Naruto Fanfiksi: The Time Travel Chapter 4


The Time Travel
Naruto belong to Masashi Kishimoto
Warning: Rated T. Tragedy/Hurt/Comfort. Sequel from I Failed You. Semi Canon. Alternate Reality.
Pairing: Naruto dan Sakura.
Based on the song “In Heaven by JYJ”
Well, makasih banyak buat para pembaca, yang udah favoritin dan alert, dan juga para reviewers. Thanks a lot :D. Maaf lama banget update-nya. Saya lagi mulai skripsi. Mohon doanya semoga lancar hehehe ^^.
Oke, selamat membaca ^^
Summary : Haruno Sakura yang meregang nyawa, mendapat tawaran dari Kyuubi kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya yang telah membiarkan Naruto mati karena luka yang dideritanya. Kyuubi merasa punya hutang budi pada Naruto yang telah menjadi host-nya selama hampir 20 tahun. Ia pun membawa Sakura ke zaman Perang Dunia Shinobi Keempat. Mencari tahu penyebab Naruto memiliki luka dalam yang serius yang sampai membuatnya mati.
.
“Eh? Apa yang kaukatakan, Naruto?” tanya Shima.
“Aku menyerah.” Naruto menegaskan suaranya.
Uzumaki Naruto tidak pernah menyerah, pernyataan itu sepertinya sudah tidak berlaku lagi untuknya.
.
.
Chapter 4
Sayonara
.
I can’t say those words.
I really can’t, as much as you were by my side
I’m sorry but I can’t, everything comes shaking back to me now
By waiting a little more, by wandering through my dreams
I’m afraid I will close my eyes inside of you
(JYJ – In Heaven)
.
Delapan bulan setelah insiden di rumah sakit….
“Hei, Naruto.”
“Ah, Sakura. Lama tak jumpa.”
Dia bukan ‘Sakura-chan’ lagi untuknya, kini dia adalah orang lain bagi Hokage Keenam itu.
Begitu teganya Naruto melupakan Sakura yang selama belasan tahun menjadi sahabat baiknya. Sakura tentu saja ditikam kecewa.
“Ya, akhir-akhir ini kau tampaknya sibuk, Naruto. Aku jarang melihatmu,” Sakura menggigit bibirnya sendiri. Ia betul-betul tak mengenali lagi sosok yang kini tengah berdiri di depannya.
Naruto mengangguk. “Belakangan ini aku sibuk melakukan pertemuan dengan Kage-kage dari desa ninja yang lain. Ya, sangat membosankan sih, tapi aku berusaha menikmatinya.” Hanya senyuman kecil yang ia berikan pada Sakura, tak ada lagi cengiran konyol khasnya yang biasa ia ulaskan. Tak ada lagi senyuman penuh semangat itu. Ia kini menjadi seonggok daging yang dingin.
Namun Sakura sangat tahu, hanya di penglihatannya saja Naruto bersikap seperti itu; hanya di depan Sakura saja dia begitu…. “Kita sudah punya kesibukan masing-masing, ya?”
“Apa yang kau ingin bicarakan padaku, Sakura?” tanya Naruto kemudian tak mengindahkan pertanyaan Sakura.
Sakura terang saja terkesiap. Ya, memang ia yang meminta Naruto untuk bertemu di sini. Di sebuah jembatan yang dulu sering mereka jadikan tempat menunggu kedatangan Kakashi-sensei—yang selalu saja datang terlambat. Ia meminta Naruto bertemu karena ia ingin meminta sebuah jawaban dari rasa penasarannya yang menggunung.
Kau mengetahuinya? Naruto telah menjauhi Sakura selama hampir delapan bulan lamanya.
“Maaf, aku tidak punya banyak waktu. Setelah ini ada rapat dengan dewan petinggi Konoha, tolong dipercepat. Apa yang ingin kaubicarakan padaku?” ucap Naruto datar, tanpa pahatan emosi di wajahnya. Ia kemudian mengalihkan matanya memandang ke aliran sungai di bawah jembatan ini. Sungai tersebut begitu tenang tanpa riak-riak yang selalu ganas membawa alirannya cepat ke hulu.
