Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto
© Masashi Kishimoto
The
Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning:
Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Semi-Crossover with The Lord of The
Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
.
.
Sementara Sakura ibarat mayat hidup.
Ia terlalu syok mendengarkan pengakuan Naruto barusan. Ia merasa seperti buah
manis yang dibuang ke tong sampah. Matanya memandang kosong ke depan. Ia pun
lunglai ke lantai. Penolakan yang kedua
kali ini lebih menyayat hatinya. Ia tahu Naruto tidak main-main dengan
ucapannya. Naruto tidak akan mengatakan hal setega itu hanya untuk berlelucon
ria. Dan yang Sakura bisa lakukan menumpahkan kepedihannya dalam bentuk air
yang terus mengalir dari matanya….
.
.
Chapter 15
Persetujuan
.
.
Naruto kini berada di depan sebuah ruangan di Rumah Besar
Uzumakigakure yang begitu luas. Ruangan itu adalah ruangan pertemuan keluarga.
Hanya ada meja, sofa, dan perapian di sana. Di lantainya terdapat karpet yang
membentang untuk melindungi kaki dari kedinginan. Di salah satu sudut
dindingnya Naruto menatap sebuah lukisan yang tidak ia mengerti keberadaannya.
Di
lukisan itu terdapat Rikudou Sennin dan Uzumaki Sakura yang saling bermesraan.
Rikudou Sennin memeluk Uzumaki Sakura dari belakang dan Uzumaki Sakura tampak
senang dengan perlakuan romantis suaminya itu.
Namun
semesra apapun lukisan itu, menggunung pula kepedihan yang Naruto rasakan.
Matanya terarah pada sosok Rikudou Sennin. “Mengapa Anda dengan mudah membuang
dan menyimpan kembali rasa cinta pada istri Anda, Rikudou Sennin? Apa Anda
pernah merasakan apa yang aku rasakan?”
Ruangan
itu begitu hening. Hanya ada suara Naruto di sana.
“Seharusnya
aku tidak seperti ini. Perasaan cintaku pada Sakura mungkin sudah hilang. Tapi
mengapa hatiku ini begitu remuk ketika menolaknya?” Naruto meremas bajunya yang
ada di bagian dada.
Tiba-tiba
pintu ruangan itu dibuka dengan kencang sampai menimbulkan suara yang sangat
nyaring. “Naruto! Kenapa kau ada di sini?” Kushina muncul dengan napas memburu.
Ia begitu kaget saat Sakura yang ditemuinya itu menangis dan mengatakan jika
Naruto telah pergi. Dengan kemampuan penglihatannya, ia bisa mengetahui Naruto
kembali ke Uzumakigakure dan langsung menyusul anaknya bersama dengan Rin.
Kushina
tersentak saat Naruto memalingkan wajah ke arahnya. Wajah yang begitu rapuh. Ia
pun langsung memutuskan dalam hatinya. Untuk
sementara kita tidak bisa Konoha dulu ya?
.
.
Ino memandangi Sasuke yang lagi-lagi ditemaninya untuk menjenguk
Hinata. Gadis berambut biru tua itu masih belum sadar dari tidurnya. Padahal
ini sudah hari ketiga. Namun bukan hal itu yang Ino khawatirkan, ia sendiri
jadi heran mengapa Sasuke hampir setiap hari meminta diantarkan menjenguk
Hinata. Kadang ia pun harus meninggalkan Sasuke berdua saja dengan pewaris Klan
Hyuuga itu dalam waktu yang cukup lama. Sasuke biasanya dari pagi hingga sore
menunggui Hinata.
Padahal
yang Sasuke lakukan hanya duduk di sebelah ranjang Hinata saja. Ino mendesah.
“Kenapa aku jadi cemburu seperti ini? Tapi baru kali ini aku melihat Sasuke
menaruh perhatian pada orang lain.” Matanya lalu tertuju pada mata Sasuke yang
diperban. Semalam sudah dilakukan operasi dan pembubuhan obat dari mawar
Kushina dan tanduk rusa Klan Nara, semoga saja ketika perban itu dibuka Sasuke
bisa melihat kembali, meskipun hasilnya belum diketahui secara pasti.
Ino
pun berjalan mendekati Sasuke. “Sasuke-kun,
aku harus memeriksa pasien lain. Nanti aku kembali lagi ke sini.”
“Hn,”
hanya itu yang keluar dari mulut Sasuke.
Ino
tidak menanggapinya lagi dan segera angkat kaki dari sana.
Setelah
merasakan Ino keluar dari ruangan itu, Sasuke mengangkat tangannya dan meraba
kasur Hinata hingga ia menemukan sebuah tangan. Ia sempat tersentak karena
tangan itu begitu dingin. Lekas ia genggam tangan itu dengan erat, berharap
kehangatan dirinya mengalir juga pada Hinata. “Maaf. Andai saja aku tidak
selemah ini.”
Yang
Sasuke tidak tahu, di pintu ruang inap Hinata, ada Hyuuga Hiashi yang pada
akhirnya mengurungkan diri untuk menjenguk putri semata wayangnya. Ia begitu
syok melihat kejadian di depannya. Apa
maksudnya ini? Di dalam otaknya terngiang-ngiang cerita dari leluhurnya
dulu tentang Uchiha dan Hyuuga yang saling jatuh cinta, namun memiliki akhir
yang tragis.
.
.
Kurenai
menaruh Hiruzen di boks bayi di ruangan sebelah kamarnya. Ia menggelar selimut
di atas bayi mungil itu. Tangannya membelai lembut dahi Hiruzen. Kakinya lalu
melangkah menjauhi boks dan kembali ke kamarnya. Di kamarnya ada sebuah cermin
yang biasa ia gunakan untuk memeriksa penampilannya sehari-hari. Ia lalu
memeluk dirinya sendiri. Sudah dua hari ini ia tidak bertemu dengan Kakashi
sejak hari eksekusi Sasuke dan itu membuatnya selalu kedinginan dan kesepian di
rumahnya.
