Naruto
© Masashi Kishimoto
Warning: Rated
T. AU. Romance/Spiritual. Naruto and Sakura.
Based on
the movie “Langit Ketujuh, directed by Rudi Soedjarwo”
.
~saat cinta bertemu di dunia yang berbeda~
.
Summary: Uzumaki Naruto, seorang otaku dan mangaka sukses yang bersahaja, namun
terkadang naif. Dan Haruno Sakura, seorang perempuan pintar peraih penghargaan
Miss Jepang, yang selalu merasa tidak puas dengan hidupnya karena itu ia selalu
mengejar penghargaan. Suatu ketika, mereka dijodohkan oleh kedua orangtua
mereka. Namun, ada sesuatu yang jahat yang membatalkan hari tunangan mereka.
Naruto pun mencoba menerima takdir jika Sakura akan mati karena berhari-hari
koma akibat kecelakaan parah yang dialaminya. Tapi yang ia sadari berikutnya,
roh Sakura mendatanginya untuk meminta pertolongan. Dan yang Naruto sadari
juga, hanya ia yang bisa melihat dan berbicara langsung dengan Sakura. Lalu apa
yang akan Naruto lakukan? Karena ia juga sangat ketakutan….
.
.
.
Chapter 1
.
.
Kalau bisa
kuputar waktu, inginku bertemu lebih awal denganmu.
Mengenal
kehidupanmu yang penuh liku.
Dan aku
mencintai bias cahaya di wajahmu yang menikmati setiap jalannya.
Seolah
tidak ada beban dunia di lemah bahumu.
Jadi, apa
kamu izinkan aku masuk ke dalamnya?
Sebentar
saja, mengembara bersama angan kerdilku….
.
.
Haruno
Sakura tidak pernah sejengkel ini selama hidupnya. Ia menatap kesal ayahnya
yang berdiri di depannya. Malam itu mereka berkumpul di ruang tamu “Aku tidak
mau dijodohkan. Lagi pula aku tidak mengenalnya!”
“Maka
dari itu Ayah akan mengenalkannya.”
“Jangan
bercanda, Yah! Aku ingin menikah dengan orang yang sudah lama aku cinta! Dan
orang itu adalah Sasuke-kun!”
Kizashi
mendesah. “Ayah tidak setuju. Ayah pernah punya hubungan bisnis yang buruk dengan
Uchiha Fugaku. Ayah jamin pilihan Ayah tidak salah. Kau kan anak Ayah
satu-satunya.”
Sakura
mendelik. “Bukankah masalah itu sudah selesai, Yah?”
“Tapi
Ayah tidak akan terjebak untuk kedua kalinya. Kalau begitu mari kita taruhan,
supaya kau tidak terpaksa menerimanya.”
Dahi
Sakura makin mengerut. “Maksud Ayah?”
“Kau
harus mau Ayah kenalkan dengan Uzumaki Naruto. Kalau kau tidak mencintainya
setelah tiga bulan hari perkenalan, kau boleh membatalkan tunangan yang
kurencanakan empat bulan lagi.”
Sakura
berdecak kesal. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Percaya
padaku, Sakura. Naruto adalah lelaki yang baik. Dia pasti bisa membahagiakanmu.
Lihat saja karirnya sebagai mangaka.
Komiknya tidak hanya laris di Jepang, tapi juga di seluruh Asia dan Amerika!”
“Kenapa
terburu-buru, Yah?” nada suara Sakura mengandung kecewa.
Namun,
Kizashi tetap bisa tersenyum cerah. “Aku ingin menyerahkan jabatan direktur
perusahaan padamu, Sakura-chan. Tapi
sebelum itu aku ingin kau menikah.”
Dan
pada akhirnya … yang Sakura tahu, ayahnya tidak menepati janji. Kizashi tetap
ngotot memaksa Sakura untuk menikah dengan Naruto, padahal di hatinya hanya ada
Sasuke seorang.
Kizashi
mempercepat waktu pertunangan Sakura dan Naruto satu bulan. Ia ingin cepat
pensiun dari perusahaan dan menyerahkan tanggung jawabnya pada Sakura, namun
ternyata ada hal di luar kendali yang tidak bisa ia hindari. Anak satu-satunya
yang paling ia sayangi terbaring di rumah sakit; terjebak di antara hidup dan
mati….
.
.
Butuh waktu lima menit untuk Sakura menangkap apa yang ada di
sekelilingnya. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba bisa berada di ruangan serba
putih dan bau obat itu. Yang jelas ia sangat terpukul ketika melihat tubuhnya
sendiri yang terbaring di atas tempat tidur. Di sana sosoknya nyaris seperti mumi,
penuh perban di sana-sini, kecuali di bagian wajahnya. Satu tangannya menutup
mulut. “Ya, Tuhan, mengapa jadinya seperti ini?”