Tapi tidak begitu dengan hati Sakura yang diselimuti gelisah. Betapa ia sangat merindukan cara bicara Naruto yang menggebu-gebu; penuh semangat setiap waktu. Kemanakah ciri khasnya itu sekarang?
“A-aku hanya ingin membicarakan tentang kita,” lirih Sakura pada akhirnya.
“Kita? Maksudmu?” begitu dingin, begitu kaku Naruto menjawab pertanyaan Sakura.
Sakura jadi bingung sendiri. Sebenarnya siapakah wujud yang sedang berbicara dengannya saat ini. Naruto atau Sasuke-kun?
“Kau … kau masih menganggapku sebagai sahabatmu, Naruto?” akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari bibir Sakura yang semakin membiru. Tak ada hubungannya dengan cuaca hari ini. Suasananya saja yang membuatnya menggigil begini.
Bisa Sakura lihat sorot mata Naruto sedikit melebar ketika kata-kata itu terlempar dari bibirnya. Hokage Keenam itu memandangi Sakura dengan tatapan yang sulit untuk dibaca. Entah marah, terkejut, atau takut. Tapi ya sudahlah, yang Sakura bisa lakukan hanyalah menunggu jawaban dari Naruto saja, namun ditunggu beberapa detik Naruto hanya diam seribu bahasa.
“Naruto … kau marah padaku?” sudah cukup! Sakura akan memancing Naruto untuk bicara sekarang.
“Untuk apa aku marah padamu, Sakura?”
Sakura jadi geram; ingin menjitak Naruto tepat di kepala.
Apa Naruto tak menyadarinya? Ia menjauhi Sakura! Ia tak banyak bicara pada murid kesayangan Tsunade itu semenjak diangkat menjadi Hokage. Dan itu sudah berlangsung delapan bulan lamanya! Bayangkan delapan bulan lamanya dia tak berkomunikasi dengan Sakura. Naruto selalu langsung pergi dari pandangan Sakura ketika mereka nyaris bertegur sapa. Maka dari itu mengobrol saja tidak pernah.
Sasuke, Ino, Kakashi-sensei, dan anggota rookie 12 yang lain—yang kini telah beranjak dewasa—pun menyadari perubahan sikap Naruto terhadap Sakura.
Dan kini Naruto bertanya ‘untuk apa aku marah padamu?’. Sakura sekali lagi jadi tak mengerti. Jika dibandingkan dengan Sasuke-kun, ternyata Naruto adalah orang yang lebih sulit ditebak. Dia selalu berhasil menggunakan topengnya untuk menyembunyikan perasaannya. Sakura baru menyadarinya … dibandingkan dengan dirinya yang senang melontarkan senyuman palsu, tapi bahasa tubuhnya; dengan bahasa tubuhnya, Naruto mampu mengelabui semua orang.
Sakura menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah, Naruto, aku langsung ke inti permasalahan saja kalau begitu. Aku merasa kau menjauhiku. Aku merasa kau tidak menganggapku sebagai orang yang penting dalam hidupmu lagi. Kau tidak lagi memanggilku dengan sebutan Sakura-chan. Kenapa?”
Sakura memanjatkan doa dalam hati, Aku mohon. Aku mohon jawab pertanyaanku dengan jujur, Naruto.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sibuk dengan pekerjaanku. Kau pasti tahu, Sakura, tugas sebagai Hokage bukanlah mudah.”
“Ta-tapi, Naruto, a-aku merasa kalau kau menghilang dari hidupku. Kau bahkan tidak pernah ikut berkumpul dengan Tim Tujuh semenjak kau menjadi Hokage setahun yang lalu. Apakah kau sesibuk itu? Kakashi-sensei, Sasuke-kun selalu menantikan kehadiranmu. Begitu juga dengan aku, Naruto,” ucap Sakura yang berusaha bersikap jujur terhadap sosok dingin di depannya ini.
Sakura memperhatikan raut wajah Naruto setelah itu. Bisa ia lihat tampak urat nadinya menegang di sekitar pelipis.
“Kau menantikan diriku, Sakura?” tanya Naruto dengan raut yang lagi-lagi sulit dibaca.
