Pernah
ngerasain baca buku yang bikin kita mikir, ‘kok pas banget ya?’ Saya pernah
ngerasainnya ketika baca novel yang nggak ada di daftar bacaan saya. Maksudnya,
saya nggak pernah berencana membaca buku itu. Ketemunya pun nggak sengaja pas
lagi cari buku yang bagus dari sinopsisnya. Buku ini langsung menarik mata saya
karena sampulnya yang cantik, didominasi dengan warna yang saya sukai. Lalu,
ceritanya yang agak magis, dan terlihat manis dari sampulnya yang ciamik itu.
Judulnya
Pencuri Bayangan yang ditulis oleh Marc Levy. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Dari
sinopsisnya saja sangat menarik. Tentang seorang remaja lelaki yang punya
kemampuan mencuri bayangan seseorang dan berbicara dengannya. Bayangan ini
kayak bagian alam bawah sadar orang-orang itu.
Si tokoh utama membantu memecahkan
masalah orang-orang di sekitarnya, sampai membantu mereka juga dalam meraih
mimpi. Lalu, apa tokoh utama punya tujuan untuk dirinya sendiri? Oh, tentu
saja, dan perjalanannya yang paling mulus di sana karena ia selalu berhasil
melakukan misi-misinya. Wah, saya sampai menggebu-gebu sekali bacanya.
Hari-hari suram saya selama pandemi itu, jadi kayak tercerahkan dalam sekejap.
Saya pikir ceritanya bakal membuat
saya terus diselimuti kehangatan. Dari awal sudah disuguhkan dengan
keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh sama si tokoh utama. Bagaimana si
tokoh utama membantu orang-orang tersebut menemukan jati dirinya kembali.
Namun, ternyata setelah berbagai macam keberhasilan itu, si tokoh utama
menghadapi kehilangan yang tidak disangkanya.
Saya pun ikut merasakan kesedihan
yang sulit dijabarkan dengan kata-kata karena kehilangan yang si tokoh utama
alami, mengingatkan saya sama kehilangan-kehilangan di masa pandemi ini yang
sudah berada di lepas kendali.
Walaupun si tokoh utama sudah punya
kemampuan ajaib dan berhasil membantu orang-orang, ia tetap saja manusia yang
tidak punya kendali untuk hidupnya sendiri.
Selesai membaca buku Pencuri
Bayangan, saya pun jadi banyak merenung. Ternyata yang namanya kehidupan memang
seperti itu ya, selalu menghadirkan hal tidak terduga yang akan membuat kita
semakin menjadi manusia. Maksudnya adalah kita semakin tahu bahwa kita ini
bukan siapa-siapa dan terkadang kita tidak bisa melakukan apa-apa kecuali
berserah pada-Nya.
Masa
pandemi ini adalah hal yang berat bagi semua orang, termasuk saya. Setelah
memutuskan resign di akhir tahun
2019, di awal tahun 2020 saya akhirnya harus berada di rumah terus. Padahal di
kala itu, saya sedang berjuang mencari pekerjaan kantoran baru. Namun, karena
satu per satu perusahaan tujuan saya keuangannya sedang tidak bagus, mereka
berhenti dulu mencari karyawan baru.
Saya
sebenarnya orang rumahan yang mageran. Namun, saya tidak menyangka pandemi ini
membuat energi saya nyaris terkuras habis. Di rumah saya tetap bekerja, dan
ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Belum lagi pikiran tentang masa depan
yang terus menghantui saya, yang pada akhirnya membuat saya cepat kelelahan.
Saya punya satu mimpi besar, dan perjuangannya harus lebih ekstra di pandemi
yang belum terlihat ujungnya ini.
Harusnya
saya sudah memulainya tahun ini, tapi karena pikiran saya sudah bermacam-macam,
saya jadi menunda terlaksananya mimpi itu. Akhirnya saya mengalihkannya pada
kegiatan lain, yaitu menulis lebih banyak dan lebih sering.
Saya memang memiliki pekerjaan,
tapi karena waktu saya jadi lebih banyak di rumah, saya manfaatkan
sebaik-baiknya untuk menggapai target baru saya itu. Saya mulai mengikuti
berbagai macam lomba menulis dari awal tahun 2020, dan tentu saja sampai bulan
Mei belum ada satu pun yang menang.