Sakura
linglung. Ia mondar-mandir di ruangan itu. Mengingat-ingat kejadian lalu yang
membuat keadaannya mengenaskan seperti itu. Potongan demi potongan memori
merasuk perlahan di kepalanya. Ia mematung di tempat. “Aku mengalami
kecelakaan. Ada mini bus yang datang tiba-tiba, lalu pengemudinya membenturkan
mini bus itu berkali-kali ke mobilku sampai keluar jalur dan mobilku menabrak
pohon besar hingga tumbang, lalu aku—” saking mengerikannya kejadian itu Sakura
tidak mampu melanjutkan kata-katanya
Napas
Sakura terengah-engah. Kedua tangannya kini menutup kepalanya. “Aku masih hidup
atau sudah mati?” matanya lantas beralih pada pintu kamarnya. Ada seseorang
yang masuk. Ia buru-buru menyelinap di tirai yang memisahkan tempat tidur di
mana ia berbaring dengan tempat tidur di sebelahnya yang kosong melompong. Dari
balik tirai ia melirik. “Naruto?” bisiknya.
“Hai,
Sakura-chan, kau masih saja betah
tidur ya,” sahut Naruto yang berjalan perlahan menuju kasur Sakura. Di
tangannya ia membawa sebuket bunga mawar segar—seperti baru dipetik. Ia melirik
ke vas bunga yang berada di meja. Wajahnya tiba-tiba muram. “Yah, bunganya
sudah ada yang mengganti. Jadi, apa aku harus membawanya kembali? Tapi pasti
kau sangat senang dengan bunga ini, kan, Sakura?”
Sakura
berdecak kesal. “Bawa saja bunga itu! Aku sama sekali tidak senang dengan
pemberianmu!” serunya, setengah berbisik. Biar Naruto tidak mendengar suara
frustasinya.
Naruto
terkesiap. “Siapa itu?”
Mata
Sakura membesar. “Eh, dia dengar?”
Naruto
melihat ke sekeliling ruangan, namun ia merasa hanya ia yang berada di sana
sehingga tidak terlalu menghiraukan suara yang ditangkap indera pendengarannya
tadi.
Sedangkan
Sakura sibuk berganti posisi agar Naruto tidak melihatnya. Ia tidak ingin
Naruto melihatnya, terlebih melihatnya ada dua seperti ini. Naruto pasti akan
pingsan dan ia bisa jadi gila.
“Pertunangan
kita akhirnya dibatalkan ya.” Naruto kembali berbicara pada Sakura yang
terbaring di kasur.
“Benarkah?”
wajah Sakura jadi secerah bunga matahari. Akhirnya hal yang paling ia inginkan
saat ini terwujud juga.
“Tapi
bagiku tidak terlalu penting … yang terpenting bagiku sekarang adalah melihatmu
sehat kembali, Sakura-chan.” Naruto
meminggirkan beberapa helai rambut Sakura yang menempel di kelopak mata.
Sakura
begitu risih ketika melihat Naruto mendekatkan wajahnya dan menciumi dahinya
yang ditutup perban.
“Kalau
kau mau, aku rela menunggu selamanya,” bisik Naruto lagi. Tubuhnya kembali
menegak. Ia menaruh buket bunga itu di atas meja dengan membaringkannya. Naruto
tersenyum kecut. Ia bergegas berjalan menuju pintu, hendak keluar ruangan. “Aku
harus ke kantor Shueisha, hari ini ada rapat penjurian Tezuka Awards dan aku menjadi
salah satu jurinya. Besok aku kembali … sampai jumpa, Sakura-chan.”
“Aku
tidak mau. Kau tidak perlu menungguku selamanya. Kenapa kau tidak mengerti
juga, hah?” geram Sakura tertahan di ujung giginya.
Naruto
tiba-tiba menoleh; matanya tertuju pada Sakura yang terbujur kaku di atas
tempat tidur. “Eh? Barusan aku mendengar suara Sakura-chan mengomel.”
Kedua
mata Sakura melebar. Ia pun menyembunyikan penuh kepalanya di balik tirai. “Dia
benar-benar bisa mendengarku?”
Dahi
Naruto mengerut, namun ia kemudian terkekeh gugup. “Mungkin cuma perasaanku
saja.” Ia pun buru-buru meninggalkan ruangan itu dengan berlari kecil.
Sakura
yang menyadari suara langkah kaki Naruto yang menjauh segera menyingkir dari
balik tirai. Ia memperhatikan Naruto yang menjauh, seketika kelegaan menguar
dari hatinya. Namun, tiba-tiba sesosok manusia mengenakan pakaian serba hitam
dan penutup kepala muncul di depan pintu dan merangsek masuk perlahan ke dalam
ruangan—dengan penuh kehati-hatian.
Sakura
tentu saja berteriak kencang, ia mundur beberapa langkah karena saking kagetnya.
“Siapa kau?!”
Tapi,
sosok itu tampak tidak menggubris teriakan Sakura, atau lebih tepatnya … tidak
menyadari kehadiran Sakura yang jelas-jelas berdiri di hadapannya.
“Dia
tidak melihatku? Bagaimana bisa?” Sakura tercenung. Mata hijaunya mengikuti
gerak-gerik sosok itu dengan waswas.
Sosok
itu tengah mendekati Sakura yang terbaring di atas kasur perlahan. Sesekali ia
memperhatikan pintu, menunjukkan ia tidak ingin kehadirannya diketahui oleh
seorang pun di luar sana.
Jantung
Sakura berpacu kencang. Ia merasakan firasat buruk ketika tangan sosok itu
terjulur meraih selang pernapasan yang terpasang di hidungnya. Ia tidak perlu
berpikir panjang lagi dan langsung mengerti. “Hentikan!” Sakura berniat meraih
tangan yang sudah terjulur itu, namun tangannya sendiri hanya bisa menyentuhnya.
Orang itu pun tidak merasa sedang disentuh olehnya
Mata
Sakura semakin membulat ketika menyadari alat pernapasannya berhasil dilepas
dari tubuhnya yang sedang lemah itu. “Hentikan! Kenapa kau melakukannya?! Apa
salahku?!”
Namun,
lengkingan ketakutan Sakura tetap tidak digubris oleh sosok yang mengenakan
pakaian serba hitam itu. Ia tiba-tiba saja merasa sesak. Sejurus menyadari
tangannya perlahan-lahan berubah berbaur dengan udara, nyaris tidak berbentuk.
Sakura terang saja mulai terisak. “Apa yang terjadi padaku?!”
Sakura
melihat sosok keji itu keluar dari ruangan dengan tergesa-gesa. Ia begitu takut
dengan kejadian aneh yang menimpanya ini. Duduk lunglai di sebelah tempat tidur
tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak lama ada suster yang masuk ke ruangan. Sakura
pun buru-buru berdiri, namun lagi-lagi ia terkesiap. Suster itu sama sekali
tidak memperhatikannya yang jelas-jelas berdiri sana. Sakura jadi paham. “Aku
ini adalah roh?”
“Ya,
Tuhan. Kenapa alat pernapasannya terbuka begini? Pasien jadi kekurangan
oksigen!” seru suster itu panik. Ia bergegas keluar ruangan, lalu kembali
dengan membawa dokter.
“Kau
memasangnya dengan benar, kan, Shizune?” dokter tersebut memeriksa keadaan
Sakura dengan memeriksa layar EKG.
“Saya
yakin kemarin saya memasangnya dengan benar. Tidak mungkin alat pernapasan itu
lepas begitu saja, Tsunade-sensei!”
Tsunade
terbelalak ketika melihat tubuh Sakura tergegar-gegar. “Sial! Sepertinya dia mengalami
serangan jantung. Siapkan defibrillator, Shizune!”
“Ba-baik!”
Shizune dengan sigap mengabulkan perintah Tsunade. Ia menyadari dua orang
suster datang membantu.
Sakura
tambah pucat melihat pemandangan menakutkan itu. Ia merasakan tubuhnya semakin
transparan. “Si-siapa saja, tolong selamatkan aku!” dapat ia dengar suara
meraung defibrillator dan teriakan suara si dokter bernama, Tsunade yang
meneriakkan ‘clear’ berkali-kali. Matanya
lantas menangkap Ino, Ten Ten, Hinata, dan Temari yang berdiri di depan pintu.
Mereka tampak ingin memaksa masuk, namun dua suster yang barusan datang
menghalangi niat mereka.
Tanpa
pikir panjang Sakura berlari menuju kaca dan menggedor-gedor sekuat tenaga. “Ino!
Ini aku, Sakura! Tolong selamatkan aku! Ten Ten! Hinata! Temari!” Namun, Sakura
hanya mendapatkan isakan dan wajah-wajah khawatir sahabatnya. Ia semakin
terpukul. “Ini gila!” pekiknya.
“Apa
yang terjadi dengan Sakura?” Ino mulai terisak.
Temari
pun tidak bisa menyembunyikan rupa gelisahnya. “Padahal kita baru sempat
menjenguknya, kenapa malah disuguhi pemandangan seperti ini?”
“Temari!
Kau jangan sedih! Aku masih hidup! Lihat aku! Lihatlah aku!” Sakura mencoba
mendapatkan perhatian sahabatnya yang paling tomboy itu dengan menggedor-gedor
kaca yang memisahkan mereka. Ia begitu terhenyak melihat ekspresinya, padahal
sehari-harinya Temari termasuk gadis yang tegar dan easy-going.
Di
pelukan Temari, terdapat Hinata yang tidak mampu membendung air matanya.
Mereka
jelas tahu alat yang bisa digunakan dokter saat pasiennya sedang kritis seperti
itu. Tapi, tidak mungkin Sakura harus meninggalkan mereka secepat ini, kan?
Keempat
sahabat Sakura itu semakin memekik tatkala salah satu suster menggelar tirai
yang selama ini tersingkap.
Sakura
hendak memprotes, namun ia lebih mementingkan perasaan keempat sahabatnya. Ia
pun keluar ruangan sebelum salah satu suster menutup pintu.
“Kenapa
kalian tidak menyadari kehadiranku?!” Sakura kembali memekik frustasi.
Bulir-bulir air mata bermunculan di sudut matanya. Lama-kelamaan terlampau
penuh dan perlahan jatuh mengaliri kedua pipinya yang pucat. “Aku di sini,
tahu! Aku di sini!”
Meski
masih terguncang, dengan tangan gemetaran Ino mengeluarkan ponselnya.
“Kau
ingin menelepon siapa, Ino?” tanya Ten Ten
“Kizashi-san dan Sasuke-kun. Mereka berhak tahu,” jawab Ino dengan suara parau.
“Bagaimana
dengan Naruto-kun?” Hinata yang mulai
bisa meredam isakannya ikut bertanya.
“Cih,
kau tidak perlu meneleponnya. Aku kesal sekali ketika mengingat kalau dia teman
baik Shikamaru yang brengsek itu!” tangan kanan Temari mengepal. Ia mengingat
kejadian menyebalkan sebulan yang lalu, jauh sebelum kecelakaan naas itu
menimpa Sakura.
“Aku
tidak akan menelepon Naruto karena aku tahu Sakura tidak mengharapkan
kedatangannya,” sambung Ino sinis. Ia mengelap air mata yang tersisa di kulit
pipinya.
“Bagus,
Ino! Kau memang sahabat terbaikku!” Sakura memeluk Ino, namun wajah cerianya
kembali mendung ketika Ino sama sekali tidak bereaksi dengan perlakuannya itu.
“Tidak ada yang menyadari kehadiranku….”
Sepuluh
menit berlalu. Dokter dan ketiga suster yang berada di ruangan Sakura masih
betah berada di dalam. Sementara keempat gadis yang berencana menandaskan
kangen dan ingin memberikan dukungan malah melihat momen yang bisa jadi
merenggut nyawa Sakura selama-lamanya. Mereka masih saja duduk meringkuk.
Pikiran mereka hanya tertuju di satu orang, namun tak lagi saat seseorang
terburu-buru menghampiri mereka.
“Ino!”
“Kizashi-san!” Ino pun berdiri diikuti oleh
ketiga sahabatnya.
Sakura
yang ikut duduk di ruang tunggu bersama para sahabatnya pun melakukan hal sama.
“Ayah!” Ia berlari merentangkan tangannya ke arah ayahnya. Namun, Kizashi
berlari melewatinya seolah-olah ia makhluk tembus pandang yang berdiri di sana.
“Kenapa tidak ada yang bisa melihatku?”
“Apa
yang terjadi dengan Sakura?” tanya Kizashi panik. Keringat bercucuran dari
pelipisnya. Terlihat sekali perjuangannya ke rumah sakit, melawan waktu dan
kesibukannya sebagai ujung tombak perusahaannya. Di belakangnya ada Orochimaru,
rekan kerja sekaligus sepupunya.
“Kami
juga tidak tahu persis, Kizashi-san
Ketika kami sampai di sini, kami dengar Sakura terkena serangan jantung,” jawab
Temari ragu-ragu.
Mendengarnya
Kizashi bagai tersambar petir di siang bolong. “Tidak mungkin.”
Bersamaan dengan itu pintu ruangan di
mana Sakura menginap pun terbuka. Seorang dokter keluar dari sana.
“Dokter!
Bagaimana keadaan anak saya?”
“Sakura
tidak apa-apa, kan, Dokter?!”
“Bagaimana
bisa Sakura terkena serangan jantung, Dok?! Sakura tidak punya penyakit
jantung!”
Tsunade
melihat wajah-wajah ketakutan itu satu per satu, persis dengan wajah yang ia
pasang beberapa menit lalu, saat ia mendapati Sakura dalam keadaan kritis. Ia
menghela napas panjang. “Sakura berhasil keluar dari keadaan kritisnya,
sekarang keadaannya berangsur-angsur stabil.”
“Anda
yakin, kan, Dok?” tanya Kizashi sembari merengkuh salah satu lengan Tsunade.
Tsunade
mengangguk pasti. “Anda tidak perlu khawatir, Kizashi-san. Maafkan saya, untuk hari ini Sakura tidak bisa dijenguk.”
“Ya,
tidak masalah. Sakura sepertinya butuh istirahat.” Kizashi melepaskan
rengkuhannya di lengan Tsunade. “Saya panik sekali ketika mendapat telepon dari
Ino. Saya takut Sakura tiba-tiba … tiba-tiba ia….” Ia menutup wajah dengan
kedua tangannya, tidak sanggup melontarkan kata-kata selanjutnya.
Sakura
pun berlari dan membawa tubuhnya memeluk ayahnya. “Ayah, Sakura di sini. Ayah,
jangan sedih!” hiburnya. Namun pada akhirnya ia malah menangis karena apa yang
lakukan sungguh percuma. Ayahnya tidak bisa merasakan kehadirannya.
“Tolong
selamatkan Sakura, Dok. Cuma dia yang satu-satunya saya miliki sekarang. Saya
belum siap kehilangan dia!” Kizashi membatin. Tentu saja, keluarga yang ia
miliki saat ini hanyalah Sakura. Ketika istrinya meninggal enam tahun lalu
saja, ia membutuhkan waktu cukup lama untuk mengikhlaskannya.