Namun
dua hari itu pula Kurenai memang sengaja menghindari Kakashi. Setiap Kakashi
berkunjung ke rumahnya, ia pasti akan mengeluarkan genjutsu agar keberadaannya tidak dirasakan oleh suaminya itu.
Setelah menyaksikan langsung interaksi Kakashi dengan Rin, Kurenai jadi paham
satu hal. Ia telah menyulitkan Kakashi dengan menyembunyikan pernikahan mereka,
namun ia sendiri belum siap memberitahukan pada siapapun.
Kurenai
tentu tahu perasaan Rin pada Kakashi dulu; ia sendiri tidak menyangka jika Rin
masih hidup. Maka dari itu ia memutuskan untuk tidak mengganggu reuni mereka.
Mata merahnya lalu menangkap sebuah batang putih yang di tengahnya terdapat dua
strip berwarna merah. Ia pun meraih batang itu dan bergegas ke kamar mandi.
Dibuangnya batang itu di toilet dan membanjirinya dengan air; hingga air
tersebut menenggelamkan batang itu sampai tidak lagi terlihat di permukaan.
Bibir
Kurenai pun bergetar. “Bagaimana ini? Bagaimana caranya agar semua orang tidak
tahu?”
.
.
“Sakura, tolong kau minta Kakashi, Neji, dan Shikamaru untuk
mengantar ramuan mawar Kushina dan tanduk rusa Klan Nara ke Kumogakure. Ah,
tapi bilang pada mereka untuk menghadapku dulu.”
Sakura
yang tengah mempersiapkan makan siang untuk gurunya tercenung. “Anda
mengirimkannya untuk Raikage, Shisou?”
Tsunade
mengangguk. “Raikage terkena jurus mematikan Naruto, aku yakin dia sedang
sekarat sekarag.”
“Anda
baik sekali, Shisou. Padahal Anda
sendiri hampir mati di tangannya.”
Tsunade
mendesah pelan. “Adiknya tewas di tangan Akatsuki, aku tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan tindakan brutalnya kemarin. Sasuke mungkin akan segera dibawa pergi
dari Konoha sebentar lagi untuk menghilangkan konflik.”
Untuk
yang satu ini Sakura memang tidak mengetahuinya. “Sasuke akan dipindahkan ke
mana, Shisou?!”
“Ke
Uzumakigakure.”
Sakura
terdiam sejenak. Tiba-tiba hatinya kembali remuk. Ia pun tersenyum getir. “Enak
sekali mereka tinggal di tempat yang sama, aku malah ditinggal sendiri di sini.”
Tsunade
hanya memandangi muridnya itu dengan wajah datar. “Aku tidak melihat Naruto
sejak kemarin lusa. Apa sesuatu terjadi antara kalian berdua, Sakura?”
Sakura
menggigit bibirnya sendiri. Ia malah berkata hal lain. “Setelah menyegel bijuu ke Uzumakigakure, Naruto akan
pergi dari sini untuk selamanya, Shisou.”
“Jadi
Naruto memutuskan mengikuti Kushina…. Tapi bisa jadi ia berubah pikiran nanti.”
Sakura
mengembangkan senyuman palsunya. Ia mengalihkan pembicaraan. “Ayo, dimakan, Shisou. Mumpung menunya masih panas.
Apakah saya perlu menyuapi Anda?”
Tsunade
menggeleng. Senyuman itu tidak dibalasnya dengan senyuman karena ia memang
sudah sangat mengenal Sakura. “Tidak perlu, Sakura. Kau boleh pergi.”
“Baiklah.
Makanannya dihabiskan ya, Shisou.”
Sakura lalu mengucapkan permisi dan keluar dari ruang inap gurunya.
Sementara
Tsunade tidak begitu nafsu menghabiskan makanan yang ada di hadapannya. Wajahnya
lalu berpaling ke jendela yang tirainya tersingkap dan memandangi atap-atap
rumah Konoha yang berjejer di depannya. “Daimyou
juga pasti akan segera menuntut kejadian kemarin. Aku memang harus segera
keluar dari sini.”
.
.
“Hei, Sakura! Kau mau ke mana?”
Sakura
yang sedang berjalan santai di koridor rumah sakit berpaling ke sumber suara.
“Aku mau menjenguk Sasuke-kun.”
“Kebetulan.
Sasuke-kun sedang ada di kamar
Hinata, kau salah memilih jalan Sakura. Aku baru saja akan ke sana.”
“Lagi?”
Sakura agak kaget mendengarnya.
“Aku
pun terkejut setiap datang ke kamar Sasuke-kun
untuk mengantarkan sarapan, ia selalu meminta diantarkan ke kamar Hinata
selesai makan.” Ino memasang wajah cemberut. “Aku baru melihat sisi Sasuke-kun yang seperti ini, Sakura.”
Sakura
pun hanyut dalam kontemplasinya sendiri. Ia sebenarnya sudah menyadari Hinata
yang dulu tampak lebih perhatian pada Sasuke, namun Sasuke tidak begitu peduli.
Namun sekarang malah terbalik.
“Kau
pasti cemburu juga, kan, Sakura?”
“Eh?”
Sakura lantas tersenyum dengan lebarnya. “Tidak dong, Ino. Cemburu itu hanya
buat bocah sepertimu.”
“Cih!
Kenapa kau jadi munafik begitu? Ya, sudahlah, kalau kau tidak menyukai Sasuke-kun lagi. Jadi, sekarang Sasuke-kun milikku sepenuhnya!”
Sakura
pun terbahak-bahak. “Kau jangan terlalu percaya diri dulu, Ino. Persiapkan
hatimu karena ada kemungkinan Sasuke-kun menolakmu
juga.”
“Huh!”
