Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto
© Masashi Kishimoto
The
Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning:
Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Alternate Reality. Semi-Crossover with The
Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
Selamat Membaca ^^/
.
.
Rindu
itu tak bisa dibendungnya lagi. Ibu dan anak itu menangis bersama-sama. Dan
Naruto semakin memeluk ibunya dengan erat.
Dan
layar putih itu memecah, dan beralih kembali menjadi kamar yang Naruto tempati
di Uzumakigakure. Di sana ada Rin yang mengnonaktifkan jurus jelajah waktunya.
Ia membantu Kushina dan Naruto untuk melihat kejadian yang telah lalu. Ia
memperhatikan ibu dan anak itu dengan miris di hati sekaligus rasa senang yang
tak terperi. “Syukurlah….”
.
Chapter 9
Hukuman Mati Untuk Sasuke
.
.
“Ayo kemari, Naruto,” ucap Kushina
seraya menggenggam tangan Naruto yang masih diselimuti dingin. Ia menuntun
Naruto menuju ke sisi bukit yang berbatasan langsung dengan bibir pantai yang
bermuara di Laut Aear.
Naruto kini sudah bisa berjalan,
meski itu masih perlahan. Wajahnya pun tak sepucat kemarin, ia kini menjelma
menjadi bunga matahari yang tak sabar menunggu kehadiran fajar. Ia mengenakan obi putih. Ia memandangi gelombang
lautan yang menyahutkan instrumen alam yang syahdu didengar. Indahnya, ujarnya dalam hati. Damai …
tak pernah ia merasa damai seperti ini…. “Kaa-sama,”
ujar Naruto kemudian.
“Hm?” Kushina memandangi Naruto
sembari tersenyum.
“Apakah desa yang indah ini masih
berada di dimensi lain?”
Kushina mengangguk.
“Sebelumnya berada di mana?”
Pandangan Kushina kembali tertuju di
depan. “Sebelumnya berada di dekat Kirigakure, selalu ditutupi kabut sehingga
tak ada orang yang bisa memastikannya. Desa ini tak sembarangan menerima tamu
dari luar.”
“Aku merasa aneh,” lanjut Naruto
kemudian.
Kushina tertawa kecil mendengarnya.
“Kenapa?”
Siliran angin berembus melewati
Naruto. Membuat ujung rambut landaknya menari-nari di udara. “Yousei … aku tak pernah mendengar apa
itu. Kemudian setelah sekian lama, aku tahu bahwa aku adalah salah satu
darinya. Aku merasa menjadi makhluk yang datang dari planet lain.”
Kushina kini memandangi Naruto
sejenak. “Wajar, Naruto. Kau memang belum terbiasa, tapi tenang saja, aku akan
membantumu agar terbiasa. Bisa-bisa kau jadi krisis identitas,” ujarnya seraya
melucu.
“Meski kemarin sudah melihat masa
lalu, namun masih ada yang mengambang di pikiranku,” tukas Naruto kemudian. Ia
ingin menuntaskan rasa penasaran yang tiba-tiba menyergapnya. “Aku bisa
merasakan kekuatan yang sangat besar yang menyelimuti desa ini sehingga aku
merasa aman berada di dalamnya. Apa yang membuatnya begitu?”
Benak Kushina mengatakan memang
sudah seharusnya Naruto tahu apa yang ada di sini. Ia pun berniat
menjelaskannya. “Kau tahu, Naruto? Ketika kau menginginkan sesuatu, alam
membantumu untuk mewujudkannya. Persatuan antara alam dan keyakinan di hatimu
akan menghasilkan kekuatan luar biasa yang tak pernah kausangka.”
Kedua alis Naruto terangkat. Tak
sepenuhnya mengerti.
“Sejak dulu yousei selalu berusaha menyatukan hatinya dengan alam.”
“Apakah seperti senjutsu?”
Senyuman mengembang di bibir merekah
Kushina. “Agak tepat. Kau pernah mempelajarinya, ya?”
Naruto mengangguk perlahan. “Dulu
waktu di Myoubokuzan, tapi pasti ada yang membedakannya, kan?”
