Cerpen: Miracle


Miracle
Purwakarta – Kecelakaan kembali terjadi di area jalan Tol Cipularang tidak jauh dari Jembatan Cisomang, Kabupaten Purwakarta. Kecelakaan ini terjadi sekitar pukul 12.30 WIB pada hari Jumat (05/02/2010). Disebutkan dari sumber di TKP, Bus Pelita Anugrah—yang membawa sekitar 30 orang di dalamnya—tiba-tiba membelok menabrak pembatas jalan tol dan masuk ke dalam jurang. Belum diketahui apa penyebab bus itu tiba-tiba oleng. Sampai berita ini disampaikan, penyelamatan penumpang Bus Pelita Anugrah masih terus dilakukan. Prosesnya memang sedikit lama dikarenakan medan yang sulit dan juga tubuh korban yang terhimpit di antara puing-puing bus naas itu. Cuaca yang tak mendukung juga menambah sulitnya proses evakuasi.
o0o
Purwakarta – Evakuasi terhadap korban Bus Pelita Anugrah masih terus dilakukan hingga sampai pada hari ini Sabtu (06/02/2010). Evakuasi memang cukup terhambat karena intensitas hujan yang cukup tinggi di sekitar Tol Cipularang selama tiga hari terakhir. 25 penumpang yang sudah terevakuasi dinyatakan tewas. Lima korban lagi masih terjebak di antara puing-puing Bus Pelita Anugrah yang hancur ketika menghantam dasar jurang. Namun petugas terus berusaha keras untuk melakukan evakuasi.
o0o
Desa yang berada di pinggiran kota Adelaide itu bagi Lian punya arti tersendiri. Bau yang mengambang di antara deburan ombak-ombak kecil Glenelg—yang berlomba menuju pantai—selalu memukau saat musim panas tiba. Memunculkan kesan damai yang jarang menghampiri.
Kidungan syahdu lumba-lumba yang sampai ke telinga para pengunjung di tepi pantai. Bangunan-bangunan bersejarah berdiri dengan kokoh tidak jauh dari dermaga. Lalu panorama-panorama yang menyatu satu sama lain; harmonisasi alamnya begitu kentara, sehingga membuat satu kesimpulan betapa dijaganya karunia Tuhan ini.
Pesona Holdfast Bay memang tak pernah ada habisnya untuk diperbincangkan. Karenanya Lian sangat betah berlama-lama di sana; menikmati dengan khidmat surganya dunia itu.
Untungnya Bram bisa memaklumi. Pria yang umurnya mencapai kepala tiga itu dengan setia berdiri di samping Lian—wanitanya yang duduk di atas sebuah kursi berjalan. Tapi sekarang sudah hampir lewat waktunya sarapan. “Kamu tidak ingin sarapan, Honey?” tanyanya memecah kesunyian.
Tanpa mengalihkan matanya pada hamparan biru di depannya, Lian menjawab, “Sebentar lagi, Sweetheart.” Ia masih betah rupanya bersenda gurau dengan keindahan Pantai Glenelg dalam hening. Padahal ia tahu betul perutnya sedari tadi sudah merengek minta diisi.
“Baiklah, sepuluh menit lagi,” ujar Bram.
Hentakan helaan nafas tanda ketidaksabaran Bram sampai ke daun telinga Lian. Tapi Lian tahu jika suaminya itu sedang pura-pura ngambek. Ia pun tertawa kecil karenanya.
“Kok malah tertawa? Memangnya ada yang lucu?” tanya Bram lagi dengan dahi mengerut.
Lian jadi mengalihkan pandangannya ke belakang; melihat ekspresi suaminya yang tampak tidak natural. Bibirnya terlalu ditekuk ke bawah dan alisnya terlalu melengkung ke atas. Bram memang sama sekali tidak jago akting. Membuat senyuman Lian makin mencekung. Tapi pada akhirnya ia mengalihkan pembicaraan seraya kembali menaungi kumpulan warna batu safir itu ke dalam penglihatannya. “Mungkin kau bosan mendengarnya berkali-kali, Bram. Tapi aku masih tidak percaya aku bisa berada di sini sekarang. Di sini…sama kamu.”