Tapi Sakura tidak mempedulikan hal itu; pipinya mulai merona merah. “Tentu saja, Naruto.”
“Untuk apa? Aku telah menepati janjiku membawa Sasuke pulang kepadamu. Apa yang kaunantikan dari diriku?”
Sakura kontan mendongakkan kepalanya menatap Naruto. Tak dinyana Hokage Keenam itu bertanya perihal yang cukup mencengangkan.
Akal sehat Sakura pun mulai memainkan perannya. “Na-naruto … a-aku tahu aku sering menyakiti perasaanmu. Aku … aku baru menyadari bahwa kau sangat berarti bagiku. Aku tahu ini terlambat, tapi aku berharap kau bisa memaafkanku,” entah mengapa ia jadi tergagap-gagap.
Kau tidak akan menyadari seseorang itu sangat berharga bagimu sampai dia meninggalkanmu. Kata-kata bijak itu, begitu menusuk dalam ke ruang kalbu Sakura. Ia telah terkena karma-Nya.
“Untuk apa kau meminta maaf padaku, Sakura? Aku tak pernah marah padamu. Aku hanya….”
“Ha-hanya apa, Naruto,” belum usai Naruto berbicara, Sakura malah memotongnya. Sedikit lagi, sedikit lagi ia akan menjawab rasa penasaranku.
“Aku hanya ingin memenuhi keinginanmu saja.”
Sakura nyaris lunglai ke tanah. Jawaban apa itu? Tidak jelas apa intinya. “Aku tak mengerti apa yang kau maksud, Naruto. Keinginanku?” ia benar-benar tidak paham apa yang barusan Naruto uraikan.
Apakah yang Naruto maksud adalah janji seumur hidupnya pada Sakura dulu? Tapi bukankah dia berhasil melakukannya? Seingat Sakura, ia tak pernah meminta hal apa pun padanya setelah itu.  
Lantas tiba-tiba, “Aku sudah menyerah; aku sudah merelakanmu untuk Sasuke.”
“A-apa?!” teriak Sakura. Lagi-lagi tak menduga jawaban Naruto seperti itu.
Tak ada kepedihan yang Sakura lihat di matanya. Naruto tampak lega mengatakan hal itu. Tapi dari gerak-geriknya Sakura bisa menangkap bahwa masih ada lagi yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu.
“Ketika kau memiliki mimpi. Kau akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai mimpi itu kan, Sakura? Aku … aku memiliki dua mimpi besar dalam hidupku: pertama aku ingin menjadi Hokage, kedua aku ingin kau menjadi pendamping hidupku.”
Sakura merinding mendengar pernyataan Naruto. Selama ini memang mereka selalu berbagi kisah satu sama lain tentang masalah yang dimiliki. Tapi Naruto tidak pernah sejujur ini menyatakan perasaannya pada Sakura. Lagi-lagi Sakura tak pernah bisa menebak pikiran sahabat satu timnya itu.
“Namun aku mengerti tak semua mimpi kita dapat kita capai….”
Sakura pun menunduk; tak berani menatap wajah Naruto. 
“Ada kalanya kau harus menyerah untuk meraih mimpimu yang lain….”
Maksudnya dia tidak mencintaiku lagi?
“Pada akhirnya aku telah menjadi Hokage, karena itu aku hanya fokus di situ saja.”
Kenapa kau menyerah, Naruto? Harusnya kau berusaha lebih keras lagi! batin Sakura dalam hati.
“Karena aku mengerti, mendapatkan cintamu adalah hal yang mustahil.”
“Naruto, aku-aku tahu aku terlambat menyadari perasaanku terhadapmu. Sungguh, aku … aku merindukan segalanya tentangmu, senyummu, tawamu. Dan—”
“Sakura, kesabaranku telah habis dimakan waktu. Aku tidak akan menampiknya; aku mengerti di matamu hanya ada Sasuke seorang. Karena itu aku menyerah….”
Kesabarannya telah habis? Ataukah aku yang terlalu egois? “Naruto, aku dan Sasuke tidak ada hubungan apa-apa! Kami hanya berteman biasa,” volume suara Sakura naik dua tingkat. Entah mengapa ia jadi berdebat seperti ini dengan Naruto, padahal ia ingin menyatukan kembali tali hubungan mereka yang meregang.
