MAU KE JEPANG GRATIS? YUK, NULIS ARTIKEL. DEADLINE 16 JUNI 2016. INFO LEBIH LENGKAP KLIK BANNER DI BAWAH INI
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Semi-Crossover
with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
.
.
Mata-mata
itu pun mengalihkan pandangannya pada Naruto. Seketika lapangan itu hening
seperti di kuburan….
Teriakan
nyaring itu pun menyambangi telinga seluruh penghuni lapangan naas itu. Semua rekan Naruto menatap ke arah
sumber suara dengan pandangan tak percaya. Terutama Sakura dan Sasuke.
“Naruto?”
.
.
Chapter 14
Tak Bisa Seperti Dulu
.
.
Mata Sakura membesar ketika banyak
orang yang menyebut nama itu.
Naruto….
Jantungnya pun berdegup kencang tak
keruan. Sakura ingin memastikan, namun ia masih begitu syok melihat Naruto yang
tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Sakura, benarkah yang tadi Naruto?”
tanya Sasuke yang mendengar nama Naruto juga, tapi sayang ia tidak mampu melihatnya.
“Ya, dia Uzumaki Naruto,” jawab
Kushina yang kini menjadi pusat perhatian Sakura, Sasuke, dan Ino. Sementara
Hinata masih belum sadarkan diri. Senyumannya melebar saat melihat teman-teman
seangkatan anaknya itu. “Jadi, kau yang namanya Sakura ya? Naruto sering
menceritakanmu.”
“Anda siapanya Naruto?” Dahi Sakura
mengerut.
“Ah ya, kami belum memperkenalkan
diri. Aku Uzumaki Kushina, ibunya Naruto. Dan yang ini Uzumaki Rin.”
“U-uzumaki?” Ino tercengang. Ia kira
yang bernama Uzumaki di dunia ini hanya Naruto seorang, terlebih Kushina
mengatakan bahwa ia adalah ibu Naruto.
Sakura juga memasang raut wajah yang
tidak berbeda dengan Ino. Ia jadi kelu di tempatnya. Bagaimana bisa? Orangtua Naruto sudah lama meninggal!
“Kau baik-baik saja, Sakura? Sepertinya
lukamu cukup parah. Kau berani sekali menantang shinobi berpangkat Kage.” Kushina pun mendekat ke Sakura. “Aku bisa
jutsu pengobatan dasar, aku akan
mengobatimu.”
Namun Sakura tidak menghiraukannya.
“Naruto benar-benar di sini? Dia masih hidup?”
Kushina tertawa kecil. “Dia sangat
sehat sekarang. Meski aku menemukannya dalam keadaan sekarat.”
“Jadi Anda yang menyelamatkan Naruto
waktu itu….” Kejadian menyakitkan itu masih bisa Sakura ingat di otaknya. Saat
mereka melakukan misi penyelamatan Naruto dan menemukan sosok Naruto yang sudah
tewas, namun ternyata itu adalah kamuflase Madara.
Kedua mata Kushina tiba-tiba
membesar bertepatan dengan Sakura yang memalingkan kembali wajahnya ke direksi
Naruto menghilang. Anting mawar di telinganya tiba-tiba berkedap-kedip.
Mengeluarkan cahaya redup, namun tetap kentara dan dirasakan olehnya. “Eh?”
“Aku ingin memastikannya!” Sakura
pun berlari dari pijakannya.
Kushina jadi tak berkutik dibuatnya.
Fenomena ini ia rasakan lagi. Kalau sudah
dua kali begini, tentu saja ini bukan kebetulan lagi. Ia jadi teringat saat bertemu dengan seorang gadis di Konohagakure
beberapa bulan lalu. Ia juga mengalami hal ini. Earendell yang ada di antingnya
bereaksi terhadap Sakura. Ia pun langsung teringat wajah gadis itu. Jadi, dialah orangnya ya.
Rin yang menyadari reaksi Earendell
ikut tersentak, namun ia tidak sampai menghentikan pengobatannya pada Hinata. “Nee-sama, Earendell-nya!”
Kushina menatap Rin dengan wajah
serius. “Suatu hari aku akan menguji gadis itu.”
Sementara Ino hanya menatap Rin dan
Kushina dengan wajah bingung. Ia memalingkan perhatiannya pada Sasuke. “Sudah
selesai, Sasuke-kun. Tapi matamu
harus segera dioperasi agar kau bisa melihat lagi, meski itu tidak menjamin sharingan-mu akan kembali.”
“Aku tidak peduli,” jawab Sasuke
datar. “Hinata akan baik-baik saja, kan?”
“Tenang saja, Sasuke. Aku akan
menumbuhkan bunga mawarku di Konoha nanti, tanamannya bisa dijadikan obat yang
bisa mengobati luka cukup parah. Yah, meski akan lebih bagus dicampurkan dengan
tanduk rusa Klan Nara.” Kushina menjawabnya sebelum Ino melakukannya. “Kalau
aku boleh tahu siapa yang menyerangmu hingga matamu luka begitu?”
“Aku sendiri.”
Kushina terkejut mendengarnya. “Eh?
Mengapa kau melakukannya?”
“Aku hanya ingin menghilangkan
kutukanku.”
Gawat,
kalau Suzaku tahu calon tuannya kehilangan penglihatan seperti ini pasti dia
akan ngamuk, batin Kushina. Ia memang paling tidak tahan menghadapi dewa
pelindung api yang mudah berubah-ubah mood-nya
itu.
.
.
“Kakashi- sensei. Aku ingin ke sana untuk memastikannya.” Shikamaru hendak
beranjak ke tempat Naruto berada, namun suara parau seorang wanita menghentikan
langkahnya.
