Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto
© Masashi Kishimoto
The
Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning:
Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Alternate Reality. Semi-Crossover with The
Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
“Biarkan
Shikamaru sendiri dulu, Ino. Ia perlu menenangkan dirinya. Kau tidak ingin
membuatnya tambah pusing, kan?” ucap Chouji yang paham betul tabiat sahabatnya
itu. Ia sendiri di dalam hati berdoa semoga esok hari semua akan kembali
sebagaimana mestinya. Walau tampaknya setelah ini jalannya akan penuh dengan
kerikil-kerikil tajam
.
Chapter
10
Pertarungan
Dua Yousei
.
.
Hutan
itu malam ini tampak mencekam. Gelap menyapu seluruh permukaan hutan, ditambah
dengan keberadaan tiga orang shinobi yang
paling dianggap berbahaya di dunia ini. Mereka sedang mengatur strategi.
Tampaknya sebentar lagi akan ada pertarungan besar. Dan tidak akan ada yang
bisa menghentikan niat jahat mereka.
“Kau
ingin menghancurkan kelima Negara Elemental, kan? Kalau begitu kau memerlukan
pasukan yang banyak,” ujar Kabuto merapalkan sebuah jutsu doton. Ia membuka sebuah tempat yang selama ini di segelnya.
“Memanggil Sembilan Iblis Berjubah Hitam tidaklah cukup.”
“Apa
yang kauinginkan sebenarnya dariku? Sampai-sampai mau bergabung denganku,”
tanya Madara dengan nada ketus.
“Kau
selalu curiga ya, Tuan Madara. Aku sudah bilang kan bahwa aku menginginkan
Uchiha Sasuke? Aku ingin kau membantuku untuk membunuhnya.”
“Hmm,
penawaran yang tidak seimbang.”
Kabuto
lalu tertawa dengan lantang. “Kau
menginginkan aku meminta lebih? Padahal aku yakin sekali kau akan melindungi
Sasuke untuk kepentinganmu. Maka dari itu hanya itu yang aku inginkan. Aku
ingin kau membuang seseorang yang sangat bermanfaat bagimu itu.”
“Cih,
Sasuke sudah tidak bermanfaat bagiku. Mau kau apakan dia aku tidak peduli,”
jawab Madara tegas. Tempat itu terbuka sepenuhnya, ia, Zetsu, dan Kisame
mengikuti Kabuto dari belakang.
Di
sana mereka menemukan tabung-tabung raksasa yang entah berisi apa. Cukup
banyak. “Ini adalah tempat Tuan
Orochimaru melakukan berbagai macam percobaan. Aku ingin mengambil gulungan jutsu terlarang di sini.” Kabuto pun
menghilang dari pandangan mereka bertiga.
“Tuan
Madara, apa dia bisa dipercaya?” tanya Kisame setelah Kabuto lindap di sekitar
mereka.
“Untuk
saat ini aku mempercayainya. Lagi pula aku membutuhkan apa yang dia tawarkan,”
tukas Madara tanpa ragu.
Kabuto
pun kembali muncul. “Ah, sudah kutemukan. Aku akan melakukan edotensei. Kita akan membangunkan yang
sudah mati untuk membantu kita.”
Madara
hanya terpaku mendengarnya. Ia sudah menduga jika Kabuto memiliki ide gila
seperti ini. Ia mengatupkan mata rapat-rapat dan menatap Kabuto dengan mata
setajam elang. “Baiklah kalau itu rencanamu. Aku akan membantumu membunuh
Sasuke.” Ia lalu beranjak pergi dari sana diikuti Zetsu dan Kisame. “Jangan
sampai gagal.”
“Kau
juga jangan sampai gagal, Tuan Madara.”
Madara
tersernyum sinis di balik topengnya. “Hn. Jangan meremehkan aku. Akan kubawa
mayat Sasuke ke sini.”
“Aku
akan menanti,” ujar Kabuto menyeringai kejam.
.
o0o
.
Di
Uzumakigakure saat ini sedang siang hari. Matahari menunjukkan kuasanya di langit
sana. Membuat Uzumaki Naruto mandi keringat. Ia dan Kushina sedang berlari-lari
di atas batang-batang pohon raksasa yang tumbuh lebat di kampung halaman ibunya
itu. Ini latihan dasar untuk mengembalikan fungsi otot-ototnya yang cukup lama
tidak digerakkan.
“Cepat
sekali,” ujar Naruto terengah-engah. Ia memperhatikan ibunya yang berada di
depannya.