Sakura
makin mempererat pelukannya pada Kizashi. “Aku tidak ke mana-mana, Yah. Aku ada
di sini….”
Ini
bukan pertama kalinya Tsunade menerima permohonan itu dari keluarga pasien,
namun rasa bersalahnya mencuat. Ia akhirnya memutuskan tidak memberi tahu
Kizashi perihal alat bantu pernapasan Sakura yang ditemukan lepas dari tempatnya,
sebelum ia sendiri tahu apa dan siapa yang menyebabkannya. “Saya akan berusaha
semaksimal mungkin, Kizashi-san. Anda
terus mendukung dan mendoakan Sakura ya.”
Kizashi
mengangguk lesu. “Apa saya bisa menengok Sakura di ruangannya?”
“Maafkan
saya, Kizashi-san. Untuk hari ini
Sakura harus istirahat total. Besok Anda bisa menjenguknya.”
“Baiklah.”
Tangan Kizashi mengepal. Ia lantas berjalan menuju kamar Sakura. Memandangi
putri semata wayangnya dengan pedih di dada dari balik kaca. “Jangan tinggalkan
Ayah, Nak. Ayah masih membutuhkanmu. Ayah sayang kamu….”
Di
sebelah Kizashi, Orochimaru menyentuh bahu kakak sepupunya. “Sebaiknya kita
kembali ke kantor, Kizashi. Serahkan semuanya pada dokter. Sore nanti ada rapat
yang tidak bisa dilewatkan.”
Kizashi
memandangi Orochimaru sejenak. Kalau saja ia bisa menemani Sakura hari ini,
mungkin ia akan menunda rapat sial itu, namun ia tidak punya pilihan, selagi
ada waktu, ia tidak bisa membuangnya begitu saja.
“Kalian…,”
kini Kizashi berhadapan dengan keempat sahabat Sakura. “Terima kasih sudah
menjenguk, Sakura. Untuk hari ini kalian tidak bisa menjenguknya lama-lama.
Sakura butuh istirahat total.”
Keempat
sahabat Sakura itu saling pandang. Mereka pun membungkuk berbarengan.
“Kalau begitu kami permisi pamit, Kizashi-san. Kalau terjadi apa-apa dengan Sakura
jangan sungkan menghubungi kami,” ucap Temari sembari menegakkan kepalanya.
Kizashi mengangguk lesu. “Terima kasih juga karena
segera memberitahuku tentang keadaan Sakura. Beruntung dia masih bisa diselamatkan.”
Kemudian Kizashi pun berjalan keluar dari rumah sakit berbarengan dengan
mereka. Namun di lobby mereka berpisah.
“Aku mau ke toilet dulu,” ujar Hinata.
Temari, Ino, dan Ten Ten pun memutuskan menunggu
Hinata di lobby.
Hinata bergegas ke toilet dan mengunci rapat pintunya.
Ia tidak buang air. Mengeluarkan ponselnya dari tas dan menghubungi seseorang.
“Hinata?”
“Ah, Naruto-kun!
Maaf aku mengganggu. Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Sepuluh menit
lagi aku bakal ikut rapat pemenang Tezuka Awards.”
“Baiklah. Aku langsung saja ke intinya. Ini tentang
Sakura. Barusan aku menjenguknya.”
“Ada apa dengan
Sakura-chan?! Dia sudah sadar?!”
Mendengar nada riang dari seberang membuat hati Hinata
teriris. Padahal ia hendak mengatakan hal sebaliknya. “Naruto-kun … Sakura tadi
masuk ke keadaan kritis. Dia mengalami serangan jantung.”
“Ma-masa?! Tadi
pagi aku menjenguknya tidak ada masalah.”
Hinata menggigit bibirnya. “Serangannya tiba-tiba,
Naruto-kun. Aku juga sangat kaget karena baru sampai di ruangan Sakura, tiba-tiba
tidak diizinkan masuk karena dokter sedang melakukan penyelamatan pertama
padanya.”
“Aku akan ke
sana!”
“Jangan, Naruto-kun!”
“Kenapa?!”
“Jam besuk hari ini untuk Sakura ditiadakan. Aku dan
teman-teman diminta langsung pulang. Kizashi-san juga begitu. Dokternya bilang
Sakura butuh istirahat.”
Ada jeda dari seberang. “Baiklah kalau begitu. Terima
kasih telah mengabariku, Hinata.”
“Ya. Kau tidak usah khawatir, Naruto-kun. Sakura pasti
akan sembuh. Kalau ada kabar tentangnya aku akan memberi tahumu.”
Terdengar nada sibuk. Hinata pun mengakhiri panggilan.
