Cerita Dibuang Sayang: Teman Selamanya


Teman Selamanya
Aku ingat saat masih duduk di bangku sekolah dasar dulu; aku berlangganan majalah anak-anak yang tak pernah kulewatkan dalam seminggu, lantaran memang majalah itu terbit seminggu sekali. Di bagian depan, ada kolom seperti surat pembaca. Macam-macam isinya, tapi karena kami masih anak-anak, yang ditampilkan pun bukan pembahasan berat yang bisa menjulingkan mata atau pening kepala.
Dan di surat pembaca itulah aku mulai mengenal seseorang yang bernama Magijoa-san. Aku memanggilnya Magijoa-sensei, lantaran beliau memang lebih tua dariku beberapa tahun. Magijoa sensei ingin berkenalan langsung dengan anak-anak Indonesia. Bahasa Indonesianya pun sangat lancar dan baku sekali. Berbeda dengan kami yang asli Indonesia, yang berbicara saja sering melantur sana-sini dan tidak sesuai kaidah yang berlaku.
Surat pembaca dari Magijoa-sensei pun menarik perhatian mama. Mama menanyakan padaku apa aku mau bersahabat pena dengan orang Jepang itu. Aku menurut saja meski tak mengerti sepenuhnya apa itu maksud dari sahabat pena.
Surat pertama, mama menulisnya atas namaku. Padahal aku sama sekali tidak menuangkan kata-kata di surat itu. Lantaran tulisanku juga seperti cakar ayam, dan sering dipersepsikan terbalik oleh siapa saja yang membaca. A bisa jadi u, dan g bisa jadi angka 9. Bisa-bisa Magijoa-sensei tidak mengerti.
Tak berapa lama, sekitar sebulan, aku mendapat balasan surat dari Magijoa-sensei. Beliau membalasnya rapi sekali. Menggunakan ms.word yang diprint ke kertas kuarto licin, berbeda dengan suratku yang hanya ditulis tangan dengan kertas buku biasa.
Aku membaca suratnya itu. Beliau menyapaku dengan sebutan Mojang Priangan. Tak ayal kepalaku miring seketika lantaran asing dengan kata-katanya. Lantas mama mengatakan kalau kemarin mama menulis kegiatanku di luar sekolah adalah mengikuti sanggar tari Jaipong. Ya, aku sangat gemar menari Jaipong walau tak ada darah Sunda mengalir di dalam tubuhku. Magijoa-sensei terlihat senang mengetahuinya. Rupanya beliau juga adalah penari dan mengajarkan macam-macam tari pada anak-anak di sana.
Yang paling kuingat, beliau juga tahu tentang tari Pendet, Kecak, dan Serampang Dua Belas. Aku pun takjub dibuatnya, wawasan beliau sangat luas. Tak hanya soal tarian. Ia juga mahir berbahasa Rusia yang pengucapannya sering membuat lidah keseleo. Dan ternyata beliau memang keturunan Rusia juga.
Tahun baru tiba, tak ada balasan dari Magijoa-sensei. Tapi beberapa hari kemudian ada kiriman kartu tahun baru dari beliau. Aku senang bukan kepalang menerimanya. Semenjak itu aku jadi tahu kalau di Jepang ada kebiasaan mengirimkan kartu tahun baru untuk orang-orang terdekat. Di kartu tersebut beliau menempelkan foto kecil ukuran 2x3 dua buah. Rupanya itu adalah foto anaknya. Seumuran denganku sepertinya. Dan di sebelah anaknya, beliau berdiri dengan memakai yukata (pakaian tradisional Jepang). Terlihat cantik sekali.
Magijoa-sensei mau mengirimkan foto beliau dan anak-anaknya lantaran mama mengirimkan fotoku telebih dahulu. Foto saat aku mengikuti Helaran (festival daerah tahunan) di Bogor. Kartu itu bertuliskan ‘Eien ni Tomadachi’ yang sekarang baru aku tahu artinya itu, teman selamanya.
Aku pun bingung mau membalas apa, lantaran di Indonesia tak ada kartu tahun baru seperti di Jepang. Jadi kubalas—dengan tulisan mama lagi tentunya—melalui surat biasa, mengucapkan terima kasih atas kartu yang beliau berikan.
Lama aku tak dapat balasan dari beliau, tahun baru berikutnya tak disangka Magijoa-sensei  mengirimkan kartu tahun baru lagi. Kartu yang ini ada gambar kartun Pikachu, beliau mengatakan kartun itu sedang booming di Jepang. Sayangnya aku tak membalas kartu tahun baru itu, setelahnya kami tak pernah bertukar kabar lagi.
Aku sangat sedih, dikarenakan terlalu jauh jarak yang memisahkan kami. Berbagi kisah tentang Negara kami masing-masing. Aku mafhum Jepang adalah Negara yang begitu maju, tapi Magijoa-sensei tak pernah menuliskan hal yang merendahkan Indonesia. Malah beliau sangat tertarik sekali dengan kebudayaan yang Indonesia miliki, karena itu beliau mengajarkan macam-macam tarian Indonesia yang beliau tahu ke anak dan murid-muridnya.
Aku masih menyimpan dua kartu tahun baru yang Magijoa-sensei kirimkan. Sementara surat-surat dari beliau sudah hilang tak tahu rimba. Aku benar-benar menyesal tak pernah menyimpannya dengan baik-baik. Tapi aku sangat beruntung sekali memiliki sahabat pena jauh sampai di Jepang sana. Seolah tak ada jarak yang memisahkan kami. Menjadi teman beliau adalah indah karena Magijoa-sensei mengajarkan banyak hal padaku. Terutama ‘Eien ni Tomodachi’ yang pernah Magijoa-sensei tulis, akan kusimpan kalimat elok yang sudah menjadi petuah di sanubariku…selalu.

Share:

0 komentar