“Na-naruto
… benarkah i-itu Naruto?”
“Tsunade-sama?!”
Shizune terkejut melihat Tsunade telah sadar. Ia pikir luka yang dideritanya
akan membuatnya pingsan seharian meski sudah dilakukan pengobatan pertama.
“Syukurlah Anda sudah sadar, Tsunade-sama.” Kakashi mengembuskan napas lega. “Kami belum tahu, kami akan
mengeceknya.”
“Ka-kalau begitu pergilah. B-bawa Naruto padaku,” titah
Tsunade.
Kakashi dan Shikamaru pun saling pandang sembari mengangguk.
“Tolong jaga Tsunade-sama,
Shizune, Anko.”
.
.
Sakura terus berlari dan berlari. Melewati tubuh-tubuh yang
bergelimpangan di lapangan eksekusi Sasuke itu. Tidak ada tubuh-tubuh yang
mati, namun sebagai ninja medis ia tidak mempedulikan orang-orang itu. Yang ada
di otaknya sekarang hanya satu, memastikan shinobi
yang menyelamatkannya tadi memang Naruto. Ia juga tidak mempedulikan luka
serius yang ia dapatkan dari pertarungannya melawan Raikage tadi. Hatinya
semakin bergejolak. Semakin mendekati ke kerumunan orang yang tengah berkumpul,
semakin ia mempercepat kakinya untuk berlari.
Sementara itu Naruto banyak dikerumuni shinobi Konohagakure dan pasukan Negara Hi yang masih belum percaya
akan kehadirannya.
“Tidak mungkin kau Uzumaki Naruto! Uzumaki Naruto sudah
mati!”
“Ya, betul itu! Kau sudah dikubur di upacara pemakaman megah
kemarin!”
“Kau pasti shinobi dari
desa lain yang membuat ingin memanfaatkan kekacauan di sini!”
“Kau pembohong!”
Orang-orang itu sudah kembali berdiri karena Naruto
menghentikan jurus angin penghisapnya. Naruto memijat dahinya sendiri.
Kepalanya jadi pusing menghadapi keributan konyol ini. Mulutnya mengeluarkan
decakan kesal. “Kalian bilang aku sudah mati?! Yang benar saja!”
“Naruto!”
Perhatian Naruto pun beralih pada sosok gadis berambut
serupa warna bunga sakura yang berlari kencang ke arahnya. Ia mundur selangkah;
memasang wajah ketakutan. “Sakura-chan!”
“Naruto! Kau bodoh!” Sakura tanpa ragu menjatuhkan tubuhnya
pada seseorang yang sudah dirindukannya sangat lama itu.
“Uaaa!” Sampai membuat Naruto terpelanting ke tanah.
“Sakura-chan!”
Mata Sakura yang terpejam lalu membuka dan beradu dengan
mata Naruto.
Biru dan hijau bertemu. Mereka saling pandang dalam diam.
Jendela dunia itu masing-masing menyelidiki apa yang sudah terjadi
berbulan-bulan belakangan. Rasanya sudah seabad berlalu sejak terakhir bersua.
Saat itu Naruto tersadar, ia juga merindukan gadis cantik yang
memiliki mata sama hijaunya dengan pepohonan lebat yang tumbuh di
Uzumakigakure. Ia tertawa kecil saat Sakura mulai memukul-mukul dada bidangnya.
“Baka! Baka! Baka!” suara teriakan Sakura beradu dengan tangisannya.
“Sakitnya! Kekuatanmu sepertinya bertambah ya, Sakura-chan!”
“Bakaaaaa!” Sakura
mengarahkan pukulan terakhirnya cukup keras di dada Naruto. Karena lelah yang
menjalar ke tubuhnya, ia malah membenamkan wajahnya di bawah dagu Naruto.
Naruto pun dibuatnya terbatuk berkali-kali, namun ia cukup
kaget dengan perlakuan Sakura itu. Sudah lama sekali mereka tidak berdekatan
seperti ini. Tangannya pun dibawa menyentuh rambut Sakura. Ia membelainya
perlahan. “Tadaima, Sakura-chan,” bisiknya.
“Okaeri, idiot!”
maki Sakura yang masih berada di posisi yang sama.
“Di mana Naruto?—eh?” Mata Shikamaru membulat melihat
pemandangan di depannya.
Kakashi berdiri di samping Shikamaru memasang ekspresi yang
sama dibalik penutup mulutnya.
Shikamaru menatap Naruto cukup lama, Naruto juga tengah
memandang ke arahnya.
“Yo, Shikamaru!” Naruto melambaikan tangannya.
Shikamaru tersenyum lebar. “Ckckck kau ke mana saja, Naruto?
Membuat kami khawatir sampai nyaris gila. Dan apa-apaan kalian? Masih sempat
bermesraan seperti itu meski sangat ramai begini.”
Sakura buru-buru bangkit dari tubuh Naruto. Ia mengelap air
mata yang tersisa di pipinya. “Kau merusak suasana saja, Shikamaru!”
Naruto tersentak saat baru menyadari ternyata tadi Sakura
menangis. Namun ia malah tertawa untuk meredam salah tingkahnya.
“Enaknya yang masih
muda,” Kakashi terbahak-bahak seraya mengelus dagunya sendiri. Ia lalu
menghadap pasukan Negara Hi dan shinobi Konohagakure
yang masih tidak mengerti apa yang ada di depan mereka. “Minna-san!” serunya dengan suara yang begitu lantang. “Kalian boleh
kembali ke markas masing-masing! Pertempuran ini sudah usai! Segera bawa rekan-rekan
kalian ke rumah sakit Konohagakure untuk dilakukan pertolongan pertama!”
