya.
“Aku mencintaimu, Sasuke. Kau harus ingat
itu.”
“Bohong! Kalau kau mencintaiku, kau
tidak akan pernah mau meninggalkan aku!”
Tubuh Sasuke menyamping, kini ia
rasakan sesak di nafasnya.
“Apa
yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membangunkannya. Aku tidak bisa
menyentuhnya,” ujar Hinata yang menggigit bibirnya sendiri.
“Aku mencintaimu, Sasuke.”
Wanita itu tersenyum.
Kemudian terjun bebas ke dalam
teluk.
Tak pernah kembali.
DRRTT! DRRRT!
“Hah?”
mata hitam itu pun sepenuhnya membuka.
DRRT!
DRRTT!
Hinata
menoleh ke arah sumber suara getaran itu.
Sasuke
menoleh ke samping kanannya. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur
nafasnya yang tadi sempat tersengal-sengal. Ia pun mengambil ponselnya itu yang
berbunyi. Tertera di layarnya nama seseorang.
Sasuke
memandangi langit-langit kamarnya. Berpikir, apakah ia harus menerima panggilan
telepon itu atau tidak.
“Kenapa
tidak diangkat?” tanya Hinata. Meski ia tahu suaranya tidak akan didengar oleh
Sasuke.
Akhirnya
Sasuke menerima panggilan telepon itu. “Halo.”
“Sasuke? Kenapa lama sekali? Kau mimpi buruk
lagi?”
Nafas Sasuke meletup perlahan.
“Ya, Nii-san. Terima kasih sudah membangunkanku.”
“Hm…sepertinya mimpi burukmu semakin sering
saja, Sasuke.”
“Kemarin-kemarin tidak seperti
ini, Nii-san. Tidak seperti
sebelum…Naruto meninggal,” suara Sasuke mengecil saat menyebutkan nama
sahabatnya itu. Bagaimanapun Sasuke tidak akan bisa melupakannya, senja yang
penuh darah itu…
“Apa aku perlu membawamu ke Tsunade-san
lagi?”
“Ah,
tidak perlu, Nii-san.”
“…”
Orang di seberang terdiam sesaat. Jika Sasuke menyadari, sebenarnya ada
yang sedang orang ini pikirkan. Selang beberapa detik, ia mulai berkata lagi, “Ngomong-ngomong, Sasuke. Aku ingin
mengunjungimu sekarang.”
“Sekarang? Bukankah ini masih pagi
sekali, Nii-san?”
“Dasar tukang tidur, sudah siang, tahu! Coba
kau singkap tirai kamarmu!” seru suara dari seberang.
Sasuke
berdecak kesal. Ia masih malas untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ia pun
membuka tirai jendela, dan langsung mengatupkan mata ketika cahaya matahari
menghantam ke wajahnya. “Yang benar saja.”
“Sasuke… Sasuke…! Kau masih ada di sana?”
Sasuke kembali meletakkan
ponselnya ke daun telinganya. “Ya, Nii-san.”
“Tolong bukakan pintu apartemenmu.”
“Eh?” Sasuke berharap ia salah
dengar.
“Tolong bukakan pintu apartemenmu. Aku datang
bersama dengan Ino dan Naoki.”
Sasuke mendesah. Kalau seperti ini
ia tidak bisa berbohong lagi. “Baiklah…” Ia pun segera beranjak ke pintu.
“Mau
ke mana?” mata Hinata mengikuti ke mana Sasuke pergi.
Ketika
Sasuke membukakan pintu, ternyata memang benar kakaknya sudah berada di sana
bersama dengan istri dan anaknya.
“Ohayou, Sasuke-kun,” ujar Ino seraya membetulkan posisi Naoki—anaknya yang berumur
satu setengah tahun—yang sedang digendongnya.
“Oci…!” seru si kecil Naoki yang langsung
riang melihat wajah pamannya.
Sasuke
terdiam sejenak.
“Ne, Sasuke. Kau tidak akan terus
membiarkan kami di sini, kan?” tanya Itachi setengah bercanda, setengah serius.
Masalahnya ia memang sudah menunggu sekitar sepuluh menit untuk membangunkan
Sasuke tadi.
Bibir
pucat Sasuke segera mengembangkan senyum. “Hai, Jagoan!” Ia pun merentangkan
tangannya ke arah Naoki—berniat ingin menggendongnya.
Si
kecil Naoki memajukan tubuhnya ke depan; Ino pun mengerti, lalu memberikan Naoki
kepada Sasuke.