Bisa Lian lihat dari sudut mata kanannya Bram berpindah tempat ke arah kanannya. Pria itu menekuk lututnya sehingga sekarang tinggi Bram sepantar dengan dirinya.
“Apa yang harus aku lakukan supaya kamu bisa percaya?” tanya Bram seraya tersenyum lembut.
            Letupan tawa terlontar dari mulut Lian. “Ah, kamu selalu konyol, Bram.”
            “Hei, aku tidak bercanda, lho.”
            Wanita berambut hitam lurus sepinggang itu lantas membelai lembut wajah tegas Bram. “I know, just kidding. Tapi selalu saja timbul pertanyaan ini Bram, apakah aku pantas mendapatkannya? Mendapatkan ini semua…”
            “Tentu saja pantas,” jawan Bram dengan yakin seraya menggenggam kedua tangan Lian dengan erat. Sebuah tangan penuh cinta yang barusan membelai wajahnya. “Lian aku tahu betul perjuangan yang kamu lalui. Dan kamu…kamu adalah wanita paling tegar yang pernah aku kenal di dunia ini. Ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada orang yang mencelamu?”
            Lian menghembuskan nafasnya kuat-kuat. “Tidak. Hanya saja aku belum pernah sebahagia dan sedamai ini.”
            Angin semilir tiba-tiba berhembus cukup kencang melintasi dermaga yang saat ini menjadi tempat pijakan mereka. Sesuatu yang nadir itu kembali menerjang.
            “Same with me…,” balas Bram seraya menciumi punggung tangan Lian. Membuat senyuman di bibir wanita berkulit sawo matang itu kembali muncul.
            Kemudian Lian memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan itu ke topik yang lebih serius. “Kamu percaya akan keajaiban, Bram? Kamu percaya akan adanya Tuhan, kan?”
            “Hm?” Bram mengerutkan dahinya. Tapi hanya sesaat, kemudian ia kembali tersenyum. Ia mengerti mau dibawa ke mana pembicaraan ini. “Tentu saja. Keajaiban itu adalah kamu. Dan Sang Pencipta mengabulkan doaku yang meminta kamu untuk kembali bersanding bersamaku.”
            “Syukurlah kalau begitu. Aku tidak ingin kamu memiliki pikiran yang sama seperti aku dulu. Peristiwa dua tahun yang lalu benar-benar telah mengubah jalan hidupku.”
            Sebuah kenangan hitam yang tidak akan pernah lindap dari ruang memori Lian. Sebuah pembelajaran. Dan Lian sangat bersyukur ia masih diberi kesempatan untuk mengarungi bahtera panjang ini. Mencicipi manisnya sebuah karunia Tuhan yang bernama kehidupan. Kembali bangkit dari jurang kelaliman hati yang sempat ia terperangkap di dalamnya.
            Sebagai satu-satunya korban yang selamat dari kecelakaan Bus Pelita Anugrah—yang masuk ke dalam jurang di sekitar Tol Cipularang, Lian tak memungkirinya lagi. Ketika mati rasa dan sekarat menghantamnya dalam satu waktu, yang dipikirannya saat itu hanyalah memohon belas kasihan Tuhan. Tanpa ia sadari bibirnya membisikkan nama Tuhan hingga terasa membeku.
            “Orang yang merasa pintar, entah mengapa sering ragu terhadap hadirnya Tuhan, Bram. Mereka akhirnya menjadi sombong, egois, dan beranggapan seolah-olah semua dapat mereka atasi sendirian. Mereka sering berteori sendiri tanpa melihat keadaan di sekeliling mereka.” Lian menatap mata hitam yang memandangnya dengan cinta yang penuh seluruh. “Dan gara-gara keegoisanku itu, aku juga pernah mencampakanmu,” bisiknya kemudian, sebenarnya ragu dalam hatinya mengutarakan kalimat terakhir itu.
            “Aku sudah memaafkanmu, Lian. Sungguh,” ujar Bram dengan keteguhan sejati. Matanya menikam tepat ke mata gelap Lian. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa tak ada dusta dalam kata-kata yang ia lontarkan barusan.