“Apa maksudnya ini, Kakashi-san?” Salah satu shinobi Konohagakure
menghampirinya dengan muka bingung.
“Misi kalian sudah selesai! Jadi, kalian tidak perlu lagi
melanjutkan peperangan ini!”
Lapangan itu menjadi hening, namun selanjutnya para pasukan
Negara Hi dan shinobi Konohagakure
membubarkan diri. Lapangan tersebut kembali berisik dengan ocehan mereka yang
membicarakan perihal perang ini. Macam-macam hal yang mereka katakan.
Masing-masing dari mereka membantu temannya yang terluka untuk keluar dari
sana.
Kakashi mendesah kuat. Ia lalu beralih pada Naruto.
Memperhatikan muridnya itu dan Shikamaru sedang bercengkrama.
“Aku benar-benar lega kau rupanya masih hidup. Aku tidak
pernah menyangka. Jadi, selama ini kau ke mana saja?”
Naruto ingin menjawab, namun Kakashi menginterupsi.
“Ceritanya nanti saja, Naruto. Tsunade ingin berjumpa
denganmu.”
“Apa shisou baik-baik
saja, Kakashi-sensei?” tanya Sakura
tiba-tiba.
“Em … Tsunade-sama mendapatkan
luka cukup parah saat bertarung dengan Raikage—”
Belum sempat Kakashi menyelesaikan kalimatnya, Naruto sudah
menginterupsi. “Di mana Baa-chan, Sensei.”
“Kemarilah.” Kakashi pun berjalan ke tempat Tsunade diikuti
oleh Shikamaru.
Sementara perhatian Naruto kini ada pada Sakura. “Kita ke
sana sekarang, Sakura-chan.”
“Ya—ah!” Sakura yang sudah berdiri, malah nyaris tersungkur
kalau-kalau Naruto tidak menangkap tubuhnya.
“Kau tidak apa-apa, Sakura-chan?!” seru Naruto yang panik.
Sakura tertawa getir. “Sepertinya aku tidak mampu berjalan,
Naruto.” Ia pun mengakui ketidakberdayaannya.
“Baiklah,” tanpa ragu Naruto menggendong Sakura ala
pengantin.
Sakura pun dibuatnya terkejut. Ia ingin protes, namun
melihat senyuman Naruto ia jadi mengurungkan niatnya.
“Kalau begini akan lebih cepat, Sakura-chan.”
Sakura hanya mampu tersenyum tipis. Dadanya berdebar-debar. Entah mengapa ada yang beda dengan
senyumannya itu, kenapa ia bisa jadi lebih tampan dalam waktu beberapa bulan
saja? Yang ia tak sangka selanjutnya, ia sudah berada di tempat lain yang
terasa begitu asing baginya.
“Sampai!” seru Naruto. Matanya yang menatap sosok Tsunade
yang berbaring di antara Anko dan Shizune langsung membelalak. “Baa-chan!”
“Naruto?!” Anko dan Shizune berteriak berbarengan. Mereka
bisu di tempatnya.
“Shisou!” Sakura
memberikan isyarat pada Naruto untuk menurunkan tubuhnya.
Naruto pun menurut dan segera mendekat ke Tsunade; mengikuti
Sakura yang sudah terduduk di sebelah gurunya.
“Heh, ternyata kau benar-benar si Gaki ya,” lirih Tsunade.
Naruto mengangguk. “Sepertinya kau tadi mengalami
pertempuran yang hebat, Baa-chan.”
“Pertempuran hebat apanya, aku kalah telak, tahu.” Tsunade
tersenyum tipis. Namun selanjutnya ia malah mengerang kesakitan.
“Shisou!” teriak Sakura
yang mulai panik. “Biarkan aku yang melanjutkan pengobatannya, Shizune-san!”
“Tidak di sini, Sakura. Tsunade-sama harus segera dibawa ke rumah sakit untuk dioperasi.”
“Biarkan aku saja yang membawa Baa-chan aku bisa sampai di rumah sakit dalam sekejap.”
Kepanikan Sakura pun jadi berkurang. “Baiklah, Naruto.
Tolong ya.”
Naruto pun mengangkat tubuh Tsunade dan berdiri tegak. “Nanti
aku akan kembali ke sini untuk membawa Sakura-chan juga rumah sakit.”
Kemudia dalam pikirannya Naruto memanggil Kushina untuk
melakukan telepati. Kaa-sama, aku membawa Tsunade-baachan ke rumah sakit Konoha. Kau menyusul ya.
Nanti yang lainnya akan membantumu membawa Sasuke dan Hinata.
Kushina yang masih di posisi yang sama mendengar suara itu
dengan saksama. Iya tak ragu mengiyakan. Aku
akan segera ke sana.
“Kakashi-sensei,
Hinata dan Sasuke juga terluka parah. Sakura-chan tahu di mana mereka berada. Tolong bawa mereka ke rumah sakit
segera. Di sana ada Kaa-sama dan Rin-nee-sama.”
“Eh?” Kakashi terhenyak mendengarnya. “Tunggu, Naruto—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Naruto sudah menghilang. Ia langsung memalingkan
wajahnya pada Sakura. “Sakura di mana posisi Sasuke dan Hinata?”
“Dekat dengan pintu rahasia bagian utara, Kakashi-sensei.”
“Shikamaru.”
Shikamaru hanya mengangguk pada Kakashi.
.
.
“Kakashi-sensei
apa maksudnya tadi? Siapa yang Naruto panggil dengan ibu?” Shikamaru berlari
kencang di samping Kakashi.