Ino membuang muka. “Ngomong-ngomong, Naruto di mana Sakura? Aku tidak
melihatnya lagi sejak lusa.”
Sakura
mendengus kesal. Mengapa banyak sekali yang menanyakan tentang Naruto padanya?
“Di Uzumakigakure!” jawab Sakura dengan ketus.
Ino
pun langsung menatap Sakura dengan heran. “Kenapa kau jadi marah begitu?”
“Aku
tidak marah!” sekarang volume Sakura meninggi.
Mata
Ino pun menyipit. “Kau sedang marah tahu! Kau tidak sadar suaramu tinggi
begitu?!” ia pun ikut sewot.
“Kau
bawel, Ino!” Sakura memutuskan berlari dan meninggalkan Ino di belakang.
Ino
jadi tercenung di tempatnya. “Mungkin Sakura sedang PMS ya.” Meskipun begitu ia
lalu ikut berlari juga menyusul Sakura.
Sakura
yang berlari pun sampai di ruang inap Hinata dalam waktu singkat. Ia mengambil
napas banyak saat berdiri di depan pintunya yang sedikit terbuka. Ia lantas
mengintip sejenak ke kamar Hinata. Matanya membesar saat melihat Sasuke yang
tertidur di atas kursi, sementara kepalanya bersandar di sisi kasur Hinata.
Saking terkejutnya ia tak sengaja menyenggol pintu hingga menimbulkan suara.
Sasuke
pun dalam sekejap menegakkan tubuhnya. “Siapa?” ujarnya dengan nada waswas.
“Ini
aku Sasuke-kun.” Sakura memutuskan
masuk ke kamar Hinata dan menghampiri Sasuke. “Sudah masuk jam makan siang. Mau
kuantarkan makanannya ke sini, Sasuke-kun?”
“Aku
sedang tidak nafsu makan,” jawab Sasuke datar.
Sakura
pun tidak memaksanya. Ia lalu berjalan ke sisi seberang Sasuke dan memeriksa
keadaan Hinata sejenak. “Kondisi Hinata semakin hari semakin membaik. Pasti
sebentar lagi dia akan siuman.”
Namun
Sasuke tidak menanggapinya dan malah menanyakan hal lain. “Naruto di mana,
Sakura? Banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya.”
Bahu
Sakura kembali turun. Lagi-lagi pertanyaan itu…. “Naruto kembali ke
Uzumakigakure, Sasuke-kun. Aku tidak
begitu tahu kapan ia akan ke Konoha lagi.”
“Punya
dua rumah sepertinya membuatnya repot juga,” komentar Sasuke dengan senyuman
tipis di bibirnya.
Sakura
jadi tambah sedih melihatnya. Ia tahu senyuman itu menandakan bahwa Sasuke
senang Naruto telah kembali. Namun Sasuke sama sekali tidak tahu tentang
perihal Naruto yang tidak sudi selamanya berada di dunia ini. Sakura tentu saja
belum siap untuk menyampaikannya pada Sasuke.
“Kalau
Naruto ada di sini, tolong bilang padanya agar menjengukku. Dia sama sekali
belum pernah menjengukku dari lusa kemarin.”
“Tentu,
Sasuke-kun.” Sakura pun berjalan
mendekati Sasuke. “Aku harus kembali melaksanakan tugasku, apa kau mau kembali
ke kamarmu?”
Sasuke
langsung menggeleng. “Nanti saja. Aku berharap aku orang yang pertama
mengetahui Hinata siuman.”
Sakura
sampai terhenyak mendengarnya. Apalagi saat ia menyadari ada senyuman tipis
yang tersulam di bibir Sasuke. Namun kemudian ia jadi ikut tersenyum pula.
“Kalau begitu aku akan kemari lagi nanti sore.” Ia bergegas ke arah pintu,
namun sebelum itu ia kembali menatap Sasuke yang membelakanginya. Tak kusangka Ino mengatakan hal yang benar.
.
.
Naruto
memandang ke sekelilingnya dengan terguncang. Konoha yang memiliki simbol api,
kini malah dilalap api. Api-apinya begitu membumbung tinggi, hingga ia tidak
tahu apa yang terjadi di depan sana. Asap dari api itu masuk ke matanya dan
membuat perih. Pandangannya pun mengabur. Ia tidak tahu apa yang ia hadapi
sekarang. Yang ia tahu tenggorokannya pun tercekat karena dicekik sebuah tangan
hitam.
Mata
Naruto menangkap sosok serba hitam di depannya yang ia tidak kenali.
“Le-lepaskan aku, Bren-gsek…!”
“Naruto!”
Mata
Naruto membesar ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Ia menengok
ke sumber suara. Wanita berambut merah jambu itu berlari ke arahnya dengan
kepanikan tak terkira. Namun sebenarnya yang lebih panik adalah dirinya.
“T-tidak…. Jangan ke-kemari…!”
Teriakan
Naruto tidak dipedulilan wanita itu.
“Penganggu
memang harus langsung dimusnahkan,” ujar sosok serba hitam itu seraya
terbahak-bahak.
Yang
Naruto lihat selanjutnya adalah darah merah yang menggenang di tanah di
dekatnya dan di lehernya yang semakin menjadi.
“Hentikan!”
Naruto terbangun dari tidurnya. Ia langsung dalam posisi duduk. Matanya yang
nyalang melihat ke sekitarnya dan ia menyadari ia tengah berada di kamarnya di
Rumah Besar Uzumakigakure. Tangannya meremas bagian dada. Ia menunduk dan
merasakan peluh dari dahinya berjatuhan di selimutnya. “Mimpi?” lirihnya.
Namun
yang tadi terasa sangat nyata. Mata Naruto pun membesar. Ia lalu bangkit dari
tempat tidurnya dan segera keluar kamar. Kakinya berlari ke kamar Kushina,
tanpa mengetuk dulu, ia langsung menghambur ke dalam kamar ibunya. “Kaa-sama!”
