Fanfic Naruto : Shinjitsu no Uta Chapter 2


Shinjitsu no Uta
Naruto © Masashi Kishimoto
Thousand Night Love Song © Chieko Hara
Warning: AU. Rated T. OOC. Typos. Multichapters. Adventure/Romance.
Pairing: Sasuke dan Hinata.
.
Ah, tapi ia tidak perlu berpikiran seperti itu lagi. Hinata menyadari kalau kini ia telah dibuang oleh ayahnya sendiri. Berharap mendapat kehidupan yang layak di sini, Hinata tidak tahu apa itu akan bisa terwujud. Semoga saja hari ini adalah hari terakhir ia diperlakukan kasar seperti ini oleh orang yang akan ia layani itu.
Sasuke begitu kelewat kasar pada ibunya, pasti telah terjadi suatu konflik di kerajaan yang megah ini.
Dan Hinata tidak mau terlibat dalam masalah mereka…
.
.
Chapter 2
Rahasia Kerajaan
.
.
Pagi yang indah. Kawanan burung bersahut-sahutan menyambutnya. Bergerombol mencari makan atau sekadar bernyanyi bersama-sama di tangan-tangan kecil pohon plum. Mensyukuri hari yang sayang untuk dilewatkan dengan hanya berdiam diri. Mereka bernyanyi sesuka hati tanpa ada pemangsa yang mengganggu aktivitas mereka. Siapa takut. Tak ada yang bisa menghalangi mereka bersukaria.
Setidaknya kawanan burung itu memiliki kebebasan mutlak yang tidak dimiliki oleh Hinata.
Hinata sudah bangun dari pagi sekali. Tapi ia enggan keluar kamar sampai suatu saat nanti ada yang memintanya untuk keluar. Di rumahnya saja kadang ia merasa terasing, apalagi di rumah orang lain?
Dia takut akan dijadikan apa nanti ia di istana megah milik Uchiha ini. Kabarnya masih simpang siur ternyata.
Menjadi istri Pangeran Sasuke? Jujur saja ia takut, karena sikap Sasuke tampak kasar. Menjadi pelayannya? Bukankah dia adalah seorang putri? Malang sekali nasibnya jika langsung banting setir seperti itu. Terlebih kedua pilihan itu tak ada yang baik. Dan ia hanya dihadapkan dengan dua pilihan itu.
Kalau saja ibunya masih hidup, mungkin saja bisa menahannya agar tak pergi dari rumah. Sebagai seorang putri yang terbuang, ia merasa kosong, tak memiliki apa-apa. Ingin sekali ia seperti burung-burung di luar, terbang bebas dan bisa memilih jalan hidupnya sendiri dengan leluasa.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu.
“Hinata-sama, apakah Anda sudah bangun?”
‘Dari suaranya ini pasti Genma,’ tukas Hinata dalam hati. Ia pun segera beranjak menuju pintu dan membukanya.
“Selamat pagi, Hinata-sama. Mikoto-sama meminta Anda untuk sarapan pagi bersama. Beliau telah menunggu di ruang makan.”
“B-Baiklah. Terima k-kasih, Genma. Sebentar l-lagi aku akan ke s-sana.”
“Saya akan mengantar Anda ke ruang makan, pasti Anda belum tahu jalannya.”
Hinata hanya mengangguk sembari tersenyum kecil. Dia bersyukur pelayan kerajaan itu sangat ramah padanya. Setidaknya ia menemukan satu lagi orang kerajaan yang ramah padanya selain Ratu Mikoto.
“Lewat sini, Putri.”
Sesampainya di ruang makan…
Terlihat Mikoto sedang duduk di ruang makan, beberapa pelayan sedang menyiapkan santapan pagi dengan hati-hati. Takut-takut membuat kesalahan dan kena semprot majikannya. Itulah yang dapat Hinata tangkap dari wajah-wajah cemas para pesuruh kerajaan, sepertinya Ratu Mikoto sangat disegani oleh penghuni kerajaan Uchiha ini.
Mata onyx sang ratu akhirnya tertuju pada seorang putri yang baru saja tiba di tempat itu. “Ah, Hinata. Ohayou gozamaisu,” ujarnya tersenyum.
Hinata menundukkan kepalanya. “O-Ohayou gozaimasu. M-Maaf saya sedikit terlambat.”
