Aufklärung: Save Me, Please Chapter 2


Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Rated T. AU. Romance/Spiritual. Naruto and Sakura.
Based on the movie “Langit Ketujuh, directed by Rudi Soedjarwo”
.
~saat cinta bertemu di dunia yang berbeda~
.
Summary: Uzumaki Naruto, seorang otaku dan mangaka sukses yang bersahaja, namun terkadang naif. Dan Haruno Sakura, seorang perempuan pintar peraih penghargaan Miss Jepang, yang selalu merasa tidak puas dengan hidupnya karena itu ia selalu mengejar penghargaan. Suatu ketika, mereka dijodohkan oleh kedua orangtua mereka. Namun, ada sesuatu yang jahat yang membatalkan hari tunangan mereka. Naruto pun mencoba menerima takdir jika Sakura akan mati karena berhari-hari koma akibat kecelakaan parah yang dialaminya. Tapi yang ia sadari berikutnya, roh Sakura mendatanginya untuk meminta pertolongan. Dan yang Naruto sadari juga, hanya ia yang bisa melihat dan berbicara langsung dengan Sakura. Lalu apa yang akan Naruto lakukan? Karena ia juga sangat ketakutan….
.
.
.
Chapter 1
.
.
Kalau bisa kuputar waktu, inginku bertemu lebih awal denganmu.
Mengenal kehidupanmu yang penuh liku.
Dan aku mencintai bias cahaya di wajahmu yang menikmati setiap jalannya.
Seolah tidak ada beban dunia di lemah bahumu.
Jadi, apa kamu izinkan aku masuk ke dalamnya?
Sebentar saja, mengembara bersama angan kerdilku….
.
.
            Haruno Sakura tidak pernah sejengkel ini selama hidupnya. Ia menatap kesal ayahnya yang berdiri di depannya. Malam itu mereka berkumpul di ruang tamu “Aku tidak mau dijodohkan. Lagi pula aku tidak mengenalnya!”
            “Maka dari itu Ayah akan mengenalkannya.”
            “Jangan bercanda, Yah! Aku ingin menikah dengan orang yang sudah lama aku cinta! Dan orang itu adalah Sasuke-kun!”
            Kizashi mendesah. “Ayah tidak setuju. Ayah pernah punya hubungan bisnis yang buruk dengan Uchiha Fugaku. Ayah jamin pilihan Ayah tidak salah. Kau kan anak Ayah satu-satunya.”
            Sakura mendelik. “Bukankah masalah itu sudah selesai, Yah?”
            “Tapi Ayah tidak akan terjebak untuk kedua kalinya. Kalau begitu mari kita taruhan, supaya kau tidak terpaksa menerimanya.”
            Dahi Sakura makin mengerut. “Maksud Ayah?”
            “Kau harus mau Ayah kenalkan dengan Uzumaki Naruto. Kalau kau tidak mencintainya setelah tiga bulan hari perkenalan, kau boleh membatalkan tunangan yang kurencanakan empat bulan lagi.”
            Sakura berdecak kesal. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
            “Percaya padaku, Sakura. Naruto adalah lelaki yang baik. Dia pasti bisa membahagiakanmu. Lihat saja karirnya sebagai mangaka. Komiknya tidak hanya laris di Jepang, tapi juga di seluruh Asia dan Amerika!”
            “Kenapa terburu-buru, Yah?” nada suara Sakura mengandung kecewa.
            Namun, Kizashi tetap bisa tersenyum cerah. “Aku ingin menyerahkan jabatan direktur perusahaan padamu, Sakura-chan. Tapi sebelum itu aku ingin kau menikah.”
            Dan pada akhirnya … yang Sakura tahu, ayahnya tidak menepati janji. Kizashi tetap ngotot memaksa Sakura untuk menikah dengan Naruto, padahal di hatinya hanya ada Sasuke seorang.
            Kizashi mempercepat waktu pertunangan Sakura dan Naruto satu bulan. Ia ingin cepat pensiun dari perusahaan dan menyerahkan tanggung jawabnya pada Sakura, namun ternyata ada hal di luar kendali yang tidak bisa ia hindari. Anak satu-satunya yang paling ia sayangi terbaring di rumah sakit; terjebak di antara hidup dan mati….
.
.
            Butuh waktu lima menit untuk Sakura menangkap apa yang ada di sekelilingnya. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba bisa berada di ruangan serba putih dan bau obat itu. Yang jelas ia sangat terpukul ketika melihat tubuhnya sendiri yang terbaring di atas tempat tidur. Di sana sosoknya nyaris seperti mumi, penuh perban di sana-sini, kecuali di bagian wajahnya. Satu tangannya menutup mulut. “Ya, Tuhan, mengapa jadinya seperti ini?”