Kushina
yang tengah menyisir rambutnya yang panjang sampai nyaris terjungkal dari
kursinya. “Naruto! Apa kau tahu caranya mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar
orang lain?”
Namun
Naruto tidak mempedulikan omelan ibunya. Dahinya mengerut. Napasnya begitu
memburu karena panik dan larinya tadi yang begitu cepat. “Dia … dia akan
menyerang Konoha! Aku melihatnya dalam mimpiku!”
Melihat
wajah Naruto yang lebih pucat dibandingkan biasanya, Kushina pun mengerti.
Memang mimpi seorang yousei, bukanlah
mimpi biasa….
.
.
Hari keempat setelah Sasuke gagal
dieksekusi….
Sakura kini tengah berada di kamar Sasuke. Hari ini perban
yang menutupi mata Sasuke sudah bisa dibuka. Karena itu ia pun berniat
melakukan hal itu. “Kau siap, Sasuke-kun?”
“Hn.”
Sakura
tahu jika itu artinya Sasuke menyatakan ‘ya’. Tangannya pun meraih ujung perban
yang merekat di belakang kepala keturunan Uchiha terakhir. Perlahan ia menarik
perban itu hingga seluruhnya terlepas dari dahi Sasuke. Tinggal dua kapas yang
menempel di kelopak matanya. “Sasuke-kun,
aku tidak bisa menjami operasi kemarin dapat mengembalikan penglihatanmu. Kita
berdoa saja semoga matamu pulih. Tapi kemungkinan besar kau tidak bisa
menggunakan sharingan-mu lagi.”
“Tidak
masalah.”
Sakura
jadi bingung melihat Sasuke. Ia tidak menyangka Sasuke akan tidak peduli dengan
sharingan-nya. “Aku buka kapasnya ya,
Sasuke-kun.”
“Hn.”
Tangan
Sakura pun mengarah pada kapas yang menempel di kedua mata Sasuke. Ia
membukanya perlahan hingga kelopak mata Sasuke terlihat. Ia pun mengambil napas
dalam-dalam. “Nah, buka matamu perlahan, Sasuke-kun.”
Sasuke
lantas menuruti permintaan Sakura. Kelopak matanya membuka. Hal itu ia lakukan
dalam waktu yang cukup lama karena rasa-rasanya kelopak matanya tengah mati
rasa. Namun akhirnya matanya membuka penuh. Sasuke pun mengerjapkan matanya
beberapa kali. “Buram.”
“Apa
kau bisa melihatku dengan jelas, Sasuke-kun?”
Sasuke
menggeleng. “Yang terlihat agak jelas hanya warna baju dan rambutmu. Sisanya
samar-samar.”
Bahu
Sakura turun seketika. Sepertinya sari bunga mawar Kushina dan tanduk rusa Klan
Nara tidak bisa menyembuhkan penglihatan Sasuke sepenuhnya. Atau mungkin bisa,
tapi butuh waktu yang Sakura tidak tahu berapa lama.
“Sasuke-kun aku punya kabar bagus untukmu!”
tiba-tiba kepala Ino muncul dari pintu ruang inap Sasuke yang memang terbuka.
Sasuke
mendongak ke arah suara. “Ada apa?”
“Hinata!”
teriak Ino antusias.
Wajah
datar Sasuke tiba-tiba jadi cerah. Ia tersenyum kecil. “Aku ingin ke kamarnya
sekarang.”
Sakura
yang menyadari perubahan wajah Sasuke pun jadi ikut tersenyum juga. “Aku akan
mengantarmu ke sana.”
.
.
“Bagaimana keadaan Sasuke-kun, Neji-niisan?”
Dahi
Neji mengerut mendengar pertanyaan yang pertama Hinata lontarkan setelah ia
terbangun dari tidurnya selama empat hari. Ia melirik pada Hiashi yang berdiri
di sebelahnya. “Sebaiknya kau mengkhawatirkan keadaanmu sendiri, Hinata-sama.”
Hinata
tersenyum kecil. “Itu artinya Sasuke-kun baik-baik
saja ya.”
Hiashi
menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Kau sampai seperti ini apa memang tugas
atau memang keinginanmu sendiri, Hinata?”
Mata
sayu Hinata mengarah pada ayahnya. “Aku melakukannya untuk Naruto-kun.”
“Ngomong-ngomong
soal Naruto. Dia sudah kembali ke Konoha,” ucap Neji tiba-tiba.
“Eh?”
Mata Hinata pun membesar. “Ba-bagaimana bisa?”
“Ceritanya
panjang, tapi Naruto sedang tidak ada di Konoha. Kalau dia kembali, aku akan
menyuruhnya menjengukmu.”
Hinata
lalu memandangi langit-langit di atasnya. Ia tidak menyangka rupanya Naruto
benar-benar hidup. Meski ia harus memastikan dengan matanya sendiri, namun ia
rasa Neji tidak akan setega itu membohonginya. Ia lantas mengusap matanya yang
mengeluarkan beberapa bulir air. “Syukurlah.” Naruto kembali, lalu Sasuke pun
lolos dari hukuman mati. Ia tentu saja pantas mengeluarkan air mata bahagia
itu.
“Kalau
begitu aku harus kembali ke rumah dulu. Ada yang harus kuurusi,” tukas Hiashi.
Ia memberi sinyal pandangan pada Neji agar mengikutinya keluar.
“Terima
kasih, Otou-sama.” Hinata hanya bisa
memandangi ayahnya dan Neji yang keluar dari kamar. Ia lalu melihat bagian
bawah tubuhnya dan berusaha menggerakan tangan. “Masih kaku, aku memang harus
bersabar dulu.”
Sementara
itu di koridor rumah sakit yang agak sepi, Hiashi menghentikan langkah kakinya.