“Tidak apa-apa, Hinata. Aku juga belum sarapan, hidangannya masih disiapkan. Silakan duduk.”
Hinata—dengan tampak malu-malu—pun duduk di meja makan yang sangat luas sekali ukurannya, cukup untuk sepuluh orang. Sayang, yang makan pada saat itu mungkin hanya ia dan ratu kerajaan Uchiha saja. Hinata memilih tempat duduk di sebelah kiri ratu yang sangat cantik itu, tak berani duduk di depannya persis karena dia telah diajarkan oleh ayahnya, hal itu tidaklah sopan. Sementara Mikoto duduk di kursi utama yang biasa dipakai oleh raja, apa boleh buat raja sedang tak ada di istana.
“Oh ya, Genma. Mana Sasuke?” tanya Mikoto pada pelayannya itu yang berdiri di belakang Hinata. Sudah jadi tradisi kerajaan Uchiha, jika para pelayan harus menunggui tuannya makan hingga selesai.
Airmuka Genma seketika berubah. “Tuan Muda tadi saya lihat keluar istana pagi-pagi sekali, Mikoto-sama. Tapi saya tidak tahu beliau pergi kemana, saya tanya beliau malah membentak saya.”
Mikoto menghembuskan nafas kuat-kuat. “Anak itu semakin lama, semakin tak punya sopan santun saja. Ya, sudahlah, kita makan duluan saja, Hinata. Sasuke nanti bisa menyusul.”
Hinata hanya menjawabnya dengan anggukan. Dia pun menyantap hidangan yang telah tersedia. Namun di otaknya kini sedang mereka-reka apa yang sedang dilakukan Sasuke pagi-pagi meninggalkan istananya.
“Bagaimana Hinata menurutmu, masakannya enak?” tiba-tiba Mikoto mengajaknya ngobrol di tengah-tengah santapan pagi itu.
Hinata menelan makanan di mulutnya buru-buru, takut-takut tersedak jika ia bicara dengan mulut yang isinya penuh. “Ya, M-Mikoto-sama. M-Masakannya enak sekali. Mungkin m-masakan t-terlezat yang pernah saya santap,” ujar Hinata merendah.
“Ah, kamu bisa saja, Hinata. Semua makanan ini dibuat dengan resepku sendiri lho. Ya, tapi para pelayan juga membantu. Kubuat khusus untuk meyambut kedatanganmu di kerajaan ini.”
Putri dari kerajaan Hyuuga itu sontak terkejut mendengarnya. Dia merasa terlalu diberi sambutan spesial, “T-Terima kasih banyak, Mikoto-sama. P-Padahal saya hanya tamu biasa di sini. S-Saya merasa tersanjung.”
“Tidak apa-apa, lagipula sekalian untuk Sasuke.”
Mereka pun akhirnya membicarakan banyak hal, hanya saja Hinata belum bisa terbuka pada Mikoto. Ia sedikit membatasi diri dalam obrolan, ada beberapa hal yang enggan ia ungkapkan menyangkut keluarganya sendiri. Baginya Mikoto adalah orang asing yang baru saja memasuki kehidupannya kemarin, karena itu ia tidak mau membuka aib. Terlebih yang ditanyakan Mikoto rata-rata hal yang lumayan sensitif. Ratu Uchiha itu tampaknya senang mengulik-ulik urusan orang lain.
“Oh ya, Hinata. Mungkin ini agak lancang. Tapi apakah dari dulu cara bicaramu terbata-bata seperti itu?”
Hinata nyaris tersedak mendengarnya. “A-Ah?” Ia lalu buru-buru minum air untuk menghilangkan kegugupannya. “B-Bagaimana m-menjelaskannya ya? Saya juga t-tidak terlalu mengerti, d-dari kecil c-cara bicara s-saya sudah s-seperti ini,” ujarnya sedikit jengah.
“Mungkin karena kebiasaan, tapi pasti hal itu dapat disembuhkan. Sayang sekali, gadis secantikmu sedikit tak lancar dalam berbicara. Padahal tak ada yang salah kan dengan pita suaramu?”
Frontal memang, tapi Hinata berusaha menjawab pertanyaan Mikoto sesopan mungkin. “A-Ayah pern-nah memeriksanya, tapi t-tak ada masalah dengan pi-pita suara saya. S-saya memang agak pe-pendiam.”