“Aku juga tidak mengerti, Shikamaru. Kita bisa memastikannya
jika sudah sampai di sana.” Karena yang Kakashi tahu Kushina tewas di malam
tragedi penyerangan Kyuubi di Konohagakure bersama dengan gurunya, Namikaze
Minato. Tadi Naruto juga menyebutkan Rin,
Rin siapa? Di pikiran Kakashi muncul gadis remaja berambut cokelat sebahu
yang menjadi teman satu tim-nya dulu. Aku
jadi berpikir yang tidak-tidak, dia sudah lama meninggal.
Shikamaru menangkap sosok Ino yang rambutnya terlihat paling
terang di sana. Ia juga dapat menangkap sosok dua wanita yang berlutut tak jauh
darinya. “Kakashi-sensei. Itu mereka!”
ia pun mempercepat larinya. “Ino!”
Ino memalingkan wajahnya pada suara yang sangat dikenalnya
itu. “Shikamaru!”
Dalam jarak sedekat itu Kakashi memang dapat melihat
orang-orang yang berkumpul di salah satu titik. Salah satu yang dikenalnya
tentu adalah Ino. Namun saat melihat sosok dua wanita dewasa lainnya ia
langsung menghentikan larinya. Ia berdiri kaku di pijakannya.
Sampai Shikamaru yang menyadarinya pun memalingkan wajahnya
pada Kakashi. “Kakashi-sensei?”
Mata Kakashi yang membesar dua kali terpaku pada Kushina dan
Rin yang juga menatapnya.
Saat itu Rin berdiri di tempat, sementara Kushina masih
terduduk di tanah. “Wah, wah, Kakashi. Sekarang dia sudah jadi pria dewasa ya,”
tukas Kushina seraya terkekeh.
Selanjutnya mata hitam dan cokelat itu saling bertemu.
Memastikan bahwa mereka tidak salah mengenal orang karena mereka sudah lama
tidak berjumpa meski sangat saling kenal. “Kakashi?”
“Ti-tidak mungkin.” Hanya kalimat itu yang bisa Kakashi
utarakan.
.
.
“Di sini mungkin bisa ya.” Kushina membentuk tiga segel di
tangannya. Ia lalu menghentakan telapak tangannya ke tanah.
Muncul gemuruh dari tanah, sampai membuat Sakura yang juga
berada di sana bersama dengan Naruto terkejut dan menatap tanah di bawahnya
dengan waswas.
Kemudian dari titik tanah di depan Kushina muncul dahan
mawar yang begitu besar dan terdapat banyak mawar di badan dahannya.
Sakura menatapnya heran. Padahal bunga mawar tidak pernah
memiliki dahan setinggi dan sebesar nyaris tiga meter itu.
“Yosh. Aku hanya mampu menumbuhkan segini. Kau bantu Sakura
memetik bunganya ya, Naruto.”
Mawar? Sakura berpikir dalam benaknya. Ia
seperti tidak asing melihat mawar itu. Harumnya begitu menyengat, bentuknya pun
lebih besar dibandingkan dengan mawar umumnya. Ia cepat memalingkan wajah pada
Kushina. Dilihatnya dengan lekat-lekat wanita yang memiliki rambut, kornea, dan
bibir yang merah merekah. Matanya pun membelalak. “A-anda Konoha no Rosu
Akai?”
“Rosu akai?”
Naruto memang tidak tahu-menahu soal itu.
“Wah kau tahu ya. Apakah Tsunade-sama yang memberitahukannya padamu?” mata Kushina tertuju pada
Sakura. Ia tersenyum simpul.
Sakura menggeleng. Ia jadi ragu mengatakannya atau tidak. Ia
lama menatap Kushina dengan perasaan gelisah. Masalahnya ia telah membaca buku
harian yang terbilang urusan pribadi orang.
Kedua alis Kushina terangkat. “Jadi kau sempat membaca buku
harian suamiku ya? Apa kau bisa mengembalikannya padaku?”
“E-eh? Ba-bagaimana Anda bisa tahu, Kushina-san? Itu….! Di mana ya aku menaruhnya?”
Sakura tiba-tiba gugup luar biasa.
Naruto pun mulai ngambek karena ulah usil ibunya. Mulutnya
mengeluarkan decakan kesal. “Kaa-sama,
jangan menjahili Sakura-chan.”
Kushina hanya terbahak-bahak melihat ekspresi manyun Naruto.
“Baiklah itu bisa dibicarakan nanti. Sekarang kau petik bunga mawarnya Naruto.”
Naruto lalu mengikuti perintah ibunya.
Sedangkan Sakura memilih diam dan menelisik Kushina dari
tempatnya. Kushina-san bisa membaca pikiranku? Apa benar hal itu
bisa terjadi di dunia ini? Karena yang ia tahu klan yang bisa membaca
pikiran seseorang hanyalah Klan Yamanaka. Tapi itu juga dibutuhkan jurus khusus
untuk dapat masuk ke dalam memori orang yang ingin dibaca pikirannya. Namun
Kushina melakukannya semudah membalikkan telapak tangan.
Dalam sekejap Naruto bisa mengambil setengah dari bunga
mawar yang ada di dahan itu dan di simpannya di dalam sebuah keranjang yang
panjangnya nyaris sama dengan setengah tinggi badannya.
Kushina lalu berjalan kembali ke dalam gedung rumah sakit
Konohagakure. Pohon itu memang ditumbuhkan di belakang rumah sakit tersebut.
“Ayo, kita kembali, Sakura-chan.”