            Sakura linglung. Ia mondar-mandir di ruangan itu. Mengingat-ingat kejadian lalu yang membuat keadaannya mengenaskan seperti itu. Potongan demi potongan memori merasuk perlahan di kepalanya. Ia mematung di tempat. “Aku mengalami kecelakaan. Ada mini bus yang datang tiba-tiba, lalu pengemudinya membenturkan mini bus itu berkali-kali ke mobilku sampai keluar jalur dan mobilku menabrak pohon besar hingga tumbang, lalu aku—” saking mengerikannya kejadian itu Sakura tidak mampu melanjutkan kata-katanya
            Napas Sakura terengah-engah. Kedua tangannya kini menutup kepalanya. “Aku masih hidup atau sudah mati?” matanya lantas beralih pada pintu kamarnya. Ada seseorang yang masuk. Ia buru-buru menyelinap di tirai yang memisahkan tempat tidur di mana ia berbaring dengan tempat tidur di sebelahnya yang kosong melompong. Dari balik tirai ia melirik. “Naruto?” bisiknya.
            “Hai, Sakura-chan, kau masih saja betah tidur ya,” sahut Naruto yang berjalan perlahan menuju kasur Sakura. Di tangannya ia membawa sebuket bunga mawar segar—seperti baru dipetik. Ia melirik ke vas bunga yang berada di meja. Wajahnya tiba-tiba muram. “Yah, bunganya sudah ada yang mengganti. Jadi, apa aku harus membawanya kembali? Tapi pasti kau sangat senang dengan bunga ini, kan, Sakura?”
            Sakura berdecak kesal. “Bawa saja bunga itu! Aku sama sekali tidak senang dengan pemberianmu!” serunya, setengah berbisik. Biar Naruto tidak mendengar suara frustasinya.
            Naruto terkesiap. “Siapa itu?”
            Mata Sakura membesar. “Eh, dia dengar?”
            Naruto melihat ke sekeliling ruangan, namun ia merasa hanya ia yang berada di sana sehingga tidak terlalu menghiraukan suara yang ditangkap indera pendengarannya tadi.
            Sedangkan Sakura sibuk berganti posisi agar Naruto tidak melihatnya. Ia tidak ingin Naruto melihatnya, terlebih melihatnya ada dua seperti ini. Naruto pasti akan pingsan dan ia bisa jadi gila.
            “Pertunangan kita akhirnya dibatalkan ya.” Naruto kembali berbicara pada Sakura yang terbaring di kasur.
            “Benarkah?” wajah Sakura jadi secerah bunga matahari. Akhirnya hal yang paling ia inginkan saat ini terwujud juga.
            “Tapi bagiku tidak terlalu penting … yang terpenting bagiku sekarang adalah melihatmu sehat kembali, Sakura-chan.” Naruto meminggirkan beberapa helai rambut Sakura yang menempel di kelopak mata.
            Sakura begitu risih ketika melihat Naruto mendekatkan wajahnya dan menciumi dahinya yang ditutup perban.
            “Kalau kau mau, aku rela menunggu selamanya,” bisik Naruto lagi. Tubuhnya kembali menegak. Ia menaruh buket bunga itu di atas meja dengan membaringkannya. Naruto tersenyum kecut. Ia bergegas berjalan menuju pintu, hendak keluar ruangan. “Aku harus ke kantor Shueisha, hari ini ada rapat penjurian Tezuka Awards dan aku menjadi salah satu jurinya. Besok aku kembali … sampai jumpa, Sakura-chan.”
            “Aku tidak mau. Kau tidak perlu menungguku selamanya. Kenapa kau tidak mengerti juga, hah?” geram Sakura tertahan di ujung giginya.
            Naruto tiba-tiba menoleh; matanya tertuju pada Sakura yang terbujur kaku di atas tempat tidur. “Eh? Barusan aku mendengar suara Sakura-chan mengomel.”
            Kedua mata Sakura melebar. Ia pun menyembunyikan penuh kepalanya di balik tirai. “Dia benar-benar bisa mendengarku?”
            Dahi Naruto mengerut, namun ia kemudian terkekeh gugup. “Mungkin cuma perasaanku saja.” Ia pun buru-buru meninggalkan ruangan itu dengan berlari kecil.
            Sakura yang menyadari suara langkah kaki Naruto yang menjauh segera menyingkir dari balik tirai. Ia memperhatikan Naruto yang menjauh, seketika kelegaan menguar dari hatinya. Namun, tiba-tiba sesosok manusia mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala muncul di depan pintu dan merangsek masuk perlahan ke dalam ruangan—dengan penuh kehati-hatian.
            Sakura tentu saja berteriak kencang, ia mundur beberapa langkah karena saking kagetnya. “Siapa kau?!”
            Tapi, sosok itu tampak tidak menggubris teriakan Sakura, atau lebih tepatnya … tidak menyadari kehadiran Sakura yang jelas-jelas berdiri di hadapannya.
            “Dia tidak melihatku? Bagaimana bisa?” Sakura tercenung. Mata hijaunya mengikuti gerak-gerik sosok itu dengan waswas.