“Kalau begitu keadaannya, aku akan sering mengajakmu bicara. Siapa tahu kebiasaanmu itu bakal berubah,” sahut Mikoto sembari mengelap bibirnya dengan sapu tangan yang telah disediakan.
“Te-Terima kasih a-atas perhatiannya, M-Mikoto-sama.”
“Tak perlu sungkan, aku dulu juga begitu. Yang penting harus ada niat untuk berubah,” ujar Mikoto sembari tersenyum. Kini ia mengubah lagi topik pembicaraan. “Kudengar anggota kerajaan Hyuuga sangat hebat dalam memanah. Apa kau juga diajari memanah oleh ayahmu?”
Gadis berambut ungu kebiru-biruan itu menegak air di dalam gelasnya perlahan-lahan. Hidangannya telah ia habiskan rupanya. Yang lebih penting, pembicaraan dengan topik ini tak terlalu menurunkan rasa percaya dirinya. “Y-Ya, saya diajari sedari kecil. A-Ayah dan Mendiang Ibu j-juga sering membawa saya b-berburu di hutan. T-Tapi kemampuan memanah s-saya tak sehebat Ayah, Mendiang Ibu, Kak Neji, dan adik saya Hanabi.”
“Ah ya, waktu masa perang antara kerajaan selatan dan utara, kerajaan Hyuuga sangat membantu sekali dalam memenangkan peperangan. Tapi yang tak kusangka mereka juga mengajarkan ilmu memanah pada anak-anak perempuannya.”
Hinata tersenyum simpul. “M-Memang benar, M-Mikoto-sama. P-Perempuan-perempuan di kerajaan Hyugga di-diajarkan memanah se-sekadar untuk menjaga di-diri.” Ah, ia jadi mengingat ‘kejadian’ yang ingin dilupakannya.
Hinata yang dipandang sebelah mata oleh ayahnya sendiri. Ia tak mengerti, padahal kerajaannya tidak terlalu patrialis dalam menjalankan fungsi-fungsi dalam istana. Perempuan tak terlalu dikekang. Namun entah mengapa, ayahnya terlalu mengekang dirinya, dan ia dibatasi untuk berinteraksi dengan dunia luar. Berburu dengan panah atau latihan memanah saja sering dilarang; meski Hinata pernah melakukannya secara diam-diam. Hal itu terjadi semenjak ibunya meninggal dunia.
“Bicara tentang laki-laki, aku jadi rindu pada suamiku dan Itachi. Aku sudah lama sekali tak mengunjungi tempat peristirahatannya. Dan Itachi juga sudah lama tidak pernah main ke sini,” ujar Mikoto sembari mengelap bibirnya, ia juga telah selesai dengan hidangannya. Namun sepertinya ia belum ada niat untuk beranjak dari sana.
“I-Itachi?” sahut Hinata tiba-tiba. Ia merasa asing dengan nama itu. Dia pikir anggota keluarga Uchiha hanya Raja Fugaku, Ratu Mikoto, dan Pangeran Sasuke saja.
“Ah ya, kau tak tahu kalau aku memiliki dua orang putra, Itachi adalah putra sulungku, kakaknya Sasuke.”
Untuk hal itu Hinata sama sekali tak mengetahuinya. “K-Kalau saya b-boleh tahu kemana Itachi-san s-sekarang?”
“Aturan kerajaan ini sangat ketat, Hinata. Itachi menikahi seorang gadis sipil yang dicintainya, gelar pangerannya pun dicabut. Sekarang ia tinggal bersama istrinya. Mereka sudah memiliki satu anak laki-laki, tampaknya mereka sangat bahagia,” jelas Mikoto yang tiba-tiba menundukkan kepalanya.
Ada yang bisa Hinata lihat dari wajah sendu itu. Kesepian. Selain beban berat yang dipikul sendiri di pundak seorang wanita yang mengharapkan perhatian, karena memimpin sebuah kerajaan tidaklah gampang. Ah, padahal dia begitu terlihat sempurna. Tapi memang betul petuah yang mengatakan tak ada yang sempurna di dunia ini. Semuanya memiliki jalannya masing-masing. Hinata merasa senasib, ia mengerti akan perasaan Mikoto. Mikoto adalah cerminan dirinya. Ia juga sangat kesepian, meski kesepian yang dirasakan oleh mereka masing-masing ada dalam konteks yang berbeda.
“Makanya aku sangat berharap, suatu saat nanti Sasuke menikah dengan seorang putri dari kerajaan. Biar tidak keluar dari kerajaan ini.”