“Tentu saja,” jawab Kushina dengan
pasti.
“Lalu apa yang membedakannya?”
“Kau bisa berbicara dengannya—dengan
alam dari hati ke hati.”
Dahi Naruto pun mengerut.
Kushina kemudian berjalan ke depan
agak menjauh dari Naruto. “Kau tahu, Naruto? Rumah Besar Uzumakigakure di
kelilingi oleh air yang menyatukannya dengan daerah lingkar luar. Baik itu
sungai, pantai, dan lautan.”
“Ya, sepertinya begitu,” ucap Naruto
yang tak sepenuhnya tahu.
“Sebelum melepaskan kekuatan, kau
harus bisa menyatukan pikiranmu dengan alam. Perhatikan baik-baik karena Kaa-san
tak akan lama memperlihatkannya padamu. Sebenarnya agak berat, namun Kaa-san akan menujukkannya padamu.”
Apa
maksudnya? Naruto mengernyit. Ia pun terdiam sejenak, memandangi Kushina
yang sedang mengambil napas dalam-dalam.
Kushina menyatukan kedua telapak
tangannya di depan dada. Matanya tertutup sejenak. Kemudian perlahan kedua
tangannya mengayun ke atas. Dan matanya pun membuka.
Ketika
itu Naruto mematung di tempatnya seperti mayat hidup. Matanya membesar dua kali
lipat. Ia merasakan tanah yang ia injaki bergemuruh.
Seluruh air yang mengelilingi Rumah Besar
Uzumakigakure terangkat sampai berapa tinggi dinding air tersebut pun Naruto
tak tahu pasti. Ia berputar, memerhatikan dinding air yang seolah-olah
mengurungnya. Yang jelas, dinding air itu tinggi sekali, seolah menyentuh
langit di atasnya. Dapat ia dengar suara burung yang mengoyak-ngoyak udara
karena panik. Pasti mereka mengira telah terjadi gelombang tsunami yang
dahsyat. Ia menelan ludahnya sendiri. “W-wow,” hanya itu yang dapat ia utarakan
dari mulutnya.
Kushina pun menurunkan tangannya
dengan cepat, sehingga dengan cepat pula dinding-dinding air itu kembali ke
tempatnya semula.
PYARRR
Menimbulkan suara hentakan air yang
memekakan telinga. Dan bumi Uzumakigakure jadi bergetar karenanya.
Kushina pun jadi terengah-engah. Ia
tersenyum memandangi Naruto. “Bagaimana?”
“Itu … terlalu berlebihan,” ujar
Naruto yang tampak takjub, namun mengetahui jika aksi ibunya itu sangat
berbahaya.
Kushina sampai tertawa kecil
mendengarnya. “Baiklah, dua hari lagi kita akan mengelilingi desa ini. Kaa-san sekaligus akan melatihmu tubuhmu
agar tidak kaku karena kau lumayan lama berada di atas tempat tidur.”
Naruto pun mendumel dalam hatinya.
Ia merasa jadi genin kembali.
.
o0o
.
Sakura memerhatikan orang-orang berlalu-lalang
mendahuluinya. Ia tak mengenalnya. Entah dari mana mereka. Mereka membawa
berbagai macam barang yang ada di pundak mereka, beberapa ada yang digotong
berdua atau lebih. Barang-barang itu sepertinya untuk membangun sesuatu. Dan
sesuatu itu apa, Sakura tak tahu persis. Ia hanya memerhatikan sekilas karena
ia tahu ia sedang ada urusan yang lebih penting. Tsunade memerintahkan seluruh
shinobi Chuunin dan Jounin untuk berkumpul di aula besar
Konohagakure yang biasa dilakukan pertemuan penting di sana.
Sakura mempercepat langkahnya dengan
gundah di hati. Intuisinya mengatakan ada yang tidak beres dengan panggilan
Tsunade itu.
.
o0o
.
“Shikamaru, tidak bisakah kau
memperlambat langkahmu?” Ino memberontak ketika menyadari Shikamaru enggan
berjalan beriringan dengannya. Padahal yang memintanya untuk ikut adalah si
Pemalas itu, ia jadi sangat dongkol karena dianggap tidak ada seperti ini.