            Sosok itu tengah mendekati Sakura yang terbaring di atas kasur perlahan. Sesekali ia memperhatikan pintu, menunjukkan ia tidak ingin kehadirannya diketahui oleh seorang pun di luar sana.
            Jantung Sakura berpacu kencang. Ia merasakan firasat buruk ketika tangan sosok itu terjulur meraih selang pernapasan yang terpasang di hidungnya. Ia tidak perlu berpikir panjang lagi dan langsung mengerti. “Hentikan!” Sakura berniat meraih tangan yang sudah terjulur itu, namun tangannya sendiri hanya bisa menyentuhnya. Orang itu pun tidak merasa sedang disentuh olehnya
            Mata Sakura semakin membulat ketika menyadari alat pernapasannya berhasil dilepas dari tubuhnya yang sedang lemah itu. “Hentikan! Kenapa kau melakukannya?! Apa salahku?!”
            Namun, lengkingan ketakutan Sakura tetap tidak digubris oleh sosok yang mengenakan pakaian serba hitam itu. Ia tiba-tiba saja merasa sesak. Sejurus menyadari tangannya perlahan-lahan berubah berbaur dengan udara, nyaris tidak berbentuk. Sakura terang saja mulai terisak. “Apa yang terjadi padaku?!”
            Sakura melihat sosok keji itu keluar dari ruangan dengan tergesa-gesa. Ia begitu takut dengan kejadian aneh yang menimpanya ini. Duduk lunglai di sebelah tempat tidur tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak lama ada suster yang masuk ke ruangan. Sakura pun buru-buru berdiri, namun lagi-lagi ia terkesiap. Suster itu sama sekali tidak memperhatikannya yang jelas-jelas berdiri sana. Sakura jadi paham. “Aku ini adalah roh?”
            “Ya, Tuhan. Kenapa alat pernapasannya terbuka begini? Pasien jadi kekurangan oksigen!” seru suster itu panik. Ia bergegas keluar ruangan, lalu kembali dengan membawa dokter.
            “Kau memasangnya dengan benar, kan, Shizune?” dokter tersebut memeriksa keadaan Sakura dengan memeriksa layar EKG.
            “Saya yakin kemarin saya memasangnya dengan benar. Tidak mungkin alat pernapasan itu lepas begitu saja, Tsunade-sensei!”
            Tsunade terbelalak ketika melihat tubuh Sakura tergegar-gegar. “Sial! Sepertinya dia mengalami serangan jantung.  Siapkan defibrillator, Shizune!”
            “Ba-baik!” Shizune dengan sigap mengabulkan perintah Tsunade. Ia menyadari dua orang suster datang membantu.
            Sakura tambah pucat melihat pemandangan menakutkan itu. Ia merasakan tubuhnya semakin transparan. “Si-siapa saja, tolong selamatkan aku!” dapat ia dengar suara meraung defibrillator dan teriakan suara si dokter bernama, Tsunade yang meneriakkan ‘clear’ berkali-kali. Matanya lantas menangkap Ino, Ten Ten, Hinata, dan Temari yang berdiri di depan pintu. Mereka tampak ingin memaksa masuk, namun dua suster yang barusan datang menghalangi niat mereka.
            Tanpa pikir panjang Sakura berlari menuju kaca dan menggedor-gedor sekuat tenaga. “Ino! Ini aku, Sakura! Tolong selamatkan aku! Ten Ten! Hinata! Temari!” Namun, Sakura hanya mendapatkan isakan dan wajah-wajah khawatir sahabatnya. Ia semakin terpukul. “Ini gila!” pekiknya.
            “Apa yang terjadi dengan Sakura?” Ino mulai terisak.
            Temari pun tidak bisa menyembunyikan rupa gelisahnya. “Padahal kita baru sempat menjenguknya, kenapa malah disuguhi pemandangan seperti ini?”
            “Temari! Kau jangan sedih! Aku masih hidup! Lihat aku! Lihatlah aku!” Sakura mencoba mendapatkan perhatian sahabatnya yang paling tomboy itu dengan menggedor-gedor kaca yang memisahkan mereka. Ia begitu terhenyak melihat ekspresinya, padahal sehari-harinya Temari termasuk gadis yang tegar dan easy-going.
            Di pelukan Temari, terdapat Hinata yang tidak mampu membendung air matanya.
            Mereka jelas tahu alat yang bisa digunakan dokter saat pasiennya sedang kritis seperti itu. Tapi, tidak mungkin Sakura harus meninggalkan mereka secepat ini, kan?
            Keempat sahabat Sakura itu semakin memekik tatkala salah satu suster menggelar tirai yang selama ini tersingkap.
            Sakura hendak memprotes, namun ia lebih mementingkan perasaan keempat sahabatnya. Ia pun keluar ruangan sebelum salah satu suster menutup pintu.