Rambut
Kushina dikuncir kuda. Ia mengenakan obi
berwarna merah tanpa lengan yang panjangnya hanya sepinggang, dipadukan dengan
celana ketat pendek berwarna biru tua. Kakinya dilapisi dengan sandal ninja
yang menutupinya hampir ke lutut.
“Ayo,
Naruto susul aku!” teriak Kushina dengan lantang. Ia tertawa melihat anaknya
kelelahan. Ia lalu turun ke batang yang lebih rendah tingginya dengan bersalto.
“Kau harus berlari sampai pingsan.”
“Cih,
yang benar saja,” gerutu Naruto. Tak mau kalah, ia lalu mempercepat larinya
untuk menyusul Kushina.
Yang
tidak mereka berdua sadari, Uzumaki Miyazaki memperhatikan mereka dari menara
Rumah Besar Uzumakigakure. “Tampaknya setelah ini aku bisa mengajarinya jurus
itu,” gumamnya.
.
o0o
.
Langit
di Konohagakure sedang dikuasai malam. Kurenai tidak bia tertidur saat itu, ia
memperhatikan Kakashi yang sedang tertidur pulas sembari memeluk Hiruzen yang
tertidur di antara mereka. Tadinya Kurenai akan menaruh Hiruzen di keranjang
tidurnya, tetapi Kakashi meminta agar Hiruzen tidur bersama dengan mereka. Tapi
selama ini juga mereka jarang tidur bersama.
Kurenai
tahu betul mengapa Kakashi memilih untuk tidur di rumahnya. Hal tersebut biasa
Kakashi lakukan jika ia sedang dirudung masalah. Ia tentu saja tahu betul apa
yang sedang dihadapi suaminya itu. Dulu Kakashi sudah kehilangan orang-orang
yang berharga bagi dirinya. Dan sebentar lagi ia akan kehilangan satu lagi,
yaitu muridnya, Sasuke. Padahal baru saja ia kehilangan Naruto.
Kurenai
tentu saja sangat mengerti apa yang sedang Kakashi rasakan sekarang. Ia juga
pernah mengalami masa-masa sulit setelah Asuma meninggal, namun tak lama
Kakashi datang ke kehidupannya menawarkan kebahagiaan. “Aku akan berada di sisimu selalu, Kakashi.” Ia
memperhatikan wajah lelap Kakashi yang begitu tenang; lalu mengibaskan rambut
yang menutupi matanya. Senyuman mengembang dari bibirnya. “Badai akan berlalu,
Kakashi. Cepat ataupun lambat….” Ia mencium dahi Kakashi dan Hiruzen sebelum
menyusul mereka ke alam mimpi.
.
o0o
.
“Kalian
sudah mempersiapkan semuanya, kan?”
Di
depan Tsunade, berdiri Shikamaru dan Yamato yang malam itu mendapatkan tugas
khusus dari Tsunade.
Shikamaru
mengangguk. “Ya, tapi kali ini tampaknya akan berisiko. Para Kage dari empat
desa lain juga akan datang melihat eksekusi Sasuke. Selain perang saudara akan
terjadi, kemungkinan kita bisa mendapat serangan juga dari keempat desa itu.
Apa Anda sungguh-sungguh telah memutuskannya?”
Tsunade
terdiam sembari menatap Shikamaru. Ia tahu betul bahwa si ninja jenius itu
menginginkan Sasuke dihukum mati saja, tapi alasan mengapa Shikamaru bersikap
seperi itu ia sendiri tidak tahu. “Sebenarnya aku sependapat denganmu, tetapi
aku melakukan ini bukan untuk Sasuke….”
Shikamaru
dan Yamato pun menyadari maksud dari Tsunade itu.
“Anda
melakukannya untuk Naruto?” tanya Yamato untuk memastikan.
Tsunade
memejamkan matanya dan mengangguk perlahan. “Lagi pula aku memiliki alasan
lain. Kalian pasti ingin mengetahui kudeta yang dilakukan Klan Uchiha hingga
membuat mereka dibantai massal, kan?”
Shikamaru
dan Yamato menatap Tsunade dengan tatapan tajam.
“Sasuke
pasti mengetahuinya. Karena itu dia dibutuhkan untuk dilakukan investigasi.
Jadi bagaimana, Shikamaru? Apa teman-temanmu sudah siap?”
Shikamaru
mengangguk.
Pandangan
Tsunade lalu beralih pada Yamato. “Bagaimana dengan Kelompok Hitam ANBU,
Yamato?”
“Mereka
sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan.”
“Bagus,”
ujar Tsunade tersenyum tipis. Ia lalu berdiri dan beranjak ke jendela.
“Sebentar lagi akan pertumpahan darah di sini, tapi aku berharap darah itu
tidak akan berakhir sia-sia.”