“Ada hal yang sangat penting yang Godaime-sama ingin sampaikan, aku tak
punya waktu untuk menunggumu yang selelet siput. Chouji juga sudah menunggu di
sana,” jawab Shikamaru datar, namun menohok.
Ino pun mendengus kesal. Ia mempercepat
langkahnya dua kali lipat, berusaha menyejajarkan diri dengan Shikamaru. “Dasar
menyebalkan!” umpatnya yang kemudian berhasil mendahului si rambut nanas itu.
“Jangan pernah meremehkan aku, Shika!” serunya lagi yang menoleh ke belakang,
lalu dengan bahu tegak Ino meninggalkan Shikamaru.
Shikamaru berdecak kesal. “Perempuan
merepotkan.”
.
o0o
.
Hinata memandangi langit cerah di
atasnya dengan air muka pedih. Ia kini berpijak di depan pintu masuk kediaman
klan Hyuuga. Hatinya sedang dihantam kegelisahan. Ia merasa menjadi makhluk
yang paling tak berguna di dunia ini. Ia telah gagal menepati janjinya pada
Naruto. “Aku gagal menyelamatkan Sasuke-kun,”
lirihnya.
Karena Sasuke telah mendekam kembali
di penjara milik Negara Hi.
Orang-orang itu berhasil membawanya
kembali.
“Hinata-sama, maaf menunggu lama.”
Hinata nyaris lompat dari pijakannya
ketika mendengar suara itu—yang tiba-tiba muncul di belakangnya. “N-neji-nii-san,”
ucapnya tergagap.
Neji memandanginya agak terkejut.
“Kau menangis?”
“Oh ya?” Hinata pun mengusap
keseluruhan permukaan wajahnya. Dan benar saja, ada setetes air yang menempel
di pipi kanannya. Ia tak menyadarinya sama sekali. Ia pun buru-buru menyekanya.
Neji mengembuskan napas perlahan. “Tampaknya
kau masih belum bisa melupakan kejadian yang menimpa Naruto.”
Hinata kontan mendongakkan kepalanya
pada Neji. “H-hah? Mu-mungkin karena itu…,” ia langsung membalikkan badannya
agar sepupunya itu tidak melihat secara langsung matanya karena takut Neji bisa
mencium bahwa Hinata menyembunyikan sesuatu. Interaksinya dengan Sasuke
beberapa lama ini memang ia rahasiakan pada semua orang. Hanya Ino yang
menyadari, namun kunoichi itu pun
tidak tahu pasti bagaimana hubungan mereka belakangan ini.
Neji pun merasa simpati dan
meletakkan tangannya di bahu Hinata. “Tidak apa-apa, Hinata-sama. Naruto pasti bisa ditemukan cepat
atau lambat. Kita hanya bisa bersabar.”
Hinata lalu kembali menoleh pada
Neji. “Terima kasih, Neji-nii-san,” ucapnya menyunggingkan senyum
tipis.
Neji menanggapinya dengan anggukan.
“Ayo, kita ke aula besar, Hinata-sama.
Pertemuannya sebentar lagi akan mulai.” Ia mulai melangkahkan kakinya.
Hinata pun menuruti. Ia berjalan
sembari terus memandang ke tanah. Bisa ia cium sesuatu yang buruk akan terjadi.
Sebenarnya ia tidak ingin mengikuti pertemuan itu, ingin rasanya membalikkan
badan dan kembali ke rumah.
.
o0o
.
“Kakashi, maaf aku tak bisa ikut.
Hiruzen tak mungkin aku bawa ke pertemuan itu,” ucap Kurenai yang mengantar
kepergian Kakashi sampai di depan pintu rumahnya. Sebelum beranjak pergi ke
aula besar Konohagakure, Kakashi menyempatkan mampir ke rumah Kurenai.
“Tidak apa-apa, nanti aku akan
mengabarimu hasil dari pertemuan itu. Aku sendiri tidak mengetahuinya dengan
jelas. Tsunade-sama tidak banyak bicara,
aku jadi tak nyaman hati karenanya,” ujar Kakashi sembari mendekat perlahan
pada Kurenai.