            Lian mengangguk pelan, lantas berkata, “Ya, aku tahu.”
            “Kamu juga bisa menerima apa adanya dirimu. Itulah yang membuat rasa cintaku kepadamu semakin tak bisa kubendung lagi.” Airmuka Bram masih sama seperti tadi. Bisa dilihatnya Lian menahan tangis, tapi ia biarkan saja wanitanya melakukan itu. Ia mengerti jika Lian hanya ingin berusaha setegar karang.
            Lian lantas memperhatikan ke bawah, tempat di mana kedua kakinya dulu berada. Ya, dulu. Sekarang yang tersisa hanya tinggal sebatas paha. “Setelah hatiku sudah terbuka, akhirnya aku bisa berpikir dengan jernih. Aku sangat berterima kasih bahwa Tuhan benar-benar menolongku.” Lian mengambil nafas sejenak. “Aku memang nyaris gila saat mengetahui kakiku harus diamputasi, tapi setelahnya aku bersyukur tangan dan otakku masih ada. Hal itu sangat kusyukuri, Bram.”
             Memang bukan hal yang mudah; mencoba ikhlas adalah hal tersulit bagi manusia pada umumnya. Karena mereka tak pernah lepas dari mengeluh, mengeluh, dan mengeluh.
Lian memang mengalami hal itu. Pertama kali mengetahui ia adalah satu-satunya korban yang selamat dari kecelakaan tragis itu, ia tidak bisa berhenti menangis tiga hari tiga malam. Lantas dirinya pun kembali jatuh ke palung duka yang tak diketahui kedalamannya karena saking dalamnya. Hal itu ia alami ketika ia harus merelakan kedua kakinya yang terluka parah untuk diamputasi. Hampir saja ia mengutuki segala kesialan yang menimpa dirinya bertubi-tubi. Tapi akhirnya Lian sadar akan satu hal…
Ya,  beruntung…ia beruntung masih diberi satu kesempatan lagi untuk menjelajahi kehidupan yang begitu berharga. Yang Lian merasa patut disyukuri juga, Tuhan tak mengambil kedua tangan dan otaknya. Padahal korban lain rata-rata keadaannya begitu parah, sulit dijelaskan dengan kata-kata. Keajaiban berikutnya yang pada akhirnya benar-benar Lian jaga dengan segenap jiwanya.
“Itu yang aku bangga padamu, Lian. Kamu akhirnya tahu apa yang ingin kamu lakukan. Tak harus terpaku dengan kesempurnaan, kamu membuktikan bahwa kamu bisa meski dengan keadaan seperti ini. Dan aku akan selalu mendukung dan melindungimu karena aku adalah bentengmu,” jelas Bram; menatap lekat-lekat mata tabah itu.
Bibir Lian sampai kelu mendengarnya. Dalam hati ia berjanji tidak akan mencampakkan pria di depannya yang selalu memperlakukannya bak seorang putri. Ia juga berjanji untuk memperlakukan Bram selayaknya pangeran. “Baiklah, kalau begitu sekarang kita sarapan di Jetty Road, Bram. Bagaimana?” Lian pun mengalihkan pembicaraan lagi. Ia bermaksud menuruti apa yang perutnya tuntut sedari tadi.
“Ide bagus,” jawab Bram sembari tersenyum. Ia segera berjalan sembari menuntun kursi roda Lian menuju ke Jetty Road yang dipenuhi dengan resto dan kafe-kafe alam terbuka.
o0o
Lian dan Bram sarapan bersama di sebuah resto sederhana yang berada di Jetty Road. Karena memang konsepnya alam terbuka sehingga mereka duduk di meja ber-canopy yang dilindungi pepohonan kelapa kecil; melindungi mereka dari sengatan mentari pagi.