.
o0o
.
Sasuke
belum bisa memejamkan matanya malam itu. Ia mengamati bulan yang cahayanya
samar-samar masuk ke dalam ruang penjaranya yang begitu sempit dan minim udara.
Bulannya penuh, indah sekali. Ia tahu betul sebentar lagi ia akan mati, tetapi
dari lubuk hatinya yang terdalam sebenarnya ia ingin masih hidup. Ada banyak
hal yang harus ia perbaiki. Tapi jika kematian yang lebih memilihnya, maka apa
yang bisa ia lakukan?
“Apa
yang kaulakukan di luar sana, Naruto? Kau masih hidup, kan?” tanyanya pada
angin.
“Sasuke-kun.”
Sasuke
langsung berdiri dari tempat tidurnya ketika ia mendengar seseorang
memanggilnya. Ia memandangi jeruji besi yang di baliknya hanya ada kegelapan.
“Siapa?”
Sesosok
manusia bercadar mendekat ke arah jeruji. Ia membuka cadarnya sehingga wajahnya
terlihat jelas. “Ini aku….”
“Hinata…,”
ucap Sasuke terheran-heran. “Ada apa? Bagaimana kau bisa masuk? Penjara ini
dijaga sangat ketat.”
“Jangan
meremehkan Klan Hyuuga, Uchiha.” Sesosok manusia lain muncul di samping Hinata.
Itu adalah Neji.
“Siapa
kau?” Tetapi Sasuke tidak mengenalinya. Mungkin karena ia terlalu lama tidak
berada di Konoha.
“Hh,
kau tak perlu tahu—”
“Dia
adalah Hyuuga Neji. Kakak sepupuku,” jawab Hinata memotong ucapan Neji. Ia tahu
jika kakak sepupunya tidak menyukai Sasuke. Tetapi setidaknya mereka tidak
bertengkar di saat yang genting begini.
“Pada
hari eksekusi nanti, kami akan menyelamatkanmu, karena itu kami harap kau mau
berkerja sama, Sasuke-kun,” jelas
Hinata.
“Eh?”
Sasuke terperanjat mendengarnya. “Mengapa kalian ingin menyelamatkanku?”
“Ini
perintah dari Godaime. Kalau beliau
tidak memerintahkan, pasti aku tidak akan mau,” tukas Neji ketus. Ia
memperhatikan Sasuke dari atas ke bawah dengan raut sinis. Ia lalu menyadari
bandul aquamarine melingkar di leher
keturunan Uchiha terakhir itu. Kalungnya….
Bagaimana bisa ada di leher si Uchiha itu?
Hinata
menghembuskan napasnya perlahan. “Neji-niisan,”
ucapnya pelan, yang artinya memohon Neji untuk diam. Ia lalu kembali memandangi
Sasuke. “Kau harus mempersiapkan diri, Sasuke-kun.”
“Hn,”
sahut Sasuke.
“Cih,
Dasar Uchiha tidak tahu terima kasih,” geram Neji. Kalau tidak ada jeruji besi
di sana, ia pasti sudah membantai Sasuke dengan tenketsu-nya.
“Aku
tidak meminta kalian menyelamatkanku. Itu adalah keinginan kalian,” balas
Sasuke tak kalah ketus.
“Kalau
begitu kau mau melakukannya demi Naruto-kun,
kan, Sasuke-kun?” pinta Hinata. Ia
berusaha agar keturunan Uchiha terakhir itu mau diajak bekerja sama saat hari
eksekusi nanti. Kalau tidak, maka apa yang telah mereka persiapkan ini akan
sia-sia.
Sasuke
menatap datar Hinata yang ia sadari matanya telah berair di ujungnya.
“Aku
tidak akan mengingkari janjiku pada Naruto-kun.
Aku akan melindungimu.”
Alis
Sasuke terangkat sedikit. “Gadis yang sedang jatuh cinta memang menyeramkan.”
Sampai-sampai
membuat Hinata terkejut dengan ucapan tak mengenakan Sasuke itu.
Neji
sendiri kembali membentengi diri agar kesabarannya tidak habis. Uchiha ini memang sombong!
“Terserah
kalian. Aku tak peduli. Kalau nanti terjadi apa-apa, kalian yang akan
menanggungnya. Bukan aku,” lanjut Sasuke tidak peduli. Ia lalu kembali berjalan
ke tempat tidurnya. “Kalian pergi saja, aku ingin tidur.” Ia malah berbaring
dan memejamkan mata.
