Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki 16: Persetujuan

MAU KE JEPANG GRATIS? YUK, NULIS ARTIKEL. DL 16 JUNI 2016
Ikuti Present Campaign HIS Summer Trip Blogging Competition

Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki
Naruto © Masashi Kishimoto
The Lord of The Rings © J.R.R Tolkien
Warning: Sequel from ‘HEART’. Semi-Canon. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOC
Pairing insert: Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
.
.
Sementara Sakura ibarat mayat hidup. Ia terlalu syok mendengarkan pengakuan Naruto barusan. Ia merasa seperti buah manis yang dibuang ke tong sampah. Matanya memandang kosong ke depan. Ia pun lunglai ke lantai.  Penolakan yang kedua kali ini lebih menyayat hatinya. Ia tahu Naruto tidak main-main dengan ucapannya. Naruto tidak akan mengatakan hal setega itu hanya untuk berlelucon ria. Dan yang Sakura bisa lakukan menumpahkan kepedihannya dalam bentuk air yang terus mengalir dari matanya….
.
.
Chapter 15
Persetujuan
.
.
            Naruto kini berada di depan sebuah ruangan di Rumah Besar Uzumakigakure yang begitu luas. Ruangan itu adalah ruangan pertemuan keluarga. Hanya ada meja, sofa, dan perapian di sana. Di lantainya terdapat karpet yang membentang untuk melindungi kaki dari kedinginan. Di salah satu sudut dindingnya Naruto menatap sebuah lukisan yang tidak ia mengerti keberadaannya.
            Di lukisan itu terdapat Rikudou Sennin dan Uzumaki Sakura yang saling bermesraan. Rikudou Sennin memeluk Uzumaki Sakura dari belakang dan Uzumaki Sakura tampak senang dengan perlakuan romantis suaminya itu.
            Namun semesra apapun lukisan itu, menggunung pula kepedihan yang Naruto rasakan. Matanya terarah pada sosok Rikudou Sennin. “Mengapa Anda dengan mudah membuang dan menyimpan kembali rasa cinta pada istri Anda, Rikudou Sennin? Apa Anda pernah merasakan apa yang aku rasakan?”
            Ruangan itu begitu hening. Hanya ada suara Naruto di sana.
            “Seharusnya aku tidak seperti ini. Perasaan cintaku pada Sakura mungkin sudah hilang. Tapi mengapa hatiku ini begitu remuk ketika menolaknya?” Naruto meremas bajunya yang ada di bagian dada.
            Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dengan kencang sampai menimbulkan suara yang sangat nyaring. “Naruto! Kenapa kau ada di sini?” Kushina muncul dengan napas memburu. Ia begitu kaget saat Sakura yang ditemuinya itu menangis dan mengatakan jika Naruto telah pergi. Dengan kemampuan penglihatannya, ia bisa mengetahui Naruto kembali ke Uzumakigakure dan langsung menyusul anaknya bersama dengan Rin.
            Kushina tersentak saat Naruto memalingkan wajah ke arahnya. Wajah yang begitu rapuh. Ia pun langsung memutuskan dalam hatinya. Untuk sementara kita tidak bisa Konoha dulu ya?
.
.
            Ino memandangi Sasuke yang lagi-lagi ditemaninya untuk menjenguk Hinata. Gadis berambut biru tua itu masih belum sadar dari tidurnya. Padahal ini sudah hari ketiga. Namun bukan hal itu yang Ino khawatirkan, ia sendiri jadi heran mengapa Sasuke hampir setiap hari meminta diantarkan menjenguk Hinata. Kadang ia pun harus meninggalkan Sasuke berdua saja dengan pewaris Klan Hyuuga itu dalam waktu yang cukup lama. Sasuke biasanya dari pagi hingga sore menunggui Hinata.
            Padahal yang Sasuke lakukan hanya duduk di sebelah ranjang Hinata saja. Ino mendesah. “Kenapa aku jadi cemburu seperti ini? Tapi baru kali ini aku melihat Sasuke menaruh perhatian pada orang lain.” Matanya lalu tertuju pada mata Sasuke yang diperban. Semalam sudah dilakukan operasi dan pembubuhan obat dari mawar Kushina dan tanduk rusa Klan Nara, semoga saja ketika perban itu dibuka Sasuke bisa melihat kembali, meskipun hasilnya belum diketahui secara pasti.
            Ino pun berjalan mendekati Sasuke. “Sasuke-kun, aku harus memeriksa pasien lain. Nanti aku kembali lagi ke sini.”
            “Hn,” hanya itu yang keluar dari mulut Sasuke.
            Ino tidak menanggapinya lagi dan segera angkat kaki dari sana.
            Setelah merasakan Ino keluar dari ruangan itu, Sasuke mengangkat tangannya dan meraba kasur Hinata hingga ia menemukan sebuah tangan. Ia sempat tersentak karena tangan itu begitu dingin. Lekas ia genggam tangan itu dengan erat, berharap kehangatan dirinya mengalir juga pada Hinata. “Maaf. Andai saja aku tidak selemah ini.”
            Yang Sasuke tidak tahu, di pintu ruang inap Hinata, ada Hyuuga Hiashi yang pada akhirnya mengurungkan diri untuk menjenguk putri semata wayangnya. Ia begitu syok melihat kejadian di depannya. Apa maksudnya ini? Di dalam otaknya terngiang-ngiang cerita dari leluhurnya dulu tentang Uchiha dan Hyuuga yang saling jatuh cinta, namun memiliki akhir yang tragis.
.
.
            Kurenai menaruh Hiruzen di boks bayi di ruangan sebelah kamarnya. Ia menggelar selimut di atas bayi mungil itu. Tangannya membelai lembut dahi Hiruzen. Kakinya lalu melangkah menjauhi boks dan kembali ke kamarnya. Di kamarnya ada sebuah cermin yang biasa ia gunakan untuk memeriksa penampilannya sehari-hari. Ia lalu memeluk dirinya sendiri. Sudah dua hari ini ia tidak bertemu dengan Kakashi sejak hari eksekusi Sasuke dan itu membuatnya selalu kedinginan dan kesepian di rumahnya.
            Namun dua hari itu pula Kurenai memang sengaja menghindari Kakashi. Setiap Kakashi berkunjung ke rumahnya, ia pasti akan mengeluarkan genjutsu agar keberadaannya tidak dirasakan oleh suaminya itu. Setelah menyaksikan langsung interaksi Kakashi dengan Rin, Kurenai jadi paham satu hal. Ia telah menyulitkan Kakashi dengan menyembunyikan pernikahan mereka, namun ia sendiri belum siap memberitahukan pada siapapun.
            Kurenai tentu tahu perasaan Rin pada Kakashi dulu; ia sendiri tidak menyangka jika Rin masih hidup. Maka dari itu ia memutuskan untuk tidak mengganggu reuni mereka. Mata merahnya lalu menangkap sebuah batang putih yang di tengahnya terdapat dua strip berwarna merah. Ia pun meraih batang itu dan bergegas ke kamar mandi. Dibuangnya batang itu di toilet dan membanjirinya dengan air; hingga air tersebut menenggelamkan batang itu sampai tidak lagi terlihat di permukaan.
            Bibir Kurenai pun bergetar. “Bagaimana ini? Bagaimana caranya agar semua orang tidak tahu?”
.
.
            “Sakura, tolong kau minta Kakashi, Neji, dan Shikamaru untuk mengantar ramuan mawar Kushina dan tanduk rusa Klan Nara ke Kumogakure. Ah, tapi bilang pada mereka untuk menghadapku dulu.”
            Sakura yang tengah mempersiapkan makan siang untuk gurunya tercenung. “Anda mengirimkannya untuk Raikage, Shisou?”
            Tsunade mengangguk. “Raikage terkena jurus mematikan Naruto, aku yakin dia sedang sekarat sekarag.”
            “Anda baik sekali, Shisou. Padahal Anda sendiri hampir mati di tangannya.”
            Tsunade mendesah pelan. “Adiknya tewas di tangan Akatsuki, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan tindakan brutalnya kemarin. Sasuke mungkin akan segera dibawa pergi dari Konoha sebentar lagi untuk menghilangkan konflik.”
            Untuk yang satu ini Sakura memang tidak mengetahuinya. “Sasuke akan dipindahkan ke mana, Shisou?!”
            “Ke Uzumakigakure.”
            Sakura terdiam sejenak. Tiba-tiba hatinya kembali remuk. Ia pun tersenyum getir. “Enak sekali mereka tinggal di tempat yang sama, aku malah ditinggal sendiri di sini.”
            Tsunade hanya memandangi muridnya itu dengan wajah datar. “Aku tidak melihat Naruto sejak kemarin lusa. Apa sesuatu terjadi antara kalian berdua, Sakura?”
            Sakura menggigit bibirnya sendiri. Ia malah berkata hal lain. “Setelah menyegel bijuu ke Uzumakigakure, Naruto akan pergi dari sini untuk selamanya, Shisou.”
            “Jadi Naruto memutuskan mengikuti Kushina…. Tapi bisa jadi ia berubah pikiran nanti.”
            Sakura mengembangkan senyuman palsunya. Ia mengalihkan pembicaraan. “Ayo, dimakan, Shisou. Mumpung menunya masih panas. Apakah saya perlu menyuapi Anda?”
            Tsunade menggeleng. Senyuman itu tidak dibalasnya dengan senyuman karena ia memang sudah sangat mengenal Sakura. “Tidak perlu, Sakura. Kau boleh pergi.”
            “Baiklah. Makanannya dihabiskan ya, Shisou.” Sakura lalu mengucapkan permisi dan keluar dari ruang inap gurunya.
            Sementara Tsunade tidak begitu nafsu menghabiskan makanan yang ada di hadapannya. Wajahnya lalu berpaling ke jendela yang tirainya tersingkap dan memandangi atap-atap rumah Konoha yang berjejer di depannya. “Daimyou juga pasti akan segera menuntut kejadian kemarin. Aku memang harus segera keluar dari sini.”
.
.
            “Hei, Sakura! Kau mau ke mana?”
            Sakura yang sedang berjalan santai di koridor rumah sakit berpaling ke sumber suara. “Aku mau menjenguk Sasuke-kun.”
            “Kebetulan. Sasuke-kun sedang ada di kamar Hinata, kau salah memilih jalan Sakura. Aku baru saja akan ke sana.”
            “Lagi?” Sakura agak kaget mendengarnya.
            “Aku pun terkejut setiap datang ke kamar Sasuke-kun untuk mengantarkan sarapan, ia selalu meminta diantarkan ke kamar Hinata selesai makan.” Ino memasang wajah cemberut. “Aku baru melihat sisi Sasuke-kun yang seperti ini, Sakura.”
            Sakura pun hanyut dalam kontemplasinya sendiri. Ia sebenarnya sudah menyadari Hinata yang dulu tampak lebih perhatian pada Sasuke, namun Sasuke tidak begitu peduli. Namun sekarang malah terbalik.
            “Kau pasti cemburu juga, kan, Sakura?”
            “Eh?” Sakura lantas tersenyum dengan lebarnya. “Tidak dong, Ino. Cemburu itu hanya buat bocah sepertimu.”
            “Cih! Kenapa kau jadi munafik begitu? Ya, sudahlah, kalau kau tidak menyukai Sasuke-kun lagi. Jadi, sekarang Sasuke-kun milikku sepenuhnya!”
            Sakura pun terbahak-bahak. “Kau jangan terlalu percaya diri dulu, Ino. Persiapkan hatimu karena ada kemungkinan Sasuke-kun menolakmu juga.”
            “Huh!” Ino membuang muka. “Ngomong-ngomong, Naruto di mana Sakura? Aku tidak melihatnya lagi sejak lusa.”
            Sakura mendengus kesal. Mengapa banyak sekali yang menanyakan tentang Naruto padanya? “Di Uzumakigakure!” jawab Sakura dengan ketus.
            Ino pun langsung menatap Sakura dengan heran. “Kenapa kau jadi marah begitu?”
            “Aku tidak marah!” sekarang volume Sakura meninggi.
            Mata Ino pun menyipit. “Kau sedang marah tahu! Kau tidak sadar suaramu tinggi begitu?!” ia pun ikut sewot.
            “Kau bawel, Ino!” Sakura memutuskan berlari dan meninggalkan Ino di belakang.
            Ino jadi tercenung di tempatnya. “Mungkin Sakura sedang PMS ya.” Meskipun begitu ia lalu ikut berlari juga menyusul Sakura.
            Sakura yang berlari pun sampai di ruang inap Hinata dalam waktu singkat. Ia mengambil napas banyak saat berdiri di depan pintunya yang sedikit terbuka. Ia lantas mengintip sejenak ke kamar Hinata. Matanya membesar saat melihat Sasuke yang tertidur di atas kursi, sementara kepalanya bersandar di sisi kasur Hinata. Saking terkejutnya ia tak sengaja menyenggol pintu hingga menimbulkan suara.
            Sasuke pun dalam sekejap menegakkan tubuhnya. “Siapa?” ujarnya dengan nada waswas.
            “Ini aku Sasuke-kun.” Sakura memutuskan masuk ke kamar Hinata dan menghampiri Sasuke. “Sudah masuk jam makan siang. Mau kuantarkan makanannya ke sini, Sasuke-kun?”
            “Aku sedang tidak nafsu makan,” jawab Sasuke datar.
            Sakura pun tidak memaksanya. Ia lalu berjalan ke sisi seberang Sasuke dan memeriksa keadaan Hinata sejenak. “Kondisi Hinata semakin hari semakin membaik. Pasti sebentar lagi dia akan siuman.”
            Namun Sasuke tidak menanggapinya dan malah menanyakan hal lain. “Naruto di mana, Sakura? