Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto
© Masashi Kishimoto
The
Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning:
Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Semi-Crossover with The Lord of The
Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
.
.
Tiba-tiba Miyazaki menghentikan
langkahnya. “Bukan. Aku ingin kau menjadi Tuhan. Dengan membuang ketujuh dosamu
yang tidak terampuni.”
“Hm?” kepala Naruto meneleng ke
kanan. Tidak bisa menerka maksud kakeknya. Menjadi Tuhan? Ada-ada saja….
.
.
Chapter 11
To
Kill Seven Deadly Sins
.
.
“Membuang sebenarnya tidak terlalu
tepat. Membunuh. Kau harus mampu
membunuh seluruh ketujuh dosa tidak terampuni yang kau miliki. Aku sudah
memeriksanya. Ketujuh dosa itu semuanya ada pada dirimu,” jelas Miyazaki pada
Naruto.
Kakek dan cucu itu kini sedang
berada di sebuah altar luas bernuansa gelap yang berada di dalam Menara Pusat
Segel Empat Penjuru Mata Angin. Duduk di atas segel miniatur lambang bintang Earendell, yang memiliki empat ekor
cahaya. Segel itu belum diaktifkan, namun Naruto bisa merasakan hawa magis—yang
besar—yang terhantar dari sana. Tapi selain masalah segel yang membuatnya
gundah itu, ia juga berusaha untuk menerka tentang tujuh dosa yang tidak
terampuni. Ia sama sekali tidak memahami membuang dosa-dosa itu disamakan
dengan membunuh. Berkali-kali ia memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Sebentar, Paman—maksudku, Kakek!”
seru Naruto yang memotong penjelasan dari Miyazaki. Ia masih belum terbiasa
memanggil Miyazaki yang awet muda itu dengan kata ‘Kakek’ karena baginya
tampang pemimpin Rumah Besar Uzumakigakure jauh dari kakek-kakek. Terlihat
konyol. Padahal sebelumnya ia mengenal Tsunade, yang masih hidup hingga berumur
50 tahun dengan wajah 20 tahunnya. Tapi setidaknya ia sudah pernah melihat
wajah asli Tsunade. Beda halnya dengan Miyazaki yang memang tidak akan menjadi tua.
“Aku tidak terima keluhanmu lagi,
kita sudah banyak membuang waktu,” sergah Miyazaki buru-buru. Ia lalu melipat
kedua tangannya di dada dengan wajah kesal. “Dan jangan berpikir jika
penampilan mudaku ini konyol. Aku sendiri tidak berkehendak seperti ini. Itu
yang harus kupahami.”
Naruto otomatis jadi cengo. “K-kakek
bisa juga membaca pikiran orang lain? Ya ampun,” ia kemudian menepuk dahinya
sendiri. Benar-benar kemampuan yousei
yang sangat merepotkan, pikirnya.
“Sudah! Berikutnya kau harus bertapa
dan menuruti perintahku. Aku tahu apa yang mengganggu pikiranmu. Kau akan jadi
Tuhan dengan membunuh ketujuh dosamu yang tidak terampuni, tapi maksudku di
sini adalah tuhannya dunia shinobi.”
Lagi-lagi
dia menjawab pertanyaan yang baru ada di pikiranku, ucap Naruto di
pikirannya sembari menggaruk-garuk pipi.
“Sudah, jangan berbicara di dalam
hati lagi. Kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan sajalah langsung. Kau
kan laki-laki,” titah Miyazaki. Ia sedikit menyayangkan mengapa cucunya ini
agak dungu. Padahal ayah dan ibu mereka termasuk keturunan baik di bangsanya
masing-masing.
Naruto mengembuskan napasnya
kuat-kuat. “Ya, ya, aku mengerti.”
“Hm, sebenarnya kemampuan membaca
pikiran orang lain ini sangat berguna bagi yousei.
Setelah datang masanya kau pasti akan mengerti tujuan utama kemampuan ini.
Sekarang mari kuulang yang telah kujelaskan. Ada tujuh macam dosa tidak
terampuni: bangga diri berlebihan, iri hati, kerakusan, kemalasan, ketamakan,
hawa nafsu, kemurkaan. Dan kau memiliki ketujuhnya di dalam dirimu.”
Naruto terlihat berpikir sejenak. Ia
malah bingung dengan pernyataan kakeknya itu. Pasalnya ia sama sekali tidak
mengetahui hal macam apa yang membuatnya memiliki ketujuh dosa tersebut.
“Rikudou
Sennin pertama kali mampu membuang ketujuh dosa tersebut dan menjadikannya
Tuhan para shinobi. Tapi memang pada
akhirnya satu dosa ia miliki kembali.”
“Sebenarnya apa tujuan Kakek
menjadikanku sebagai tuhannya para shinobi.
Menurutku Kakek lebih pantas—”
“Tidak, aku tidak bisa,” potong Miyazaki.
Ia memejamkan mata, lalu menatap tajam cucunya yang duduk di depannya itu. “Aku
memang lebih berpengalaman dan lebih banyak menguasai jurus-jurus kuno
Uzumakigakure, tapi aku hanya mampu membunuh empat dari tujuh dosa itu.”
Dahi Naruto mengerut. “Tapi
tugasku—”
“Tugasmu adalah menyegel kembali bijuu ke tempat asalnya. Asal kau tahu
saja, kekuatan musuhmu nanti akan lebih kejam dan besar daripada shinobi yang pernah membuat kakimu terluka
parah.”
Naruto terpaku di tempatnya.
Kakeknya telah membuka luka lama yang telah di kuburnya dalam-dalam…. Ia jadi
teringat waktu lalu … ketika ia nyaris mendonorkan jantungnya untuk Sasuke….
“Kau harus mengembalikan bijuu ke tempat aslinya untuk mencegah dia memanfaatkannya untuk mengubah dunia
ini ke dalam kegelapan. Setelahnya kau akan mengikutiku dan Kushina ke Valinor, ayahmu juga sudah berada di
sana sejak lama.”
Naruto kembali memikirkannya. Ia
memang tidak pernah merasakan tinggal bersama kedua orangtuanya sejak lahir. Tapi
ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ini seperti di luar kehendaknya. Ia
merasa bukan bagian dari keabadian yang ditawarkan itu….
“Kau tidak bisa menolaknya, Naruto.
Takdir telah memilihmu…. Kau tidak ingin teman-teman terdekatmu di dunia sana
menjadi korban kegelapan yang akan menyelimuti bumi, kan?” mata merah Miyazaki
masih menikam tajam pada mata biru Naruto.
Tapi Naruto tak gentar menatapnya.
Jika diingatkan akan teman-temannya, tidak ada alasan baginya untuk menghindar
dari tugas yang dipikulkan padanya. “Baiklah,” ujarnya dengan keteguhan penuh.
“Aku hanya tinggal bertapa, kan?”
“Ya, tapi ini bukan bertapa biasa.
Kau harus membunuh ketujuh dosa tidak terampuni yang ada pada dirimu.”
Naruto sebenarnya bosan juga dengan
penjelasan yang berulang-ulang, tapi tidak sepenuhnya ia pahami. “Bagaimana
caraku membunuh dosa-dosa itu?”
“Atur posisimu untuk bersemedi dan pejamkan
matamu. Lalu kosongkan pikiranmu,” perintah Miyazaki. Ia melihat cucunya itu
mulai melakukan apa yang diperintahnya. Ia pun menunggu beberapa menit.
Kemudian ia membentuk tujuh macam segel tangan dengan perlahan dan meletakkan
kedua telapak tangannya ke lantai yang di atasnya terdapat pola segel Shiru no Tsu Sūkikyō. Pola segel itu pun
mengeluarkan cahaya biru. “Mari kita lihat apa kau mampu melakukannya hingga
akhir.”
Sementara
itu Naruto kembali membuka matanya. “Eh, di mana ini?” Ia berada di ruangan
luas dengan sinar temaram. Matanya pun memicing, berusaha mencari pelita. “Ini
kan pintu masuk menara. Kenapa aku tiba-tiba ada di sini?” Ia kebingungan, tapi
nuraninya mengatakan untuk membuka pintu tertutup itu.
Naruto sedang berada di dimensi lain
yang tercipta dari jurus yang kakeknya rapalkan barusan. “Baguslah dia hendak memasuki
pintu pertama,” bisik Miyazaki tersenyum tipis. “Kau harus berhasil membunuh
dirimu yang memiliki kebanggaan diri berlebihan itu.”
Naruto berjalan perlahan memasuki
ruangan asing yang dihiasi sinar jingga tipis. Ia lalu menyadari ia tidak
sendiri di sana. “Siapa?” Ekspresinya pun berubah keras. Pada akhirnya ia
mendengar sebuah tawa menggelegar yang sangat ia kenal siapa pemiliknya.
“Aku akan menjadi Hokage dan membuat
semua orang mengakuiku! Akan kubuat mereka berlutut padaku! Hahaha!” sosok itu
sedang minum sake di belakang meja ruangan hokagenya.
Mata Naruto pun melebar. Mulutnya
membuka. Ia terhenyak setengah mati. “Itu kan aku?! Apa maksudnya iniiii?!”
“Bunuh dia, Naruto. Dia adalah
bagian buruk dalam dirimu. Dengan membunuhnya kau akan bisa membuka pintu
selanjutnya.” Terdengar suara yang membahana ke seluruh ruangan luas itu. Naruto
mengenal suara itu sebagai suara kakeknya.
Naruto tampak berpikir. Membunuh tujuh dosa tidak terampuni … jadi
begitu maksudnya? “Huh, siapa takut.” Ia lantas membentuk fuuton: rasengan mini di tangan kanannya. Dengan secepat petir ia
mengarahkan jurus itu pada dirinya yang
terlihat konyol tersebut. Dirinya itu
pun lenyap menjadi asap hitam.
“Seingatku, aku tidak pernah
berlebihan seperti itu, atau memang aku tidak menyadarinya?” Naruto bertanya
pada dirinya sendiri dengan bibir mengerucut ke depan. Ia berlari menuju sebuah
direksi di mana satu-satunya cahaya terpancar dari sana. Tanpa ia sadari, di
lengan kanannya muncul jubah pertapa berwarna jingga terang. Ia tanpa ragu
membuka pintu berikutnya.
Miyazaki tersenyum mengetahuinya.
“Sekarang kau harus mampu membunuh kemalasanmu.”
Naruto mengedarkan pandangannya ke
sekitar. Dahinya mengerut ketika menemukan pemandangan itu. Ia menemukan dirinya tertidur di sebuah dipan dengan
wajah penuh iler. “Aku tak mengerti kenapa jadi konyol begini, tapi aku tahu
betul wajahku ketika tidur tidak sejelek itu,” gerutunya. Ia lalu melompat ke
arah dirinya yang terbaring itu.
Mengeluarkan tendangan super kuatnya hingga dirinya
itu menghilang menjadi asap hitam.
Naruto pun segera menuju direksi
bercahaya biru yang dilihatnya di lantai atas. Jubah pertapa berwarna jingga
terang kini menyelimuti tangan kirinya.
“Iri hati,” ucap Miyazaki.
Naruto membuka pintu itu. Ia
langsung menemukan dirinya yang
sedang bertarung dengan sahabatnya sendiri, Sasuke.
“Kau harus ingat, Teme! Aku akan menjadi Hokage! Aku tidak
sudi Sakura jatuh ke pangkuanmu! Kau lebih rendah dibandingkan aku!”
“Hn, berisik, Dobe. Penyakit irimu itu memang menyebalkan”
Naruto agak muak melihat dirinya dan Sasuke yang sedang bersilat lidah itu. Ia lalu mengeluarkan dua rasengan di kedua tangannya dan
menghantamnya pada mereka. “Huh! Kalian berdua berisik!”
Jubah pertapa berwarna jingga terang
pun sekarang mengitari bagian atas tubuh Naruto. Dengan penuh semangat ia
berlari menuju tangga atas; ke sebuah pintu di mana ia harus membunuh
kemurkaannya. Dan Naruto berhasil melakukannya dengan sekali tebas.
Kini tinggal tiga dari tujuh dosa
tak terampuni yang mesti Naruto bunuh dari hatinya, yaitu kerakusan dan
keserakahan. Namun, lagi-lagi ia dapat mengatasinya dengan cepat.
Di tempatnya, Miyazaki
mengetahuinya. “Ternyata dia bisa juga. Fokusnya bagus. Tapi … yang terakhir
sepertinya akan sulit. Apa kau mampu melakukannya, Naruto?”
Jubah pertapa berwarna jingga hampir
menyelimuti seluruh tubuhnya. Naruto kembali berlari lebih cepat dari
sebelumnya. Ia sudah menghitungnya. “Yang terakhir! Aku pasti bisa
melakukannya!” Ia pun dengan kasar membuka pintu. Matanya segera beradaptasi
dengan ruangan temaram itu.
“Naruto….”
“Heh?” Naruto terperanjat. Ia kenal
suara itu. Dan suara itu bukan suaranya kakeknya, melainkan suara seorang
wanita.
“Naruto….” Kali ini terdengar lebih
dekat. Tubuh Naruto menggigil. Ia tidak menyangka tahapan terakhir ini akan
mengujinya dengan berat. Semangatnya yang berkobar tiba-tiba luntur.
“Kemari, Naruto. Aku mencintaimu.
Kau sejak dulu mencintaiku, kan?”
Kedua tangan Naruto mengepal. Ia
terpaku sejenak di tempatnya. Napasnya tiba-tiba memburu karena dirasa sesak. Ia
menatap tajam sosok wanita yang berdiri dua meter di depannya—yang merentangkan
kedua tangannya kepadanya.
“Jangan bercanda,” geram Naruto.
“Kakek! Ini benar-benar keterlaluan! Mengapa Sakura-chan bisa berada di sini?!” teriaknya ke arah langit-langit.
Berharap kakeknya mendengar rasa frustasinya. “Hawa nafsuku … mengapa Sakura-chan yang muncul?! Ini gila!”
“Lupakan
dia, Naruto. Kau tidak akan pernah bisa bersamanya. Haruno Sakura. Dia terlalu
lama meracuni pikiranmu. Ini ujian untukmu. Kau harus mampu membunuhnya.” Suara
Miyazaki terdengar di ruangan itu.
Naruto
semakin gelisah. Keringat dingin mengucur dari dahinya. “Aku tidak bisa … aku
tidak ingin membunuh rasa cintaku terhadap Sakura-chan!”
“Belajarlah
dari masa lalu, Naruto. Yousei dan
manusia terlarang untuk bersatu. Jika itu terjadi, bencana akan datang.” Suara Miyazaki kembali terdengar.
“Ini
gila….” Naruto lunglai ke lantai. Ia tidak percaya dengan ujian terakhir ini.
Ia memang mencintai Sakura tanpa syarat, namun hal ini sama sekali tidak ia
inginkan. “Sampai … sampai di sini saja. Aku tidak sanggup melakukannya,”
lirihnya. Napas Naruto makin memburu. Takut-takut ia menatap Sakura yang masih
berdiri di depannya.
Sakura
mengembangkan senyum untuknya. Senyuman manisnya. Senyuman yang selalu Naruto
jaga agar tetap ada….
“Kau
bisa melakukannya. Kau harus, Naruto! Sudah kubilang kau dan dia tidak ditakdirkan
untuk bersama! Bersamanya hanya akan membuat penderitaan lahir di sekitarmu!”
“Sialan!”
Naruto memukul lantai di bawahnya dengan kekuatan penuh. Membuat lubang yang
cukup besar. Ia benar-benar frustasi. Hatinya tercabik-cabik. Ia tidak mampu
membunuh Sakura. Meski ini hanyalah sebuah dimensi yang diciptakan, namun tetap
saja terasa nyata. Meski yang dibunuhnya adalah rasa cintanya yang besar
terhadap kunoichi itu, tapi ini
benar-benar di luar kendalinya.
“Naruto….”
Sakura kembali memanggil Naruto. Ia berjalan perlahan ke arahnya.
“Berhenti!”
pekik Naruto. Matanya berubah merah. Ia menatap Sakura dengan garang. Ia lalu
menyadari jika cahaya yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari jubah pertapa itu
semakin meredup. Ia paham, jika ia tidak bisa menyelesaikan ini misinya nanti
akan gagal. Jika misinya gagal, maka akan banyak korban berjatuhan.
“Kau
tidak perlu mencintai perempuan yang tidak mencintaimu. Itu hanya akan
membuatmu terluka. Lepaskan perasaan itu! Buang … dan musnahkan!” pekikan Miyazaki mengambang di udara.
Tanpa
ragu, Naruto pun berdiri dan melesat cepat ke arah Sakura. Di tangan kirinya
terdapat kunai. Ia sunshin ke
belakang kunoichi berambut merah
jambu itu. “Aku memang tidak bisa bersama denganmu, Sakura-chan. Karena cintamu padaku itu … palsu! Kau hanyalah ilusi!”
Naruto
menebas leher Sakura dengan sekuat tenaga. Dalam waktu singkat, Sakura berubah
menjadi asap hitam. Lalu cahaya terang membungkus Naruto. Cahaya itu menembus
dinding dimensi dan tiba di tempat Miyazaki dan Naruto berada. Pola segel di
bawah mereka pun semakin benderang. Cahaya itu melesat ke angkasa. Seluruh
Menara Uzumakigakure yang terbuat dari intan itu berkilauan, hal yang sudah
lama tidak terjadi.
Pancaran
cahaya melesat juga dari segel yang memiliki arah mata angin, masing-masing
mengarah ke tempat markas Shi no Ujigami.
Shi no Ujigami dapat
merasakannya. Kekuatan itu begitu besar. Terpancar ke masing-masing menara
mereka. Mereka memperhatikan menara utama yang ada di lembah mereka dengan
ekspresi takjub. Hewan-hewan titisan para dewa itu seketika berubah bentuknya
menjadi yousei.
“Heeh,
ini sudah lama sekali,” sahut Genbu yang sebagian tubuhnya tenggelam di air. Ia
mengenakan obi hijau. Mata dan
rambutnya yang panjang itu pun berwarna hijau.
“Kalian
berubah juga rupanya,” dari Lembah Api, Suzaku menimpali. Obi merahnya
berpendar, begitu juga dengan mata merahnya yang setajam elang. Matanya beralih
pada gunung berapi yang dapat ia rasakan bergejolak di bagian dalamnya.
“Waktunya sudah tiba ya.”
“Yah,
ini untuk sementara. Kalian jangan lupa bagaimana rupa asli kalian
sesungguhnya.” Seiryuu melayang-layang di Lembah Angin. Sudah lama ia tidak
merasakan tubuhnya yang ringan ini. Obi birunya
serupa warna langit yang biasa membentang luas di tempat asalnya.
“Aku
tidak terlalu suka dengan rupaku ini. Tidak buas sama sekali.” Byakko
memperhatikan kedua tangannya dengan ekspresi datar. Memang biasanya terdapat
kuku-kuku indah nan tajamnya di sana. “Tapi yang jelas kini dia telah bangkit.
Menurut kalian apakah dia pantas mendapatkan kepercayaan kita?”
“Tentu,”
tukas Seiryuu dengan menyeringai. “Dia
akan mengobrak-abrik tempat kita. Lihat saja.”
Sementara
itu Uzumaki Naruto tidak pernah merasa seprima ini. Setelah berbulan-bulan lamanya
ia terbaring di tempat tidur dan masa penyembuhan yang membosankan, akhirnya
kebangkitannya pun tiba. Rautnya setenang air yang mengalir. Tidak ada rasa
beban apa pun yang ia rasakan di hatinya. Ia telah mampu melewati ujian itu.
Baju
yang ia kenakan pun berganti. Jubah pertapa berwarna jingga terang
menyelimutinya. Kakinya di lapisi sandal ninja berwarna emas. Matanya yang biru
kini berubah merah darah. Rambutnya yang bagai duri landak itu tetap ada di
atas kepalanya, sedangkan bagian bawah sedikit memanjang, terikat rapi dengan
tali emas. Anak rambutnya di kedua sisi wajahnya pun lebih memanjang hingga
menggapai dahunya.
Miyazaki
yang melihatnya pun turut bangga. Akhirnya apa yang inginkan dapat dilakukan
oleh cucunya itu. Ia yakin kali ini ia tidak akan salah jalan. Ia tersenyum
tipis. “Sekarang cobalah mempraktekkan kekuatanmu itu.”
Naruto
memandangi kakeknya sebentar. Lantas mata merahnya beralih ke tangan kanannya.
Ada simbol matahari di sana. Berpola lingkaran berwarna jingga. Ia pun melihat
dengan pikirannya bagian-bagian yang tersusun di dalam Menara Segel Empat
Penjuru Mata Angin. Tak terlalu lama, ia menemukan sebuah altar besar di
ruangan terbuka yang berada di puncak menara. Ia pun langsung tiba di altar itu
dalam sekejap saja dengan jurus yang kurang lebih sama dengan yang dimiliki
mendiang ayahnya.
Naruto
pun menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Seperti sedang berdoa.
“Lembah Api,” lirihnya. Aliran cakranya melesat keluar dari badannya.
Suzaku
yang matanya masih terpaku pada gunung berapi yang tidak jauh berada dari
posisinya berdiri, tampak terperanjat. Gunung berapi itu meletus hingga
memuntahkan laharnya ke segala arah. Ia pun terkena muntahan lahar itu, tapi
memang tidak berpengaruh apa-apa padanya. “Api tidak akan luka karena api. Aku
akan terima tantanganmu,” tukasnya dengan seringai.
Naruto
di tempat serupa masih tetap dalam posisinya. “Lembah Angin.”
Di
Lembah Angin, Seiryuu merasakan angin di sekitarnya mendingin dan melesat lebih
kencang. Lantas pusaran angin yang lebih besar datang dari bagian belakangnya,
namun terpantul ketika menghantam pinggulnya dan menghancurkan sebuah tebing
tak jauh dari sana. Salah satu alis Seiryuu terangkat. “Wah, wah, boleh juga.”
“Lembah
Air!”
Genbu
yang baru saja berjalan menuju satu-satunya daratan di markas besarnya itu
tersentak ketika melihat pusaran air yang muncul dari sebelah kanannya. Pusaran
air yang berupa twister di tengah
laut itu bergerak secepat petir ke arahnya. Ia langsung membuat dinding raksasa
dari air dalam sekejap. “Dasar! Dia benar-benar melakukannya,” decaknya agak
kesal, namun kemudian tersungging senyuman di bibirnya. “Mari kita
bermain-main.”
Naruto
melihat ke arah barat Uzumakigakure. “Lembah Pasir.”
Byakko
merasakan getaran hebat dari arah kakinya berpijak. Ia pun membuat pasir di bawahnya
menjadi tanah padat dan membuatnya melayang. Ia dengan cepat berdiri di atas
bagian tanah padat itu. Ia melihat tanahnya yang selalu ia sayangi sepanjang
masa itu merosot ke bawah dengan cepat. “Kau mau menelannya ke dalam inti dunia
ini? Apa kau lupa aku adalah dunia ini sendiri? Ini sudah lama sekali ada yousei yang menantangku seperti ini.”
Pertarungan
untuk mengambil hati para dewa yang punya harga diri tinggi itu pun segera
dimulai….
.
.
Di
sebuah hutan belantara, wilayah Negara Api, Uchiha Madara menyambut kedatangan
kaki tangannya dalam kegelapan. “Bagaimana, Zetsu? Apa yang kau dapatkan?”
Zetsu
keluar dari balik salah satu batang pohon raksasa di sana. “Besok akan diadakan
upacara kematian Uzumaki Naruto. Lusanya Sasuke akan dieksekusi di depan
seluruh Petinggi Kelima Negara Elemental.”
“Heeh,
waktu yang tepat. Akan kubuat acaranya lebih mengasyikkan,” tukas Madara dengan
senyuman sinis di balik topengnya. Ia tidak menyangka Konoha begitu bodoh
sampai saat ini tidak tahu-menahu di mana Naruto. Malah membuat upacara kematian
tanpa ada jasadnya. Benar-benar tolol.
“Sepertinya
penjagaan ketat akan lebih dilakukan pada saat Sasuke dieksekusi mati. Aku
mendengar ada sekelompok shinobi yang
hendak menyelamatkannya, tapi aku masih belum mendapatkan informasi bagaimana
caranya mereka melakukan itu dan dari mana kubu mereka.”
Madara
pun menebak-nebak. “Jika tidak dilakukan secara langsung, di Konoha juga masih
ada Tsunade yang pintar melakukan manipulasi mayat. Yah, tapi itu agak rumit. Kemungkinan
besar mereka akan melakukan perlawanan terbuka, lalu perundingan perdamaian.
Sebaiknya kita akan ikut andil dalam permasalahan itu.”
“Maksud
Anda?”
“Aku
yang nanti membunuh Sasuke. Kau dan Kisame menyamar dan membuat kekacauan di
barisan penjaga. Aku bisa memanipulasi penampilan kalian. Walaupun aku
sebenarnya benci dengan cara seperti ini.”
“Ah
ya, tapi sepertinya Sasuke akan hadir di upacara kematian Naruto. Apa tidak di
sana saja kita melakukan penyerangan?” Zetsu berusaha realistis. Kemampuannya
mencari informasi memang tidak bisa diragukan. Terlebih di hari itu penjagaan
tidak seketat saat eksekusi Sasuke nanti.
“Aku
tidak mau. Meski lebih mudah, tetapi aku ingin melihat pertumpahan darah yang
lebih sadis lagi.” Mata sharingan
Madara tampak lebih merah dibandingkan biasa. Ia memandangi bulan penuh yang
mengintip dari balik dahan-dahan lebat. “Setelah itu kita mengumpulkan bijuu lagi untuk menguasai dunia ini.”
.
.
Hitam
menguasai pemandangan di setiap jalan besar Konohagakure. Para rakyat sipil dan
shinobi berbondong-bondong menuju
sebuah tempat di mana seorang pahlawan dunia shinobi dikenang untuk selama-lamanya. Tapi di bawah patung yang
terbuat dari emas mulia itu tidak terdapat jasad sang pahlawan. Patung itu
hanya sebagai simbolisasi saja. Sementara pahlawan yang dibuatkan patungnya itu
belum diketahui masih hidup atau mati. Keberadaannya masih misterius. Sayangnya
kondisi di Konohagakure pun menghambat untuk dilakukan pencarian lebih lanjut.
Masing-masing
dari penduduk Konoha membawa setangkai bunga krisan putih di tangan mereka. Setelah
sampai di tempat tujuan, mereka berbaris dengan rapi; menyejajarkan diri dengan
barisan paling depan. Tsunade dan para Tetua Konohagakure berdiri paling depan
barisan bagian kiri. Di belakang mereka para ANBU yang siap siaga menjaga tuan
mereka.
Rekan-rekan
seumur Naruto berdiri di barisan bagian kanan, namun Sakura belum terlihat di
sana. Padahal sebentar lagi upacara akan dilaksanakan. Tidak ada lekukan
bahagia, yang ada sendu yang membuat pemandangan Konohagakure semakin mengelabu.
Tak lama Sasuke tiba di sana, dan ribuan mata memandangnya dengan ekspresi
terkejut. Tidak menyangka dia akan dihadirkan di sini. Sementara seluruh
penduduk Konohagakure sudah tahu jika besok eksekusinya akan dilakukan.
Sasuke
dikawal dengan ketat. Meski ia berstatus tahanan Negara, ia diperkenankan
mengenakan pakaian serba hitam. Kedua tangannya di borgol di lingkarkan ke
belakang punggungnya. Sudah dipastikan ia tidak akan memberikan penghormatan
terakhir pada Naruto nanti dengan menaruh bunga krisan di altar kecil yang
menjadi alas bagian bawah patung Naruto. Bagaimana bisa? Tangannya saja tidak
bergerak dengan leluasa. Ia tidak balas memandangi mata-mata penasaran itu. Matanya
tetap mengarah ke depan tidak peduli. Ekspresi wajahnya pun seperti biasa
datar. Empat orang ANBU mendampinginya. Mereka lalu mengambil posisi di bagian
depan—di antara barisan kiri dan kanan.
Mata
Sasuke kemudian tertuju pada patung Naruto. Ia lalu bergumam dalam hati, Dobe, bahkan Hokage terdahulu tidak ada
dibuatkan patung sepertimu ini. Sekarang mereka benar-benar menghambur-hamburkan
uangnya. Apa kau benar-benar tidak akan kembali?
Tak
lama Sakura muncul sendirian. Sepertinya ia akan menjadi penduduk terakhir yang
datang tepat beberapa menit upacara akan dimulai. Kepalanya tunduk ke bawah, ia
tampak kusut dibandingkan penampilannya sehari-hari. Poninya yang belah di
tengah kini menjuntai menutupi dahinya. Di tangannya ia menggenggam bunga
krisan putih yang tangkainya hanya setengah. Ia sama sekali tidak menatap
orang-orang di sana, temannya saja tidak. Ia berbaris di sebelah Ino yang memberikannya
ruang untuk masuk ke dalam barisan.
Ino
memperhatikan sahabatnya itu dengan wajah yang memahat kecemasan. Sejak pengumuman
semena-mena Daimyou, ia menyadari
jika Sakura masih terperangkap dalam kesedihannya. Ino bisa memaklumi Sakura
karena hal ini merupakan pukulan berat baginya. Kehilangan orang-orang yang
berharga bagimu di waktu yang tak terduga akan membuatmu patah
berkeping-keping. Dalam pikirannya, Ino mencari ide bagaimana caranya ia bisa
menghibur Sakura nanti. Karena ia tahu Sakura tidak akan mampu melewatinya
sendirian. Aku akan terus berada di
sampingmu, Sakura. Aku juga tidak ingin kehilanganmu. Jadi, kau jangan
melakukan hal yang tidak-tidak ya. Ino hanya bisa mengucapnya dalam hati.
Upacara
kematian itu pun dimulai. Yang memimpin upacara adalah seorang biksu yang
berasal dari kuil terbesar di pusat Negara Hi. Daimyou pun turut serta di acara itu. Ia mendapatkan tempat
eksklusif di bawah sebuah tenda yang disiapkan bangku megah kerajaannya di
sana. Tidak lupas sebuah kipas ia genggam di tangannya.
Biksu
yang memimpin upacara pun menyalakan dupa dan merapalkan beberapa doa di depan
altar cukup besar yang menjadi alas patung Naruto berdiri tegak. Setelah ia
meletakkan dupa di wadah yang telah disediakan, ia mempersilakan penduduk Konohagakure
dengan tertib menaruh bunga krisan yang mereka bawa ke atas altar.
Dimulai
dari Tsunade dan para Tetua Konohagakure yang berjalan perlahan menuju altar
dan meletakkan bunganya di sana. Para penduduk yang berbaris di belakang Tsunade
pun ikut menyusul. Raut wajah mereka kebanyakan berupa kebingungan. Kebanyakan dari
mereka sendiri beranggapan bahwa upacara kematian ini terlalu terburu-buru,
padahal mereka tahu Hokage Kelima bukanlah wanita yang pantang menyerah. Mereka
tidak percaya jika Naruto malah dianggap mati oleh para petinggi Negara Hi.
Giliran
teman-teman sebaya Naruto yang meletakkan bunga di altar. Mereka sebenarnya
melakukannya dengan setengah hati. Yang paling terlihat air wajahnya adalah
Rock Lee yang mulai tersedu-sedu. Ia begitu sedih melakukan upacara seperti
ini, padahal keadaan rivalnya itu tidak diketahui di mana rimbanya. Ia tentu
berharap Naruto masih hidup dan baik-baik saja.
Sedangkan
Shikamaru kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Merepotkan saja. Setelah upacara
ini selesai ia memutuskan menghisap rokok lagi untuk melindapkan kepeningannya
Hinata
menggigit bibirnya sendiri hingga ia merasakan nyeri yang luar biasa. Ia
berusaha menahan tangisnya agar tidak membuncah keluar. Ia pun menaruh krisan
putih nan cantik itu di atas altar.
Masing-masing
dari mereka kembali ke tempatnya berpijak tadi setelah melakukan penghormatan
terakhir untuk Naruto. Kini giliran Sakura yang berjalan menuju altar. Kepalanya
yang menunduk perlahan menegak seiring semakin dekat jaraknya dengan altar itu.
Sorot matanya kosong. Ia membuang bunga yang digenggamnya ke tanah dan tanpa ia
ketahui bunga itu terinjak olehnya.
Tsunade
yang melihat gelagat aneh Sakura pun memutuskan maju satu langkah ke depan. Apa yang akan kaulakukan, Sakura?
Langkah
Sakura semakin cepat. Sampai di depan altar ia memekik garang dan mengobrak-abrik
kumpulan bunga krisan putih itu hingga membuatnya berserakan ke tanah. “Keterlalu
kalian! Aku muak dengan kepura-puraan kalian!”
Para
ANBU tanpa diperintahkan bergerak cepat ke arah Sakura. Mereka tahu jika kunoichi muda itu hendak mengacaukan
jalannya upacara yang khidmat itu. Para penduduk sebagian belum meletakkan
bunganya di sana.
Sakura
kembali memekik lantang dan tanpa ragu meninju altar itu dengan kekuatan
supernya hingga hancur. Patung Naruto yang berdiri di atasnya pun terbaring ke
tanah tanpa ada yang menopangnya. “Naruto belum mati! Harus berapa aku bilang
sampai kalian mengerti?! Dia belum mati! Dia belum mati!!! Kalian hanya ditipu
saja oleh si Tua Bangka Keriput itu!!!” Ia kini menginjak-injak bunga-bunga itu
dengan membabi buta.
“Apa-apaan
dia?! Aku sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk membangun patung
itu! Pengawal! Tangkap kunoichi yang
kerasukan setan itu!”
Semua
yang berada di sana tersentak dengan aksi brutal Sakura. Tak terkecuali Sasuke
yang dalam hatinya tidak menyangka Sakura akan berbuat seperti itu.
“Kami! Sakura!” teriak Tsunade yang
berlari cepat ke arah Sakura. Ia bukan berniat menghentikan aksi murid kesayangannya
itu. Ia hendak melindunginya. Ia tahu betul Sakura bisa masuk pengadilan Negara
Hi karena berbuat yang tidak menyenangkan secara terang-terangan. Apalagi ia
menghina Daimyou secara frontal.
Sakura
menyadari para ANBU yang berpuluh-puluh itu hendak menghentikan aksinya. Dengan
angkara murka ia pun melawan para ANBU itu sekuat tenaga. Salah satu ANBU yang
mulai menyerangnya ia tangkis serangannya dengan tangan kiri; ia lalu menendang bagian kepala ANBU itu hingga
topengnya terlepas dari wajahnya. Dari bagian belakang seorang ANBU hendak
memukulnya di leher, namun Sakura berhasil menyadarinya; memelintir tangan ANBU
dan membanting tubuhnya ke tanah.
Di
saat genting seperti ini Tsunade harus mampu menghentikan kekacauan yang tidak akan
ada habisnya. Ia pun mendapatkan ilham. “Shikamaru!” serunya dengan menengok ke
shinobi cerdas itu.
“Cih!
Merepotkan saja!” Shikamaru pun menunduk dan membentuk segel tangan yang biasa
ia gunakan untuk mengeluarkan jurus andalannya. “Kagemane no jutsu!” bayangannya pun memanjang dan bercabang;
melesat cepat ke arah orang-orang yang sedang berseteru itu. Mengikat mereka
agar diam.
Tidak
terkecuali Sakura yang merasakan tubuhnya begitu sulit digerakkan. Ia langsung
menyadari penyebab tubuhnya menjadi seperti itu ketika melihat bayangan di bawah
kakinya. Ia menoleh ke Shikamaru dengan wajah beringas. “Lepaskan, Shikamaru!
Jangan menghalangiku!”
“Perempuan
merepotkan! Kau melakukannya bukan untuk Naruto! Tapi kau hanya ingin
melepaskan rasa frustasimu! Memangnya dengan melakukan hal bodoh itu Naruto
akan kembali?!” seru Shikamaru tak kalah beringas.
Sakura
pun seketika menghentikan perlawanannya. Matanya membesar, memandangi Shikamaru
dengan lubang yang menganga di dadanya. Memangnya
dengan melakukan hal bodoh itu Naruto akan kembali?! Ucapan Shikamaru itu terulang-ulang
di pikirannya hingga membuat remuk hatinya.
To
be continued