“Aku tahu, banyak yang sedang
kaupikirkan, Kakashi,” tukas Kurenai. Ia lantas membawa tangannya merapikan
jaket jounin Kakashi dan menatap mata
suaminya itu lekat-lekat. “Namun aku yakin semua ini pasti bisa kita lalui,”
ucapnya lagi yang kini menggenggam tangan kanan Kakashi dengan kedua tangannya.
Ia meremas lembut tangan itu untuk menyalurkan ketenangan.
“Ya,” hanya itu yang Kakashi
ucapkan. Ia lalu membuka maskernya dan dengan cepat mengunci bibirnya ke bibir
Kurenai. Tak terlalu lama, ia kembali menegakkan posisinya dan menutupi
bibirnya kembali dengan masker. “Aku mencintaimu.”
“Aku tahu, aku juga mencintaimu,”
jawab Kurenai dengan senyuman termanisnya.
Kakashi pun beranjak dari sana
dengan langkah yang lebih berat dari biasanya.
.
o0o
.
Waktu dirasa terlalu lambat
berputar, satu jam telah berlalu pembicara utama yang ditunggu tidak muncul
juga batang hidungnya. Padahal semua Chuunin,
Jounin, dan para pemimpin klan yang ada di sana sudah nyaris kehilangan
kesabaran.
Sakura melirik sebentar ke arah
Tsunade yang duduk di sebelahnya. Air muka gurunya itu nanar entah memandang ke
mana. Ia jadi cemas karenanya.
Lalu terdengar keramaian dari arah
pintu utama. Sepertinya yang ditunggu telah datang. Dan memang benar, dari baju
yang rombongan itu kenakan mereka berasal dari Negara Hi. Mereka dikawal ketat oleh Anbu Ne dari berbagai penjuru.
Tsunade memicingkan mata. Dan
memerhatikan satu per satu rombongan Negara Hi.
Berulang-ulang, seperti ingin memastikan sesuatu. “Di mana si Keparat tua itu?”
tanyanya dengan geram. “Dasar! Dia memang cuma berani menggertak, berbicara di
depan umum saja tidak punya nyali.”
Sakura agak terkejut mendengar
ucapan Tsunade yang tak ia mengerti. Ada
apa sebenarnya?
Lalu Juru Bicara Negara Hi naik ke atas podium dengan sebuah
gulungan kertas di tangannya. Ia berdeham untuk menenangkan suara-suara yang
masih berkicau di sana meski ia telah naik di atas podium itu. Ia memasang
tampang galak agar diperhatikan. “Perhatian semuanya,” ucapnya dengan suara
diberat-beratkan.
Maka seisi aula besar Konohagakure
itu pun hening.
Juru Bicara itu pun kembali
berbicara. “Mohon maaf atas keterlambatan kami. Daimyou tidak bisa datang karena tiba-tiba jatuh sakit.”
“Omong kosong,” umpat Tsunade, namun
sengaja memelankan suaranya. Ia sangat kesal dengan pernyataan Juru Bicara itu.
Ia tahu itu hanya isapan jempol belaka.
“Baiklah, selanjutnya saya akan
membacakan pengumuman yang disampaikan oleh Daimyou-sama.
Tenang saja, saya hanya butuh waktu lima menit, setelahnya kalian boleh
membubarkan diri.”
Pernyataan Juru Bicara itu pun
membuat seisi aula riuh kembali.
Yang disampaikan pada mereka
sebelumnya bahwa akan ada pertemuan untuk membahas tentang keputusan status
Uchiha Sasuke, namun yang membuat semuanya terkejut ternyata pertemuan ini
hanya untuk menyampaikan pengumuman. Dan pengumuman yang seperti apa?
“Tenang! Tenang semuanya!” Juru
Bicara itu pun mengandalkan palu yang berada di sisinya untuk mendiamkan seisi
aula.
“Daimyou
sialan! Pendusta! Keparat!” umpat Tsunade, namun lagi-lagi dengan suara
yang pelan. Seakan-akan ia sedang berusaha membendung emosinya yang menggunung
agar tidak meletus saat itu juga.
“Shisou,
se-sebenarnya apa yang sedang terjadi?” membuat Sakura tambah khawatir saja.
Namun pertanyaannya tak diindahkan oleh Tsunade.
Henin sejenak. Sampai suara Juru
Bicara itu memenuhi seluruh ruangan aula. Ia membuka gulungan itu dan mulai
membacanya perlahan, tapi jelas.
“Surat keputusan Daimyou nomor 109. Dengan pemberitahuan
ini saya atas nama Kerajaan Negara Hi
… mengumumkan, bahwa tanpa dilakukan persidangan terlebih dahulu …, Uchiha
Sasuke akan dihukum mati.”
Seantero aula pun ribut seketika.
Memang Sasuke dikenal sebagai penjahat kelas kakap yang sangat ingin
disingkirkan oleh banyak orang, namun mereka tahu ada yang janggal sekali dalam
kasus ini. Terlebih tanpa persidangan? Yang benar saja! Itu berarti Daimyou telah melakukan tindakan
otoriter!
“A-apa?!” Sakura pun sontak berdiri
dari tempat duduknya. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kegelisahan
akut mulai menikam hatinya. “Shisou¸ a-apa maksudnya ini?!” suaranya
meninggi dan menimbulkan getaran yang lumayan dahsyat. Tubuhnya menggigil
seketika.
“Duduk dulu, Sakura. Dengarkan dulu
pernyataannya sampai selesai,” perintah Tsunade tanpa mengalihkan pandangannya
ke Sakura.
“Ta-tapi—”
“Sudah kubilang duduk!” bentak
Tsunade pada akhirnya.
Sakura pun bergidik. Ia menyerah,
dan menjatuhkan dirinya ke kursi dengan lunglai.
Anggota rookie sembilan yang lain tak kalah terkejutnya. Ino, Neji, Chouji,
Kiba, bahkan yang tidak memiliki emosi seperti Sai mengeluarkan ekpresi paling
prihatin.
Terutama Hinata yang menunduk
dalam-dalam. Ia benar-benar ingin keluar dari sana, tidak ingin mendengar
pengumuman menyakitkan itu.
Kakashi sendiri hanya menatap kosong
podium yang di atasnya berdiri orang sinting yang mengganggu kedamaian di
Konohagakure. Ia ingin berontak, namun ia paham ini bukan saatnya. Ia dengan
sabar menunggu sinyal dari Tsunade.
Shikamaru memandang tajam pada Juru
Bicara itu, orang secerdas dia bisa memprediksi bukan hanya ini yang akan
disampaikan oleh perwakilan Kerajaan Negara Hi
tersebut.
“Melihat aksi-aksi kejahatannya yang
tak termaafkan, saya rasa Uchiha Sasuke pantas mendapatkan hukuman ini. Hukuman
yang dilakukan adalah hukuman gantung yang akan dilaksanakan dua minggu setelah
pengumuman ini disampaikan.” Juru Bicara itu kemudian mengambil napas sejenak.
Sakura mengepalkan kedua tangannya,
ia menangis. Menggigit bibirnya hingga berdarah.
“Dan tentang Uzumaki Naruto…,” Juru
Bicara itu diam sejenak kembali, seperti sengaja memberikan jeda di ucapannya.
Sakura kontan mendongakkan wajahnya
pada orang yang berdiri di podium itu. “A-apa lagi ini?” lirihnya.
Suasana menjadi hening. Namun dengan
keheningan berbeda, seperti berada di ruang kosong yang tak memiliki apa-apa di
dalamnya. Mereka semua yang berada di sana, untuk yang satu ini memang
benar-benar tidak tahu-menahu. Mereka tidak menyangka Naruto akan dibahas pula
di forum yang tiba-tiba menjadi sekadar papan pengumuman ini.
“Saya mengetahui bahwa Uzumaki
Naruto adalah pahlawan yang berkali-kali ikut andil dalam mewujudkan perdamaian
dunia. Dan saya turut prihatin atas kejadian yang menimpanya beberapa waktu
lalu, yang membuat keberadaannya tidak diketahui ada di mana. Karenanya dengan
ini saya pun memutuskan…
“Untuk mendirikan monumen khusus
untuknya yang terbuat dari emas, yang akan didirikan di sebelah pemakaman
mendiang Hokage Keempat, Namikaze Minato, yang merupakan ayah kandung dari
Uzumaki Naruto.”