“Cih,
aku akan membuatmu berlutut di depanku untuk berterima kasih, Uchiha. Lihat
saja! Ayo, Hinata-sama. Kita pergi
dari sini.” Neji yang dirudung emosi, memaksa Hinata pergi dari penjara itu.
Namun,
sebelum menghilang dari sana Hinata berujar. “Jangan membuat kematian Naruto-kun sia-sia, Sasuke-kun.”
Sasuke
yang mendengarnya pun membuka mata. Ia kembali duduk dan menyadari kedua Hyuuga
itu telah lindap dari sana.
Sementara
itu Hinata dan Neji keluar dari penjara diam-diam. Mereka telah membuat tidur
para penjaga, dan setelah bangun dijamin para penjaga itu akan lupa apa yang
terjadi sebelum mereka tertidur.
Neji
telah memberikan mereka serbuk ajaib untuk melancarkan misi ini. Setelah agal
menjauh dari penjara ia menghentikan langkahnya. “Hinata-sama….”
Hinata
pun menghentikan langkahnya dan berpaling pada Neji. “Ada apa, Neji-niisan?”
“Mengapa
kau memberikan kalung berhargamu pada Uchiha Sialan itu?”
Mata
Hinata melebar, lalu ia menunduk sembari memandangi kakinya sendiri. “Aku hanya
tidak ingin ada teman kita yang mati lagi.”
“Tapi
itu milik mendiang Hikari-sama.
Uchiha Sialan itu tidak pantas mendapatkannya.”
Sejurus
Hinata membalikkan badannnya menghadap pada Neji. “Apa kau tidak tahu, Neji-niisan?”
“Tidak
tahu apa?”
“Kalung
itu adalah milik Klan Uchiha.”
Mata
Neji pun membuka dua kali lipat. Ia lalu menghembuskan napas kuat-kuat. “Ya,
tentu saja aku tahu. Aku hanya lupa….” Mereka pun melanjutkan perjalanan ke
rumah dalam diam.
.
o0o
.
“Akhirnya
rapatnya selesai juga.”
Shikamaru
yang baru keluar dari ruangan Hokage menyadari jika Ino berada di sana entah
sejak kapan. “Mau apa?” tanyanya dingin.
“Ibumu
bilang kau akan menginap di Menara Investigasi, aku dimintai tolongnya untuk
mengantarkan ini.” Ino lalu menyerahkan kotak bento yang dibungkus kain. “Baru
dimasak, jadi kau harus cepat-cepat memakannya.”
Dahi
Shikamaru mengerut. Ia lalu mengambil kotak bento itu dengan cepat. “Terima
kasih,” ucapnya tanpa memandangi Ino dan pergi menjauhinya.
Tetapi
Ino mencegatnya dengan memegang lengan Shikamaru dengan kuat. “Kau tidak
sendirian, Shikamaru. Itu yang harus kauingat.”
Shikamaru
terang saja tercengang sembari melihat tangan Ino yang menggenggam lengannya. Ia
menatap Ino dengan sekilas dan keheranan melihat teman setimnya itu tiba-tiba
jadi memperhatikannya. Namun ia tidak mau terbawa suasana, dengan paksa ia
melepaskan tangan Ino dari lengannya dan segera pergi dari sana. “Merepotkan.
Pulanglah Ino, hari sudah larut. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku.”
Ino
lalu memandangi punggung besar Shikamaru yang perlahan-lahan menjauhinya. Tanpa
sadar bulir-bulir air mata jatuh di pipinya. “Kenapa aku tidak berani
mengatakan kalau bento itu aku sendiri yang membuatnya?”
Sementara
itu Shikamaru yang sedang berjalan keluar dari Menara Hokage memandangi kotak
bento di tangannya dengan perasaan yang tak menentu. “Ini bukan buatan ibuku.
Kenapa aku sudi menerimanya?” tanyanya pada diri sendiri. Ia ingat betul ia
hanya berkata akan rapat di Menara Hokage pada ibunya, bukan menginap di Menara
Investigasi. Ia tahu betul jika bento itu Ino yang membuatnya.
Tadinya
Shikamaru ingin membuang bento itu, tetapi akhirnya ia urung lakukan karena ia
memang sangat lapar. Ia memandangi langit malam di atas sana yang minim
bintang. “Syukurlah aku bisa mengucapkan terima kasih padanya….” Rasa-rasanya
malam ini tidak terlalu buruk.
.
o0o
.
Sakura
baru saja selesai berendam. Ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kimono
bermotif bunga sakura. Warnanya setali tiga uang dengan warna rambutnya
sendiri. Ia berpikir air akan membuat pikirannya tenang, dan membuang segala
kekalutannya. Tapi ia salah besar. Hatinya tetap dibalut kegelisahan.
