Better Left Unspoken [Semi-Autobiografi]

Better Left Unspoken
Some things are better left unspoken, and I guess loving you is one of them - Anonymous
            “Kenapa gue baru jatuh cinta sama dia? Kenapa nggak dari dulu?” Yumi mendesah. Hari ini ia memutuskan untuk menetap di rumah. Duduk santai di dekat jendela sembari menelisik hujan yang ricis di luar sana.
             Pikirannya sedang meneropong ke waktu lalu. Ada yang sedang mengacaukan otaknya yang biasanya berjalan lurus. Dia masih bingung ini hanya pelarian semata atau ilham dari Yang Maha Kuasa.
            “Sebenarnya agak capek jatuh cinta sama orang. Mau dia tahu atau nggak tahu, kalau bukan jodohnya pasti bakal lari ke mana-mana.” Yumi mengeluh kembali.
            Diumurnya yang menginjak 24 tahun, sudah sewajarnya ia memikirkan percintaan di jenjang yang lebih serius. Apalagi cukup banyak teman seumurannya yang sudah menikah. Ia memang punya prinsip ingin berpacaran sehabis nikah saja, tapi sebagai perempuan biasa, ia juga mengalami kejatuhan cinta. Setelah gagal dalam menunggu yang tidak pasti, ia kini berhasil jatuh cinta lagi. Hanya saja yang namanya goresan luka, sembuhnya agak lama, terlebih di hati….
            Yumi menatap layar ponselnya. Di sana ia memandangi sebuah foto yang terbilang cukup lama, diambil sekitar lima tahun lalu. Ia masih mengingat perjalanan panjang itu. Diawali dari Bandung, Sukabumi, dan Bogor. Waktu itu di dalam mobil ada tiga cewek dan tiga cowok. Dan yang menyetir selama hampir 20 jam perjalanan hanya satu orang.
            “Latif Hadyan. Satu di antara tiga cowok yang gue izinkan main ke rumah. Dan gue nyadar dia itu istimewa baru sekarang. Bego banget gue.”
            Yumi kembali memandang keluar. “Haruskah dia tahu? Kalau dia tahu … apa dia mau?” Sementara ia telah mengecap bagaimana rasanya cinta terpendam dan cinta yang berhasil di lontarkan. Semuanya belum berakhir sesuai dengan yang ia inginkan.
            Matanya tiba-tiba terasa berat. Ia tertidur dengan kepala menyandar di kursi. Dan di saat itu pula mimpi dan kenyataan melebur jadi satu….
.
.
            Yumi menatap sosok yang disukai Noelan dengan antusias. Cowok itu sedang mengambil wudhu di samping Musola. Ia lalu menyenggol bahu sahabatnya itu. “Jadi itu yang namanya Latif? Gue sering liat dia di musola. Oh ya, dia juga yang jadi model sama lo kan buat promosi kampus? Dari mukanya sih cocok sama lo, Lan. Gue dukung lo!”
            Noelan nyengir lebar. “Bisa aja lo, Mi. Tapi kayaknya gue bakal pendam aja deh. Denger-denger dia nggak mau pacaran.”
            “Oh ya? Kenapa? Apa dia punya prinsip kayak gue?”
            “Nggak juga sih. Kayaknya dia trauma gitu.” Mata Noelan tiba-tiba tertuju pada sosok yang lewat di depannya. “Itu mantannya Latif, namanya Riska.”
            Mata Yumi mendelik. “Seriusan lo?” Ia memandangi penampilan cewek bernama Riska itu dari atas sampai bawah.
            “Mi … Mi! Itu si Atmajaya!” Kini giliran Noelan yang menggoda Yumi. Ia mengarahkan pandangannya ke tempat wudhu Musola. Gebetan Yumi rupanya ada di sana pula. “Wah, mereka cowok-cowok yang rajin solat tepat waktu ya.”
            Yumi mengangguk penuh semangat. “He-eh. Kita ikut solat, yuk!” Ia lalu menarik paksa Noelan untuk ke musola. Ibadah yang bermodus flirting.
.
.
            Yumi berlari kencang ketika keluar dari kosannya. Ia begitu panik saat mendapatkan telepon dari Noelan jika Sari pingsan di supermarket di Bandung Indah Plaza. Ia segera menaiki angkutan umum. Sesampai di sana, ia berlari kembali menuju supermarket itu dan menemukan Noelan duduk menemani Sari yang terbaring di atas tikar. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada petugas supermarket yang mengantarnya ke ruangan istirahat para pekerja supermarket itu. Ia menyadari ada teman kampusnya bernama Opik dan Ihsal juga di sana.