Ia menatap Neji dengan tegas. “Sejak kapan Hinata dekat dengan Uchiha Sasuke,
Neji?”
Neji
yang diberi pertanyaan itu terang saja kaget. Namun ia tetap menjawab. “Seingat
saya, sejak Naruto menghilang dari Konoha.”
Hiashi
memejamkan matanya rapat-rapat. Ia menatap Neji dengan mata nyalang. “Jangan
sampai para tetua kita menyadarinya, Neji. Ini akan berbahaya pada Hinata.
Sebisa mungkin kau juga menjauhi Hinata dari Sasuke.”
Neji
tentu tahu mengapa Hiashi berkata seperti itu. “Akan saya usahakan. Tapi saya
sulit menemukan alasan yang tepat agar Uchiha itu menjauh dari Hinata-sama. Karena sepenglihatan saya dia juga
tidak macam-macam pada Hinata-sama.”
“Pokoknya
kau harus mengawasi Hinata. Jika tetua kita tahu hal itu, aku sebagai pemimpin
Klan Hyuuga pun tidak akan mampu melindungi Hinata. Aku tidak mau nasib Hinata
serupa dengan Hikari-sama.”
Dahi
Neji semakin mengerut. “Tentu saja saya tidak mau kejadian naas itu terulang
lagi,” ujung suaranya bergoyang. Ia memang pernah mendengarkan langsung kisah
Hyuuga Hikari, mengingatnya saja membuat hatinya gelisah. Ia lantas mengantar
Hiashi hingga gerbang rumah sakit. Sayangnya ia tidak berani memberi tahu bahwa
untuk sementara waktu ia tidak bisa menjaga Hinata karena tadi ia mendapatkan
kabar untuk pergi ke Kumogakure.
.
.
“Naruto
apa ada yang kau lihat selain Konoha yang diselimuti dengan api?” Kushina dan
Naruto kini tengah berada di jalan dimensi lain yang akan mengantarkan mereka
ke Rumah Sakit Konoha, mereka ingin mengunjungi Tsunade kembali. Mereka tengah terbang
bersisian.
Tanpa
melirik Kushina, Naruto berujar, “Tanpa aku mengatakannya, Kaa-sama juga bisa melihatnya, kan?”
Dahi
Kushina mengerut. Ia mencoba membaca pikiran Narutp. Matanya pun membesar. “Siapa
dia? Berbeda sekali dengan Madara.”
“Aku
juga merasa dia bukan Madara, tapi selain dia siapa lagi yang ingin menyerang
Konoha? Apa ia sama seperti musuh yang sudah-sudah?”
Kushina
menggeleng. “Aku tidak pernah melihatnya.”
“Mungkin
hal itu bisa kita pikirkan nanti. Yang jelas dia sangat kuat, aku sampai tidak
berkutik dibuatnya.” Suara Naruto bergetar.
“Tapi
ada yang berniat menolongmu, dia—”
“Kaa-sama,” potong Naruto. “Dari apa yang
telah Kaa-sama alami, bisakah kita
mencegah hal itu terjadi?” suara Naruto terdengar lebih berat. Menandakan ia
sangat merisaukan apa yang dilihatnya dalam mimpi.
“Tidak
bisa,” jawab Kushina. “Namun kita masih bisa melakukan sesuatu terhadapnya. Kau
akan menemukan celah di sana.”
“Aku
tidak ingin ada yang mati lagi,” ujar Naruto.
“Semua
orang pasti sependapat denganmu.”
Namun
Naruto tahu di setiap peperangan, pasti akan memakan korban, dan ia akan
kembali merasakan kehilangan.
.
.
Kakashi,
Shikamaru, dan Neji kini tengah berada di ruangan Tsunade. Mereka mendapatkan
misi ke Kumogakure.
“Tolong
berikan ini pada Raikage,” Tsunade menyerahkan batang bambu yang memiliki
penutup pada Kakashi. “Kalian harus membuat mereka mau menerimanya. Sebisa
mungkin hindari pertikaian secara langsung. Semoga dengan ini Raikage bisa
cepat sembuh.”
Kakashi
pun menyimpan batang bambu itu di kertas segelnya, yang kemudian ia simpan di
kantong jaketnya. “Baiklah, kami akan berangkat sekarang juga.”
Tsunade
mengangguk. “Semoga misinya sukses.”
Ketiga
shinobi itu menunduk pada pemimpin
mereka dan keluar dari sana.
Tsunade
menarik napas dalam-dalam. Ia menatap keluar jendela. Esok ia sudah berencana
akan keluar dari rumah sakit, meski belum sembuh benar. “Entah apa yang akan
terjadi ke depannya. Apa yang harus kulakukan?”
“Baa-chan!” tiba-tiba Naruto muncul di
daun pintu kamar Tsunade.
Membuat
Tsunade kaget setengah mati. Ia lalu melemparkan bantal tepat ke kepala Naruto.
“Eits!”
Namun Naruto dengan cepat berjongkok. Bantal itu pun malah melayang keluar.
DUG
Kushina yang berdiri di belakang
Naruto pun melayangkan tinju ke kepala anaknya. “Sudah kubilang kau harus
bilang permisi dulu!”
“Adu-duh!”
Naruto mengusap kepalanya.
“Maaf,
Tsunade-sama. Kami kembali.” Kushina
membungkuk dalam-dalam.
Tsunade
menghembuskan napas banyak. “Kalian pulang tanpa bilang permisi.” Ia menatap
Naruto dengan garang. “Sekarang muncul tanpa bilang permisi dulu.”
“Ini
karena Naruto menolak cinta seorang perempuan. Dia jadi dilema,” Kushina pun
berjalan mendekat ke Tsunade.
“Eh?”
Alis Tsunade terangkat sebelahnya.
“Namanya
juga anak muda Tsunade-sama.”
Sementara
Naruto hanya manyun. Kaa-sama
mengolok-ngolokku.