Ia tersenyum getir. Orang disukainya semasa SMA itu malah bertunangan dengan
sahabatnya sendiri. Tapi kini ia tidak sampai hati pada Naruto karena nyaris
kehilangan calon istrinya, terlebih Sakura juga adalah orang yang sangat Hinata
sayangi. Ia hanya ingin mendukung mereka berdua. Karena itu ia memberanikan
diri menelepon Naruto diam-diam untuk memberi tahu keadaan Sakura. Ia tidak
begitu paham mengapa ketiga sahabatnya yang lain begitu membenci Naruto,
terutama Ino dan Temari.
Hinata pun bergegas keluar dari toilet. Ia bertemu
dengan tiga sahabatnya di lobi dan segera angkat kaki dari rumah sakit.
.
.
Sakura duduk tepekur di koridor yang tidak jauh dari
ruang inapnya. Ruangan itu dikunci dari luar. Lagi pula ia tidak sanggup
melihat tubuhnya sendiri yang berjuang melawan maut itu. Terutama suara statis
dari mesin EKG. Itu adalah suara paling mengerikan yang ia dengan seumur
hidupnya. Ia pun menutup telinga. “Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau
mati!” ia kembali menangis. Tidak tahu harus berbuat apa. Kalau saja ada yang
bisa menolongnya.
Kepala Sakura kembali menegak. “Sasuke-kun …
Sasuke-kun pasti bisa menyelamatkanku!” Ia lekas berdiri. Memutuskan hendak
keluar rumah sakit menemui kekasihnya itu. Ia tidak akan menyerah. Ia tahu ia
masih memiliki kesempatan hidup.
Sakura lantas mendengar derap kaki yang berlari. Ia
menoleh ke sumber suara. Matanya membulat dua kali lipat. Ia berlari ke arah
pemilik derap kaki itu. “Sasuke-kun!” Sakura pun menjatuhkan tubuhnya pada
Sasuke, namun hal yang sama terjadi. Sasuke tidak memperhatikannya. Lebih
tepatnya, ia tidak menyadari keberadaan Sakura. “Ma-masa?”
Sasuke berlari melewati Sakura yang diam di tempatnya.
Ia tiba di depan kamar Sakura dan memutar knop pintu. “Mengapa pintunya
dikunci?! Sialan!” Ia menggebrak pintu berkaca itu; menghasilkan suara yang
begitu nyaring. Napasnya memburu karena terus berlari dari parkir rumah sakit
hingga ke lantai empat, tempat di mana Sakura dirawat. Dahinya ia sandarkan di
depan kaca. Ia begitu kesal karena perjuangannya untuk menengok Sakura sia-sia.
“Apa … apa yang terjadi dengan Sakura?”
“Sasuke-kun!” Sakura yang emlihatnya terang saja jadi
tersedu-sedu. Ia berlari ke arah Sasuke dan merengkuhnya dari belakang. “Kau
tidak perlu khawatir! Aku ada di sini!” Namun, tetap saja ucapannya itu
dianggap angin lalu oleh Sasuke. Sasuke sendiri menangis dalam diam. Ia pun
makin mempererat pelukannya pada Sasuke. “Kumohon sadarlah! Aku ada di sini!
Aku membutuhkan pertolonganmu, Sasuke-kun!”
Namun, ratapan Sakura tidak juga digubris oleh Sasuke.
Sakura melihat Sasuke yang kemudian menjauh dari pintu. Dia membalikkan badan
dan berjalan sempoyongan menuju arah lift. Ia begitu terpukul melihat wajah
pedih Sasuke. Sakura pun lunglai ke lantai. Ia menutupi wajahnya dengan kedua
tangan. “Siapa … siapa yang bisa menyelamatkanku?!”
Beberapa menit Sakura terkurung dalam ratapannya.
Sebenarnya banyak orang yang berlalu-lalang di koridor tersebut, namun satu pun
tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Kepalanya tertunduk di lututnya yang
tertekuk. “Siapa saja … siapa saja tolong aku…. Tidak adakah di antara kalian
yang bisa melihatku?”
“Eh? Barusan aku
mendengar suara Sakura-chan mengomel.”
Kepala Sakura mendongak. “Naruto?” Tiba-tiba ia
teringat kejadian beberapa jam lalu. “Apa Naruto bisa menyadari keberadaanku?”
Ia berpikir keras. Ia pun teringat di mana Naruto berada, dia menyebutkan
jadwalnya hari ini. “Shueisha? Berarti aku harus ke Chiyoda!” Sakura pun
berlari keluar rumah sakit. Ia tidak tahu apakah perkiraannya benar, namun ia
harus mencari tahu. Sebelum semuanya terlambat….
.
.
“Wajahmu tampak berbeda dari pertama kau sampai di
sini.”
Naruto merasakan hawa panas yang menyentuh bahunya. Ia
perhatikan Shikamaru menyodorkan segelas kopi.
“Minumlah. Biar kau tidak mengantuk di dalam.
Penjurian ini tampaknya bakal alot.”
Naruto pun menerima gelas kopi itu. Ia lontarkan
senyuman tipis pada Shikamaru. “Arigatou.”
Mereka lantas memandangi jalan raya dari jendela kaca
yang besar di sana.
“Aku mendapat kabar calon istriku terkena serangan
jantung. Aku hampir saja akan meninggalkan tempat ini ke rumah sakit.”