Perlahan,
Sakura melangkahkan kakinya ke jendela yang tertutup, ia tidak akan membukanya
karena tahu di luar sana begitu dingin. Ia memandangi pantulan dirinya sendiri
yang ada di jendela dengan wajah mendung. “Aku begitu lusuh, padahal sudah
mandi,” bisiknya.
Sakura
lalu mendekati bibirnya ke kaca jendela. “Aku tidak akan membiarkan upacara
kematian Naruto berlangsung.” Ia lalu menghembuskan udara pada kaca itu
sehingga berembun. Kemudian ia bawa tangannya menyentuh kaca, menggambar
sesuatu di sana dengan bantuan embun yang tadi diciptakannya sendiri. Ia
membentuk wajah Naruto di sana….
“Aku
merindukanmu, Naruto. Dan aku percaya bahwa kau masih hidup.” Sakura lalu
menangis tersedu-sedu. “Kau mencintaiku, kan? Aku juga mencintaimu, tahu!”
teriaknya seraya memukul-mukul jendela. Jendela itu bergetar menimbulkan suara
gemuruh. Tapi tidak menyaingi gemuruh di hati yang menggoyahkannya saat ini.
.
o0o
.
“Capeknya…!”
seru Naruto seraya membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Ia betul-betul
kelelahan setelah seharian berlari dari pohon ke pohon yang lain. Selain itu
berkali-kali ia juga terpeleset. Ia belum bisa mengontrol cakranya dengan baik.
Kushina
yang duduk di sebelahnya membanjurkan air ke wajah Naruto hingga membuat
anaknya itu terkaget-kaget.
“Fuah!
Kaa-sama, seharusnya kau
bilang-bilang dulu kalau ingin memberiku air!” Sejurus Naruto mengusap-usap
wajahnya yang dibanjiri air, ia lalu menatap Kushina dengan tatapan kesal.
“Segar,
kan?” tanya Kushina seraya tertawa terbahak-bahak. Menurutnya ekspresi Naruto
sangat lucu.
Naruto
lalu mencari sumber air, matanya kemudian menemukan kolam air yang berjarak
sekitar sepuluh meter darinya. Sekarang yang ia butuhkan adalah wadah. Naruto
hendak mengambil wadah yang Kushina gunakan, tetapi di cari ke mana pun wadah
itu tidak ada. Ia berputar-putar di tempatnya sendiri.
“Kau
mencari apa, Naruto?” tanya Kushina tampak heran melihat tingkah laku anaknya.
“Kau
mengambil air di sana dengan apa, Kaa-sama?”
tanya Naruto sembari menunjuk ke arah kolam.
“Oh,”
Kushina melepaskan ikatan di rambutnya dan membiarkan rambut merah darahnya
tergerai. “Aku menggunakan kekuatanku.”
“Ah,
curang,” ujar Naruto yang langsung berwajah kecut.
Kedua
alis Kushina terangkat. “Kau mau membalas dendam ya?” ujarnya sambil menyentuh
hidung Naruto dengan telunjuknya. Tangan kanannya kemudian mengarah pada kolam
itu, ia menjetikkan jarinya. Dalam waktu singkat air di kolam berpindah ke
tangannya dalam bentuk bola seukuran sepak bola.
Naruto
terang saja tercengang melihatnya. “Kau melakukannya tanpa merapalkan jutsu?”
Kushina
tersenyum. “Sepertinya kau sudah kuberi tahu, Naruto. Ini adalah kelebihan yousei. Mereka dapat mengeluarkan jurus
tanpa merapalkannya terlebih dahulu.” Ia memandangi bola air yang berada di
tangannya. “Tetapi itu pun buat mereka yang berhasil membuang minimal lima dari
ketujuh dosa tak terampuni.”
“Ketujuh
dosa tak terampuni?” tanya Naruto yang wajahnya berubah penasaran.
“Nanti
akan kujelaskan. Tapi sebelumnya….” Kushina lantas kembali melemparkan bola air
itu ke wajah Naruto. “Kena!”
“Grrr!
Kaa-sama!” Membuat Naruto merajuk di
tempatnya. Tangannya memukul-mukul tanah karena kesal dengan sikap
kekanak-kanakan ibunya. Padahal ia sendiri sedang berperilaku seperti anak-anak
yang dijahili.
Sementara
itu Kushina terpingkal-pingkal melihat tingkah laku anaknya. Maklum saja, ia
telah melewatkan masa kecil Naruto yang sebenarnya begitu suram. Karena itu
saat ini adalah waktu yang tepat untuk bermain-main dengan Naruto, meski
sebenarnya anak semata wayangnya itu telah beranjak remaja.