“E-eh, ya.” Sakura yang memperhatikan Kushina agak lama tadi
menyadari sesuatu. Wajah Kushina-san begitu muda. Ia terlihat seumuran denganku,
padahal ibuku saja sudah kelihatan keriput di wajahnya.
.
.
“Aku ingin membicarakan ini saat keadaanku sudah sembuh,
namun sekarang mungkin adalah waktu yang tepat. Ngomong-ngomong selamat kembali
ke Konoha, Naruto, Kushina, dan Rin.”
“Ya, Baa-chan!”
seru Naruto lantang. Ia pun mendapatkan jitakan kepala dari Kushina. “Ittai! Kaa-sama kenapa memukulku?” ia mengerang sembari menyentuh
kepalanya.
“Kau harus memanggil Tsunade-sama dengan kata yang sopan.”
Bibir Naruto jadi maju lima centi. “Tapi dari dulu juga aku
memanggil baa-chan seperti itu,
tampaknya dia tidak mempermasalahkannya.”
“Itu karena aku lelah mengomelimu terus untuk memanggilku
dengan sopan, Naruto.” Tsunade memejamkan matanya dan menyilang tangan di depan
dada. “Tapi ya sudahlah, mungkin kali ini aku memang terbiasa dengan
panggilanmu itu.” Mata cokelat Tsunade
kembali membuka dan menatap wanita berambut panjang nyaris menyentuh betisnya
itu. Sebenarnya ada yang sangat ingin aku ketahui, Kushina.”
“Selama aku bisa menjawabnya, aku tidak akan merahasasiakan
apapun dari Anda, Tsunade-sama.”
Tsunade memandang ke sekitar ruangan inapnya yang juga
terdapat Shikamaru, Kakashi, Rin, Shizune, dan Sakura di sana. “Aku sangka kau
benar-benar mati, Kushina. Bagaimana kau bisa selamat?”
Ruangan itu pun jadi terasa sunyi seperti kuburan. Seluruh
pandangan mata tertuju pada Kushina.
Kushina mendesah pelan. “Ayah yang menyelamatkanku. Ia
memang tidak rela aku menjadi manusia sepenuhnya.”
“Eh?” Shikamaru dan Sakura tampak bingung dengan ucapan
Kushina. Sementara yang lain memang sudah tahu siapa Kushina sebenarnya.
Kakashi dan Tsunade memang mengetahui Kushina yang merupakan
seorang yousei.
Tsunade hanya diam saja, ia ingin Kushina melanjutkan
kalimatnya lebih lengkap lagi. “Ayah mengganti jasadku dengan jasad yang palsu.
Begitu juga dengan Minato. Jasad Minato dan aku yang terkubur di sini adalah
jasad palsu.”
Dahi Tsunade mengerut. “Maksudmu Minato masih hidup?”
Kushina tersenyum dan kemudian menggeleng. “Ia sudah mati,
namun jasadnya ada di Barinoruu.”
Barinoruu
… tempat abadi itu ya? “Itu artinya kau tidak akan selamanya berada di sini?”
Kushina hanya mengangguk.
“Lalu bagaimana dengan Naruto?” Tsunade bertanya lagi.
“Kalau itu aku membiarkannya memilih jalannya sendiri,”
tukas Kushina.
Tsunade membetulkan posisi duduknya sejenak. “Apa Naruto
juga adalah … yousei?”
“Tidak sepenuhnya, Tsunade-sama. Naruto yousei
setengah manusia.”
“Hah?” Suara terhenyak membuncah di ruangan itu. Kakashi
juga ikut terkejut karena selama ini yang ia tahu Naruto juga manusia seperti
dirinya.“Yousei?” Sakura jadi
penasaran. Ia memasang air muka bingung.
“Maksud Anda yousei seperti
dicerita yang sering muncul di buku anak-anak?” Kini Shikamaru yang bertanya.
“Jauh berbeda, Shikamaru. Kau nanti akan tahu bagaimana
istimewanya mereka saat mengetahui kemampuan mereka bertarung. Mereka itulah
yang kita kenal dengan Klan Uzumaki,” jelas Tsunade.
Shikamaru membisu di tempatnya. “Banyak yang ingin
kutanyakan, tetapi sepertinya kita akan menghadapi hal yang lebih mengerikan
dibandingkan perang saudara ini.”
Tsunade mensyukuri Shikamaru yang pintar membaca situasi. Ia
lalu tersenyum melihat Kushina. “Kau benar-benar tidak berubah sejak 16 tahun
yang lalu ya. Klan Uzumaki memang awet muda semua.”
Kushina tertawa kecil. “Mau bagaimana lagi, Tsunade-sama? Aku memang tidak bisa menua.”
Tsunade mengembuskan napas kuat. Ia lalu mengalihkan
pembicaraan. “Jadi, apa yang kau ketahui, Kushina?”
“Sepertinya Anda juga sudah tahu, Tsunade-sama. Akatsuki sedang mengumpulkan bijuu untuk kepentingan jahat mereka.
Aku akan membantu Naruto menyegel bijuu-bijuu itu di Uzumakigakure, setelahnya
Uzumakigakure akan dikunci untuk selamanya.”
“Lalu apa yang harus kami lakukan? Apa kau punya saran?” Di
ruangan itu pun terjadi diskusi yang cukup panjang.
.
.
“Bagaimana keadaan Hinata, Ino?”
“Tenang saja, Sasuke-kun.
Malam nanti akan dilakukan operasi di tulang belakangnya. Tim medis terbaik
Konoha yang akan melakukan operasi itu. Sakura juga termasuk ke dalamnya.”