Ya, cukup jelas apa masalah yang sedang dihadapi oleh kerajaan Uchiha ini. Meski belum transparan seluruhnya. Lagipula ini masalah keluarga, Hinata juga tak mau ikut campur di dalamnya. Ia hanya berharap dapat tinggal di lingkungan yang tenang, di rumahnya sendiri dulu dia tidak pernah merasa tenang. Kalaupun ia nanti dijodohkan dengan Sasuke kelak, bolehkah ia menolaknya? Karena pertama kali melihat perangai Sasuke yang sangat buruk, perasaannya menjadi tak enak sama sekali.
“Ahahaha! Sasuke-sama…!”
“Berhenti, Sasuke-sama…geli!”
“Hahaha, ayo! Kita ke kamarku sekarang ya, Wanita-wanita cantik!”
Terdengar suara ribut tak jauh dari ruang makan. Hinata dan Mikoto langsung melihat ke direksi itu.
“Ada apa, ya ribut-ribut? Genma, tolong kau lihat ke sana. Tampaknya aku kenal suara itu, apa jangan-jangan Sasuke?” Perintah Mikoto pada Genma yang berdiri tak jauh di belakangnya.
Tak lama orang-orang yang mengeluarkan suara ribut tadi lewat di depan jalan menuju ruang makan. Hinata dan Mikoto tersentak melihatnya. Terutama Mikoto yang gerakan matanya tampak gelisah, ia terlihat jengah dengan pemandangan yang ada di depannya. Jengah pada Hinata.
“Sasuke, siapa wanita-wanita itu?!” teriak Mikoto yang terlihat marah. Apalagi tampak sekali wanita-wanita itu umurnya lebih tua dari Sasuke.
“Ah, kau rupanya. Kenapa menatapku seperti itu? Bukankah harusnya kau senang aku membawa wanita-wanita cantik ini? Mereka akan kujadikan selir-selirku. Hahahaha,” sahut Sasuke sembari tertawa terbahak-bahak. Asal sekali ia bicara.
“Yang benar, Sasuke-sama?” Tanya wanita satu.
Yang satunya lagi menimpali sembari bergelayut mesra di tubuh Sasuke, “Wah, senangnya!”
Cekikikan mereka buat gendang telinga Mikoto mau pecah. “Wanita jalang!” umpatnya pada akhirnya. “Sasuke, harusnya kau memilih wanita terhormat seperti Hinata!”
“Jangan bertingkah seperti kau peduli padaku, Mikoto. Aku berhak memilih mana yang aku suka dan mana yang tidak kusuka.” Sasuke lalu menatap Hinata dengan sinis. “Lebih baik kau pulangkan saja si Hyuuga itu, mataku sakit melihat wajahnya yang sok lugu. Hahaha!” Sasuke pun membalikkan badannya.
Hinata terkesiap mendengarnya. Tapi kemudian ia lihat airmuka Sasuke yang tadi tiba-tiba berbeda pada saat hendak membalikkan tubuhnya. Bukan sinis, tapi sendu. Sepersekian detik sehingga memang tidak terlalu kelihatan. Maka Hinata tak menghiraukan kata-katanya barusan.
“Sasuke!” bentak Mikoto. Tapi putranya itu malah melengos pergi tanpa mengucapkan permisi terlebih dahulu. Kedua wanita yang entah dari mana Sasuke temui, diajaknya masuk ke kamar. Seluruh penghuni ruang makan hanya bisa menatap sedih tingkah laku pangeran muda mereka. Seorang pangeran yang diharapkan dapat membawa kerajaan Uchiha ke masa emasnya bersikap memalukan seperti ini.
“Ma-Maafkan Sasuke, Hinata. Tadi dia terlihat mabuk, jadi aku harap kau tidak memasukan ke dalam hati kata-katanya.”
Tapi Hinata seperti tak mendengarkan Mikoto, matanya tetap terarah ke direksi yang sama saat Sasuke dan wanita-wanita nakal itu berdiri.
Mikoto jadi cemas melihatnya, jangan-jangan gadis Hyuuga itu malah syok dengan sikap Sasuke tadi terhadapnya. “Hinata…,” panggilnya sembari menggoyangkan bahu Hinata.