            “Kenapa kalian tidak menyadari kehadiranku?!” Sakura kembali memekik frustasi. Bulir-bulir air mata bermunculan di sudut matanya. Lama-kelamaan terlampau penuh dan perlahan jatuh mengaliri kedua pipinya yang pucat. “Aku di sini, tahu! Aku di sini!”
            Meski masih terguncang, dengan tangan gemetaran Ino mengeluarkan ponselnya.
            “Kau ingin menelepon siapa, Ino?” tanya Ten Ten
            “Kizashi-san dan Sasuke-kun. Mereka berhak tahu,” jawab Ino dengan suara parau.
            “Bagaimana dengan Naruto-kun?” Hinata yang mulai bisa meredam isakannya ikut bertanya.
            “Cih, kau tidak perlu meneleponnya. Aku kesal sekali ketika mengingat kalau dia teman baik Shikamaru yang brengsek itu!” tangan kanan Temari mengepal. Ia mengingat kejadian menyebalkan sebulan yang lalu, jauh sebelum kecelakaan naas itu menimpa Sakura.
            “Aku tidak akan menelepon Naruto karena aku tahu Sakura tidak mengharapkan kedatangannya,” sambung Ino sinis. Ia mengelap air mata yang tersisa di kulit pipinya.
            “Bagus, Ino! Kau memang sahabat terbaikku!” Sakura memeluk Ino, namun wajah cerianya kembali mendung ketika Ino sama sekali tidak bereaksi dengan perlakuannya itu. “Tidak ada yang menyadari kehadiranku….”
            Sepuluh menit berlalu. Dokter dan ketiga suster yang berada di ruangan Sakura masih betah berada di dalam. Sementara keempat gadis yang berencana menandaskan kangen dan ingin memberikan dukungan malah melihat momen yang bisa jadi merenggut nyawa Sakura selama-lamanya. Mereka masih saja duduk meringkuk. Pikiran mereka hanya tertuju di satu orang, namun tak lagi saat seseorang terburu-buru menghampiri mereka.
            “Ino!”
            “Kizashi-san!” Ino pun berdiri diikuti oleh ketiga sahabatnya.
            Sakura yang ikut duduk di ruang tunggu bersama para sahabatnya pun melakukan hal sama. “Ayah!” Ia berlari merentangkan tangannya ke arah ayahnya. Namun, Kizashi berlari melewatinya seolah-olah ia makhluk tembus pandang yang berdiri di sana. “Kenapa tidak ada yang bisa melihatku?”
            “Apa yang terjadi dengan Sakura?” tanya Kizashi panik. Keringat bercucuran dari pelipisnya. Terlihat sekali perjuangannya ke rumah sakit, melawan waktu dan kesibukannya sebagai ujung tombak perusahaannya. Di belakangnya ada Orochimaru, rekan kerja sekaligus sepupunya.
            “Kami juga tidak tahu persis, Kizashi-san Ketika kami sampai di sini, kami dengar Sakura terkena serangan jantung,” jawab Temari ragu-ragu.
            Mendengarnya Kizashi bagai tersambar petir di siang bolong. “Tidak mungkin.”
            Bersamaan dengan itu pintu ruangan di mana Sakura menginap pun terbuka. Seorang dokter keluar dari sana.
            “Dokter! Bagaimana keadaan anak saya?”
            “Sakura tidak apa-apa, kan, Dokter?!”
            “Bagaimana bisa Sakura terkena serangan jantung, Dok?! Sakura tidak punya penyakit jantung!”
            Tsunade melihat wajah-wajah ketakutan itu satu per satu, persis dengan wajah yang ia pasang beberapa menit lalu, saat ia mendapati Sakura dalam keadaan kritis. Ia menghela napas panjang. “Sakura berhasil keluar dari keadaan kritisnya, sekarang keadaannya berangsur-angsur stabil.”
            “Anda yakin, kan, Dok?” tanya Kizashi sembari merengkuh salah satu lengan Tsunade.
            Tsunade mengangguk pasti. “Anda tidak perlu khawatir, Kizashi-san. Maafkan saya, untuk hari ini Sakura tidak bisa dijenguk.”
            “Ya, tidak masalah. Sakura sepertinya butuh istirahat.” Kizashi melepaskan rengkuhannya di lengan Tsunade. “Saya panik sekali ketika mendapat telepon dari Ino. Saya takut Sakura tiba-tiba … tiba-tiba ia….” Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tidak sanggup melontarkan kata-kata selanjutnya.
            Sakura pun berlari dan membawa tubuhnya memeluk ayahnya. “Ayah, Sakura di sini. Ayah, jangan sedih!” hiburnya. Namun pada akhirnya ia malah menangis karena apa yang lakukan sungguh percuma. Ayahnya tidak bisa merasakan kehadirannya.
