Aku masih
ingat saat pertama kita berjumpa. Kau datang dengan wajah lugu berbalut resah.
Dari sana aku tahu kau menahan lapar. Badanmu begitu mungil, aku pun sadar kau
masih kecil. Tapi kau sendirian. Ibaku meninggi. Sekecil itu kau sudah berpisah
dengan ibumu. Aku langsung mengingat masa kecilku yang selalu ditemani Mama.
Sayangnya aku tidak memiliki makanan
yang sesuai dengan seleramu. Ah, tidak juga, mungkin kau dapat menerimanya.
Kakiku berlari ke tudung saji yang di dalamnya ada ayam goreng. Ibuku mungkin
akan marah, jadi aku harap kau tidak memberitahu ibuku kalau aku memberimu ayam.
Kau pun memakannya dengan lahap,
lalu menghampiriku lagi untuk meminta ayam yang lain. Papa lalu berdiri di
belakangku, yang kukejutkan dia mengelus kepalamu. Aku terpana karena kau
begitu manja padahal kau ini jantan. Ah, tapi kau memang masih anak-anak.
Gimana kalau dibeliin makanan khusus
kucing, Pa? saranku.
Oke. Papa menerimanya, bahkan
setelah itu memberimu nama.
Papa memanggilmu Cemaung, aku pun
memanggilmu demikian.
Lalu setiap
pagi sehabis subuh, saat aku harus pergi ke Jakarta demi masa depanku, aku
terkejut denganmu yang mengikuti langkahku. Tiba di jalanan komplek aku
menunggu angkutan kota melintas, kau lantas duduk di sebelahku dalam diam. Kita
tidak saling bicara, tapi aku bersyukur dengan kehadiranmu. Karena kau
menemaniku dalam kegelapan subuh yang masih temaram.
Angkutan kota itu datang dan aku
harus berpindah ke tempat lain. Tanpa kuperintahkan kau pergi pulang ke rumah.
Cemaungku memang ajaib, pantas saja
aku jatuh cinta padamu di pandangan pertama.
1 komentar
begitulah hewanb itu juga punay pikiran dan perasaan , seakan mereka mengerti kita
ReplyDelete