            Yumi memandangi Sari dengan wajah prihatin. “Apa nggak dibawa ke rumah sakit aja?”
            “Nggak mau. Aku udah sering ngerepotin kalian dari kemarin-kemarin. Obat yang kemarin aja belum habis.” Susah payah Sari menguraikan kalimatnya.
            “Kita kayaknya besok harus nganterin Sari pulang ke Sukabumi. Kasian dia udah dari dua minggu lalu sakit-sakitan terus.” Kini Opik yang mengeluarkan pendapat.
            “Kebetulan gue sama Latif nyewa mobil seharian buat pindahan kosan besok. Gimana kalau besok kita anterin Sari? Sekalian Yumi mau pulang juga kan ke Bogor?”
            “Hah? Waduh nggak usah repot-repot. Gue udah booking travel buat besok.” Yumi menolaknya dengan halus, pasalnya ia memang tidak suka merepotkan orang.
            “Lo masih bisa nge-cancel, kan? Udah ikut kita aja. Dijamin selamet, insya Allah. Si Latif jago nyetir. Dari Sukabumi ke Bogor nggak jauh ini. Sekalian kita making some memories lha.” Opik memberikan alasan logis.
            Mendengar nama Latif, Yumi melirik Noelan sejenak. Ia ingin menggoda temannya itu, tapi melihat Noelan yang tidak begitu bersemangat ia pun mengurungkan niatnya. Ia lantas berpikir sejenak. “Oke deh, gue keluar sebentar ya. Mau nelepon travel-nya. Gue ikut kalian besok. Sekalian neleponin ibu gue buat nyiapin masakan untuk kalian.”
            Noelan tersenyum. “Gitu dong ikut. Sari juga seneng lo ikut. Ya kan, Sar?”
            Sari mengangguk perlahan. Meski tampak lemas, ia masih bisa menyunggingkan senyum tipis.
            Yumi nyengir lebar. Ia pun berjalan keluar supermarket. Dalam hatinya ia cukup senang bisa menebak apa yang Noelan inginkan. Ia tahu, besok bakal jadi perjalanan yang tidak terlupakan. “Kayaknya gue perlu melakukan beberapa rencana buat ngedeketin Latif sama Noelan.”
.
.
            Yumi dan Noelan sibuk membantu Sari yang lagi-lagi muntah dalam perjalanan. Untungnya Noelan sudah menyiapkan kantong plastik kosong. Mereka bertiga duduk di bangku mobil bagian tengah bersama dengan Opik. Sedangkan Ihsal duduk di bangku depan bersama dengan Latif yang bertugas mengendarai mobil.
            “Sori banget aku lagi-lagi bikin repot kalian.” Sari mengelap bibirnya dengan tissue.
            “Lo mau makan, Sar? Perjalanan kita lumayan jauh lho. Apalagi lewat Padalarang jalannya meliuk-liuk.” Noelan mengeluarkan kotak kue yang baru dibelinya tadi.
            “Nggak dulu deh. Aku masih mual.” Sari menggelangkan kepalanya.
            Sedangkan Yumi memahat ekspresi prihatin di wajahnya saat melihat sahabatnya itu berwajah pucat. Ia lantas menoleh ke arah kemudi. Ia memperhatikan Latif yang lihai mengemudikan mobil, padahal umurnya baru menginjak 18 tahun. Kemudian pandangannya beralih pada Noelan yang ternyata sedang memandangi Latif dalam diam.
            Kedua alis Yumi pun otomatis terangkat. Ia tersenyum tipis. Diam-diam merhatiin nih, ye.
            Setelah empat jam perjalanan, akhirnya rombongan sampai di rumah Sari di Sukabumi. Yumi memperhatikan perpaduan ladang dan kolam ikan yang membentuk pemandangan alam asli; tak tergerus perubahan zaman. Padahal daerahnya masih termasuk kotamadya, namun Yumi merasa berdiri di sebuah pedesaan.
            “Andai Atmajaya ikut ya, Mi.”