            “Tolong selamatkan Sakura, Dok. Cuma dia yang satu-satunya saya miliki sekarang. Saya belum siap kehilangan dia!” Kizashi membatin. Tentu saja, keluarga yang ia miliki saat ini hanyalah Sakura. Ketika istrinya meninggal enam tahun lalu saja, ia membutuhkan waktu cukup lama untuk mengikhlaskannya.
            Sakura makin mempererat pelukannya pada Kizashi. “Aku tidak ke mana-mana, Yah. Aku ada di sini….”
            Ini bukan pertama kalinya Tsunade menerima permohonan itu dari keluarga pasien, namun rasa bersalahnya mencuat. Ia akhirnya memutuskan tidak memberi tahu Kizashi perihal alat bantu pernapasan Sakura yang ditemukan lepas dari tempatnya, sebelum ia sendiri tahu apa dan siapa yang menyebabkannya. “Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Kizashi-san. Anda terus mendukung dan mendoakan Sakura ya.”
            Kizashi mengangguk lesu. “Apa saya bisa menengok Sakura di ruangannya?”
            “Maafkan saya, Kizashi-san. Untuk hari ini Sakura harus istirahat total. Besok Anda bisa menjenguknya.”
            “Baiklah.” Tangan Kizashi mengepal. Ia lantas berjalan menuju kamar Sakura. Memandangi putri semata wayangnya dengan pedih di dada dari balik kaca. “Jangan tinggalkan Ayah, Nak. Ayah masih membutuhkanmu. Ayah sayang kamu….”
            Di sebelah Kizashi, Orochimaru menyentuh bahu kakak sepupunya. “Sebaiknya kita kembali ke kantor, Kizashi. Serahkan semuanya pada dokter. Sore nanti ada rapat yang tidak bisa dilewatkan.”
            Kizashi memandangi Orochimaru sejenak. Kalau saja ia bisa menemani Sakura hari ini, mungkin ia akan menunda rapat sial itu, namun ia tidak punya pilihan, selagi ada waktu, ia tidak bisa membuangnya begitu saja.
            “Kalian…,” kini Kizashi berhadapan dengan keempat sahabat Sakura. “Terima kasih sudah menjenguk, Sakura. Untuk hari ini kalian tidak bisa menjenguknya lama-lama. Sakura butuh istirahat total.”
            Keempat sahabat Sakura itu saling pandang. Mereka pun membungkuk berbarengan.
“Kalau begitu kami permisi pamit, Kizashi-san. Kalau terjadi apa-apa dengan Sakura jangan sungkan menghubungi kami,” ucap Temari sembari menegakkan kepalanya.
Kizashi mengangguk lesu. “Terima kasih juga karena segera memberitahuku tentang keadaan Sakura. Beruntung dia masih bisa diselamatkan.” Kemudian Kizashi pun berjalan keluar dari rumah sakit berbarengan dengan mereka. Namun di lobby mereka berpisah.
“Aku mau ke toilet dulu,” ujar Hinata.
Temari, Ino, dan Ten Ten pun memutuskan menunggu Hinata di lobby.
Hinata bergegas ke toilet dan mengunci rapat pintunya. Ia tidak buang air. Mengeluarkan ponselnya dari tas dan menghubungi seseorang.
Hinata?
“Ah, Naruto-kun! Maaf aku mengganggu. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Sepuluh menit lagi aku bakal ikut rapat pemenang Tezuka Awards.
“Baiklah. Aku langsung saja ke intinya. Ini tentang Sakura. Barusan aku menjenguknya.”
Ada apa dengan Sakura-chan?! Dia sudah sadar?!
Mendengar nada riang dari seberang membuat hati Hinata teriris. Padahal ia hendak mengatakan hal sebaliknya. “Naruto-kun … Sakura tadi masuk ke keadaan kritis. Dia mengalami serangan jantung.”
Ma-masa?! Tadi pagi aku menjenguknya tidak ada masalah.
Hinata menggigit bibirnya. “Serangannya tiba-tiba, Naruto-kun. Aku juga sangat kaget karena baru sampai di ruangan Sakura, tiba-tiba tidak diizinkan masuk karena dokter sedang melakukan penyelamatan pertama padanya.”
Aku akan ke sana!”
“Jangan, Naruto-kun!”
Kenapa?!”
“Jam besuk hari ini untuk Sakura ditiadakan. Aku dan teman-teman diminta langsung pulang. Kizashi-san juga begitu. Dokternya bilang Sakura butuh istirahat.”
Ada jeda dari seberang. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih telah mengabariku, Hinata.
“Ya. Kau tidak usah khawatir, Naruto-kun. Sakura pasti akan sembuh. Kalau ada kabar tentangnya aku akan memberi tahumu.”
Terdengar nada sibuk. Hinata pun mengakhiri panggilan. Ia tersenyum getir. Orang disukainya semasa SMA itu malah bertunangan dengan sahabatnya sendiri. Tapi kini ia tidak sampai hati pada Naruto karena nyaris kehilangan calon istrinya, terlebih Sakura juga adalah orang yang sangat Hinata sayangi. Ia hanya ingin mendukung mereka berdua. Karena itu ia memberanikan diri menelepon Naruto diam-diam untuk memberi tahu keadaan Sakura. Ia tidak begitu paham mengapa ketiga sahabatnya yang lain begitu membenci Naruto, terutama Ino dan Temari.