Kontan seisi ruangan kembali ricuh
mendengar hal yang selama ini disembunyikan itu.
Tsunade sampai tercenung
mendengarnya. Saking kagetnya ia tak bisa bereaksi apa-apa.
Terlebih Sakura yang langsung
diserang panas-dingin. “Apa maksudnya ini? Na-naruto anak Yondaime-sama?” dan tangisannya pun mulai membentuk anak sungai di kedua
pipinya. Ia tiba-tiba saja mengingat keadaan Naruto dulu yang sering dikucilkan
dan dijauhi oleh penduduk Konohagakure. Jadi, dulu mereka memandang sinis anak
Hokage Keempat? Hokage yang legendaris itu karena berhasil mengalahkan Kyuubi
walau harus dibayar oleh nyawanya.
Hinata menutupi mulutnya dengan
kedua tangannya. Ia benar-benar tak menyangka dengan kabar itu, ia tak pernah
mengetahuinya. Teman-teman rookie
yang lain saling bertanya-tanya dengan raut wajah cemas.
“A-aku tak pernah menyadari Naruto
anak Hokage Keempat,” ucap Ino.
“Apakah itu memang benar? Bukan
kamuflase semata?” Kiba sendiri tak memahaminya.
Sementara di lain sisi, Kakashi
mengatupkan matanya rapat-rapat. Kepalanya semakin pusing dibuatnya.
“Karenanya dengan ini saya menyatakan
… Uzumaki Naruto, mati terbunuh dalam penyerangan Akatsuki kemarin. Sehari
sebelum dilaksanakan hukuman gantung untuk Uchiha Sasuke, akan diadakan Upacara
Pemakaman pahlawan kita tersebut, yang akan dilakukan secara besar-besaran—”
“Tutup mulutmu! Naruto belum mati!”
Betapa kagetnya Tsunade ketika
menyadari bahwa Sakura sudah berada di koridor yang merupakan jalan menuju
podium. Bisa ia perhatikan raut Sakura yang menggarang dengan kilatan-kilatan
air di pipinya—yang menggambarkan bahwa ia begitu pilu.
“Kau tidak tahu apa-apa tentang desa
ini! Jadi, kau tak berhak untuk membuat keputusan macam-macam!” teriak Sakura
lagi.
Juru Bicara itu memandangi Sakura
yang semakin mendekat ke arahnya. Ia bergeming sejenak. Agak takut. Namun
melihat Anbu Ne yang berada di
sekelilingnya ia pun melanjutkan pengumuman yang nyaris rampung itu.
“Keputusan ini mutlak dan tidak
dapat diganggu gugat. Siapa yang melawan, dia akan dianggap sebagai musuh
Negara dan diadili sebagai pengkhianat!”
Maka seisi aula besar Konohagakure
itu pun berdiri dari tempat duduknya dan meneriakkan sumpah serapah. Mereka
tidak menyetujui keputusan yang sepihak ini, biasanya saja ketika akan
memutuskan sesuatu, pasti dilakukan diskusi terlebih dahulu, meski di ujungnya
berakhir voting.
Namun
di sini, Konohagakure seperti tidak memiliki kekuatan dan hak untuk
bernegosiasi. Martabat mereka serasa diinjak-injak oleh Kerajaan Negara Hi yang dulu saja tidak pernah ikut
campur dalam urusan desa ini.
Tsunade dan Kakashi segera menyusul
Sakura agar tidak melakukan hal-hal yang di luar akal sehat. Sakura mulai
seperti orang yang kerasukan setan.
“Dasar Bodoh! Naruto tidak mati! Aku
akan membuktikan pada kalian jika Naruto tidak mati…! Dan kalian menginginkan
Sasuke-kun dihukum mati tanpa diadili
terlebih dahulu?! Bedebah!” Sakura mulai histeris. Ia siap-siap akan menyerang
anggota Anbu Ne yang menghalangi
langkahnya menuju podium.
