Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Setting Canon. Semi-Crossover with The Lord of The Rings.
Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
PAIRING: Naru/Saku, Mina/Kushi,
Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
.
.
Btw
happy reading ^^/
.
.
Naruto
menggaruk belakang kepalanya. “Sebenarnya aku juga belum tahu apa aku bisa
selamat dalam perang itu. Jadi, ya … karena menurut ibuku kau akan selamat,
ibuku pun meminta bantuanmu.”
Sasuke
terang saja kaget dengan pernyataan pesimis Naruto. “Memangnya ibumu bisa
meramal masa depan?”
Naruto
menggeleng. “Masa depan yang kelam itu sendiri yang datang padanya. Terkadang
padaku juga.”
.
.
Sasuke
tidak lagi memaksa diri untuk tertidur. Ia sudah merasakan cahaya matahari yang
masuk dari ventilasi menyentuh wajahnya.
Hangat. Tapi hati Sasuke kini sedang resah. Ia masih mempertanyakan apakah
pilihannya benar atau tidak. Ia masih tidak mengerti apa yang Kushina katakan
padanya kemarin.
Sasuke
meraba tempat tidurnya. Kali ini penglihatannya sedikit lebih jelas
dibandingkan kemarin. Meski penglihatannya masih terasa buram. Kakinya menyentuh
lantai; lalu ia berjalan perlahan menuju jendela. Tirai yang menutupi jendela
disingkap.
“Sasuke-kun.”
Sasuke
tersentak ketika mendengar suara ketukan di pintu. Ia juga mengenal pemilik
suara itu. “Hinata?”
“Ohayou gozaimasu.”
Sasuke
tidak menggubris sapaan itu. “Kau kemari sendirian?”
“Ya.
Aku juga terkejut ternyata bisa berjalan seperti ini.”
“Masuklah,”
Sasuke berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka ia dapat melihat sekelebat
warna lavender yang berpadu dengan putih. “Ada perlu apa?”
“Kau
mau jalan-jalan keluar?” Hinata menatap Sasuke malu-malu.
Sasuke
dapat melihat Hinata yang menunduk. Ia rasa tidak ada salahnya menyetujui
ajakan Hinata. Ia juga butuh udara segar. “Baiklah. Tapi maaf … penglihatanku
masih belum sempurna.”
Hinata
menggeleng. “Tidak masalah, aku yang akan menuntunmu. Kau tidak keberatan?”
Sasuke
menggoyangkan kepalanya. Ia lalu merasakan Hinata yang berdiri di sampingnya dan
merengkuh lengannya. Awalnya Sasuke agak terkejut, tapi ia berusaha
menyesuaikan diri. Mereka pun keluar dari kamar setelah Hinata menutup pintunya
.
.
Sasuke
dan Hinata kini berjalan di sebuah jembatan yang berada di belakang Rumah Sakit
Konohagakure. Jembatan itu terbuat dari kayu sehingga saat terinjak menimbulkan
suara yang berisik.
“Di
bawah kita sungai, kan?” Sasuke dapat mendengar gemerisik air yang seketika
membuatnya tenang.
“Ya.”
Hinata lalu membawa Sasuke ke pinggir jembatan. Ia dapat merasakan angin
membelai pipinya. Tangannya lalu menahan beberapa helai rambutnya yang
beterbangan.
“Di
sini terlihat damai….,” komentar Hinata. Raut wajahnya tiba-tiba berubah sedih.
“Tapi ke depannya pemandangan seperti ini akan berubah total.”
“Kau
merasa akan ada perang besar?”
“Shinobi yang dulu menculik Naruto-kun. Dia masih hidup, bukan?”
Sasuke
terheran-heran mengapa arah bicara mereka jadi serius begini. “Madara ingin
mengumpulkan bijuu. Tinggal Kyuubi
saja yang belum ia dapatkan. Jika ia berhasil melakukannya, ia bisa membuat
seluruh dunia ini hancur.”
Hinata
bergidik. “Aku berharap perang itu hanya mimpiku saja. Yang nyata adalah
pemandangan di depanku ini.”
“Setelah
perang usai nanti kau akan bisa menikmatinya lagi.”
“Kau
juga akan menikmatinya lagi, kan, Sasuke-kun?”
Getaran
suara Hinata menyambangi telinga Sasuke. Ia tidak mengerti apa yang ditakutkan
Hinata. “Konoha memang kampung halamanku. Tapi … masa depanku tidak ada di
sini.”
“Betul
sekali, Sasuke. Masa depanmu ada di alam baka.”
Sasuke
dan Hinata tercengang mendengar suara yang menyeramkan itu. Terutama Sasuke, ia
tidak menyangka orang itu akan berada di hadapannya sekarang.
Hinata
pun memutuskan berdiri di depan Sasuke.
“Hinata,
jangan melawannya!”
Madara
tertawa lantang. “Kau menyedihkan, Sasuke. Sharingan-mu
kau rusak sendiri. Sharingan yang
menjadi kebanggaan Uchiha kau buang begitu saja. Dan sekarang…” Matanya menatap
remeh Hinata. “Kau berlindung di balik seorang perempuan?”
Sasuke
memajukan posisinya. Ia mengarahkan Hinata agar berdiri di belakangnya. “Apa
yang kau mau?”
Madara
menyeringai. Ia tiba-tiba berada tepat di depan Sasuke dan menendangnya di
perut. Membuat Sasuke dan Hinata terpental beberapa meter, tubuh mereka tersungkur
ke badan jembatan.
Sasuke
merasa pening, ia mencoba berdiri. Namun ia menghentikan usahanya karena
terlalu terkejut dengan apa yang terjadi di depannya. Di sana ada Hinata yang
melesat cepat ke arah Madara . “Ja-jangan, Hinata—”
“Mengganggu!”
dengan satu tangannya Madara menyerang Hinata hingga dia terhempas menembus
pembatas jembatan dan terjun ke sungai di bawah.
Mata
Sasuke membesar. Ia menatap tajam Madara. “Jika kau memang berniat membunuhku,
jangan libatkan orang lain—”
“Kau
jadi lebih cerewet dari biasanya ya, Sasuke.” Tangan Madara sudah berada di
leher Sasuke. Ia menaikkan tangannya tinggi-tinggi hingga kaki Sasuke sudah
menjauh dari pijakan jembatan. “Kau jadi peduli sama orang lain. Inilah yang
membuatmu lemah.” Ia lalu melempar Sasuke ke sembarang arah dan melesat ke
arahnya.
.
.
“Selamat pagi, Sasuke brengsek!”
pekik Naruto sembari masuk ke dalam ruangan rawat inap Sasuke. Ia tercenung
saat di sana tidak menemukan orang yang ia cari. “Di mana dia?” Naruto langsung
merasa ada yang aneh.
Rin
yang mengikutinya dari belakang berkomentar. “Mungkin dia ada di toilet.”
“Ah,
benar juga.” Naruto pun masuk ke dalam toilet. Tapi ia kemudian keluar dari sana
dengan raut wajah bingung. “Tidak ada.”
“Apa
dia keluar?”
Naruto
kemudian berjalan menuju balkon. Matanya memicing melihat ke sekumpulan
pepohonan yang ada di depannya. “Tapi setahuku Sasuke tidak pernah jalan-jalan
keluar dari sini.”
“Sasuke-kun!”
Naruto
tersentak saat ada Sakura di daun pintu. Sakura juga demikian.
Naruto
pun memandang ke sembarang arah dan berdeham. Membuat bibir Sakura miring
sebelah. “Cih! Kenapa dia jadi
menyebalkan begitu?”
“Sasuke
tidak ada,” ujar Naruto dengan nada datar.
Sakura
memandang ke dalam ruangan dengan wajah pias. “Hinata juga tidak ada di dalam
kamarnya.”
“Eh?
Maksudmu Hinata pergi dengan Sasuke?” Naruto berjalan mendekati Sakura. Ia mencoba
tidak memikirkan insiden dengan Sakura beberapa hari lalu.
“Tidak
tahu,” Sakura membuang muka dari Naruto. Ia lalu berlari keluar dari ruangan.
Naruto
mengembuskan napas cepat-cepat. Kedua tangannya menyentuh lutut. “Untung dia
segera pergi.”
“Kau
kenapa, Naruto?” Rin hanya bisa terheran-heran melihat gelagat Naruto yang
terlihat tegang.
“Aku
tidak apa-apa.” Naruto segera menegakan tubuhnya. “Oh ya, kau bisa mengetahui ke mana Sasuke pergi, kan, Onee-sama?”
Rin
mengangguk. “Aku bisa melihat apa yang terjadi di ruangan ini beberapa menit
yang lalu.”
“Tolong
lihat ke mana Sasuke pergi.”
Rin
pun terdiam sejenak. Ia memejamkan mata dan kemudian membukanya. Kornea matanya
tak lagi ada. Bola matanya berubah warna persis seperti warna rambutnya.
Kakinya lalu melangkah kembali ke depan jendela. “Sasuke berdiri di sini.”
Pandangannya lalu berpindah ke arah pintu. Di pikirannya ia melihat seseorang.
“Ada Hinata yang berkunjung.”
.
.
Sasuke
hanya bisa mengumpat dalam hati karena tidak bisa melakukan apa-apa. Ternyata tanpa sharingan aku jadi lemah begini.
“Mati
kau, Sasuke!” Madara mengarahkan tangannya ke jantung Sasuke. Pada saat itu ia
bisa melihat jelas bandul aquamarine
yang melayang di depan wajahnya. Mata Madara membelalak.
“Hi-hikari?”
Sekelebat
wanita berambut biru keungu-unguan muncul di pikiran Madara.
Madara…. Wanita itu tersenyum.
Tiba-tiba
emosi Madara jadi kacau. “Bedebah!” Tangannya mengayun ke arah Sasuke, membuat
Sasuke dengan cepat terjun ke dalam sungai.
Mata
Madara membesar; nyaris keluar dari rongganya. Tangannya menutupi topeng yang
biasa ia gunakan. Kenangan-kenangan masa lalu menghantam pikirannya.
Wanita
itu berambut biru keunguan. Ia memiliki senyuman yang menghangatkan. Matanya
berwarna putih dan selalu tahu jika Madara tengah berbohong. Maka dari itu
Madara tidak pernah membohonginya…
Di
hari itu Madara ingin memberikan kejutan untuk hari spesial mereka.
Tapi wanita itu ia temukan bersimbah darah….
Mata
Madara menyalang. Ia segera pergi dari sana tanpa mempedulikan keinginannya
untuk membunuh Sasuke.
.
.
Sasuke
membiarkan tubuhnya di bawa arus sungai yang cukup deras. Beberapa kali ia
mengerang kesakitan karena kepalanya membentur batu-batu besar. Tapi ia
berusaha agar tetap sadar dan mencoba melihat ke sekitarnya. Tidak ada Hinata
di sana. Ia seketika diserang panik. “Di
mana dia? DI MANA?”
Sasuke
lalu melihat kain putih yang berkibar di depannya. Ia kemudian menggoyangkan
kedua kaki agar cepat sampai sana. Ia mengambil napas dulu dengan memunculkan
wajahnya ke permukaan. Sekuat tenaga Sasuke berenang menuju Hinata yang
ternyata tersangkut antara dua batu besar. Meski tubuhnya terasa sakit, ia
lekas meraih tubuh Hinata dan membawanya ke tepian.
“Hinata,
kau baik-baik saja? Hinata!” Sasuke meraba-raba wajah Hinata. Kepanikannya
bertambah saat ia tidak merasakan gadis itu bernapas. “Apa yang harus
kulakukan?” Ia lalu mengerang kesakitan. Mata Sasuke menangkap bagian perut
kanannya yang bersimbah darah. Pecahan kayu tajam dari jembatan tertusuk di
sana. “Si-sialan….”
Sasuke
merasakan kepalanya begitu berat. Ia pun terduduk. Tangannya buru-buru
melepaskan kalung di lehernya. “Lagi-lagi kalung ini menyelamatkanku.” Meski
pandangannya memburam, ia berusaha melingkarkan kalung itu ke Hinata. “Tapi
sekarang kau yang harus memakainya. Aku tidak ingin kau mati.”
Sasuke
tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya. Ia pun tersungkur di sebelah Hinata.
Matanya menutup dengan sempurna.
.
.
Naruto
dan Rin berlari keluar rumah sakit. Sakura yang berada di depan pintunya
keanehan melihat mereka. Namun ia kemudian ikut berlari juga di belakang.
Sakura dapat melihat wajah panik Naruto tadi.
Rin
menghentikan larinya di jalan setapak yang dikelilingi pepohonan. Mata yousei-nya masih diaktifkan.
Sakura
yang melihatnya sampai tersentak. Mata
apa itu? Aku baru melihatnya.
Naruto
melonjak saat menyadari kehadiran Sakura di sampingnya. “Apa yang kau lakukan
di sini?”
Sakura
terang saja jadi kesal. “Aku juga mau mencari Hinata dan Sasuke. Memangnya
salah?”
Rin
kemudian menemukan petunjuk baru. “Mereka berjalan ke jembatan.” Ia berlari
menuju jembatan yang berjarak 200 meter dari sana. Sampai di jembatan ia
menemukan pemandangan mengejutkan.
Sakura
dan Naruto juga mengeluarkan ekspresi yang sama.
“Ada
apa ini?” Sakura memperhatikan bagian jembatan yang rusak.
“Ada
yang menyerang mereka,” suara Rin bergetar.
“Siapa?!”
Naruto mendekati Rin.
Sementara
mata Rin berkeliling di sekitar jembatan. Ia melihat bayangan hitam di
pikirannya. Napasnya pun memburu. “Ma-madara….”
“Apa
yang terjadi sebenarnya? Sasuke dan Hinata dibawa pergi?” Sakura tidak bisa
menyembunyikan kepanikannya.
Rin
menggeleng. “Mereka jatuh ke sungai.” Ia lalu berjalan ke pinggir jembatan.
Matanya terarah pada sungai yang ada di bawahnya.
“Tidak
mungkin.”
“Mudah-mudahan
mereka tidak melaju sampai ke hilir. Di sana ada air terjun!” kepanikan Sakura
meningkat.
“Sialan!”
Naruto pun segera bertindak. Ia menggigit jarinya hingga mengeluarkan darah.
Dari darah itu ia menuliskan kanji Suzaku di tangannya. “Kuchiyose no jutsu!” Ia pun menghentakan tangannya ke jembatan.
Satu
meter di depan Naruto muncul kanji Suzaku. Ukiran kanji itu kemudian bercahaya
merah dan meluncur ke langit di atasnya. Saat itu pula sesuatu yang cepat
terbang ke arah Naruto.
“Suzaku—eh?
Kok ayam?” Mata Naruto mendelik saat melihat Suzaku dalam bentuk terkecilnya.
Warnanya tetap serba merah, tapi kegagahannya tanggal seketika.
Sakura
juga terkaget-kaget melihatnya. “Kau memiliki kontrak dengan hewan baru?”
“Enak
saja! Aku ini phoenix!” Suzaku lalu
mengomeli Sakura. “Dan aku ini dewa! Bukan hewan!”
Sakura
jadi kebingungan. Padahal jelas-jelas makhluk serba merah di depannya ini
berbentuk seperti hewan.
“Kenapa
kau tidak muncul dengan bentuk aslimu? Padahal saat Rikudo Sennin memanggilmu
kau terlihat keren!” tangan Naruto menunjuk-nunjuk pada Suzaku. Ia jengkel
setengah mati.
“Jangan
harap ya! Kau ini bukan sepenuhnya tuanku, tahu!”
Naruto
terang saja jadi geram. “Dasar dewa sombong! Ya, sudah bantu aku cari Sasuke!”
Mendengar
nama Sasuke, mata Suzaku terlihat berbinar, tapi seketika berubah murka. “Ada
yang terjadi padanya?”
“Madara
menyerangnya! Ayo bantu aku mencari!” Naruto berlari duluan.
“Ck,
harusnya kau bilang dari tadi!.” Tubuh Suzaku pun mengeluarkan cahaya
kemerahan. Ia berubah ke bentuk aslinya yang sangat besar.
“Nee-sama, aku duluan!” teriak Naruto
pada Rin. Ia lalu melompat dan menaiki tubuh Suzaku yang melesat cepat di
dekatnya.
Sementara
Sakura hanya mampu takjub di tempat. “Burung itu cantik sekali.” Namun wajahnya
berubah mengkal. “Sampai kapan si bodoh itu mau mendiamkanku?”
“Sakura,
kita juga harus menyusulnya. Kalau Sasuke dan Hinata terluka kita sangat
diperlukan oleh mereka.”
Sakura
mengangguk. Hatinya kini ditikam kegelisahan. Semoga saja Sasuke-kun dan
Hinata baik-baik saja. Tiba-tiba ada cahaya putih yang menyinari sekitar jembatan.
Membuat Sakura tercengang. Apalagi dengan kemunculan harimau putih di depannya.
“E-eh? Eeeehhh??”
“Ayo,
naik, Sakura! Kita tidak punya waktu!”
Sakura
yang tidak mengerti mengapa tiba-tiba muncul harimau itu pun memutuskan
menuruti Rin. Ia melenguh kencang sembari menarik baju Rin kuat-kuat saat
Byakko berlari secepat kilat.
.
.
Madara
kini berdiri di sebuah gundukan tanah besar yang ada di sebuah bukit. Matanya
nyalang memandangi gundukan tanah itu. “Aku sudah melupakanmu, tapi … kalung
itu mengingatkanku padamu kembali.”
Angin
besar berputar di sekitar Madara, namun ia tidak terpengaruh sama sekali. “Misi
ini kulakukan untuk membalas dendamku pada Klan Senju. Mereka telah
menginjak-injak martabat Klan Uchiha.”
Madara
lalu meletakan krisan putih di atas gundukan tanah itu. “Hanya saja aku segera
menyadari dendamku ini tidak hanya soal harga diri.”
Madara
mengaktifkan sharingan-nya. “Mereka
harus membayar kematianmu dengan harga yang setimpal. Akan kubuat dunia ini
jadi neraka….” Ia pun menatap kayu panjang yang memancang di atas gundukan. Di
sana bertuliskan Uchiha Hikari….
.
.
Suzaku melesat rendah di atas sungai
yang membentang di Konohagakure. Jarak pandangnya yang cukup jauh dan teliti
membuatnya dapat melihat apapun di depannya secara detail.
“Kenapa
Madara menyerang Sasuke-sama?
Bukannya yang diincarnya itu kau?” tanya Suzaku pada Naruto.
“Aku
tidak tahu—sama? Kau memanggil si
brengsek itu dengan sama?!” Naruto
tiba-tiba baik pitam.
“Heh!
Dia itu akan jadi tuanku ya jadi kau tidak berhak protes!”
“Aku
yang sudah mengambil kontrak denganmu saja sama sekali tidak kau hormati!”
“Kau
hanya bisa memanggilku saja, tidak mampu membuatku mengeluarkan kekuatanku
seutuhnya.”
Naruto
mendengus kesal. “Harusnya tadi aku panggil Seiryuu saja ya, bukannya kau!”
Suzaku
tidak menggubris omelan Naruto lagi. Matanya menangkap sosok Sasuke di bawah
sana. “Itu mereka!”
Naruto
langsung turun dari punggung Suzaku. Ia memeriksa keadaan Sasuke dan Hinata
dengan wajah gelisah. Matanya membesar saat melihat keadaan punggung Sasuke.
“Sial! Luka tusuknya cukup dalam.”
“Biar
aku yang tangani!” Sakura langsung melesat cepat ke arah Sasuke.
Sementara
Rin memeriksa keadaan Hinata. Kedua matanya membesar. “D-dia tidak bernapas!”
.
.
Hiashi
menatap Hinata yang sedang tertidur dengan wajah pias. Sudah dua jam lamanya ia
terduduk di samping tempat tidur putrinya itu, tapi Hinata masih belum sadar
juga, padahal baru saja kemarin ia siuman.
Di
kamar itu ia tidak sendirian, ada Tsunade yang berdiri bersandar di dekat
jendela.
“Kenapa
Madara menyerang Hinata?” suara Hiashi terdengar parau.
“Hinata
hanya ingin melindungi Sasuke—”
“Anda
pikir saya akan percaya begitu saja?” Hiashi memotong kalimat Tsunade.
Tsunade
menghela napas. “Dari penyelidikan yang dilakukan Rin, tidak ada motif lain.”
“Anda
pasti tidak ingat apa yang terjadi pada Klan Hyuuga 70 tahun yang lalu!”
Tsunade
menggelengkan kepalanya. “Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti karena saat itu
aku juga masih kecil.”
“Harusnya
aku tidak membiarkan Hinata berdekatan dengan Sasuke. Aku terlalu sibuk dengan
urusanku sendiri.”
“Kau
takut sejarah akan terulang?” Tsunade memberikan pernyataan yang mencengangkan
bagi Hiashi.
“Kalau
itu bersangkutan dengan keselamatan anakku, bagaimana bisa aku tidak takut?”
Tsunade
lalu mendekat ke kasur Hinata. “Tenang saja, besok Sasuke akan dibawa ke
Uzumakigakure. Ia tidak akan berdekatan lagi dengan Hinata.”
Hiashi
pun terdiam dengan memandangi bandul aquamarine
yang melingkar di leher puterinya. Dahinya mengerut. Ia lalu meraih bandul
itu. “Kenapa kalung ini bisa dipakai Hinata?”
Mata
Tsunade memicing. Ia teringat kalung apa itu. “Kalung bola api. Bukankah itu
milik Klan Uchiha?”
Hiashi
mengangguk. “Kalung ini pembawa bencana, harusnya Hinata tidak mengenakannya—”
“Tolong
biarkan Hinata menggunakannya, Hiashi-sama.”
Terdengar suara dari arah pintu, rupanya itu adalah Sasuke. Ia duduk di kursi
roda yang dibawa oleh Naruto di belakangnya. “Kalung itu telah menyelamatkan
saya.”
“Apa
maksudmu?”
Naruto
pun mendorong kursi roda itu masuk ke ruangan.
“Madara
hanya berniat membunuh saya, tapi hal itu tidak jadi ia lakukan saat melihat
kalung itu,” jelas Sasuke.
“Saat
melihat kalung itu?”
Sasuke
mengangguk. “Madara tampak kehilangan kendali atas dirinya sendiri.” Ia lalu
berpikir sejenak. “Dan saya mendengar dia menyebutkan nama Hikari.”
Mata
Hiashi membelalak. “Itu berarti Madara sudah mengingatnya….” Ia menatap
Tsunade.
“Sebenarnya
apa yang terjadi? Ada hubungan apa Madara dan Klan Hyuuga?” Sasuke jadi ingin
tahu banyak. Pasalnya ia memang tidak terlalu mengenal pemimpin Klan Uchiha
itu.
Hiashi
berdiri dari tempat duduknya. “Kalau Madara mengingat apa yang terjadi pada
Hikari-sama dia bisa kemari kapan saja.
Anda harus mempersiapkan pasukan Tsunade-sama!”
Naruto
hanya bisa memperhatikan pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak mengerti apa
yang mereka bahas.
“Sebenarnya
Hikari yang Anda sebutkan tadi—ada hubungan apa dia dengan Madara?” sekarang
Naruto pun bertanya pada Hiashi.
“Hyuuga
Hikari dan Uchiha Madara … mereka suami-istri….” Mata Hiashi menatap Sasuke
dengan perasaan tak menentu.
Sementara
Sasuke tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
.
.
“Chouji!
Ini jatahmu hari ini ya!”
“Terima
kasih, Ino!” Chouji yang duduk di bawah pepohonan rindang pun melahap dua bento
yang Ino bawakan.
Sementara
Ino duduk di sebelahnya. “Pelan-pelan makannya. Nanti kau tersedak.”
“Aku
lapar sekali, tahu! Naruto memberikanku tugas yang berat.”
Ino
memperhatikan lubang besar yang terletak tidak jauh dari sana. “Naruto
menyuruhmu menggali tanah?”
Chouji
mendengus kesal. “Bukan hanya menggali di sana saja, aku dimintanya menggali di
seluruh tanah Konoha sampai membentuk pola seperti ini.” Ia memberikan secarik
kertas pada teman setimnya itu.
Ino
memperhatikan pola yang ada di kertas tersebut. “Apa ini? Matahari dan bulan
sabit?”
Bahu
Chouji terangkat. “Aku juga tidak mengerti. Katanya itu pola segel.”
“Kenapa
kau tidak mengerjakannya bersama anggota Klan Akamichi lain?”
“Mereka
semua sedang ada misi di luar Konoha. Lagi pula dengan melakukan pekerjaan ini
aku bisa kurus dengan cepat.”
“Kau
jangan terlalu memaksakan diri. Harusnya Naruto juga membantumu. Nanti akan
kumarahi dia!”
Chouji
terbahak-bahak. “Aku lanjut kerja ya, Ino. Aku memasang target hingga besok.”
Ia lalu berdiri. “Oh ya kapan Shikamaru kembali?”
Ino
membuang muka ke sembarang arah. “Mana aku tahu.”
Satu
alis Chouji terangkat. “Astaga kau masih belum berbaikan dengannya?”
Ino
melipat tangan di dada. “Aku tidak mencari masalah dengannya, dia saja yang
jadi senewen padaku.”
Chouji
menarik napas. “Padahal Naruto sudah kembali kupikir Shikamaru akan lebih ramah
padamu.”
“Sudahlah.
Biarkan saja dia begitu.” Ino pun kini berdiri. “Aku harus ke rumah sakit. Dah,
Chouji.”
.
.
Neji,
Shikamaru, dan Kakashi kini berada di sebuah kedai di perbatasan luar Negara
Hi. Dua jam lagi mereka akan sampai di Konoha, tapi mereka berhenti di sana
sejenak untuk mengistirahatkan diri.
“Kupikir
kita akan dihajar oleh para penjaga Raikage. Ternyata tidak semenyeramkan yang
kubayangkan.” Shikamaru mengambil bakpao yang tersedia di depannya. “Harusnya
cukup satu orang yang menjalankan misi ini.”
“Tsunade-sama orang yang perhitungan, wajar saja
ia memutuskan begitu.”
“Tapi
mengirimkan dua jounin dan satu chuunin? Bukankah ini berlebihan,
Kakashi-sensei? Apa kita ada misi
lain yang aku tidak tahu?” Shikamaru menatap Kakashi dengan wajah penasaran.
“Kau
memang punya pikiran yang tajam ya. Tapi kita tidak ada misi lain kok. Ini
untuk berjaga-jaga.”
“Aku
merasa aneh saja para shinobi Kumogakure
tidak melakukan apa-apa terhadap kita.”
Kakashi
tersenyum di balik topengnya. “Ini karena mereka sedang bermain aman. Apalagi
Raikage sedang terluka parah. Mereka tidak bisa bergerak sembarangan.”
SRAK!
Neji
melihat ke sumber suara. Ia pun mengaktifkan byakugan-nya. “Mereka akhirnya datang juga.”
Kakashi
membuka penutup mata sharingan-nya. “Sudah
pasti mereka akan menyerang di sini, tempat jauh dari Kumogakure.”
Shikamaru
menyiapkan kunai di tangannya. “Heeh, jadi mereka menyerang di wilayah kita
sendiri ya. Curang sekali.” Ia tersenyum sinis.
Kemudian
terdengar suara baja yang dihentakan. Kawanan burung tampak keluar dari hutan,
terbang keluar dengan kecepatan penuh. Angin dingin berputar di sekitar hutan
itu. Di depan mereka terlihat seseorang yang menggunakan jubah serba hitam.
Wajahnya ditutupi tudung hitam sehingga tidak terlihat sama sekali.
“Siapa
dia, Kakashi-sensei? Aku tidak pernah
melihat shinobi manapun yang berpenampilan
seperti itu.”
“Jangan
lengah. Aku juga tidak mengenalnya.” Mata Kakashi memicing. Ia tiba-tiba merasa
mual karena bau bangkai yang tiba-tiba merebak di sekitar sana.
“Kenapa
ada bau bangkai seperti ini?”
“Neji,
apa kau bisa melihat apa yang ada di balik jubahnya?” Kakashi memberikan
perintah.
Neji
mengangguk. “Byakugan!” Mata Neji
langsung membelalak saat melihat ke dalam jubah. Ia merasa sesak seketika dan
berlutut ke tanah.
“Neji!”
Kakashi langsung berlari ke arah Neji.
Keringat
dingin bercucuran di dahi Neji. Apa yang tadi dilihatnya bukanlah hal yang
wajar. “La-lari … kita harus lari. Jangan melawannya.”
Tubuh
Shikamaru bergetar. Ia menyadari udara di sekitarnya jadi dingin. Ia tersentak
saat menyadari hutan-hutan di sekitarnya perlahan diselimuti es. “Kakashi-sensei, sepertinya kita harus lari.
Hutannya!”
“Apa
yang kau lihat tadi, Neji?” Kakashi mulai panik. Ia sedang menunggu waktu yang
tepat untuk membuat keputusan.
Neji
masih terlihat kesulitan bernapas. “Aku tidak tahu, ya-yang jelas di-dia bukan
manusia….”
Makhluk
berjubah hitam itu mengeluarkan pedangnya yang serba hitam dan menaikkan tinggi-tinggi
ke udara.
“Kakashi-sensei!”
Kemudian
makhluk itu mengayunkan pedangnya hingga tanah-tanah di sana menyembur ke
angkasa.
.
.
“Kejam
sekali…,” ungkap Naruto sehabis mendengar penjelasan Hyugga Hiashi tentang masa
lalu Madara dengan klan-nya.
“Karena
itu para tetua Klan Hyuuga terpaksa menyegel kekuatan Hikari-sama, yang tidak disangka membuatnya
tewas.”
Tangan
Sasuke mengepal. Ia memperhatikan Hinata yang masih tertidur pulas di kasurnya.
Jadi aku memang harus pergi dari sini ya?
Biar tidak menyusahkan orang-orang Konoha, terutama Hinata.
“Maaf!
Apa ada Naruto di dalam?” Rin yang berada di daun pintu tampak terengah-engah.
“Kenapa
Onee-sama?” tanya Naruto/
“Apa
Suzaku bersamamu? Kita membutuhkannya.”
Suzaku
pun keluar dari tempat persembunyiannya di kantong kunai Naruto. “Ada apa, Rin-sama?”
Naruto
yang mendengarnya langsung senewen di dalam hati. Cih, Oba-sama saja dipanggilnya seperti itu.
“Apa
yang terjadi, Rin?” Tsunade mendekat pada Rin. Ia menangkap wajah Rin yang
panik.
“Ada
laporan dari Kakashi melalui Pakkun. Mereka diserang Jubah Hitam di perbatasan
Negara Hi. Mereka dikejar oleh makhluk itu dan sedang menuju kemari!.”
“Jubah
hitam?” tanya Naruto, kemudian matanya membesar karena mengingat siapa mereka.
“Kau serius?!”
Rin
mengangguk. “Kita harus segera menyusul Kakashi. Mereka dalam bahaya! Hanya
Suzaku yang bisa mengalahkannya!”
Suzaku
tiba-tiba langsung merinding. “Anda jangan mengada-ada, Rin-sama. Mereka tidak mudah dikalahkan,
tahu! Naruto! Coba kau panggil Seiryuu dan Genbu untuk melawannya.”
“Kau
gila? Ini akan jadi perang besar!” Naruto mulai sewot.
“Tidak
perlu. Pakkun bilang cuma ada seorang Jubah Hitam.” Rin kemudian berlari keluar
ruangan, diikuti Naruto dan Tsunade.
“Cih,
kekuatan apiku memang bisa melawannya. Tapi dia memiliki kekuatan yang sangat
mengerikan….”
“Heh,
ternyata kau bisa ciut juga ya, Suzaku.” Naruto bermaksud mengolok-oloknya.
“Jangan
menganggapnya enteng. Saat kau berhadapan dengan mereka kau pasti akan tahu
yang kubicarakan!”
Sementara
Sasuke hanya memperhatikan semua itu tanpa bisa ia mengerti.
.
.
Shikamaru
melihat ke arah belakang. Ia tidak pernah merasakan kengerian seperti ini
seumur hidupnya. Jantungnya berdegup kencang hingga membuat napasnya terasa
sesak. Namun ia tetap memaksa kakinya untuk berlari; melompati satu pohon ke
pohon lainnya. Pepohonan di belakangnya dengan cepat membeku.
“Kakashi-sensei, apa kita melawannya saja? Dia
tetap mengejar kita, meski sebenarnya gerakannya tidak terlalu cepat.”
Shikamaru menutup hidungnya. “Ugh! Baunya sangat busuk. Makhluk apa dia
sebenarnya?”
“Jangan
gegabah, Shikamaru. Firasatku mengatakan kita harus lari. Aku tidak tahu apa
yang dia lakukan terhadap Neji sampai dia seperti ini.” Kakashi menatap Neji
yang ia bawa di punggungnya. “Kita harus membawanya ke ninja medis. Kau masih
merasa sesak?”
“A-aku
tidak mengerti. Aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri,” ungkap Neji.
“Tetaplah
berusaha untuk terbangun.”
“Aku
akan mencoba menyerangnya, Kakashi-sensei!”
“Apa
yang kau—”
Shimaru
melempar dua kunainya yang ditempel jimat peledak ke arah datangnya makhluk
mengerikan itu. Suara ledakan yang nyaring pun terdengar. “Dengan begini
hutannya akan terbakar—eh?”
Tapi
hutan di belakangnya tetap diselimuti es.
“Cih,
tidak mempan.” Shikamaru kembali menyusul Kakashi. “Kakashi-sensei, kalau kita tidak menghentikannya
bisa-bisa Konohagakure juga dibekukan.”
Kakashi
menyetujui saran dari Shikamaru. “Jika menunggu bala bantuan pun aku tidak
yakin mereka bisa mengatasi makluk aneh itu.”
Shikamaru
pun menggendong Neji di punggungnya. Ia tetap tidak memperlambat kecepatannya
melompati satu pohon ke pohon yang lain.
Kakashi
membentuk beberapa segel tangan. “Katon,
goukakyuu no jutsu.” Bola api raksasa keluar dari mulutnya. Pepohonan di
depannya pun terbakar. “Sepertinya berhasil.” Namun tiba-tiba makhluk serba
hitam itu berdiri di depan Kakashi.
“Sialan!
Ugh!” Kakashi menyilangkan kedua tangannya di depan, tapi ia tidak bisa menahan
dirinya yang terbang terpental sangat jauh.
Shikamaru
sampai ngeri melihatnya. Ia tidak dapat melihat di mana gurunya Naruto itu
terjatuh. “Kakashi-sensei! Eh?” Dunia
serasa berbalik saat ia menyadari makluk serba hitam itu muncul dan mencekik
lehernya.
“Lapar…”
Shikamaru
merasakan dirinya membeku. Pandangannya buyar seketika. Genggamannya pada Neji
lepas. Membuat Neji terjun menuju tanah. Ia tidak mengerti. Tubuhnya sama
sekali tidak bisa melakukan perlawanan. Ia merasa ada yang ditarik dari dalam
dirinya. Keparat….
Sesosok
bayangan tiba-tiba meraih Neji sebelum sampai ke tanah. “Sakura! Tolong periksa
Neji!”
Sakura pun
sampai di tempat Neji setelah Naruto menaruhnya di tanah. Saking terkejutnya
melihat keadaan Neji, ia tidak ada komplen jika Naruto tidak memanggilnya
seperti dulu. Ia lalu memeriksa pergelangan tangan Neji. Detak jantung Neji
terasa lemah. “Kau keracunan?” Ia melihat tubuh Neji yang seluruhnya berubah
menjadi biru.
Bola api
kecil melesat menghantam kepala makhluk serba hitam itu. Ia seketika melepaskan
tangannya dari leher Shikamaru.
Shikamaru
yang tidak sadarkan diri diraih oleh Chouji. “Shikamaru!” lenguhnya panik. “Ino!
Shikamaru tidak sadarkan diri!”
Sementara
itu Naruto yang menunggangi Suzaku berhadapan dengan makhluk mengerikan itu.
Giginya bergemerutuk. “Sembilan Iblis Berjubah Hitam … kenapa dia bisa ada di
sini?”
“Itu
berarti ada yang menghancurkan segelnya,” jawab Suzaku.
Naruto
tercengang. “Apa Madara yang melakukannya?”
“Bisa
jadi.”
“Kau bisa
mengalahkannya?”
“Dia tidak
bisa mati. Harus disegel. Aku akan mengusirnya dari sini.”
“Cuma ada
satu, kan?”
Suzaku
mengangguk. “Kau tahu jenis segel yang bisa digunakan pada mereka?”
“Ya, aku
tahu. Tapi segelnya butuh kekuatan besar. Kalau cuma ada satu, aku akan
menyia-nyiakan kekuatanku.”
“Suzaku….”
Suara makluk itu terdengar dingin. Ia menggeram.
“Whoaa!
Dia mengenalimu!”
“Tentu
saja! Aku ini kan makhluk yang paling dibencinya.”
Kemudian
makhluk itu berteriak kencang hingga seluruh shinobi yang ada di sana menutup
telinganya. Pepohonan juga bergoyang hingga nyaris tumbang.
Naruto
lantas menyadari bayang-bayang tengkorak berkeluaran dari tubuh iblis itu.