Hinata pun bergegas keluar dari toilet. Ia bertemu dengan tiga sahabatnya di lobi dan segera angkat kaki dari rumah sakit.
.
.
Sakura duduk tepekur di koridor yang tidak jauh dari ruang inapnya. Ruangan itu dikunci dari luar. Lagi pula ia tidak sanggup melihat tubuhnya sendiri yang berjuang melawan maut itu. Terutama suara statis dari mesin EKG. Itu adalah suara paling mengerikan yang ia dengan seumur hidupnya. Ia pun menutup telinga. “Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau mati!” ia kembali menangis. Tidak tahu harus berbuat apa. Kalau saja ada yang bisa menolongnya.
Kepala Sakura kembali menegak. “Sasuke-kun … Sasuke-kun pasti bisa menyelamatkanku!” Ia lekas berdiri. Memutuskan hendak keluar rumah sakit menemui kekasihnya itu. Ia tidak akan menyerah. Ia tahu ia masih memiliki kesempatan hidup.
Sakura lantas mendengar derap kaki yang berlari. Ia menoleh ke sumber suara. Matanya membulat dua kali lipat. Ia berlari ke arah pemilik derap kaki itu. “Sasuke-kun!” Sakura pun menjatuhkan tubuhnya pada Sasuke, namun hal yang sama terjadi. Sasuke tidak memperhatikannya. Lebih tepatnya, ia tidak menyadari keberadaan Sakura. “Ma-masa?”
Sasuke berlari melewati Sakura yang diam di tempatnya. Ia tiba di depan kamar Sakura dan memutar knop pintu. “Mengapa pintunya dikunci?! Sialan!” Ia menggebrak pintu berkaca itu; menghasilkan suara yang begitu nyaring. Napasnya memburu karena terus berlari dari parkir rumah sakit hingga ke lantai empat, tempat di mana Sakura dirawat. Dahinya ia sandarkan di depan kaca. Ia begitu kesal karena perjuangannya untuk menengok Sakura sia-sia. “Apa … apa yang terjadi dengan Sakura?”
“Sasuke-kun!” Sakura yang emlihatnya terang saja jadi tersedu-sedu. Ia berlari ke arah Sasuke dan merengkuhnya dari belakang. “Kau tidak perlu khawatir! Aku ada di sini!” Namun, tetap saja ucapannya itu dianggap angin lalu oleh Sasuke. Sasuke sendiri menangis dalam diam. Ia pun makin mempererat pelukannya pada Sasuke. “Kumohon sadarlah! Aku ada di sini! Aku membutuhkan pertolonganmu, Sasuke-kun!”
Namun, ratapan Sakura tidak juga digubris oleh Sasuke. Sakura melihat Sasuke yang kemudian menjauh dari pintu. Dia membalikkan badan dan berjalan sempoyongan menuju arah lift. Ia begitu terpukul melihat wajah pedih Sasuke. Sakura pun lunglai ke lantai. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Siapa … siapa yang bisa menyelamatkanku?!”
Beberapa menit Sakura terkurung dalam ratapannya. Sebenarnya banyak orang yang berlalu-lalang di koridor tersebut, namun satu pun tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Kepalanya tertunduk di lututnya yang tertekuk. “Siapa saja … siapa saja tolong aku…. Tidak adakah di antara kalian yang bisa melihatku?”
Eh? Barusan aku mendengar suara Sakura-chan mengomel.”
Kepala Sakura mendongak. “Naruto?” Tiba-tiba ia teringat kejadian beberapa jam lalu. “Apa Naruto bisa menyadari keberadaanku?” Ia berpikir keras. Ia pun teringat di mana Naruto berada, dia menyebutkan jadwalnya hari ini. “Shueisha? Berarti aku harus ke Chiyoda!” Sakura pun berlari keluar rumah sakit. Ia tidak tahu apakah perkiraannya benar, namun ia harus mencari tahu. Sebelum semuanya terlambat….
.
.
“Wajahmu tampak berbeda dari pertama kau sampai di sini.”
Naruto merasakan hawa panas yang menyentuh bahunya. Ia perhatikan Shikamaru menyodorkan segelas kopi.
“Minumlah. Biar kau tidak mengantuk di dalam. Penjurian ini tampaknya bakal alot.”
Naruto pun menerima gelas kopi itu. Ia lontarkan senyuman tipis pada Shikamaru. “Arigatou.”
Mereka lantas memandangi jalan raya dari jendela kaca yang besar di sana.
“Aku mendapat kabar calon istriku terkena serangan jantung. Aku hampir saja akan meninggalkan tempat ini ke rumah sakit.”