“Ah, ti-tidak apa-apa, Mikoto-sama. A-Anda tak perlu meminta maaf, saya memaklumi sikap Sasuke-san terhadap saya. S-Saya masih orang asing baginya. M-Malah Anda yang saya khawatirkan,” ujar Hinata mencoba simpati.
Mikoto menghembuskan nafas perlahan, “Aku sudah terbiasa dengan sikapnya itu, Hinata. Sekali lagi aku mohon maaf.”
Hinata mengangguk sembari tersenyum kecil. Sudah terbiasa? Apa Sasuke sering seperti ini sebelumnya? Sebenarnya Hinata ingin beranggapan kalau pangeran kerajaan Uchiha itu sudah benar-benar tak waras otaknya. Tapi apa yang ia lihat barusan sedikit menahannya untuk menarik kesimpulan seperti itu. Mengapa Sasuke tertawa terbahak-bahak, namun setelahnya wajah sangar itu terlihat begitu sendu? Apa tawanya yang menggelegar itu benar-benar menunjukkan bahwa dia benar-benar bahagia? Ihwal itu ia tangkap saat-saat terakhir Sasuke membalikkan badannya berjalan menjauhi ia dan Mikoto. Penglihatannya memang cukup tajam.
Semuanya terlihat nadir bagi Hinata. Kalau saja ia bisa dekat dengan Sasuke, mungkin ia bisa mengerti mengapa sikap Sasuke terlihat begar seperti itu.
“Hinata, siang nanti kau temani aku ya? Aku ingin mengunjungi suamiku di desa Aokisoba.” Mikoto segera berdiri dari tempat duduknya, ia jadi ingin menyudahi saja santapan pagi ini. Sasuke benar-benar membuang niatnya untuk mengobrol lebih lama dengan Hinata.
“Eh? F-Fugaku-sama?”
Mikoto mengangguk antusias. “Sekalian aku ingin mengenalkanmu padanya. Kau bersedia kan?”
“K-Kalau itu tidak merepotkan Anda, s-saya bersedia, Mikoto-sama.”
“Baiklah, aku permisi. Masih ada urusan kerajaan yang harus aku selesaikan sebentar, Hinata. Kalau kau mau kau bisa mengelilingi istana, biar Genma yang menemani. Anggap saja seperti rumahmu, ya.”
“Terima kasih, Mikoto-sama.” Hinata membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat. Ia lalu mengelilingi istana luas itu ditemani Genma.
o0o
 “Ini kebun lavender Mikoto-sama. Dulu sebelum Fugaku-sama jatuh sakit, Mikoto-sama yang merawat kebun ini setiap hari. Tapi sekarang tidak sempat, karenanya kebun ini jadi tidak terawat dengan baik. Hanya Mikoto-sama yang mengetahui cara merawat tanaman lavender dengan benar,” jelas Genma panjang lebar.
 “S-Sayang sekali, b-banyak tanamannnya yang layu.” Hinata mengambil salah satu bunganya, kemudian menciumi aromanya. Benar-benar hilang. “K-Kalau diizinkan a-aku bisa mengurusnya, Genma. Di r-rumahku juga ada k-kebun lavender punya Mendiang Ibu yang tak seluas ini. Aku sedikit mengerti cara merawatnya, m-meski mungkin tak seahli Mikoto-sama.”
“Kebetulan sekali, nanti akan saya sampaikan pada Mikoto-sama.” Genma terlihat senang dengan apa yang diucapkan Hinata. Masalahnya penghuni kerajaan masing-masing sudah memiliki tugasnya sendiri. Dan untuk yang satu ini, memang tak ada yang mahir melakukannya.
Tiba-tiba Hinata teringat dengan kejadian barusan. Ia ingin sedikit menguliknya secara perlahan, karena belum berani menanyakan langsung pada Sasuke ataupun Mikoto. Barangkali pelayan yang sekarang sedang bersama dirinya saat ini mengetahui masalah yang terjadi di istana, terutama soal Sasuke. “O-Oh ya, Genma. A-Ada y-yang ingin k-kutanyakan. T-Tapi ini mungkin agak pribadi.”
“Tentang apa, Hinata-sama? Barangkali saya bisa membantu,” ujar Genma ramah.
Hinata menarik nafas dalam-dalam. Semoga saja ia tak dikira lancar mulut. “S-Sasuke-san a-apakah dia dulu seperti itu?”