Sasuke sebenarnya memiliki ruang inap sendiri di sana, namun
baru satu jam ia ada di ruang inapnya, ia minta diantar ke ruangan Hinata yang tengah
tertidur dengan lelap. Sekujur tubuhnya dibalut dengan perban. Ada alat bantu
pernapasan yang terpasang di hidung pewaris Klan Hyuuga itu.
“Hh.” Hanya itu yang bisa Sasuke keluarkan. Ia memang tidak
mampu mengeluarkan ekspresi hatinya dengan baik.
Ino pun duduk di kursi yang berada di sebelah kursi roda
Sasuke. Ia setia menunggu di sana sampai nanti Sasuke memintanya untuk
mengantarkannya kembali ke ruang inapnya.
Sementara itu di salah satu sudut dinding ada Neji yang
berdiri; memasang wajah kesal pada Sasuke. Ia tidak menyangka Hinata akan
senekat itu untuk melindungi orang yang telah kehilangan penglihatannya itu.
Kalau itu adalah Naruto, ia masih bisa memahami, tapi Hinata mengorbankan
nyawanya untuk Sasuke yang terbilang tidak dekat dengannya sama sekali. Musibah
yang menimpa Naruto kemarin memang membuat mereka semakin lama semakin dekat,
dan Neji tidak menyukainya.
Mata Neji lantas tak sengaja menangkap bandul aquamarine yang tergantung di leher
Sasuke. Kalung itu benar-benar
melindunginya ya.
.
.
Zetsu di sore itu menghadap ke Madara dan menceritakan hal
yang diketahui dari penyelidikan yang ia lakukan tadi.
Madara lalu berdiri dari duduknya. Ia mengayunkan tangannya
sekali saja dan berpuluh-puluh pohon di depannya satu per satu tumbang. Ia
begitu marah mengetahui kabar itu. “Sialan! Aku tak menyangka mereka akan
secepat ini menunjukkan diri!”
“Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya, Madara-sama? Apa kita langsung melakukan
penyerangan? Mumpung Naruto sedang ada di Konoha.”
“Pasukanku belum sepenuhnya siap!” geram Madara. “Tapi ada
yang ingin aku lakukan beberapa hari ke depan. Kau harus mengikutiku, Zetsu.”
“Anda mau ke mana?”
“Aku ingin membunuh Sasuke. Jika ia menyatukan kekuatan
bersama Naruto akan sangat merepotkan. Mumpung kali ini ia sedang tidak
berdaya.” Dan Madara tidak main-main dengan perkataannya itu.
.
.
“Hm?” Kushina celingak-celinguk di arena kosong itu. Ia
tengah mencari sesuatu dan kini ia berdiri di lahan kosong di Konoha yang
tanahnya ditumbuhi banyak ilalang. “Aku sebenarnya lupa, tapi sepertinya
tempatnya di sini?”
“Kaa-sama apa kau
yakin?” Naruto muncul di belakang Kushina. Di sana juga ada Sakura, Kakashi,
dan Rin.
“Tidak apa-apa aku keluarkan saja. Kau bisa menempatinya
nanti.” Kushina lalu menggigit darahnya sendiri. Dari darah itu ia menggambar
sebuah persegi yang didalamnya ada segitiga di telapak tangannya. Ia lalu
menghentakan telapak tangan itu ke tanah. Seketika keluar sebuah batu bulat
dari tanah itu. Di atas batu itu terdapat kertas bertuliskan mantra yang
diciptakan Hokage Keempat. “Ini dia. Tinggal diambil saja kertasnya!” Kushina
pun melepaskan kertas itu dari batu.
Tanah di sekitarnya pun bergemuruh seperti sedang terjadi
gempa bumi. Perlahan-lahan, dari tanah lapang yang dikerumuni ilalang itu
muncul rumah yang terus terangkat ke permukaan tanah. Setelah badan rumah itu
ada di permukaan tanah Kushina mengibaskan tangannya. “Ah, sudah lama sekali
tidak kembali ke rumahku ini.”
“Rumahnya ini ternyata disegel di dalam tanah,” komentar
Kakashi yang agak syok. Ia pikir rumah ini hancur saat terjadi penyerangan
Kyuubi sekitar 16 tahun yang lalu. Karena dulu sehabis penyerangan memang ada
reruntuhan bangunan di sekitar sana.
“Ayahku yang menyegelnya setelah menemukanku dan Minato
sedang sekarat. Yah, memang ada rahasia Klan Uzumaki di dalamnya. Kami belum
ingin diketahui jika kami sebenarnya masih eksis di dunia ini.”
Sakura memandangi rumah di depannya dengan takjub. Dari luar
rumah itu terlihat lebih megah dan cantik dibandingkan rumah Hinata yang sangat
luas. Di depannya ada sepuluh anak tangga untuk menuju ke pintu utama. Pintu
utamanya dilapisi dengan emas dan ukiran simbol Konohagakure. Di kedua sisi
pintu terdapat patung naga dan singa seperti penjaga tempat itu.
“Ayo, masuk ke dalam,” titah Kushina pada semua orang di
sana.
“Kushina-san, saya
ingin bicara sebentar dengan Rin di sini.”
Kushina menatap Kakashi dan Rin. “Tidak masalah. Kalian bisa
mengobrol sepuasnya.” Ia pun bergegas masuk ke dalam rumahnya bersama Minato
itu.
Naruto dan Sakura mengikuti dari belakang.
.
.
Rin dan Kakashi kini berdiri di sebuah tebing yang berada di
salah satu sudut hutan Konohagakure. Hutan tersebut tidak terlalu jauh dengan
rumah Kushina. Mereka berdua memandangi atap-atap rumah Konohagakure yang dapat
terlihat dari sana.