“Bagaimana
kalau aku yang menjelaskannya, Kushina?”
Kushina
dan Naruto sejurus diam di tempat ketika mendengar suara itu. Mereka berbarengan
menengok ke sumber suara.
Terlebih
Kushina, ia agak terkejut melihat ayahnya berada di sini. “Ada.”
“Aku
pikir tubuh Naruto sudah pulih sepenuhnya. Ia hanya belum terbiasa menggerakkan
badannya sampai di ambang batas kemampuan. Kemampuan tidak di situ saja, kan,
Naruto?”
Naruto
memandangi kakeknya dengan saksama. Ia seperti mengenal suara itu. Suara itu
bukan pertama kali ia dengar sekarang. “Tentu saja. Aku pernah belajar senjutsu.”
“Senjutsu, eh? Di luar dugaanku,” ungkap
Miyazaki, lalu menanggalkan pakaian atasnya. “Baiklah. Kita pemanasan dulu.
Kalau kau pernah belajar senjutsu minimal
kau bisa mempertahankan diri. ” Ia lalu mengayunkan tangan kanannya yang
mengepal ke arah Naruto.
Naruto
yang tidak tahu bahwa ia akan mendapatkan serangan tiba-tiba itu terang saja
terpental beberapa meter. “Uaaa…!”
“Ada!” seru Kushina yang tidak setuju
dengan tindak tanduk ayahnya.
“Kau
terlalu memanjakan Naruto, Kushina. Serahkan dia padaku. Kau hanya memperlambat
proses belajarnya. Jangan memperlakukan Naruto seperti anak-anak yang baru
belajar berjalan.”
Kushina
pun memasang wajah cemberut. “Tapi Ada Naruto belum sembuh benar.”
Namun
Miyazaki tidak mempedulikan apa yang dikatakan anaknya. Ia malah memperhatikan
Naruto yang berdiri perlahan sembari meringis kesakitan. “Bagaimana Naruto? Kau
dapat merasakannya, kan? Inilah kekuatan yousei.”
“Huh,”
gerutu Naruto sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit karena berbenturan
dengan tanah. “Apa itu tadi? Aku sama sekali tidak melihat apa-apa.”
“Elemen
angin.”
“Eh?”
sahut Naruto tercengang. Pantas saja
begitu kuat. Untung aku tidak sampai tercabik-cabik.
“Apa
kau pernah melakukan tes elemen yang kau miliki, Naruto?”
Naruto
mengangguk. “Aku memiliki elemen angin.”
Miyazaki
tersenyum tipis. “Bagus. Kebetulan akulah yang paling ahli mengendalikan elemen
angin di sini. Jadi, bersiaplah, Naruto.” Ia melakukan kuda-kuda untuk
melakukan serangan lagi. “Aku akan membuatmu babak belur, ssebelum menjelaskan
tujuh dosa tidak terampuni kepadamu.”
Naruto
terang saja was was mendengarnya. Apa
yang ia inginkan sebenarnya? Satu-satunya cara saat ini adalah menghindar.
Sementara
itu Kushina hanya menatap tanpa ekspresi kakek dan cucu itu. Tetapi setelahnya
matanya malah berbinar-binar. “Tampaknya bakal seru,” ujarnya cekikikan. Ia
lalu melihat ke beberapa dahan pohon di atas sana. “Sebaiknya aku melihat dari
jauh saja.” Ia pun melompat ke dahan yang cukup besar dan duduk di atasnya.
“Aku percayakan Naruto padamu, Ada,”
bisiknya.
Miyazaki
pun mengayunkan tangannya yang terkepal kembali ke arah Naruto, tapi dengan
cepat Naruto menghindar seraya melakukan salto dua kali ke kanan. Yang tidak
Naruto sadari, tangan kakeknya yang lain melakukan hal yang sama. Ia pun tidak
sempat menghindar dan terkena serangan angin yang dahsyat sehingga membuat
tubuhnya terpental dan membentur pohon raksasa yang tumbuh subur di sana.
Naruto
sontak mengerang kesakitan. “Ugh, sialan! Baru segitu saja aku dapat terkecoh.
Sepertinya tubuhku belum sembuh benar.” Ia lalu memandangi Miyazaki dengan mata
memicing. Pandangannya agak kabur karena benturan tadi.
“Kenapa,
Naruto? Apa kau mengaku kalah?” tanya Miyazaki dengan nada tinggi.
Naruto
pun memandangi kakeknya dengan wajah merah padam. “Tapi bukan Uzumaki Naruto
namanya kalau menyerah begitu saja.” Ia pun berencana mengeluarkan jurus
andalannya. “Aku akan mencoba menggunakan senjutsu.
Kagebunshin no jutsu.” Setelah itu
muncul sepuluh klon Naruto. Ia lalu memberi perintah pada tiga klon. “Kalian
bersemedilah untuk memunculkan senjutsu.
Sisanya bantu aku melawan Kakek.” Ia pun membentuk sebuah rasengan dengan bantuan satu klonnya.
Kushina
berdecak gembira melihat anaknya mengeluarkan jurus itu. “Wahaa, Naruto! Kau
ternyata bisa melakukan jurus yang dibuat Minato! Jangan mau kalah, Naruto…!”
serunya dengan lantang.
Miyazaki
yang melihat perlawanan Naruto tersenyum tipis. Sepertinya pertarungan ini akan menjadi sangat menarik. Ia kemudian
menatap Naruto yang berlari ke arahnya dengan sebuah rasengan di tangan. Hmm,
gerakannya terlalu muda dibaca. Ia lalu membawa tangannya ke tanah untuk
menopang tubuhnya yang berputar; satu kakinya menendang satu klon Naruto yang
kemudian pada akhirnya menghilang. Tapi tak hanya di situ, ia menahan kedua
tangan cucunya itu dengan kuat, lalu mengangkat tubuhnya dan melemparkannya ke
sembarang arah.
“Wohoo!
Ada memang hebat! Hidup Ada!” seru Kushina lagi yang kini malah
menyemangati ayahnya.
“Sialan!”
umpat Naruto yang kesal karena belum menyerang saja kakeknya malah membuat
perlawanan duluan. Kaa-sama sebenarnya
berpihak pada siapa, sih?
Gerutunya dalam hati. Tetapi tak lama
ia pun menghilang.
Mata
Miyazaki membuka lebar. “Dua-duanya klon?” Ia lalu menyadari aura berbahaya
yang berada di belakangnya.
“Rasakan
ini!” Kali ini Naruto yang asli kembali menyerang Miyazaki dengan rasengan. Ia berlalri dengan cepat ke
arah kakeknya.
Miyazaki
pun buru-buru mengeluarkan jurus andalannya. Taktik yang bagus, tetapi aku lebih kuat. Ia lalu mengubah tubuhnya
menjadi asap.
Naruto
pun merasa seperti menembus sebuah roh yang keluar dari jasadnya. “Asap?” Ia
ingin menoleh ke belakang. Tetapi terlambat. Kakeknya kembali mengayunkan
tangannya untuk mengeluarkan jurus elemen angin.
Membuat
Naruto terlempar kembali beberapa meter. “Aduh! Duh!” erangnya. Ia mencoba
berdiri, tetapi sepertinya tulang rusuknya ada yang patah, ia merasa ada yang
sakit di sekitar dada.
“Kali
ini tampaknya kau sudah sangat kelelahan, Naruto,” ucap Miyazaki yang
memandangi Naruto dengan wajah menantang.
Naruto
lalu membuang ludah darahnya ke sembarang arah. “Heh. Aku belum kalah, tahu,”
ujarnya penuh percaya diri.
Mata
Miyazaki pun melebar dari biasanya. Ia seperti tidak bisa berkutik di tempat.
Seperti ada mantra magis yang membuatnya terpaku sesaat. Ia pun menoleh ke
belakang dan menyadari sebuah jurus modifikasi rasengan yang tidak diketahuinya datang dengan cepat menuju ke
tempatnya berpijak. “Jurus apa itu?”
“Katta,” bisik Naruto yang sangat percaya
bahwa rencanya ini akan berhasil. Ketiga klonnya terlah berhasil membuat rasenshuriken yang cukup besar, lalu
melemparkannya ke arah Miyazaki.
Miyazaki
pun tidak tinggal diam dan berlari ke arah rasenshuriken.
“Tapi ini elemen angin, kan? Jangan lupa, Naruto, aku juga bisa mengendalikan
elemen angin. Dan akulah yang paling kuat di sini.” Ia mengambil rasenshuriken, lalu mengayunkannya….
“Heh,
percuma, Kek. Tanganmu pasti akan terluka jika kau terlalu memaksakan—eh?” yang
membuat Naruto terkejut, Miyazaki melempar rasenshuriken
itu ke tempat sisa klonnya berada. Dan tentu saja klon-klon itu langsung
lenyap karena jurus yang sangat dahsyat itu. Rasenshuriken itu pun bergerak melewati kolam lalu menghancurkannya
sampai berdebu. Tidak sampai di situ, jurus tingkat S itu malah masuk ke dalam
hutan dan memporak-porandakan sebagian isinya hingga menghilang.