“Sakura!” panggil Tsunade yang
sesegera mungkin menarik tangan muridnya itu agar tidak melangkah lebih jauh.
“Lepaskan!” Sakura memberontak,
seperti tidak menyadari siapa yang sedang menahan dirinya.
“Sakura! Aku mohon tenangkan
dirimu!” Kakashi ikut membantu Tsunade.
“Jangan menghalangiku!” namun Sakura
mendorongnya hingga ia mundur beberapa langkah.
“Tatap aku, Sakura! Tatap aku!”
secara paksa Tsunade menggenggam wajah Sakura dengan kedua tangannya. Sampai
kuku-kukunya tak sengaja melukai pipi Sakura. Ia menghadapkan wajah Sakura
tepat di depan wajahnya. “Aku berjanji akan melakukan sesuatu, namun saat ini
kita harus mengikuti sistem,” ucapnya dengan nada sedih.
Napas Sakura yang memburu
berangsur-angsur teratur. Matanya yang tajam kini berubah sendu. “Shi-shisou … Naruto belum mati. Katakan
pada mereka jika kita masih bisa mencarinya. Aku mohon,” lirihnya terisak-isak.
Tsunade tak mampu berkata apa-apa.
Ia ikut menangis juga dan memeluk Sakura dengan erat. Sekadar ingin menyalurkan
ketenangan.
Sementara rombongan dari Kerajaan
Negara Hi tergesa-gesa meninggalkan
aula itu. Takut akan menjadi bulan-bulanan para shinobi yang kontra dengan keputusan Daimyou.
“Aku tidak mau kehilangan kedua
teman setimku. Mereka berdua sangat berarti bagiku,” bisik Sakura lagi. Ia
membenamkan wajahnya di pundak Tsunade. Suara tangisannya makin menggarang di
udara. Memecah sunyi yang ada di sana, sehingga tanpa disadari ia menjadi pusat
perhatian.
Kakashi yang mendengarnya sampai
terhenyak. Matanya pun mengelabu. Kalau
aku … aku telah kehilangan kedua teman setimku. Dan sampai sekarang … itu masih terasa menyakitkan. Ia tak menyangka, kejadian yang
menimpanya dulu tampaknya akan terulang kembali. Aku gagal sebagai seorang guru yang melindungi muridnya.
Hinata yang melihat adegan penuh
sengsara itu pun memeluk Neji yang berdiri di sebelahnya. Ia ikut terbawa
suasana. Ia menangis sejadi-jadinya. Berharap semua ini hanya mimpi belaka.
Neji hanya mampu membelai-belai
rambut panjang Hinata untuk menenangkannya. Ia tak tahu harus mengutarakan apa.
Shikamaru menahan agar gigi-giginya
tak saling menghentak dengan keras. Ia sangat membenci dirinya yang gagal
melakukan misi. Misi mencari jejak Naruto yang sampai sekarang tidak terendus
sama sekali. Ia bahkan tak bisa melakukan apa-apa selain berpikir, berpikir,
dan berpikir—sementara hasil yang diinginkannya tidak tercapai. Ia pun beranjak
dari kursi tanpa bilang terlebih dahulu pada teman-temannya yang lain. Ia malah
mencaci-maki dirinya sendiri. Payah! Kau
memang payah, Shikamaru!
“Shikamaru!” seru Ino dengan suara
bergetar. Ia begitu terpukul melihat keadaan Sakura yang begitu miris. Dan kini
teman setimnya itu malah bersikap seolah-olah tak peduli. Ia nyaris saja
menyusul Shikamaru, namun sebuah suara keburu menahannya.
“Biarkan Shikamaru sendiri dulu,
Ino. Ia perlu menenangkan dirinya. Kau tidak ingin membuatnya tambah pusing,
kan?” ucap Chouji yang paham betul tabiat sahabatnya itu. Ia sendiri di dalam
hati berdoa semoga esok hari semua akan kembali sebagaimana mestinya. Walau
tampaknya setelah ini jalannya akan penuh dengan kerikil-kerikil tajam.
Bersambung….