Angin sepoi-sepoi berembus. Menerbangkan rambut panjang Rin
hingga membuatnya harus menahan beberapa helaian agar tidak menutupi wajahnya.
Bersamaan dengan itu, Kakashi memecah kesunyian. “Aku tidak
menyangka ternyata kau masih hidup.”
Rin mendesah perlahan. “Waktu itu aku memutuskan menjadi
pengecut. Mengeluarkan Sanbi dari
tubuhku sendiri dan membiarkannya hidup secara liar. Aku benar-benar terguncang
dengan kematian Obito.”
“Sampai sekarang pun aku tidak bisa melupakan kejadian itu,”
ujar Kakashi. Memang ia menyadari sebenarnya Rin yang paling tidak bisa menerima
kematian Obito. “Aku juga tidak menyangka sebenarnya kau berasal dari Klan
Uzumaki.”
Rin tersenyum. “Aku memang diminta oleh Miyazaki-sama untuk mengawasi Kuhina-nee-sama. Saat itu jalan terbaik adalah
dengan menyembunyikan identitasku. Tapi misi itu tidak berhasil aku lakukan
sampai akhir.” Ia lalu menghadap ke arah Kakashi.
Membuat Kakashi agak terkejut dengan perlakuan teman
setimnya itu. Mata hitamnya memandangi mata cokelat Rin yang tampak
berkaca-kaca. Jangan-jangan ia masih
mencintaiku? Ia jadi berspekulasi sendiri.
“Kakashi, aku boleh melihat mata Obito?”
Mata Kakashi melebar sejenak. Namun ia mengerti dan menuruti
permintaan Rin. Ia membuka penutup matanya yang dibaliknya terdapat sharingan yang diberikan Obito.
Tangan Rin perlahan terangkat ke arah mata sharingan Kakashi. Getaran di tangannya
begitu kentara. Bahkan dua bulir air keluar dari mata kirinya. Namun saat
nyaris menyentuh mata Kakashi, tangan Rin terhenti di depannya. Ia menunduk
dengan menggenggam tangannya sendiri.
Kakashi hanya bisa menatap Rin dengan wajah sendu. Obito
memang tidak terlupakan bagi mereka.
Seraya sesenggukan dan kepala yang memandang ke tanah, Rin
berujar. “Ternyata aku tidak sanggup memandang matanya lama-lama, Kakashi. Aku
tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Obito mati karena
melindungimu, Kakashi. Dia mati karena dia tahu hanya kau yang ada di hatiku. Terkadang
aku ingin menyusulnya ke alam baka!” Rin mendongakkan kepalanya dan kini
terlihat jelas air mata menjeram di kedua pipinya. “Tapi kenyataannya kalau aku
mati pun, aku tidak akan bisa menyusul ke tempatnya!”
Kakashi tidak
menyangka jika kini Rin memeluknya. Teman satu timnya itu membenamkan wajah di
dadanya. Ia terdiam di tempat. Namun perlahan kedua tangannya terangkat dan
memberikan pelukan serupa pada Rin. Karena mereka kini tengah bernostalgia.
Membayangkan masa lalu yang begitu menyakitkan bagi mereka. Tangan kanannya
lalu mengusap punggung Rin yang naik-turun. Malah Kakashi bisa merasakan jaket jounin-nya begitu basah, padahal ia
menggunakan satu lapis baju lagi.
Yang Kakashi
tidak sadari, sepasang mata yang berkornea merah memandangi mereka dengan nyalang.
Namun sosok itu tidak berniat menginterupsi keintiman mereka. Sosok itu memilih
segera menjauh dari sana tanpa melihat ke belakang lagi.
.
.
Shikamaru tengah
berkeliling rumah sakit Konohagakure. Sudah 30 menit ia menyusuri koridor demi
koridor, namun tidak menemukan apa yang ia cari. Sampai akhirnya ia bertemu
dengan Chouji yang berlari ke arahnya.
“Astaga,
Shikamaru! Ternyata kau di sini!” Chouji tersengal-sengal. Kedua tangannya
menyentuh kedua lututnya.
“Aku sedang
mencari Ino, Chouji.”
“Kau tidak tahu?
Dia kan dari tadi ada di kamar Sasuke.”
Seketika
Shikamaru merasa ada yang menusuk hatinya hingga terasa nyeri. Namun ia berusaha
memasang wajah yang tenang di depan Chouji. “Begitu? Baguslah. Aku ingin pulang
sekarang. Misiku sudah selesai.”
“Eh? Kau tidak
ingin menyusul Ino, Shikamaru?”
“Untuk apa? Aku
tidak ingin menganggu waktu bersenang-senangnya itu.” Shikamaru pun berjalan
dengan cepat.
“Tunggu,
Shikamaru! Kau berjalan terlalu cepat!”
Namun Shikamaru
malah mempercepat langkah kakinya. Ia ingin segera keluar dari rumah sakit.
Keluar dari perasaan kesal yang menurutnya sangat konyol ini.
.
.
“Kau benar tidak apa-apa, Sakura-chan? Harusnya kau juga dirawat di rumah sakit.” tanya Naruto yang
mengira Sakura terlalu memaksakan diri. Mereka kini tengah berjalan di salah
sudut koridor rumah Hokage Keempat.
Sakura menggeleng. “Ramuan yang diberikan ibumu sangat
mujarab. Lagi pula lukaku tidak separah Hinata dan shisou.”
Naruto paham, namun ia kembali bertanya sembari menyilangkan
kedua tangan di belakang kepalanya. Ia memandangi langit-langit di atasnya. “Kau
mau menjenguk Sasuke, Sakura-chan?”
