Cerita Dibuang Sayang: Mahligai Jiwa
Dinda…
Kau adalah air yang mengenyangkan kehausan raga.
Kau adalah tanah yang mengokohkan rapuhnya hati yang merana.
Kau adalah api yang membuatku terbakar-bakar asmara. Kau adalah angin yang senantiasa meredam emosi hingga reda. Kau telah menjadi putriku di istana cinta… duhai, mahligai jiwa. ~
Hanya diam yang bisa dikeluarkan. Hanya termangu yang bisa dilakukan. Hanya bimbang yang menikamnya siang dan malam. Hanya karena ia tak punya kuasa, ia pun hanya bisa pasrah saja.
Tak tahu itu apa arti cinta, sejak dulu Lingga sama sekali belum pernah memiliki hubungan spesial dengan lelaki mana pun. Terlebih ia juga jarang memiliki teman lelaki. Entah karena terlalu malu atau hanya ragu, Lingga tak pernah membuka diri untuk kaum Adam itu. Memang ia sudah kepalang berumur 24 tahun. Masa yang tepat untuk membentuk keluarga baru; lepas dari beban yang orantuanya pikul. Bukan hati menolak untuk dijodohi, tapi apa daya rasa-rasanya ini bukanlah waktu yang tepat. Lantaran Lingga masih ingin membahagiakan orangtua secara materi lebih lama lagi, meski jasa mereka tak ternilai harganya.
Lingga berpikir kembali berulang-ulang, hingga ia merasa kebosanan karena terlalu lama pikiran itu bersarang di otaknya. Lagipula ini adalah keinginan orangtua, mana mampu ia melawan jika itu membuat mereka bahagia? Namun harus diakuinya dulu ada seorang laki-laki yang diam-diam mencuri hatinya. Meski itu kadung lama dan ia tak tahu siapa namanya, namun memori-memori itu masih tersimpan dengan rapi tak terkorupsi oleh waktu yang kian menua. Hanya saja…lelaki itu bisa ia lihat dari kejauhan saja. Dirinya masih ragu apa laki-laki itu mencintainya balik atau tidak. Maka Lingga tak tahu harus berbuat apa ketika dulu pujaan hatinya itu memberikan sebuah kertas. Tersirat deretan kalimat-kalimat gombal selangit yang maknanya ia pun tak tahu. Ia berspekulasi sendiri bahwa tulisan yang tertera di dalamnya itu hanyalah kerjaan iseng. Karena baginya mendapatkan cinta sang pujaan hati bagaikan pungguk merindukan rembulan. Meski jika ia baca secara saksama, hatinya dapat berdebar-debar pula…
Sore itu, Lingga pulang dari kantor. Masuk ke dalam rumah, ia disambut oleh ayah yang sedang duduk bersama seorang tamu.
Setelah Lingga menyalami ayahnya, ayah pun berkata dengan riang, “Wah, ‘Nak. Telat datang kamu, ‘Nak Bagas sudah mau pulang. Ini lho calon suamimu.”
Lingga pun terkesiap; ia sekilas menatap pria yang berdiri menyambut kedatangannya. Pria itu menyunggingkan senyuman termanis yang baru ia lihat selama hidupnya. Tidak hanya manis, tak ada keterpaksaan yang terpahat di bibir lelaki itu. Lingga buru-buru menundukkan kepalanya malu-malu.
Pria itu pun berpamitan pada ayah dan juga pada Lingga. Lingga mengantarkannya hingga pekarangan rumah. Sebelum pergi ia berbicara pada perempuan yang akan menjadi istrinya kelak, “Minggu depan, aku akan datang kembali bersama orangtuaku. Oh ya, ini.” Bagas memberikan secarik kertas terlipat-lipat pada Lingga. Ia pun tersenyum. “Sampai ketemu nanti, ya.” Bagas pun melenggangkan kakinya menjauhi Lingga yang masih tersipu-sipu di belakang.
Belum jauh Bagas berjalan Lingga pun membuka kertas yang terlipat itu. Di sana tertulis, ‘Akhirnya kau kutemukan juga, Mahligai Jiwa. Aku ‘kan menculikmu untuk pergi ke istana cinta. Maka bersabarlah, Dinda.’ Dan Lingga menatap punggung lelaki itu, tanpa bisa berkedip sedikit pun.
0 komentar