            Yumi nyaris oleng dari pijakannya. “Duh, lo ngagetin gue aja, Lan.” Agak kaget menyadari Noelan tiba-tiba hadir di sebelahnya. Ia lantas mendesah panjang. “Gue sempet berpikir gitu sih, tapi ya mana mungkin?” Ia lalu menoleh pada sahabatnya itu, buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Gue seneng ngeliat ekspresi lo cerah dari kita berangkat ke Bandung.”
            “Maksud lo?” nada suara Noelan mulai sewot.
            “Emangnya gue nggak tahu? Lo selama perjalanan merhatiin si Latif terus.”
            “Dasar!”
            “Ya, gimana dong? Gelagat lo terekam sama mata gue, Lan.” Yumi berkacak pinggang. Ia paling senang menggoda sahabatnya soal gebet-gebot ini.
            “Latif keren seperti biasa,” ucap Noelan jujur.
            Yumi tertawa lantang. “Gue harus rela akuin kalau Latif emang keren.”
            “Alah! Nggak niat mujinya. Gue tahu cowok paling keren di mata lo cuma Atmajaya!”
            “Ya, iyalah kerenan Atmajaya!”  Yumi semakin terbahak-bahak.
            Membuat Noelan ikutan tertawa pula.
            “Sayangnya si Atmajaya udah punya cewek ya, Mi. Lo nggak patah hati?”
            Yumi mendesah pelan. “Patah hati sih ada. Tapi lo tahu sendiri gue maunya pacaran abis nikah aja.”
            “Lo hebat banget, Mi. Gue ngedukung prinsip lo.” Noelan menepuk-nepuk bahu Yumi.
            “Ngomongin apa sih? Asik bener kayaknya.” Sebuah suara tiba-tiba muncul di belakang Yumi.
            Dua sahabat itu pun tersentak melihat sosok itu.
            “Eh ada Latif!” seru Yumi antusias. Ia memperhatikan Noelan yang cuma bisa nyengir di tempatnya. “Gue duluan masuk ya. Mau bantuin ibunya Sari nyuguhin kue buat kita. Dah!” Ia pun buru-buru ngibrit dari sana.
            “Lha? Baru aja gue disuguhin kue sama ibunya Sari.” Latif menatap bingung sosok Yumi yang menjauh dari pinggiran kolam.
            “Cuma basa-basi aja dia, palingan mau ke WC.”
            “Kenapa nggak bilang mau ke WC aja?”
            Noelan menggaruk kepalanya sendiri. Ia mengangkat kedua bahunya. Pura-pura tidak tahu. “Mungkin malu. Dia kan cewek.”
            “Apa hubungannya?” Latif terlihat berpikir serius. Matanya memutar ke atas. Ia meletakkan jarinya di dagu.
            Noelan jadi bingung mau menjawab apa. Pasalnya Latif memang cerdas. Ia pun mengalihkan pembicaraan. “Keren lo, Tif. Bisa nyetir sejauh ini. Umur lo masih 18 tahun lagi. Habis ini kita masih ke Bogor lho.”
            Latif tersenyum. “Lo agak berlebihan deh. Gue dari SMP memang udah diajarin nyetir mobil. Nggak susah kok, asal lo niat dan berani bawa ke jalan aja.”
            Latif dan Noelan tidak tahu, jika dari kejauhan, dari balik tirai jendela sesosok cewek sedang memperhatikan mereka berdua dengan cengiran penuh kemenangan. “Yes! Taktik gue berhasil!”
            Menjelang Isya rombongan itu pun pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor. Sesampai di mobil mereka mulai ribut mengatur posisi duduk terbaru.
            “Lo di depan ya, Mi. Nunjukkin si Latif jalan,” perintah Ihsal tanpa ragu.
            “Haah?” Yumi malah jadi cengo.
            “Ya, iya dong. Kita kan mau ke rumah lo sekarang. Apa balik ke Bandung aja?” gurau Opik.
            “Waduh! Bukan begitu!” Yumi pun menatap Noelan. Ia mengibas-ibaskan tangannya di depan hidung. Matanya bergerak; seolah meminta izin.
            Noelan mengangkat satu jempolnya dengan tersenyum.
            Yumi pun menggaruk kepalanya yang diselubungi kain kerudung. “Oke deh.” Ia lalu masuk ke kursi depan sebelah kemudi. “Sori, Tif. Sekarang giliran gue yang bakalan repotin lo.”
            “Santai. Kan hadiahnya udah menunggu di rumah lo. Makan malem,” kelakar Latif.