“Ya,
ampun. Gagal lagi,” ujar Naruto yang menghembuskan napas kecewa.
“Ada
keributan apa ini?” Rin yang baru tiba di lokasi karena mendengar beberapa kali
dentuman keras terperangah melihat tempat yang dilihatnya sekarang sungguh
luluh lantak.
Kushina
sendiri ternganga melihatnya. “Ya, ampun. Hutannya sampai hancur begini.
Sepertinya tadi itu jurus yang tidak dapat Minato lanjutkan.” Ia lalu menoleh
ke bawah dan menyadari Rin ada di sana.
Rin
pun merasakan firasat buruk. Ia pun hendak pergi dari sana, tetapi suara
Kushina menghentikan langkahnya.
“Rin-chan!!!” seru Kushina dengan riang.
Sialan, aku sebaiknya memang tidak
usah kemari, gerutu Rin dalam hati. Ia lalu menoleh
ke arah Kushina dan melontarkan senyum palsu padanya. “Ya?”
“Kau
bisa kan mengembalikan tempat ini seperti semula? Dengan kekuatan waktumu,”
ujar Kushina dengan wajah memelas dan tangan yang menyatu seperti memohon.
“Oh.
Hahaha. Tentu saja bisa. Serahkan padaku! Hahaha,” sahut Rin dengan suara
nyaring. Itu ia keluarkan untuk menghilangkan rasa frustasinya. Ya, ampun. Tentu saja aku bisa mengembalikan
tempat dan hutan di sana seperti semula. Tetapi cakraku akan habis seketika.
Aku bakal tidur dua hari dua malam. Ia pun mengaitkan kedua tangannya di
depan dada, membuat segel jurus doton.
Matanya yang coklat pun memerah. Lalu terdengar gemuruh dari sana.
“Jurus
apa itu?” tanya Naruto yang keheranan melihat Rin mengeluarkan jurus yang tidak
pernah dilihatnya.
“Rin
adalah pengendali waktu. Ia sedang mengubah tempat ini dan hutan di sana
kembali seperti semula,” jawab Miyazaki yang mendekat ke arah Naruto.
“Eh?
Hebat sekali, aku baru mendengar ada jurus seperti itu.”
“Cepat
berdiri. Kita ke Menara Uzumakigakure dan melanjutkan latihan.”
“Tunggu
dulu. Sepertinya tulang rusukku ada yang patah dan juga tanganmu—eh?” Naruto
tercengang melihat tangan Miyazaki yang menyentuh rasenshuriken tadi tidak terluka sama sekali. “Bagaimana bisa?”
Naruto pun mencoba berdiri, dan ia kembai tercengang. “Dadaku tidak sakit lagi.
Apa Kyuubi yang menyembuhkanku?”
“Kyuubi
tidak menyembuhkanmu. Dia sedang tertidur dalam segelmu. Dan kau tidak akan
memerlukan kekuatannya,” jawab Miyazaki dengan wajah datar. “Kalau kau tadi mempertanyakan
tanganku, tanganku memang terluka, tapi sekarang tidak jadi masalah.”
Sekarang Naruto sudah kembali berdiri tegak. “Apa
yang terjadi sebenarnya?” tanyanya yang tampak kebingungan.
“Kushina
sudah pernah menjelaskannya padamu, kan? Ini adalah salah satu kelebihan yousei. Mereka dapat meregenerasi
sel-sel yang rusak dengan cepat ketika terluka. Tetapi memang ada batasnya.
Jika musuhmu melakukan serangan bertubi-tubi padamu. Kau pasti akan mati juga.”
“Begitu?”
“Sekarang
ikuti aku. Kita tidak punya banyak waktu. Tempat ini serahkan saja pada Rin.”
Miyazaki pun kembali mengenakan pakaian atasnya dan berjalan menuju ke Menara
Uzumakigakure.
“Apa
yang akan kita lakukan?” tanya Naruto pada kakeknya.
“Kita
akan bertapa.”
“Huh?”
Naruto memperlihatkan wajah tidak tertariknya pada kegiatan itu. “Kau ingin
menjadikanku seperti pertapa?”
Tiba-tiba
Miyazaki menghentikan langkahnya. “Bukan. Aku ingin kau menjadi Tuhan. Dengan membuang ketujuh dosamu
yang tidak terampuni.”
“Hm?”
kepala Naruto meneleng ke kanan. Tidak bisa menerka maksud kakeknya. Menjadi Tuhan? Ada-ada saja….
Bersambung….
Wrote by PrettyAngelia