Mendengar pernyataan Sakura, Naruto malah tampak bingung. “Kenapa kau menyerah begitu saja, Sakura? Sasuke sudah memberi kesempatan kepadamu. Kau tak seharusnya menyia-nyiakannya.”
Tahu dari mana aku menyerah juga untuk Sasuke-kun? “Tapi—”
“Kau membenciku, Sakura,” ucap Naruto menginterupsi kalimat Sakura.
“Eh?”
“Kau bilang orang yang paling kau benci adalah diriku. Bagaimana kau bisa mencintai orang yang kau benci?”
“Aku tidak pernah berkata seperti itu padamu…,” Sakura mulai gelagapan. Kenapa Naruto berkata seperti itu. Demi Tuhan, aku tidak pernah berkata seperti itu padanya. Atau ada sesuatu yang tidak aku ingat?
“Kauingat saat pertama kali perkenalan Tim Tujuh? Kakashi-sensei menanyakan pada kita apa saja sesuatu yang kita suka dan benci.”
Sakura berusaha membuka kembali kotak memorinya pada waktu itu—yang nyaris usang. Matanya langsung membulat; ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Menatap Naruto dengan lara di dada. Ia mengingat peristiwa yang Naruto maksud.
“Kau bilang yang paling kau benci di dunia ini adalah … aku,” sambung Naruto sembari tersenyum getir.
Bisa Sakura rasakan suhu di dalam tubuhnya merangkak naik. Ia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Kenapa ia membahas hal yang sudah lama terjadi itu? Aku pikir ia tidak pernah mempermasalahkannya. “Ja-jadi kau membenciku, Naruto? Naruto saat itu aku tak mengerti apa-apa. Aku tak bermaksud berkata seperti itu padamu!” serunya membela diri.
“Aku mengerti, Sakura. Sudah kubilang tadi aku tidak marah padamu, apalagi membencimu. Membencimu adalah hal tersulit bagiku.”
“Naruto….”
Karena Naruto selalu bersembunyi di balik topeng wajahnya. Tak kusangka ia yang Sakura kenal begitu tegar, ternyata….
“Bagaimana juga kau bisa mencintai orang yang tidak kauanggap eksis di depan matamu?”
Sakura menggigit bibirnya sendiri. Menatap Naruto dengan perasaan cemas di hati. Apalagi yang ingin ia katakan?  
“Dulu aku, kau, dan Sasuke selalu bersama-sama … tapi matamu selalu saja tertuju pada Sasuke. Aku seperti selalu berada di belakang punggungmu, walau kenyataannya aku berdiri di samping Sasuke.”
“He-hentikan!” Sakura jadi ingin pergi saja dari tempat itu.
“Bagaimana kau bisa mencintai orang yang selalu menyakitimu? Kau menyerah untuk Sasuke karena dia selalu menyakitimu, kan? Begitu juga dengan aku….”
Sakura serasa ditampar bolak-balik di dua pipi. “Naruto, maaf—”
“Aku telah memaafkanmu sejak lama, Sakura. Semua orang yang menyakitiku … aku telah memaafkan mereka,” ucapnya tersenyum paksa.
Sakura pun bergeming, ia jadi menyesal mengapa tadi meminta Naruto untuk berkata jujur. Dan ternyata kejujuran itu memang menyakitkan.
“Tapi tentu saja aku tidak bisa melupakannya,” lanjut Naruto. 
Sakura kian menundukkan kepalanya. Termaafkan tapi tidak terlupakan … Sakura mengerti apa yang Naruto maksud. Aku tak akan memaksanya lagi; dia telah menolakku….
“Jadi biarkan aku pergi dari hidupmu….”
Tidak! Aku tidak mau hal itu terjadi! Kalau kau memaafkanku kenapa kau ingin menjauh dariku? Ingin Sakura katakan kalimat itu padanya. Tapi entah mengapa bibirnya menjadi kelu … ia malah menangis tersedu-sedu.
Kemudian Naruto mendekat pada Sakura; menghapus airmatanya, mengangkat dagu perempuan yang dicintainya itu, lalu ia mengecup pelan bibirnya yang membiru.