Sakura tersentak. Benar
juga aku sampai lupa dengan Sasuke-kun. “Nanti saja. Sasuke-kun pasti sedang istirahat sekarang.
Selain itu kau sekarang kan sudah kembali, aku ingin menghabiskan banyak waktu
bersamamu.”
Kedua alis Naruto terangkat. “Ternyata kau sangat rindu
padaku, Sakura-chan.” Ia lalu
memasang wajah sok kerennya.
Mengibaskan poni di dahinya ke atas.
Sakura langsung melayangkan sikunya pada perut Naruto. Membuat
mata Naruto nyaris keluar dan terbatuk-batuk. “Baka! Tentu saja aku merindukanmu!” Kini Sakura berdiri menghadap
Naruto. Ia mengarahkan jari telunjuknya pada jinchuuriki Kyuubi itu. “Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat
aku pulang, namun kau malah diculik oleh Akatsuki! Saat melakukan misi penyelamatan
padamu pun, kami malah menemukan jasadmu! Kau sudah membuatku sengsara
berbulan-bulan, tahu!”
Naruto hanya mampu melongok menerima omelan Sakura. Namun
yang berikutnya membuatnya terkejut. Sakura memang gadis yang cepat menangis. “E-eh?
Ja-jangan menangis, Sakura-chan. Aku
jadi tambah merasa bersalah.”
“Memang sudah seharusnya kau merasa bersalah!” Emosi Sakura
jadi tambah meledak. Ia lantas buru-buru menyeka air matanya. Pandangannya yang
garang kini sedikit melembut. “Sebenarnya yang paling merasa bersalah itu aku.
Apalagi saat aku membaca surat darimu.”
Naruto mematung di tempatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara
asing yang menyergap telinga, lalu diikuti dengan sebuah pemandangan mengerikan
yang muncul di otaknya.
Tercekik….
Mata biru yang begitu ketakutan….
Seseorang dengan rambut merah jambu….
Darah yang membanjiri tanah….
“Kau ternyata sangat pintar mengurai kata-kata ya.” Sakura
tersenyum lebar, diiringi dengan air matanya menyungai di kedua pipi. “Tapi
jangan pikir aku menerima pengorbananmu yang sok keren itu. Kau pikir aku akan
senang mengetahuinya?”
Kau tidak
boleh jatuh cinta padanya lagi.
Kedua mata Naruto membesar dua kali lipat. Bibirnya jadi
kelu dan bergetar. Apa itu?
“Kau menyatakan cinta padaku, namun kau malah berspekukasi
bahwa aku tidak akan menerima cintamu itu. Kau memang bodoh, Naruto!” Kedua
tangan Sakura mengepal. Ia lalu berdiri di hadapan Naruto dan menarik kerah
teman se-timnya itu hingga wajah mereka saling berdekatan.
Biru kembali berada dengan hijau dalam waktu yang cukup
lama. Mereka jadi bisa merasakan terpaan napas masing-masing yang berembus ke
wajah mereka. Tempat itu pun jadi terasa milik mereka berdua.
“Kau tidak tahu betapa aku ingin membalas cintamu itu dengan
cinta yang—” Sakura begitu terhenyak saat Naruto menutup mulutnya dengan
tangan. Apalagi mata Naruto mengandung sebuah amarah yang tak pernah
dilihatnya. Berbeda dengan kemarahan yang Naruto lemparkan padanya saat ia
menyatakan cinta di Negeri Besi.
“Cukup, Sakura. Aku tidak ingin mendengarnya.”
Sakura kini seperti terkena kutukan membatu. Ia tidak
berkutik di tempat saat mendengar geraman yang keluar dari mulut Naruto.
Apalagi Naruto tidak menambahkan –chan di
belakang namanya.
“Perasaanku hanya tinggal masa lalu, aku tidak pernah
memikirkannya lagi.” Naruto lalu melepas tangannya dari mulut Sakura dan
membalikkan badan. Ia jadi tidak sanggup melihat ekspresi Sakura yang begitu
terpukul. “Kau harusnya sadar banyak rekan-rekan kita yang sedang terluka. Jadi
kau harus lebih memperhatikan mereka daripada perasaan cintamu yang mengada-ada
itu.”
Sakura lagi-lagi membisu. Matanya memandangi punggung Naruto
yang dekat, namun terasa juga begitu jauh.
“Aku harus memberitahumu sekarang. Setelah misi penyegelan bijuu ke Uzumakigakure selesai, aku akan
pergi dari Konoha. Aku akan ikut ibuku ke tempat lain!”
Sakura ingin mengeluarkan suara, namun tenggorokannya
tercekat.
Naruto mengatupkan matanya rapat-rapat. “Jadi, kau tidak
perlu mengharapkan aku!” Lalu ia pun berlari dari sana menuju ke pintu keluar.
Sementara Sakura ibarat mayat hidup. Ia terlalu syok
mendengarkan pengakuan Naruto barusan. Ia merasa seperti buah manis yang
dibuang ke tong sampah. Matanya memandang kosong ke depan. Ia pun lunglai ke
lantai. Penolakan yang kedua kali ini
lebih menyayat hatinya. Ia tahu Naruto tidak main-main dengan ucapannya. Naruto
tidak akan mengatakan hal setega itu hanya untuk berlelucon ria. Dan yang
Sakura bisa lakukan menumpahkan kepedihannya dalam bentuk air yang terus
mengalir dari matanya….
I’m no
longer loved by you….
I’m no
longer needed by you….
And thus,
just like this.
I’m
alone….
(Departure - Egoist)
Bersambung….