Shikamaru tersentak. Hampir saja ia tersedak. “Lalu
kenapa kau tidak ke sana?”
“Yang memberiku kabar bilang, dokter berhasil
mengatasinya. Untuk hari ini tidak ada yang boleh menjenguk Sakura.”
“Syukurlah.” Shikamaru lalu membalikkan badan, dan
menyandarkan punggungnya ke tembok. “Tampaknya akhir-akhir ini kau sering
terkena masalah.”
Kedua bahu Naruto terangkat. “Entahlah. Sebenarnya aku
sempat berpikir tawaran calon mertuaku. Menyerah dan mencari pengganti Sakura.
Namun aku tidak mau menyerah. Setelah ia terbaring beberapa lama di rumah sakit,
cintaku padanya malah bertambah besar.”
Shikamaru melirik Naruto sejenak. “Kau luar biasa,
Naruto. Kudengar waktu itu dia sedang dalam perjalanan mengunjungi pacarnya ya?
Sepertinya dia sama sekali tidak menganggapmu sebagai calon suaminya.”
Naruto tertawa kecil. “Memang. Aku belum bisa
memenangkan hatinya. Sakura sangat mencintai Sasuke. Tetapi masalahnya kini
tidak berputar di situ lagi. Aku jadi berjalan di tempat yang sama.”
“Kenapa tidak turuti saja penawaran calon mertuamu
itu, Naruto? Kau itu mangaka sukses.
Pasti banyak perempuan di luar sana yang bertekuk lutut padamu. Menunggu yang
tidak pasti itu merepotkan.”
Naruto menyeruput kopinya. “Instingku mengatakan aku
belum boleh menyerah.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Menjenguk Sakura
setiap hari?”
Naruto menghela napas panjang dan tersenyum lebar.
“Seandainya aku diberi kesempatan melakukan hal yang berguna untuk Sakura-chan,
aku pasti akan memanfaatkannya dengan sungguh-sungguh.”
Kedua alis Shikamaru terangkat. “Kau ini kan bukan
dokter, Naruto.” Ia lantas menepuk-nepuk bahu Naruto dengan perlahan. “Bukan
salahmu kalau kau menyerah. Calon mertuamu juga sudah memberimu jalan.” Ia
lantas berjalan menjauhi Naruto. “Ayo kita ke ruang rapat. Sasaki-san sudah tiba.”
Naruto pun mengikuti ajakan Shikamaru. “Sayangnya
dalam kamusku, tidak ada kata menyerah,” bisiknya sembari tersenyum tipis
.
.
Mobil itu berjalan cepat membelah jalan Shinjuku. Ia
beruntung karena jalan di waktu siang sehabis Japan Lunch Time Rush ini begitu lengang. Di dalam sana terdapat dua
orang pria berumur kepala enam. Masing-masing sibuk dalam kontemplasinya. Namun
yang berbeda, yang satu sedang memikirkan orang lain, dan satu lagi memikirkan
nasibnya sendiri di masa depan nanti.
“Kakak, kau tidak bisa seperti ini terus. Apa yang
Kakak capai sebelum-sebelumnya akan sia-sia,” ujar Orochimaru memecah
keheningan.
Kizashi menarik napas banyak-banyak. “Ya, karena itu
aku haru sabar menunggu kesembuhan Sakura.”
“Kau tidak bercanda, kan, Kakak? Kita tidak punya
banyak waktu. Dalam hitungan bulan Kakak akan pensiun. Kita juga belum tahu
kapan Sakura akan sadar. Selain itu bisa saja kejadian yang tak terduga
terjadi, misalnya Sakura mat—”
“Diam, Orochimaru! Kau sama sekali tidak membantuku
dengan ocehanmu itu! Mengerti?!”
Orochimaru menggeram dalam hatinya. “Aku sama sekali
tidak bermaksud menambah masalah Kakak, tapi Kakak seharusnya membuat rencana
lain untuk masa depan perusahaan kita. Mencari pemimpin perusahaan selain
Sakura.”
Kizashi melirik Orochimaru sejenak. “Sepertinya kau punya
solusi. Coba sebutkan padaku.”
“Kakak tahu harus menghubungi siapa. Aku akan selalu
ada untuk Kakak. Kakak adalah saudara angkat yang sudah aku anggap sebagai
saudara sendiri.”
Kizashi melirik tangannya yang digenggam Orochimaru.
Ia kemudian kembali menoleh ke arah jendela. “Itu bisa jadi solusi terakhir.
Kau harus memberiku waktu, Orochimaru.”
“Baiklah. Kalau yang itu Kakak mau,” ujar Orochimaru
yang lantas menyeringai.
.
.
“Aku tidak setuju! Kira harus menjadi pemenang utama!