Mereka terus berjalan sampai di pertigaan koridor. “Kita ke sebelah sana, Hinata-sama,” ucap Genma menuntun jalan belok ke kiri. “Sifatnya memang sangat lancang, tapi sebenarnya dia pemuda yang sangat baik, Hinata-sama.”
Hinata melihat airmuka Genma prihatin, sepertinya dia sangat mengenal Sasuke. “Saya menjadi temannya sejak kecil, dia menganggap saya sebagai kakaknya setelah Itachi-sama. Mereka berdua sangat akur dan saling melindungi satu sama lain. Hanya saja ketika Itachi-sama keluar dari kerajaan dan menjadi rakyat biasa, Sasuke-sama perlahan-lahan berubah.”
Alis Hinata tiba-tiba terangkat. Sedikit berbeda dengan ucapan Mikoto yang sebelumnya mengatakan kalau Sasuke mulai berubah sejak ayahnya sakit. Ah, tapi mungkin  waktunya bersamaan.
“A-Apakah i-ini ada h-hubungannya dengan sakitnya Fugaku-sama?” tanya Hinata lagi, ingin mendapatkan informasi lebih.
“Saya rasa tidak, karena Fugaku-sama sudah lama sakit. Fugaku-sama jatuh sakit sekitar lima tahun yang lalu. Dan Itachi-sama keluar dari kerajaan dua tahun setelahnya. Saya sendiri juga tidak terlalu tahu hubungan kepergian Itachi-sama dengan sikap Sasuke. Hanya sejak saat itu, Sasuke-sama jadi tidak terbuka lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Dia selalu sibuk sendiri, padahal banyak sekali yang perhatian padanya termasuk saya.”
Apa Sasuke merasa kesepian juga? Hinata tak terlalu mengerti, namun entah mengapa rasa ingin tahunya begitu besar. Ia ingin bisa akrab dengan Sasuke karena kini tinggal di atap yang sama. Ia juga tak ingin merasa kesepian di istana yang luas nan megah ini. Ia ingin mendapatkan sesuatu yang baru semenjak keluar dari kampung halamannya kemarin. Untuk saat ini, ia ingin keberadaanya dianggap oleh orang lain.
o0o
Rombongan kerajaan Uchiha tiba di Desa Aokisoba petang itu. Karena malam nyaris menjelang, kemungkinan besar mereka akan menginap di sana. Perjalanan dari pusat kerajaan ke desa terpencil itu memakan waktu sekitar tiga jam. Cukup melelahkan, maka dari itu Mikoto memutuskan untuk tinggal di sana semalam saja.
            Tempat perisitirahatan raja Fugaku memang minimalis, tak sebesar kerajaannya di sana. Tapi bangunannya tak kalah indah; ditambah lagi dengan aroma pedesaan yang menambah nilai keindahannya. Tidak heran memang jika Fugaku lebih memilih tinggal di sini sejak tiga tahun yang lalu. Suasananya buat hati tenang, terapi alam yang sangat bagus untuk menghindari kepenetan. Istrinya juga memahami dan mengabulkan permintaannya itu, walau pada awalnya berat hatinya untuk jauh tinggal bersama sang suami. Apa boleh buat, dia harus mengutamakan kewajibannya karena ini adalah amanah suaminya juga.
            Fugaku sudah merasa sangat tua diumurnya yang belum mencapai kepala lima. Penyakit saraf yang menyebabkannya lumpuh total membuatnya tak bisa melakukan apa-apa dengan leluasa. Ia paling tidak suka merepotkan orang banyak, untuk itu ia lebih memilih dilayani oleh dua pelayan saja.
            Kedatangan Mikoto tak diprediksi olehnya. Ia tampak sumringah ketika melihat rombongan dari kerajaannya datang pada petang itu. Apalagi setelah tahu kalau istrinya akan menginap di sana selama semalam. Ia rindu. Meski dalam keadaan lumpuh, otaknya masih bisa mengingat siapa-siapa saja penghuni kerajaan Uchiha. Dilihatnya ada penghuni baru tak merisaukannya, yang ia tanyakan pada akhirnya keabsenan anak bungsunya yang lagi-lagi tak ada di sana.
            “Mana Sasuke?”
            Mikoto meminta pelayannya untuk meninggalkan kamar. Hanya Hinata saja yang dibiarkan berada di tempat itu. “Sasuke tak bisa hadir, Sayang. Masih ada urusan kerajaan yang harus ia kerjakan.”