Dengan keadaan Lian seperti itu, memang banyak mata yang iseng-iseng menghampirinya. Tapi ia tidak terlalu mempedulikannya. Biarlah mereka berpendapat apa saja tentang dirinya, yang jelas semua cobaan ini bukan lagi menjadi beban bagi dirinya. Karena baginya cobaan ini adalah sebuah keajaiban…
“Lian, kamu tidak bosan sarapan dengan telur orak-arik dan salad buah? Kalau kamu mau, aku bisa membawamu sekali-kali ke Holdfast Marina,” ungkap Bram menyarankan untuk sesekali mengganti suasana. Holdfast Marina adalah kawasan kuliner yang cukup bergaya di sekitar Pantai Glenelg dan tentunya perlu merogoh kocek yang cukup banyak untuk makan di di kawasan elite itu. Kebetulan Bram juga memiliki saham di salah satu restoran elite yang ada di sana.
“Aku masih lebih senang di sini, Bram. Tempatnya lebih nyaman karena lebih terbuka,” ucap Lian yang setelah berbicara menegak air putihnya secara perlahan. “Tapi kalau sesekali rasanya aku tidak keberatan.”
Bibir Bram menyunggingkan senyum. “Baiklah, tunggu kejutan dariku,”
Tiba-tiba ada dua orang bule—pria dan wanita—yang menghampiri meja mereka dengan wajah secerah mentari yang baru terbit.
Excuse me, are you Lia-ngga Wu-lan Pra-mi-tha?” tanya salah seorang dari mereka dalam logat Australian-English. Susah payah ia mengeja nama Lian.
Lian dan Bram mengalihkan pandangannya pada dua bule itu, Lian pun menjawab sembari tersenyum ramah. “Yes, I am.
That’s great. Nice to meet you, Mrs. Liangga. I’m Jem, and this is my wife Lenore. And you are…” Pria bule bernama Jem itu mengarahkan tangannya ke Bram setelah menjabat tangan Lian.
Bram menyambutnya dengan ramah. “I’m Bram, Liangga’s husband.”
Oh, nice to meet you, Mr. Bram,” ujar Jem tersenyum lebar. “Well, me and my wife are so amazed with your novel, Mrs. Lian. You are so brilliant and inspirational. I am so lucky that I meet you here. Can I have your autograph?” tanya Jem sembari menyodorkan sebuah buku dan pulpen pada Lian.
Lian pun dengan wajah sumringah mengabulkan permintaan Jem. “I’m so grateful that you like my novel, Mr. Jem.”
The one who must thankful is me, Mrs. Liangga. And you, Mr. Bram. My salute to you, you are an amazing man.” Jem dan istrinya kemudian mengobrol sejenak dengan Lian dan Bram; selang sepuluh menit mereka berpamitan. 
            Bram memandangi muka Lian yang saat itu memancarkan pelita bahagia. Dan tentu melihat pemandangan itu membuat hatinya ikut terbawa suasana.
            Hal seperti ini bukanlah hal yang sesekali terjadi. Namun Lian juga tidak pernah menghitung berapa banyak orang yang meminta tanda tangannya di saat-saat seperti ini.
            Sedari SMA Lian memang suka sekali menulis, dan menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya. Maka dari itu ia berusaha ikhlas menerima kekurangan yang ia miliki karena masih ada harapan yang Tuhan berikan padanya yaitu, tangan dan otak untuk menulis.
            Novel yang dibuat Lian bercerita tentang dirinya sendiri—sebuah perjuangan hidup, dibalut dengan konflik-konflik yang begitu kompleks dari keluarga, cinta, persahabatan. Lian sangat mahir dalam bahasa Inggris sehingga ia menulis novelnya dalam bahasa Inggris dan menerbitkannya langsung ke penerbit Australia—negara di mana ia menyelesaikan kuliahnya dulu. Ia kembali kemari bersama Bram yang memiliki bisnis di sini. Pertemuan pertamanya dengan Bram juga terjadi di Adelaide.
            Karena dulu Lian bercita-cita ingin menjadi penulis internasional. Dan sekarang mimpinya itu berhasil ia wujudkan dengan perjuangan yang tak semua orang merasakan betapa beratnya.
             Keajaiban itu benar-benar ada bagi orang yang bersyukur dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.
Selesai

Share:

0 komentar