Perasaannya langsung mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi. “Apa itu?”
“Dia
melepaskan jiwa-jiwa yang tersesat. Mereka akan menyerang manusia dan
menjadikannya sebagai mayat hidup. Aku harus membakarnya, Naruto,” ungkap
Suzaku.
“Kau gila?
Apimu tidak akan bisa dipadamkan dengan air di dunia ini!”
“Tidak ada
pilihan lain. Kalau ini berhasil panggil saja Genbu, cuma dia yang bisa
mematikan apiku.” Suzaku lalu menaikkan wajahnya. Mulutnya yang membuka lebar
mengeluarkan bola api raksasa berkecepatan tinggi. Bola api itu menyeret pergi
sang iblis dan membakar hutan dengan cepat.
“Apa
serangannya berhasil?” Naruto memicingkan mata. Si iblis mengerikan itu sudah
hilang dari pandangannya. “Ck, hutannya bakal gundul.”
“Setidaknya
iblis jelek itu tidak akan berani mendekat kemari untuk sementara waktu.”
Sementara
itu Sakura tercengang melihat api yang membumbung tinggi di depannya. Ia lalu
menyadari kini Naruto ada di sampingnya, memeriksa Neji.
“Sialan,
dia terkena kutukan,” lirih Naruto. Ia lalu membawa Neji di pundaknya.
“Apa yang
kau lakukan, Naruto? Kau tidak lihat aku sedang mengobatinya?” Mata Sakura
menatap tajam rekan setimnya itu.
Naruto
berusaha sekuat tenaga untuk terlihat galak. “Kau tidak akan bisa
menyembuhkannya.”
“Apa kau
bilang?!” Sakura mulai naik pitam.
“Aku
sedang tidak ingin berdebat!” Naruto ikut marah.
“Sudah
cukup! Kalian ini bertengkar seperti sepasang suami-istri saja!”
“Kami
bukan suami-istri!” pekik Sakura dan Naruto berbarengan. Mereka terkejut dan
saling tatap, tapi Naruto duluan yang membuang muka.
Membuat
Sakura geram setengah mati.
“Ayo, kita
kembali ke Konoha.” Rin tersenyum melihat tingkah Sakura dan Naruto yang tidak
henti-hentinya bertengkar sejak pagi tadi. Ia lalu melihat keadaan Neji yang
nyaris sama dengan Shikamaru. Desahan keluar dari bibirnya. “Shikamaru dan Neji
harus disterilkan. Kau mau membantuku, Sakura?”
“Tentu.
Tapi apa yang terjadi dengan mereka, Rin-san?
Memangnya musuh tadi sangat berbahaya?”
Rin
mengangguk. “Jiwa mereka hampir dimakan. Kalau tidak segera disterilkan mereka
bisa berubah seperti iblis tadi. Tapi mereka beruntung tidak tergores senjata
iblis itu.”
“Ma-masa?”
Sakura menutup mulutnya. “Memangnya apa yang terjadi jika tubuh kita tergores
senjata makhluk itu?”
Naruto
lantas melewati Sakura. “Kau akan jadi tengkorak selamanya.”
Bibir
Sakura miring sebelah. “Haahhh?!”
“Tenang
saja, mereka bisa disembuhkan. Pengobatannya jauh berbeda dengan pengobatan
konvensional. Nanti kau akan kuajari pola segelnya.” Rin segera menengahi
mereka agar tidak lanjut bertengkar.
Sakura
tampak girang. Dagunya terangkat.
Naruto
tahu ia tadi terlalu bermulut besar. Matanya melirik Sakura dengan waswas.
Ternyata benar dugaannya, Sakura sedang menatapnya dengan berkacak-pinggang.
“Siapa
bilang aku tidak bisa menyembuhkan mereka?!” Sakura melotot dan berjalan
terburu-buru menjauhi Naruto.
“Aku benar-benar
bisa jadi gila gara-gara gadis satu ini.” Naruto menghela napasnya. Tapi ia
cepat menyadari bahwa ia harus membawa Neji ke Konoha. Ia kembali naik ke
punggung Suzaku.
Sekarang
peperangannya dengan Madara sudah masuk ke tahap baru, ia harus mempersiapkan
diri. Ia harus segera kembali ke Uzumakigakure untuk berbicara dengan kakeknya.
.
.
“Ada apa
ini?!”
“Kenapa
hutannya jadi beku begini?”
Karui dan
Samui melihat ke sekelilingnya dengan mata membesar. Hutan dengan pepohonan
rindang itu diselimuti es. Mereka memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.
Karui
menutupi hidungnya dengan tangan. Satu tangan yang lain mengibas-ibas agar bau
bangkai hilang dari sana. Ia shock saat
mendapati mayat teman-temannya bergelimpangan di tanah. Ia berlari ke sana
kemari memperhatikan mereka. Tidak ada yang bisa dikenali. Yang tersisa hanya
bekas baju, hitae-ate simbol
Kumogakure, dan tengkorak yang berserakan di sana.
Para shinobi Kumogakure itu ditugaskan untuk
menghabisi Kakashi, Shikamaru, dan Neji. Namun mereka malah dihabisi oleh
makhluk lain yang tidak pernah mereka temui sebelumnya….
“Terkutuk!”
pekik Samui. Ia sampai ingin menangis melihatnya.
“Apa ini
ulah shinobi Konoha? Aku tidak
menyangka mereka ternyata memiliki kekuatan yang mengerikan seperti ini.”
“Kita
harus melapor ke Raikage!”
Bersambung