Dan Sakura tidak bisa menikmati sentuhan bibir Naruto yang hangat karena ia melepas buaiannya begitu cepat. Ada keanehan yang langsung menerpa Sakura. Naruto begitu pucat.
“Jangan menangis, Sakura-chan. Aku tidak mau kesakithatian menggerogoti kita lebih lama. Tak ada yang harus di ubah. Kau … adalah malaikat yang membuat hatiku patah, namun untungnya kau adalah malaikat, maka dari itu aku selalu merasa beruntung pernah mencintaimu. ”
Dia memanggilku, ‘Sakura-chan’. Dia memanggilku ‘Sakura-chan’ untuk terakhir kalinya….
“Karena semuanya telah terjadi … tidak ada yang bisa diubah.”
Cahaya kuning kemudian mengeliling mereka. Sakura tak begitu fokus, sehingga tak menyadari jika Naruto telah menghilang ketika cahaya kuning itu lipur dari pandangannya. “Na-naruto!” Aku menyadari dia telah pergi. Aku menyadari bahwa aku telah kehilangan dirinya yang kucinta…. Tubuh Sakura lunglai ke tanah, kedua tangannya menyentuh permukaannya yang kasar. Dia menolakku, dan itu lebih menyakitkan dibandingkan ketika Sasuke menolakku berkali-kali.
v   

Naruto sunshin ke ruangan kerjanya di Menara Hokage. Ia lalu terduduk di kursi kebanggaannya. Nafasnya memburu; tiba-tiba ada rasa sakit muncul di dada kirinya, ia pun mengusapnya. “Harus diakhiri … semuanya harus diakhiri dengan indah.”
HOEK!
Dan tiba-tiba darah segar keluar dari mulutnya. Ia pun terjungkal ke lantai.
v   
Sementara Sakura masih menunduk di tempat yang sama. Ia sama sekali tak mampu untuk bangkit. Baginya untaian kata manis yang Naruto utarakan itu begitu membuatnya sakit. Membuat sakit jiwa dan raganya. “Ke-kenapa jadinya malah seperti ini?”
Kemudian tanpa Sakura sadari, angin kuat menghantam tubuhnya hingga goyah. Tebaran dedaunan mengitarinya; membuyarkan ia yang sedang meratap. Ia menatap dedaunan itu lekat-lekat, dan matanya menangkap pemandangan yang tak disangka-sangka. Sebuah potongan-potongan acak sebuah peristiwa muncul satu per satu dalam benaknya. Ia membuka matanya lebar-lebar.
Darah.
Menara Hokage.
Naruto.
Kemudian pekikan suara yang tak ia kenal membuyarkan lamunan Sakura. “Selamatkan dia, Sakura. Sekarang!”
Maka Sakura pun segera mengambil langkah seribu. Pergi dari pijakannya. Kakinya seolah-olah melaju sendiri tanpa diberi perintah, namun ia tak menghentikannya, karena hatinya berkata sama.
Sakura terus berlari dan berlari. Hingga ia tiba di depan Menara Hokage, ia berhenti mengatur nafasnya sejenak. Ia pun lantas memilih melompati setiap atap menara yang bertingkat-tingkat itu untuk mencapai ruang Hokage. Buru-buru ia buka pintu jendelanya, ia pun terhenyak dengan apa yang ia temukan. “Naruto!”
Segera Sakura masuk ke dalam. Ia memekik histeris ketika didapatinya Naruto tergeletak di lantai tak sadarkan diri dengan mulut dipenuhi dengan darah pekat. “A-apa yang terjadi?!” ia pun menjadi panik, dan tak tahu harus melakukan apa. Saking terkejutnya ia lupa bahwa ia adalah seorang ninja medis.
Sakura pun menghela nafas panjang, meski ia kesulitan untuk membendung tangisannya, ia berusaha untuk tenang. Ia lalu memeriksa keadaan Naruto dengan shousen no jutsu. Matanya membulat sebesar telur puyuh ketika menemukan hal yang tak diduganya. “Nafasnya berhenti….”
Bersambung.

Share:

0 komentar