“Aku
baru bangun. Jadi, harap maklum jika apartemenku tampak berantakan. Aku belum
sempat membereskannya.” Sasuke memberikan sinyal agar Itachi dan Ino masuk ke
dalam. Lalu ketika sampai di ruang tamu, mempersilakan keduanya duduk. Ia
sendiri duduk di seberang meja bundar yang memisahkan posisi mereka.
Naoki
menarik lengan baju Sasuke, agar pamannya itu mendirikannya. Kaki kecilnya
berjinjit di kedua paha pamannya. Ia kemudian menepuk-nepuk pipi Sasuke seraya
mengoceh tidak jelas. Ia ingin bermain rupanya.
Sasuke
tertawa pelan melihat tingkah keponakannya itu. Naoki memang sangat
menggemaskan. Ia sangat mirip dengan ayahnya, Itachi, kecuali pada bagian matanya
yang berwarna biru muda yang ia dapat dari ibunya.
“Tolong
berikan ini, Sasuke,” Ino menyodorkan botol susu yang masih penuh terisi kepada
Sasuke.
Baru
saja Sasuke mengambilnya, Naoki buru-buru meraih botol susu itu. “Kau sangat
kehausan, ya?” tanyanya seraya memperhatikan Naoki meminum susunya dengan
lahap. “Ah ya, kalian ingin minum apa? Tapi di sini hanya ada air putih.”
Sasuke hendak memberikan Naoki pada ibunya kembali, namun Naoki langsung
merengek tidak ingin berpindah posisi.
“Biarkan
aku saja, Sasuke-kun,” ujar Ino
menawarkan diri. Ia kemudian bergegas menuju dapur.
“Kau
ini, Sasuke. Kalau tidak ada minuman lain, harusnya kau tidak perlu menawar,”
omel Itachi.
“Apa
boleh buat, aku belum belanja bulanan,” jawab Sasuke enteng. Ia menciumi
ubun-ubun Naoki yang duduk anteng di pangkuannya.
Ino
kembali dari dapur dengan tiga mug yang
berisi air putih. Ia kembali duduk di sebelah suaminya.
“Sasuke,
kau masih sering bermimpi buruk ya? Aku tidak keberatan jika harus mengantarmu
ke Tsunade-san,” tanya Itachi sembari
menegak air dari mug. “Dan berarti
aku harus kembali meneleponmu setiap pagi agar kau terbangun.”
“Aku
tidak mau ke sana lagi, Nii-san. Setiap selesai terapi di sana, aku
selalu merasa ada yang hilang dari diriku, tapi aku tak bisa memastikan apa
yang hilang itu.”
Dahi
Itachi mengerut. Ia memandangi Ino sebentar.
“Aku
tidak gila, kan, Nii-san?” tanya
Sasuke yang jaring pandangannya menikam tepat ke mata hitam Itachi.
Hinata
yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka tercenung mendengar pertanyaan
Sasuke. “Sepertinya Sasuke terlihat depresi. ”
Itachi
tertawa pelan, “Ada-ada saja kau, Sasuke. Kalau kau benar-benar gila, kau tidak
akan bisa bercanda dengan Naoki.”
Sasuke
menyadari keponakannya itu tertidur di pangkuannya. Susunya baru seperempat
botol diminum. Ia lalu meletakkan botol susunya di atas meja. “Sehabis minum
susu, ia selalu mudah tertidur.”
“Persis
waktu kau kecil dulu, Sasuke.”
Sasuke
hanya tersenyum tipis memperhatikan keponakannya. “Oh ya, Nii-san, ada yang ingin
aku tanyakan lagi.”
“Ada
apa?”
“Aku
tidak mengerti, aku masih berkabung karena Naruto telah tewas. Tapi semalam ini
baru saja terjadi, mimpiku aneh sekali.”
“Memangnya
kau bermimpi apa?” Itachi jadi penasaran.
“Aku
bermimpi seorang wanita bunuh diri di Teluk Odaiba.”
Mata
Itachi melebar seketika. Sebelum Sasuke memandanginya kembali, ia memasang air
muka datar. “Lalu? Apa kau mengenalnya?”
“Aku
tidak terlalu ingat. Yang jelas wanita itu wajahnya pucat sekali. Ia
berkali-kali bilang bahwa ia mencintaiku. Padahal aku sedang stres memikirkan
kematian Naruto. Dan rasa bersalahku juga terhadap Sakura. Gara-gara aku ia
ditinggalkan suaminya saat sedang hamil muda. Tapi kenapa tiba-tiba aku
memimpikan wanita yang sama sekali tidak kukenal?”
“Apa
maksudnya ya?” Hinata meletakkan tangannya di dagu. Menerka-nerka apa yang
terjadi pada Sasuke.
“Terkadang
kita juga mengalami mimpi di tempat yang tidak kita tahu di mana, Sasuke.
Menurutku itu hanya kebetulan. Bisa saja akibat dari keadaanmu sekarang ini.”
“Masuk
akal juga.”
Itachi
lalu memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. “Oh ya, Sasuke, bagaimana
kuliahmu? Kau rajin masuk, kan?”
Sasuke
mendesah, tidak terlalu suka dengan topik ini. “Ya,” jawabnya singkat.
.
o0o
.
Hinata duduk di pinggiran tempat
tidur Sasuke, memperhatikan lelaki itu bermain wii seorang diri. Ia sedang memikirkan cara untuk membantu Sasuke
menemukan kebahagiaannya, tapi ia merasakan bahwa ada banyak hal yang ia tidak
tahu tentang Sasuke. Wajar memang karena ia baru dua hari melaksanakan misi
ini.
Menerawang
ke masa lalu Sasuke pun tidak bisa seluruhnya bisa Hinata lakukan. Kekuatannya
tidak lebih dari itu.
Tiba-tiba
ia teringat kejadian tadi malam dimana ia kira Sasuke bisa melihatnya.
Setelahnya Sasuke hanya mengatakan: Halusinasiku
semakin parah saja. Namun Hinata berpikir, mungkin saja Sasuke bisa
melihatnya, hanya saja ia terlalu kelelahan sehingga menganggap itu hanya
delusi belaka.
“Apa
aku menyamar saja jadi manusia ya? Tapi sebagai siapa?” Hinata berpikir keras.
Selama sepuluh menit otaknya berputar, akhirnya ia mendapatkan ide.
.
o0o
.
“Itachi,
apa ini menurutmu baik untuk Sasuke-kun?”
Itachi
dan Ino baru saja pulang dari rumah Sasuke. Mereka kini berniat kembali ke
rumah. Setelah berada di dalam mobil pun Sasuke masih menjadi topik yang mereka
bahas.
“Tidak
ada cara lain. Aku tidak ingin melihat Sasuke ingin bunuh diri untuk kedua
kalinya,” ujar Itachi yang tetap fokus memandang ke depan jalan. Ia memang
selalu mengendarai mobilnya dengan hati-hati.
“Tapi
apakah bakal lebih baik jika ia mengetahui tubuh Naruto belum ditemukan? Dari
pada harus mengatakan bahwa Naruto telah tewas.” Ino memperhatikan Naoki yang
masih tidur di dekapannya.
“Lebih
baik skenario ini tetap harus dijalankan. Kalau Sasuke tahu apa yang sebenarnya
terjadi itu malah lebih buruk.”
“Sasuke-kun adalah pemuda yang pintar dan
diprediksi memiliki masa depan cerah. Dosennya sendiri yakin ia akan menjadi
dokter yang tangguh nantinya. Aku tak menyangka ia akan seperti ini,” Ino
menatap Itachi dengan air muka sedih.
“Aku
juga tidak menyangka, Sayang.”
Ino membelai dahi Naoki.
“Kalau saja Sasuke tidak pernah
mencintai gadis itu…mungkin ia tidak
akan seperti ini. Yang harus aku lakukan sebagai kakak adalah membantunya
keluar dari lubang Neraka.”
.
o0o
.
Pagi
hari ini Sasuke mendapatkan mimpi buruk yang lagi-lagi sama seperti kemarin
malam. Untungnya saja Itachi membangunkannya dengan cara meneleponnya jam 6
pagi. Ia buru-buru beranjak dari kasur dan mandi. Hari ini ia harus kembali ke
kampus.
Sasuke
segera menyambar roti tawar di meja makannya. Baru saja ia hendak membuka
pintu, terdengar bel berbunyi. “Siapa sih pagi-pagi begini?” gerutunya.
Kemudian ia membuka pintu dengan kasar, berniat untuk menghardik tamunya, tapi
ia terdiam ketika melihat siapa tamunya.
“A-Ano,
maafkan saya mengganggu pagi-pagi.” Ia seorang wanita; membungkukkan badannya
pada Sasuke. “Saya Ueno Hinata, penghuni baru di kamar sebelah,” lanjutnya
lagi.
Sasuke
ingin membalas sapaannya, namun entah mengapa bibirnya menjadi kelu. Ia
memperhatikan wanita itu.
Wanita
itu berambut panjang biru tua yang dikuncir kuda. Wajahnya putih bersih.
Suaranya selembut gemeresik air.
“Cantik,” ujar Sasuke dalam hatinya.
Bersambung…