Kalian juga lihat hasil karyanya! Dari ide, isi, gambar, semua bagus! Bahkan
ceritanya sangat nge-Jump! Sangat bodoh jika dia tidak menjadi juara pertama
karena alasan dia baru berumur 15 tahun! Aku jamin kalian akan untung besar
jika dia mendapat serialisasi di Weekly
Shonen Jump!” Naruto menyampaikan pendapatnya dengan berapi-api. Dahinya
dipenuhi keringat. Ia berdiri menantang para juri. Bahkan Sasaki, kepala editor
pun ia lawan.
“Sifat pantang menyerahmu memang merepotkan, Naruto,”
lirih Shikamaru.
Naruto menatap Shikamaru dengan ekspresi galaknya.
“Ini aku lakukan untuk menyelamatkan potensi generasi!”
Shikamaru mendesah panjang; lantas menunjukkan air
muka malasnya. Ia mengibaskan tanganya berkali-kali. “Iya … iya…. Kau tidak
perlu marah-marah begitu.”
“Bagaimana aku tidak marah?! Mereka menjadikan aku
juri, tapi tidak memedulikan rekomendasiku!” kini Naruto menggebrak meja.
.
.
Sakura turun dari taksi berpenumpang yang membawanya
ke kantor Shueisha di Chiyoda. Shueisha adalan penerbit terbesar di Jepang yang
menerbitkan buku dan komik-komik legenda dalam sejarah, salah satu lininya
adalah Shonen Jump. Karya Naruto ada yang diserialisasikan oleh penerbit
tersebut.
Beruntung di depan rumah sakit Sakura menemukan
seseorang yang menaiki taksi dan berniat menuju ke Shueisha. Tanpa pikir
panjang ia masuk ke dalam taksi dan duduk di sebelah penumpang tersebut.
Kini Sakura berlari melewati lorong demi lorong. Ia
memanfaatkan petunjuk yang terpampang di setiap pertigaan lorong di dalam
kantor tersebut untuk mencapai kantor redaksi Shonen Jump. Dari ucapan Naruto
tadi pagi, Sakura yakin dia sedang ada di sana.
Sampai di kantor redaksinya Sakura memasuki satu demi
satu ruangan yang ada di sana. Ia memasuki ruangan kosong untuk ketiga kalinya.
Lantas di ruangan keempat.
.
.
Di dalam ruangan itu masih terjadi adu argumen yang
cukup membuat pusing tujuh keliling.
“Kita masih bisa membuatnya jadi juara favorit. Lagi
pula dengan tidak menjadi pertama ia masih bisa mengasah kemampuannya. Kira
baru bisa serialisasi pada saat dia lulus SMA.” Dalam keadaan panas itu, untungnya si kepala editor,
Sasaki, masih bisa bersikap tenang.
Namun, tetap saja Naruto tidak mau kalah. “Tidak bisa!
Aku tahu kalau Kira mendapatkan serialisasi, ia akan kesulitan melakukannya
karena masih sekolah, tapi kalian harus memikirkannya! Kalian mengadakan
kompetisi ini untuk mencari potensi, kan?! Coba beri tahu aku alasan selain
umurnya yang terlampau muda—yang tidak bisa menjadikannya juara pertama! Aku
paling tidak suka dengan alasan itu! Lagi pula kalian juga tidak menentukan
syarat umur peserta—”
“Naruto!”
Tiba-tiba Naruto mematung. Ia memandang ke arah pintu.
Suara itu tidak asing di telinganya. Matanya membesar. Mulutnya menganga.
Kertas yang ia genggam terlepas dari tangannya. “Sakura-chan?!”
Para juri yang ada di ruangan itu tentu saja tersentak
dan ikut Naruto, memandang ke arah pintu, namun mereka tidak menemukan apa-apa
di sana.
Shikamaru terkikih geli. “Haah, Naruto. Sepertinya kau
mulai gila, ya. Tidak ada siapa-siapa di sana.”
Mata Sakura berbinar. Ia lantas mendekat ke arah
Naruto. “Syukurlah! Ternyata memang benar! Kau bisa melihatku, Naruto! Ada yang
ingin aku bicarakan!”
Naruto mundur beberapa langkah sampai punggungnya
membentur dinding di belakangnya. “Tidak mungkin. Tadi Hinata bilang kau dalam
keadaan kritis. Hinata tidak mungkin berbohong. Kau tidak mungkin sembuh
secepat ini….” Keringat yang bergerumul di dahinya kini berubah dingin.
Sepertinya ia bisa pingsan kapan saja,
“Dengar, Naruto! Aku butuh bantuanmu—”
“Ha-hantu!” Naruto pun berlari keluar ruangan. Ia
berlari dengan kikuk. Beberapa kali menyenggol benda-benda mati yang
dilewatinya.
“Naruto! Kau harus mendengarkan penjelasanku dulu!”
Sakura pun mengejarnya keluar.
Sementara para juri di ruangan tersebut terdiam
melihat sikap aneh Naruto. Mereka saling pandang satu sama lain.
“Ada apa dengannya?” tanya Sasaki pada Shikamaru
dengan wajah bingung.
Shikamaru hanya bisa nyengir. “Sepertinya ia sedang
stres dan barusan adalah puncaknya.”
Bersambung….
Wrote by PrettyAngelia