Shikamaru tersentak. Hampir saja ia tersedak. “Lalu kenapa kau tidak ke sana?”
“Yang memberiku kabar bilang, dokter berhasil mengatasinya. Untuk hari ini tidak ada yang boleh menjenguk Sakura.”
“Syukurlah.” Shikamaru lalu membalikkan badan, dan menyandarkan punggungnya ke tembok. “Tampaknya akhir-akhir ini kau sering terkena masalah.”
Kedua bahu Naruto terangkat. “Entahlah. Sebenarnya aku sempat berpikir tawaran calon mertuaku. Menyerah dan mencari pengganti Sakura. Namun aku tidak mau menyerah. Setelah ia terbaring beberapa lama di rumah sakit, cintaku padanya malah bertambah besar.”
Shikamaru melirik Naruto sejenak. “Kau luar biasa, Naruto. Kudengar waktu itu dia sedang dalam perjalanan mengunjungi pacarnya ya? Sepertinya dia sama sekali tidak menganggapmu sebagai calon suaminya.”
Naruto tertawa kecil. “Memang. Aku belum bisa memenangkan hatinya. Sakura sangat mencintai Sasuke. Tetapi masalahnya kini tidak berputar di situ lagi. Aku jadi berjalan di tempat yang sama.”
“Kenapa tidak turuti saja penawaran calon mertuamu itu, Naruto? Kau itu mangaka sukses. Pasti banyak perempuan di luar sana yang bertekuk lutut padamu. Menunggu yang tidak pasti itu merepotkan.”
Naruto menyeruput kopinya. “Instingku mengatakan aku belum boleh menyerah.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Menjenguk Sakura setiap hari?”
Naruto menghela napas panjang dan tersenyum lebar. “Seandainya aku diberi kesempatan melakukan hal yang berguna untuk Sakura-chan, aku pasti akan memanfaatkannya dengan sungguh-sungguh.”
Kedua alis Shikamaru terangkat. “Kau ini kan bukan dokter, Naruto.” Ia lantas menepuk-nepuk bahu Naruto dengan perlahan. “Bukan salahmu kalau kau menyerah. Calon mertuamu juga sudah memberimu jalan.” Ia lantas berjalan menjauhi Naruto. “Ayo kita ke ruang rapat. Sasaki-san sudah tiba.”
Naruto pun mengikuti ajakan Shikamaru. “Sayangnya dalam kamusku, tidak ada kata menyerah,” bisiknya sembari tersenyum tipis
.
.
Mobil itu berjalan cepat membelah jalan Shinjuku. Ia beruntung karena jalan di waktu siang sehabis Japan Lunch Time Rush ini begitu lengang. Di dalam sana terdapat dua orang pria berumur kepala enam. Masing-masing sibuk dalam kontemplasinya. Namun yang berbeda, yang satu sedang memikirkan orang lain, dan satu lagi memikirkan nasibnya sendiri di masa depan nanti.
“Kakak, kau tidak bisa seperti ini terus. Apa yang Kakak capai sebelum-sebelumnya akan sia-sia,” ujar Orochimaru memecah keheningan.
Kizashi menarik napas banyak-banyak. “Ya, karena itu aku haru sabar menunggu kesembuhan Sakura.”
“Kau tidak bercanda, kan, Kakak? Kita tidak punya banyak waktu. Dalam hitungan bulan Kakak akan pensiun. Kita juga belum tahu kapan Sakura akan sadar. Selain itu bisa saja kejadian yang tak terduga terjadi, misalnya Sakura mat—”
“Diam, Orochimaru! Kau sama sekali tidak membantuku dengan ocehanmu itu! Mengerti?!”
Orochimaru menggeram dalam hatinya. “Aku sama sekali tidak bermaksud menambah masalah Kakak, tapi Kakak seharusnya membuat rencana lain untuk masa depan perusahaan kita. Mencari pemimpin perusahaan selain Sakura.”
Kizashi melirik Orochimaru sejenak. “Sepertinya kau punya solusi. Coba sebutkan padaku.”
“Kakak tahu harus menghubungi siapa. Aku akan selalu ada untuk Kakak. Kakak adalah saudara angkat yang sudah aku anggap sebagai saudara sendiri.”
Kizashi melirik tangannya yang digenggam Orochimaru. Ia kemudian kembali menoleh ke arah jendela. “Itu bisa jadi solusi terakhir. Kau harus memberiku waktu, Orochimaru.”
“Baiklah. Kalau yang itu Kakak mau,” ujar Orochimaru yang lantas menyeringai.
.
.
“Aku tidak setuju! Kira harus menjadi pemenang utama! Kalian juga lihat hasil karyanya! Dari ide, isi, gambar, semua bagus! Bahkan ceritanya sangat nge-Jump! Sangat bodoh jika dia tidak menjadi juara pertama karena alasan dia baru berumur 15 tahun! Aku jamin kalian akan untung besar jika dia mendapat serialisasi di Weekly Shonen Jump!” Naruto menyampaikan pendapatnya dengan berapi-api. Dahinya dipenuhi keringat. Ia berdiri menantang para juri. Bahkan Sasaki, kepala editor pun ia lawan.