            Yumi pun jadi tertawa renyah dan lebih rileks. “Itu Ibu gue yang masak lho, bukannya gue.”
            Latif lantas menyalakan mobil dan tancap gas dari sana.
            “Lo udah pernah ngendarain mobil dari Sukabumi ke Bogor?” Yumi mencoba membuka obrolan agar ia tidak tertidur.
            “Belum,” jawab Latif jujur sembari menggelengkan kepalanya.
            “Haah? Terus lo tahu dari mana kita harus ngambil jalan ini?!” Yumi malah panik.
            “Tadi gue nanya sama ayahnya Sari. Tenang aja kan ada lo yang jadi petunjuk jalan,” balas Latif santai.
            “Gue emang pernah ke Sukabumi, tapi itu pas umur lima tahun. Gue udah nggak ingat jalannya. Terus kalau gue ketiduran gimana?” Yumi pura-pura menguap.
            Mata Latif jadi beralih pada Yumi sejenak. “Kalau itu terjadi. Sori banget. Gue terpaksa bakal bangunin lo. Pakai air sekalian bakal gue lakuin!” Ia lalu tergelak-gelak.
            “Payah!” Yumi jadi manyun, namun ikut nyengir mendengarnya. Ia memperhatikan Noelan dari cermin persegi panjang yang menggantung di tengah kaca depan mobil. Kebetulan Noelan sedang melihatnya juga di sana. Tak ragu ia memberikan salam dua jari pada sahabatnya itu. Pantesan aja Noelan suka sama Latif. Orangnya emang asik sih. Udah humoris, soleh lagi. Kalau Noelan nggak suka, mungkin gue bisa suka sama Latif. Yumi hanya bisa mengungkapkannya dalam hati. Lagi pula untuk saat ini cuma ada Atmajaya di hatinya.
            Tiga jam perjalanan akhirnya mereka tiba di rumah Yumi. Dan benar saja, ibu Yumi sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Para cowok meminta izin untuk mengerjakan salat Isya terlebih dahulu. Sedangkan Yumi dan Noelan membantu ibu Yumi menghidangkan makanan.
            Mereka lalu bersantap bersama. Hanya mengobrol sebentar. Lalu empat orang rombongan sisa pamit untuk kembali pulang ke Bandung.
            “Sebenernya gue mau aja sih kalian nginap di sini. Apalagi si Latif, pasti capek banget dia nyetir dari tadi siang, istirahat cuma bentar. Sayangnya nggak ada laki-laki di rumah. Bapak gue kerja di pertambangan Kalimantan Barat,” Yumi curhat ke Noelan, namun tanpa sengaja Latif mendengarnya.
            “Santai kali. Gue nggak selemah itu.”
            Yumi otomatis menoleh pada suara serak penuh semangat itu. Ia jadi nyengir kuda. “Oh ya, lo belum tahu jalan ke tol-nya, kan?”
            “Iya gue nggak tahu,” jawab Latif jujur.
            “Nanti keluar pertigaan ke jalan besar yang tadi, lo pasti nemuin angkot 03, jurusan Bubulak – Baranang Siang. Ke arah kanan. Lo ikutin aja angkot itu, pasti bakal nyampe jalan tol,” ucap Yumi menjelaskan segamblang mungkin.
                “Beres!” Noelan ikut nimbrung.
            Yumi pun mengantarkan teman-temannya ke pintu. Ia memperhatikan satu per satu dari mereka masuk ke dalam mobil. Ia lantas menyadari kini Noelan duduk di depan; sebelah kemudi yang ditugaskan pada Latif. Senyuman tersungging di bibir Yumi. Ia lalu berteriak lantang. “Makasih banyak lho, Guys! Semoga selamat sampai Bandung! Kalau ada apa-apa jangan ragu hubungin gue!”
            “Sip!”
            Mobil APV itu pun menjauh dari mata Yumi. Ia lalu kembali ke dalam rumah dan menutup pintu.
.
.
            “Apa? Kalian baru nyampe Bandung jam tiga?! Kalau lewat tol sih tiga jam juga sampai!” Yumi cukup terhenyak mendengar pernyataan Noelan barusan. Esok paginya ia menelepon Noelan untuk menanyakan kabar.
            “Soalnya kita nyasar, Mi. Pas keluar di jalan utama yang lo maksud, kita nggak nemuin angkot 03. Jadinya muter ke mana-mana selama sejam di Bogor.”