Lalu,
di tengah perjuangan itu, saya menerima berita-berita tentang kehilangan di
masa PSBB. Orang-orang kehilangan pekerjaan, orang-orang kehilangan kesempatan
bertemu keluarga dan teman, orang-orang kehilangan keluarga dan teman-temannya,
dan orang-orang kehilangan dirinya sendiri yang artinya dia benar-benar pergi
dari dunia ini.
Dari
impian di masa depan dan kehilangan itu, saya langsung menyadari ternyata yang namanya
novel memang semenarik itu. Di novel, tokoh utamanya yang menderita tetap
mengundang simpati yang membacanya. Lain halnya pada motivator yang berdiri di
luar sana, mereka harus memiliki keberhasilan nyata dulu dan sedang berada di
keberhasilan itu, baru bisa berbicara di atas panggung. Kalau tidak berhasil,
siapa yang mau mendengarkan? Orang-orang tidak ingin mendengarkan cerita
tentang keberhasilan yang diakhiri dengan kegagalan karena katanya tidak
menarik.
Saya
suka membaca buku atau novel yang mengingatkan saya akan perjuangan menggapai
mimpi, dan saya juga menyukai novel yang mengingatkan saya, bahwa yang namanya kenyataan
itu memang tidak seindah ekspektasi saya.
Di
sana saya menyadari bahwa yang namanya keberhasilan pasti akan selalu diiringi
kehilangan. Risikonya memang seperti itu. Ada hal yang harus dikorbankan untuk
menggapai keberhasilan itu. Atau ketika sedang berusaha untuk menggapai
keberhasilan itu, kehilangan menghantui di waktu yang bersamaan.
Saya
pun merasakan demikian. Di pertengahan tahun 2020, perjuangan saya dalam lomba
menulis membuahkan hasil, ada empat lomba nulis yang saya menangkan. Wah, bukan
main senangnya saya. Namun, saya harus menerima berita bahwa mantan atasan saya
di kantor dulu meninggal dunia. Beliau sebenarnya bukan atasan saya langsung,
tapi karena saya pernah bekerja baik dan tahu betul bagaimana beliau
berinteraksi dengan anak-anak buahnya, saya pun merasa kehilangan.
Novel
yang berjudul Pencuri Bayangan itu mengingatkan saya tentang kenyataan yang
akan saya hadapi suatu saat nanti. Mungkin bagi sebagian orang novel yang
merepresentasikan kenyataan seperti itu menyebalkan dan cenderung
menghindarinya.
Namun, bagi saya, buku tidak hanya
dapat menghibur; membawa saya ke khayalan yang berada nun jauh di langit tanpa
batas sana. Di balik semua itu, buku juga mampu menyadarkan saya bahwa saya
tidak akan bisa lari dari yang namanya kehilangan. Saya juga tidak akan bisa
mengendalikannya. Yang saya lakukan adalah mempersiapkan mental ketika
kehilangan itu datang.
Impian
diraih ketika diperjuangkan, tapi yang namanya kehilangan itu tanpa diperjuangkan
pun dia akan tetap memeluk kita. Menyesakkan, ya? Namun, memang seperti itu
keadaannya.
Lalu,
apakah kita harus pasrah saja dalam keadaan pandemi yang masih belum jelas
kapan akan berakhirnya? Pasrah atau berjuang bisa menjadi pilihan kalian.
Namun, ada yang bisa saya simpulkan dari cerita Pencuri Bayangan. Tokoh
utamanya selalu berusaha melakukan hal-hal yang ia senangi. Ia senang menolong
orang. Ia senang mencuri bayangan orang lain dan mengobrol dengannya hingga
tahu apa perasaan tersembunyi yang dimiliki oleh si pemilik bayangan.
Dia
tidak didikte oleh siapa pun untuk melakukan semua itu. Ia melakukannya atas
kehendaknya sendiri. Berdiri dengan kakinya sendiri karena ia tahu apa yang
tengah ia lakukan dan akan ia lakukan. Oh ya, kehilangan yang dialami oleh si
tokoh utama itu bukan bagian ending-nya, jadi saya tidak memberikan bocoran ending.
Kesimpulannya,
walaupun yang namanya kehilangan itu akan terus mengintai, saya akan tetap
melakukan hal yang saya senangi dan memperjuangkan apa yang pantas untuk
diperjuangkan. Impian tidak akan bisa didapatkan tanpa perjuangan, tapi saya
juga akan selalu bersiap diri dengan yang namanya kehilangan. Mengikhlaskannya karena
pada akhirnya saya pun akan kehilangan diri saya sendiri ketika waktunya sudah
datang.