            Dahi Hinata mengerut, tampaknya Mikoto ingin menyembunyikan kenakalan Sasuke pada suaminya. Alasannya bisa jadi untuk menjaga kesehatan suaminya itu.
Fugaku menatap istrinya lekat-lekat. “Benarkah? Tak kusangka sekarang dia begitu peduli pada urusan kerajaan, apa dia masih nakal seperti dulu?”
Mikoto tersenyum lebar. “Dia masih dalam pencarian jati diri, wajar saja kalau dia agak nakal diusianya.”
“Haah, kalau seperti itu terus kapan dia bisa memiliki istri? Aku ingin dia cepat-cepat menikah dan mengambil alih kerajaan, supaya kau bisa berada di sampingku terus. Menikmati masa-masa tua kita bersama.” Fugaku menatap istrinya mesra. Ia meremas lembut tangan istrinya yang sedari tadi bergelayut di sekitar lengan kanannya. Memberikan pijatan-pijatan kecil agar ototnya lebih rileks. Ia benar-benar rindu akan masa-masa kebersamaan mereka.
Mikoto tersenyum. “Oh ya, Sayang. Ini aku kenalkan penghuni baru kerajaan kita, namanya Hinata. Ia dari kerajaan Hyuuga yang kemarin memiliki urusan yang tertunda dengan kita. Untuk itu aku meminta anaknya sebagai jaminan.”
Hinata terhenyak, ia hampir lupa alasan mengapa ia sekarang diminta tinggal di kerajaan besar itu. Jujur sekali ucapan Mikoto. Memang perlahan-lahan Hinata menyadari, terkadang ucapan wanita itu bisa menjadi semanis madu, terkadang bisa menjadi sepahit buah maja.  
K-Konbanwa, Fugaku-sama,” ujar Hinata sembari menundukkan kepalanya malu-malu.
“Selamat datang di kerajaan Uchiha, Hinata. Aku harap kau betah tinggal di sana sampai urusan kami dan ayahmu selesai. Tapi kalau boleh kuakui kau sangat cantik, kenapa kau tak menjodohkan dia dengan Sasuke, Mikoto?”
Mata putih Hinata terbuka lebar.
Sedangkan Mikoto setali tiga uang, ia tampak kaget dengan pernyataan suaminya itu.  “Ma-Masa? Tapi Sasuke—”
“Aku rasa mereka berdua cocok. Sasuke juga sudah harus siap melaksanakan kewajibannya. Dia terlalu cantik untuk dijadikan sebagai pelayan Sasuke. Apa kau tidak lelah bekerja terus?”  
“Bukannya begitu, Sayang. Tapi—”
“Sssttt…” Fugaku meletakkan jari telunjuk ke bibir istrinya. “Sekarang saatnya kau beristirahat. Aku yakin mereka bisa menjadi keluarga yang bahagia. Lagipula Hinata adalah seorang putri, karena itu Sasuke tidak akan senasib dengan Itachi. Sekalian bisa mempererat hubungan kita dengan kerajaan Hyuuga. Bagaimanapun Hiashi adalah teman baikku juga, Mikoto.”
Mikoto tampak tak bisa melawan kata-kata suaminya. Ia memang tak memiliki kuasa lebih dibandingkan dengan raja arif itu. “Baiklah, akan kupikirkan. Semoga saja Sasuke bersedia.”
“Kalau itu perintah ayahnya, Sasuke pasti mau, Sayang. Dia adalah anakku yang paling penurut.”
Hinata menelan ludahnya sendiri. tidak menyangka masalahnya akan tambah runyam. Terlihat sekali tadi bahwa Mikoto memang tak ada niat untuk menikahkan ia dengan anak bungsunya. Ia seperti memiliki rencana lain yang Hinata tak tahu, gerakan matanya yang menunjukkan itu.
Hinata juga memang tak ada niat untuk menikah dengan Sasuke. Karena kesan pertama ketika ia bertemu dengan Sasuke sangatlah buruk. Yang jadi persoalan adalah akan dijadikan apa Hinata oleh Mikoto di kerajaannya? Pembantukah? Atau yang lain? Yang jelas ia harus lebih berhati-hati. Baru saja ia lihat tatapan tajam mata onyx Mikoto sekilas. Penglihatan Hinata sangatlah tajam, itu yang tak diketahui oleh Mikoto.

Bersambung…




Share:

0 komentar