            Yumi menepuk dahinya. “Kasian banget si Latif.”
            “Iya. Makanya pas di tol kita istirahat sebentar di rest area.”
            “Harusnya gue ikut aja ya. Sampai di tol-nya, nanti gue balik lagi ke rumah.”
            “Ye, ada-ada aja lo. Udah malem tahu. Tenang aja, Mi. Kita sampai Bandung dengan selamat kok. Nginap di rumah Ihsal.”
            Yumi mendesah. Ia mengusap kepalanya sendiri. “Sori, Lan. Gue jadi ngerepotin gebetan lo.”
            “Ih, udah gue bilang santai aja! Latif keren tahu. Kuat juga dia nyaris 24 jam ngendarain mobil. Pas sampai di rumah Ihsal, langsung tepar dia.”
            Yumi tidak tahu harus menanggapi apa. Ia ingin menghubungi Latif, namun ia urung melakukannya. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan gebetan sahabatnya itu. Apalagi di hatinya hanya ada Atmajaya seorang. Akhirnya yang ia lakukan hanya menyampaikan salam untuk Latif melalui Noelan.
.
.
            Hari itu Yumi ke kampus lumayan sore. Ia menyapa Latif yang ia temui di bangku depan musola.
            “Ada kuliah jam berapa? Kayaknya gue baru liat lo ini hari,” ujar Latif sembari menggunakan kaos kakinya. Ia baru saja melaksanakan solat Asar.
            “Jam empat,” jawab Yumi seraya tersenyum tipis.
            “Wuih, sore bener! Pantesan.”
            “Yumi!” Noelan menghampiri mereka dari kejauhan. “Eh, ada Latif juga ternyata.”
            “Hai, Lan. Semangat banget kayaknya. Kuliah sore sih ya.” Kini giliran Noelan yang disapa Latif.
            “Apaan semangat, yang ada nanggung tahu!” Noelan pura-pura ngambek. Ia kemudian duduk di ruang lapang antara Latif dan Yumi.
            Mata Yumi berputar genit. Ia buru-buru mengenakan sepatunya. Ini kesempatan bagus. “Lan, gue duluan ke kelas ya. Ada yang harus gue kerjain.”
            “Hah?” Noelan sebenarnya ingin Yumi menemaninya, tetapi sepertinya tidak bisa. Ia ragu-ragu memandangi Latif yang ternyata sedang memandangi Yumi
            “Duluan ya, Tif!” Tak lupa Yumi pamitan dengan gebetan sahabatnya itu.
            “Yo!”
.
.
            Noelan dan Yumi kini sudah lulus dari lembaga sertifikasi itu. Yumi cukup sedih mendapati kabar Noelan yang tidak jadi melanjutkan kuliah S1 di Bandung.
            “Lagi-lagi gue harus beradaptasi di tempat baru dengan orang-orang baru,” keluh Yumi. Ia sangat senang ketika Noelan berkunjung ke kosan barunya, namun ternyata sahabatnya itu membawa kejutan yang cukup menyesakkan dadanya.
            “Sori, Mi. Gue nggak bisa ikut kuliah di Bandung. Adik gue juga mau kuliah tahun ini. Kuliah di tempat lo yang sekarang lumayan besar biayanya. Jadi, sebagai kakak yang baik gue terpaksa melanjutkan kuliah di Manado.”
            Yumi mendesah kecewa. “Apa boleh buat. Gue sebenernya pengen lo kuliah di sini, tapi gue emang nggak berhak nentuin jalan hidup lo.” Ia lantas tersenyum pada Noelan. “Kita masih bisa jadi sahabat, kan?”
            “Pertanyaan apaan itu, Mi? Ya, bisalah!”
            Yumi jadi manyun.
            “By the way, Mi.  Lo masih suka sama Atmajaya?”
            Wajah Yumi berubah semringah. “Masih, Lan.”
            “Wew, hebat juga lo, udah dua tahun ya,” puji Noelan.
            Kepala Yumi bergoyang ke kiri dan ke kanan. “Soalnya Atmajaya bener-bener tipe yang gue suka, Lan. Dia nggak ngerokok, nggak minum minuman beralkohol, solatnya rajin, terus suka Jepang juga kayak gue,” ia malah terkekeh sendiri.
            “Hm, bener juga. Nyaris sama kayak Latif. Latif juga suka apa aja yang berbau Jepang lho. Cuma gue nggak berharap banyak sama dia.”