“Apa
ada yang ingin kau sampaikan padaku?” Tsunade mengalihkan pembicaraan.
Wajah
Kushina dan Naruto berubah serius.
“Kemungkinan
besar akan terjadi serangan besar-besaran di Konohagakure. Naruto melihatnya
dalam mimpi,” jelas Kushina yang langsung ke inti permasalahan.
Tsunade
terdiam sejenak. Ia juga pernah mempelajari tentang kemampuan istimewa Klan
Uzumaki ini. Ia tersenyum tipis. “Naruto sepertinya sudah menjadi yousei sepenuhnya ya.”
Naruto
tetap memasang wajah serius. “Kita akan melawan musuh yang sangat berbahaya dan
mematikan, Baa-chan.”
“Lalu
apa yang kau lihat?”
Naruto
hanya mengatakan tentang musuhnya yang memiliki seringai mengerikan dan
berpenampilan serba hitam. Lalu ia melanjutkan, “Aku akan melakukan penyegelan bijuu di sini karena itu untuk
berjaga-jaga aku ingin di bawah tanah Konoha dibuat pola seperti ini.” Naruto
mengeluarkan secarik kertas dari kantong kunainya.
Tsunade
pun mengambil kertas itu dari tangan Naruto. Di sana ada sebuah gambar
lingkaran besar yang di tengah-tengahnya terdapat bentuk bulan sabit. Lalu di
masing-masing sudut atas, bawah, dan bagian kiri-kanan, terdapat pola yang
sama, namun lebih kecil. “Apa ini, Naruto?”
“Pola
segel empat penjuru mata angin. Segel yang dulu Rikudou Sennin gunakan untuk
menyegel para bijuu di Lingkar Luar Uzumakigakure.”
Tsunade
jadi agak bingung. “Kau yakin bisa melakukannya, Naruto?”
“Aku
sudah membersihkan diriku. Jadi,
kemungkinan berhasilnya sangat besar,” jelas Naruto tanpa ekspresi.
Tsunade
tiba-tiba tercengang. Namun ia tersenyum lebar. “Kalau sudah begini jadinya,
sepertinya aku bisa cepat lengser dari jabatanku.”
“Kau
tidak perlu melakukannya, Baa-chan.
Menjadi Hokage … itu sekarang sudah menjadi mimpi masa kecilku.”
“Naruto
kau terlalu cepat memutuskan,” komentar Kushina.
Tsunade
sendiri tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ia hanya mampu
membuka-menutup mulutnya. Ia lantas menarik napas dalam-dalam. “Kupikir kau
masih saja sama dengan Naruto yang kukenal, ternyata kau banyak berubah.”
“Perubahan
itu diperlukan, Baa-chan. Apalagi ini
memang ditugaskan padaku seorang. Aku tidak boleh gagal. Bijuu-bijuu itu harus dikembalikan ke tempat semula agar dunia jadi
seimbang dan tidak akan ada lagi yang memanfaatkannya.”
Tsunade
menatap Naruto sejenak. Ia jadi berharap bahwa Naruto tetap Naruto kecil yang
ia kenal, tapi sepertinya ia harus siap melepaskan, meski sebenarnya tidak
terlalu rela. “Baiklah. Aku akan menghubungi Klan Akimichi untuk melakukannya.”
“Selebihnya
aku melihat musuh yang akan mematikan kita semua. Aku belum tahu apa yang harus
kulakukan untuk mengalahkannya. Aku tidak tahu siapa dia.”
Tsunade
mengangguk paham. “Kita akan bersiap-siap. Mungkin dengan ini kita bisa
mengurangi banyak korban. Aku akan melakukan evakuasi segera.”
“Tunggu,
Baa-chan!”
“Hm?”
Naruto
menggaruk pipinya sendiri. “Aku sendiri tidak tahu kapan hal itu terjadi.” Ia
tersenyum sangat lebar.
Tsunade
yang dongkol setengah mati akhirnya melayangkan bantal ke wajah Naruto sampai
dia terpelanting ke lantai.
.
.
Sasuke tidak pernah selega ini dalam
hidupnya. Ia memang tidak bisa melihat Hinata dengan jelas. Namun ia kaget juga
Hinata sudah bisa terduduk di tempat tidurnya. Ia duduk di samping tempat tidur
Hinata. Sementara Ino dan Sakura berdiri di dekat jendela. “Apa masih ada yang
sakit, Hinata?”
Hinata
menggeleng. Senyuman kecil mengembang di bibirnya. “Aku tidak tahu apa yang tim
medis lakukan, padahal tadi aku kesulitan menggerakan tubuhku. Sekarang aku
bahkan bisa duduk.” Malu-malu ia menatap Sasuke-kun, namun ia melihat ada yang aneh dengan gerak mata Sasuke. “Kau
masih belum bisa melihat, Sasuke-kun?”
Sasuke
menyentuh satu matanya. “Sebenarnya bisa, tapi masih tidak jelas.” Sebenarnya
ada hal yang sangat ingin ia ucapkan, namun ia terlalu gengsi untuk
mengungkapkannya.
“Oh
ya, kalian sudah bertemu dengan Naruto-kun?
A-aku ingin sekali bertemu dengannya.” Pipi Hinata semakin bersemu merah.
Syukurlah Hinata sepertinya masih menyukai
Naruto, Ino tampak lega dalam hatinya. Ia tersenyum kecil.
Sakura
yang berdiri di sebelahnya pun menyenggol bahu Ino agar tidak mengeluarkan
ekspresi macam-macam.
“Naruto
baru tiba di sini. Ia sedang di kamar Tsunade-sama. Mungkin setelah itu ia akan kemari.”
Mata Sakura melebar mendengarnya.
Diikuti tangannya yang kemudian mengepal.
Tiba-tiba muncul Shizune dari pintu.
Ia masuk dengan membawa papan yang menempel sebuah kertas di atasnya.
“Syukurlah kau sudah siuman Hinata.”
“Shizune-san, terima kasih sudah merawat saya,”
Hinata membungkuk sejenak.
“Itu
sudah menjadi tugas tim medis,” ujar Shizune seraya tersenyum. Matanya kemudian
beralih pada Ino dan Sakura. “Sakura, Ino, sebaiknya kalian melanjutkan tugas.
Biarkan saja Sasuke di sini dulu, sepertinya ia ingin mengobrol lama dengan
Hinata.”
Hinata
langsung menatap Sasuke dengan wajah penuh kejut.
Dahi
Sasuke tiba-tiba mengerut.
“Apalagi
Sasuke datang setiap hari ke sini untuk menjengukmu,” lanjut Shizune lagi.
Wajah
Hinata merona serupa udang rebus.
Sasuke hanya bisa terdiam, namun
kedua alisnya kini benar-benar menyatu di tengah dahinya.
Sementara itu Sakura mengangguk
paham, namun Ino yang tidak begitu setuju. Membuat Sakura menarik paksa
tangannya dan keluar cepat-cepat dari kamar Hinata.
“Lepaskan
tanganku, Sakura!”
“Berisik!
Kau seharusnya bisa membaca situasi!”
Sakura
dan Ino malah bertengkar di koridor.
Shizune
hanya tertawa kecil mendengar suara adik seperguruannya itu. “Aku ingin
memeriksamu sebentar, Hinata.”
Hinata
mengangguk paham. Lalu membiarkan Shizune melakukan tugasnya. Hanya 20 menit.
Setelah itu Shizune langsung pamit
keluar. “Kau tenang saja, Sasuke. Ino dan Sakura nanti akan mengantarmu kembali
ke kamar.”
Sasuke tidak membalasnya. Ia merasa
Shizune tengah mengusilinya. Namun baguslah, karena dia, Ino dan Sakura keluar
juga dari ruangan ini. Karena Sasuke tidak ingin ada yang mendengar ucapannya
setelah ini. “Apa aku mengganggumu, Hinata?”
“E-eh? S-sama sekali tidak.” Telapak
tangan Hinata bergoyang di udara.
Sasuke mengembuskan napasnya
sejenak. Ia tidak mengerti mengapa Hinata jadi terbata-bata lagi, namun ia
ingin sekali mengatakannya. “Aku … aku ingin berterima kasih karena kau telah
melindungiku kemarin. Aku benar-benar berutang budi padamu.” Sasuke yang
meskipun tengah duduk, menunduk dalam-dalam.
Hinata kembali salah tingkah. “K-kau
tidak perlu membungkuk, Sasuke-kun.
Aku … aku melakukannya dengan sepenuh hatiku, demi janjiku pada Naruto-kun.”
Sasuke kembali menegakkan tubuhnya.
“Naruto yang memintamu untuk melindungiku?”
Hinata mengangguk. “Aku menyangka
waktu itu adalah hari terakhir aku bertemu dengan Naruto-kun, maka dari itu aku ingin sekali mengabulkan permintaan
terakhirnya.”
“Saat Naruto diculik oleh Akatsuki?”
Hinata mengangguk perlahan.
Sasuke tentu saja sudah
mengetahuinya. Sebenarnya kejadian Naruto diculik oleh Akatsuki tidak pernah
disangka oleh banyak orang. Namun sejak pertama Naruto memang berniat mati
untuk mendonorkan jantungnya sendiri agar Sasuke selamat dari maut….
“Aku … sebenarnya tidak pantas
mendapatkan pertolongan kalian.”
Hinata
menggelengkan kepalanya. “Aku memang tidak terlalu mengenalimu, namun setelah
berbicara denganmu seperti ini, aku tahu sebenarnya kau adalah lelaki yang
baik, Sasuke-kun.”
Sasuke tertegun mendengarnya. Meski tidak begitu jelas,
namun ia bisa membayangkannya dengan jelas. Wajah di depannya itu memberikan
senyuman yang begitu tulus padanya.
“Sekarang
Tim 7 jadi lengkap kembali. Aku benar-benar senang melihatnya.”
Sasuke
tersenyum kecil. “Ya.”
“Sasuke-teme! Untuk apa kau ada di kamar
Hinata?!” Naruto tanpa permisi masuk ke dalam ruangan.
Hinata
yang melihatnya langsung mematung.
Sementara
Sasuke hanya mampu mengenali warna rambut Naruto yang sangat terang itu.
“Syukurlah
kau baik-baik saja, Hinata. Aku tidak menyangka kau berbuat seperti itu demi si
brengsek ini. Aku benar-benar sangat berterima kasih.” Naruto menunduk
dalam-dalam.
Hinata
kembali merona merah. “A-ah i-itu tidak m-masalah, Naruto-kun. A-aku melakukannya dengan ikhlas.”
Naruto
kembali menegakan tubuhnya. “Kau memang keren, Hinata!” Ia mengarahkan
jempolnya pada Hinata.
“Kau
membuat repot Hinata saja, Naruto,” ujar Sasuke dengan nada sinis.
“Diam
kau, Sasuke! Kau utang nyawa pada Hinata, tahu! Camkan itu!” Naruto malah
serius menanggapi Sasuke.
“Tentu
saja.” Sasuke jadi acuh tak acuh.
“Pelankan
suaramu sedikit!” Lagi-lagi Kushina yang baru muncul di kamar Hinata memukul
kepala Naruto.
“Sakit!
Kaa-sama, hari ini kau sudah
memukulku dua kali.”
“Ini
rumah sakit! Jangan berisik!” teriakan Kushina membahana di ruang inap Hinata.
Mereka sama-sama berisik, gerutu Sasuke
dalam hatinya.
“Bagaimana
keadaan kalian, Hinata, Sasuke?” Kushina mendekatkan dirinya di samping tempat
tidur Hinata.