“Sifat pantang menyerahmu memang merepotkan, Naruto,” lirih Shikamaru.
Naruto menatap Shikamaru dengan ekspresi galaknya. “Ini aku lakukan untuk menyelamatkan potensi generasi!”
Shikamaru mendesah panjang; lantas menunjukkan air muka malasnya. Ia mengibaskan tanganya berkali-kali. “Iya … iya…. Kau tidak perlu marah-marah begitu.”
“Bagaimana aku tidak marah?! Mereka menjadikan aku juri, tapi tidak memedulikan rekomendasiku!” kini Naruto menggebrak meja.
.
.
Sakura turun dari taksi berpenumpang yang membawanya ke kantor Shueisha di Chiyoda. Shueisha adalan penerbit terbesar di Jepang yang menerbitkan buku dan komik-komik legenda dalam sejarah, salah satu lininya adalah Shonen Jump. Karya Naruto ada yang diserialisasikan oleh penerbit tersebut.
Beruntung di depan rumah sakit Sakura menemukan seseorang yang menaiki taksi dan berniat menuju ke Shueisha. Tanpa pikir panjang ia masuk ke dalam taksi dan duduk di sebelah penumpang tersebut.
Kini Sakura berlari melewati lorong demi lorong. Ia memanfaatkan petunjuk yang terpampang di setiap pertigaan lorong di dalam kantor tersebut untuk mencapai kantor redaksi Shonen Jump. Dari ucapan Naruto tadi pagi, Sakura yakin dia sedang ada di sana.
Sampai di kantor redaksinya Sakura memasuki satu demi satu ruangan yang ada di sana. Ia memasuki ruangan kosong untuk ketiga kalinya. Lantas di ruangan keempat.
.
.
Di dalam ruangan itu masih terjadi adu argumen yang cukup membuat pusing tujuh keliling.
“Kita masih bisa membuatnya jadi juara favorit. Lagi pula dengan tidak menjadi pertama ia masih bisa mengasah kemampuannya. Kira baru bisa serialisasi pada saat dia lulus SMA.” Dalam keadaan panas itu, untungnya si kepala editor, Sasaki, masih bisa bersikap tenang.
Namun, tetap saja Naruto tidak mau kalah. “Tidak bisa! Aku tahu kalau Kira mendapatkan serialisasi, ia akan kesulitan melakukannya karena masih sekolah, tapi kalian harus memikirkannya! Kalian mengadakan kompetisi ini untuk mencari potensi, kan?! Coba beri tahu aku alasan selain umurnya yang terlampau muda—yang tidak bisa menjadikannya juara pertama! Aku paling tidak suka dengan alasan itu! Lagi pula kalian juga tidak menentukan syarat umur peserta—”
“Naruto!”
Tiba-tiba Naruto mematung. Ia memandang ke arah pintu. Suara itu tidak asing di telinganya. Matanya membesar. Mulutnya menganga. Kertas yang ia genggam terlepas dari tangannya. “Sakura-chan?!”
Para juri yang ada di ruangan itu tentu saja tersentak dan ikut Naruto, memandang ke arah pintu, namun mereka tidak menemukan apa-apa di sana.
Shikamaru terkikih geli. “Haah, Naruto. Sepertinya kau mulai gila, ya. Tidak ada siapa-siapa di sana.”
Mata Sakura berbinar. Ia lantas mendekat ke arah Naruto. “Syukurlah! Ternyata memang benar! Kau bisa melihatku, Naruto! Ada yang ingin aku bicarakan!”
Naruto mundur beberapa langkah sampai punggungnya membentur dinding di belakangnya. “Tidak mungkin. Tadi Hinata bilang kau dalam keadaan kritis. Hinata tidak mungkin berbohong. Kau tidak mungkin sembuh secepat ini….” Keringat yang bergerumul di dahinya kini berubah dingin. Sepertinya ia bisa pingsan kapan saja,
“Dengar, Naruto! Aku butuh bantuanmu—”
“Ha-hantu!” Naruto pun berlari keluar ruangan. Ia berlari dengan kikuk. Beberapa kali menyenggol benda-benda mati yang dilewatinya.
“Naruto! Kau harus mendengarkan penjelasanku dulu!” Sakura pun mengejarnya keluar.
Sementara para juri di ruangan tersebut terdiam melihat sikap aneh Naruto. Mereka saling pandang satu sama lain.
“Ada apa dengannya?” tanya Sasaki pada Shikamaru dengan wajah bingung.
Shikamaru hanya bisa nyengir. “Sepertinya ia sedang stres dan barusan adalah puncaknya.”

Bersambung….



           
           
           


Share:

0 komentar