            “Lho? Kenapa? Gue lihat, Latif ramah ke lo.” Yumi kembali prihatin.
            “Dia kayaknya nggak mikirin percintaan, Mi. Lebih fokus ke kuliah.”
            Yumi jadi teringat pernyataan Opik beberapa waktu lalu. Waktu itu ia sedang ngobrol santai dengan teman sekaligus guru spiritualnya itu di taman kampus.
            “Itu mantan si Latif masih aja ngejar-ngejar dia.”
                Yumi agak tersentak ketika tiba-tiba Opik mengutarakan hal itu. Padahal sebelumnya mereka sedang membicarakan hal lain. Ia pun jadi penasaran. “Si Riska? Emangnya kenapa. Pik?”
                “Latif itu baik, pinter, soleh lagi. Si Riska dulu mutusin Latif. Eh, dianya nyesel, malah berani nyusul Latif ke Bandung. Kuliah di jurusan yang sama kayak Latif. Latif udah nggak mau-lah sama dia. Gue berharap Latif dapat yang terbaik, kalau bisa yang lebih baik dari Riska.”
                “Oh … baru denger aku. Amin….” Yumi hanya bisa berdoa dalam hatinya.
            “Oh ya, gue bawain film seru nih. Nonton yuk! Dijamin bisa bikin lo ngakak dan nangis dalam waktu bersamaan.” Noelan pun mengalihkan perhatian Yumi.
            Yumi mulai tertarik. Pasalnya ia memang senang menonton film. “Film apaan?”
            “Judulnya 3 Idiots. Film Bollywood.”
            “Lhaaa … gue kira Hollywood.”
            “Lo nonton dulu deh 30 menit. Kalau lo nggak suka, kita bisa nonton film yang lain.” Noelan memberikan penawaran yang cukup bijaksana.
            Kedua bahu Yumi terangkat. “Boleh deh. Gue nggak anti kok sama film Bollywood, cuma emang jarang aja nontonnya.” 
            Mereka pun menonton film yang berdurasi lebih dari tiga jam itu. Dan Yumi sangat berterima kasih pada Noelan yang membawakan film 3 Idiots tersebut. Ia benar-benar tertawa terbahak-bahak dan tersedu sedan dalam waktu bersamaan.
.
.
            Yumi tidak pernah memperhatikannya. Namun ia sangat berterima kasih pada Latif yang membantunya melakukan promosi buku pertamanya di twitter. Ia masih menganggap Latif sebagai gebetan sahabat baiknya. Maka dari itu ia berusaha tidak terlalu akrab dengan cowok humoris itu. Padahal Noelan sudah memiliki seorang kekasih di kampung halamannya. Latif memang termasuk tipe cowok yang ia sukai. Hanya saja di hati Yumi saat itu Atmajaya masih betah bersemayam.
.
.
            28 November 2013, Yumi bertemu kembali dengan Latif di acara gladi bersih wisuda kampusnya. Kebetulan ia dan Latif satu universitas, hanya beda fakultas. Dengan santai Yumi menghampiri Latif yang sedang berkumpul dengan teman-temannya, tiga orang cowok yang Yumi juga kenali.
            Yumi memperhatikan gebetan Noelan itu dengan saksama. Tubuh Latif agak berisi, kacamatanya tetap berada di sana. Hanya saja jenggot di bawah dagunya jadi lebih kentara. Ia menyapa mereka dengan antusias dan mengobrol sebentar. Pada saat gladi bersih akan dimulai Yumi pun pamit dan menawarkan tangannya untuk tos pada Latif dan teman-temannya itu.
            Saat hendak tos dengan Latif, Yumi menyadari Latif memandanginya seraya tersenyum tipis, lalu malah menawarkan bahunya yang tertutup baju pada cewek itu.
            Latif mengganti tangannya yang terbuka dengan bahunya yang ditutupi baju untuk bertosan dengan Yumi….
            Yumi pun terdiam bak arca. Dengan malu yang merongrong di dada, ia menyentuh lembut bahu Latif yang terbungkus jaket. Ya, Allah, makin soleh aja dia. Setelahnya ia meninggalkan Latif dan teman-temannya tanpa menengok kembali ke belakang.
.
.