“Penglihatanku
masih belum jelas. Sepertinya aku akan buta untuk selamanya,” jelas Sasuke.
Sementara
itu Hinata terdiam memandangi Kushina. Ia belum pernah melihat wanita cantik
yang penampilan serba merah itu.
“Ah,
kau memang belum pernah melihatku ya. Perkenalkan, namaku Uzumaki Kushina. Aku
ibunya Naruto.”
“H-hah?”
Hinata sampai sulit mengeluarkan kata.
“Mungkin
kalau ada waktu nanti Naruto akan bercerita padamu. Maafkan aku, tapi aku punya
urusan dengan Sasuke.” Kushina kini menatap Sasuke.
“Ada
yang ingin Anda bicarakan, Kushina-san?”
“Begitulah.
Tapi kita bicara di sini saja.” Kushina membawa tangannya melipat di depan
dada. “Jika kau ingin bisa melihat kembali kau harus tinggal di Uzumakigakure.”
Dahi
Sasuke mengerut. “Untuk apa?”
Hinata
yang mendengarnya tiba-tiba langsung bersedih. Ia sendiri tidak tahu mengapa
jadi bersedih. Matanya pun terarah pada Sasuke.
“Agar
matamu bisa sembuh kau melakukan kontrak dengan dia. Tapi sebagai gantinya, kau harus tinggal selamanya di
Uzumakigakure, menjadi penjaga segel.”
Sasuke
berpikir sejenak. “Dengan siapa aku melakukan kontrak?”
“Suzaku,
si pelindung api selatan.”
Sasuke
tercenung mendengar namanya, tentu saja ia mengenal burung titisan dewa yang
melegenda itu. Dulu Itachi sering menceritakan kisahnya sebagai
pengantar tidur ketika ia masih kecil. “Jadi dia benar-benar ada ya.”
“Aku
membutuhkanmu untuk bisa mengendalikannya. Ia hanya mau menurut pada shinobi yang memiliki kekuatan api yang
kuat.” Kushina menatap Naruto sejenak lalu mengembalikan pandangannya ke
Sasuke. “Peranmu sangat dibutuhkan di pertarungan besar berikutnya.”
“Maksud
Anda?”
“Akan
terjadi pertumpahan darah di Konoha. Kau tentu tahu Madara masih ada di luar
sana.”
Alasan
yang Kushina utarakan cukup masuk akal. Selama Madara masih hidup, teror di
muka bumi ini tentu saja akan selalu ada. Namun Sasuke masih ragu. Tinggal
selamanya di Uzumakigakure … masih ada yang belum ia pahami.
“Setelah
perang usai, aku sama sekali tidak bisa keluar dari Uzumakigakure?”
“Tidak
bisa, Sasuke. Setelah perang usai, Uzumakigakure akan disegel dan disimpan di
dimensi yang tidak akan pernah ada yang bisa menyentuhnya. Kau yang menjaganya.”
“Kenapa
bukan Naruto atau anggota Klan Uzumaki yang lain yang melakukannya? Aku adalah
orang luar—”
“Klan
Uchiha sebenarnya berasal dari Uzumaki, Sasuke. Uzumaki Akio, salah satu anak
Rikudou Senni, kau adalah keturunannya.”
Sasuke
tidak tahu harus berkomentar apa. Namun ia tahu ia harus bisa memutuskan.
Sementara
itu Hinata menggigit bibirnya sendiri. Ia hanya mampu melihat Sasuke dan
Kushina yang saling melemparkan kata dengan wajah serius.
Kushina
kembali berbicara. Ia ingin Sasuke bisa bertindak cepat. “Kau juga pasti
menyadarinya, Sasuke. Banyak orang yang tidak terima kau masih hidup. Mereka
tidak akan berdiam diri, perlawanan mereka belum berakhir. Maka dari itu untuk
sekarang kau harus lari dari sini dan mempersiapkan diri untuk pertarungan
selanjutnya.”
“Kaa-sama, Sasuke butuh waktu untuk
memikirkannya,” Naruto menginterupsi.
“Dan
kita tidak memiliki waktu yang banyak,” Kushina tetap pada pendiriannya.
Akhirnya
Sasuke pun menegakan tubuhnya. “Baiklah aku siap melakukannya.”
“Kalau
begitu bersiaplah. Lusa kau akan ke Uzumakigakure.”
Sasuke
hanya mengangguk.
Dan
Hinata tahu mungkin ini adalah terakhir kalinya ia melihat Sasuke. Naruto
memang kembali, tapi ternyata ada yang harus pergi. Ternyata kebahagiaan yang
ia rasakan tadi tidak bersarang terlalu lama di hatinya….
.
.
“Maaf
Sasuke, ibuku jadi memaksamu seperti itu,” ucap Naruto. Ia dan Sasuke kini
berada di balkon yang letaknya di luar kamar inap Sasuke. Mereka sudah
mengobrol sejak satu jam lamanya.
“Untuk
apa kau meminta maaf? Seperti bukan si super bodoh saja,” balas Sasuke dengan
santai.
“Kau
ini memang menyebalkan!” Naruto mendengus kesal.
“Tapi
aku masih heran, bukan karena aku tidak mau. Kenapa bukan kau yang menjadi
penjaga segel itu?”
“Aku
akan pergi ke tempat lain setelah perang ini usai.”
“Hm?”
Naruto
menggaruk belakang kepalanya. “Sebenarnya aku juga belum tahu apa aku bisa
selamat dalam perang itu. Jadi, ya … karena menurut ibuku kau akan selamat,
ibuku pun meminta bantuanmu.”
Sasuke
terang saja kaget dengan pernyataan pesimis Naruto. “Memangnya ibumu bisa
meramal masa depan?”
Naruto
menggeleng. “Masa depan yang kelam itu sendiri yang datang padanya. Terkadang
padaku juga.”
Bersambung….
Wrote by PrettyAngelia