            Yumi tidak tahu persis kapan ia merasakan getaran itu. Beribu kali ia bertanya pada dirinya sendiri. Ini memang ilham dari-Nya atau pelarian semata? Ia sudah mengalami hati yang patah untuk kesekian kalinya. Dan sebagai perempuan yang beranjak dewasa Yumi tidak akan memaksa. Ia mencoba tahu diri dan tidak mempermasalahkan lagi pilihan tiba-tiba Atmajaya. Ada yang bilang jika kau ingin terbebas dari cinta lalumu yang suram, kau harus jatuh cinta lagi, tapi bagi Yumi itu bukan perkara mudah.
            Menurutnya memanfaatkan seseorang hanya sekadar untuk membuang rasa galaunya adalah tindakan semena-mena.
            Yang Yumi inginkan, ia mencintai seseorang karena orang itu memang pantas mendapatkan cintanya. Maka dari itu ia terus bertanya, tanpa bisa menemukan jawaban pastinya. Karena ia tahu … jawaban itu masih Dia simpan di singgasana-Nya.
.
.
            “Duh, ganggu aja nih suara BBM,” gerutu Yumi. Ia terbangun; kembali ke alam sadarnya. Diusapnya kedua pelupuk matanya. Ia pun memeriksa ponselnya, ada pesan di BBM yang masuk.
            Latif: Kayaknya masakannya enak tuh, jadi pengen nyoba.
            Kedua mata Yumi sontak membesar. “Hah?” ia mengucek kembali matanya. Takut-takut salah lihat. Tapi ia menemukan message yang sama, yang berasal dari seseorang yang saat ini tengah dirindukannya. “Nggak mungkin! Kenapa Latif nanya begitu?” Ia lantas memperhatikan display picture yang ia pasang. “Ya, ampun, gue sampai lupa masang DP masakan gue sendiri.”
            Yumi terpana. Lima tahun berlalu sejak kenangan perjalanan dari Bandung, Sukabumi, dan Bogor, ia memang masih berteman dengan Latif di BBM, sayangnya jarang sekali berkomunikasi. Dan kali ini tiba-tiba cowok itu….
            Yumi memperhatikan pesan itu tanpa berkedip barang tiga menit. Ia lalu memutar otak; memikirkan kata-kata apa yang sepatutnya ia utarakan pada cowok itu. Akhirnya ia mulai mengetik.
            Yumi: Hai, Tif :D. Bisa aja nih lo. Kalau mau nyoba  main atuh ke rumah. Masih inget jalannya, kan? Hehehe.
                Latif: Masih dong. Pas keluar tol Bogor tinggal ngikutin angkot 03 aja, kan? :P. Besok lo sibuk nggak? Gue pengen ke sana, nyobain masakan lo :P.
                Kini mulut Yumi yang membuka. Saking girangnya ia sampai terjungkal dari bangku yang ia duduki. Dan saat itu pula ia tersadar akan sesuatu.
            Yumi kembali mengucek kedua matanya. “Duh, payah banget gue sampai jatuh segala.” Ia lalu memeriksa ponselnya dan masuk ke fitur BBM. Wajahnya langsung tercenung. “Kok pesannya nggak ada?!” Ia lalu meng-scrolling dari atas ke bawah berkali-kali. Ia pun duduk lemas di bangkunya. “Kayaknya gue tadi mengalami inception.” Dan kini ia menarik napas sepanjang-panjangnya.
            Yumi jadi manyun. “Indah banget mimpinya, tapi yang namanya mimpi tetap cuma mimpi.” Ia lantas membaringkan tubuhnya di atas sofa. Membuka kembali fotonya bersama Latif dan tiga teman lainnya yang diambil lima tahun lalu. “Lebih baik gue pendam….”
            Yumi beranjak ke daun jendela. Membukanya perlahan, lantas merentangkan tangannya. Menampung butiran air yang jatuh di telapaknya. Ia lantas mengatupkan kedua tangannya di dada; membiarkan air luruh dari sela-sela jarinya.
            Kalau dia tahu, apakah dia bakal membalas cinta ini?
                Kalau dia tidak tahu, apakah nantinya aku terjerembab dalam penyesalan?
                Aku belum bisa mengambil keputusan, tapi aku akan selalu mendoakannya di setiap pertemuan dekatku dengan Tuhan,
                Yaitu ketika dahiku rela menunduk menyentuh hara hanya pada-Nya seorang.
.
.
            Could we meet again, L?

Bogor, Juli 2014


            

Share:

0 komentar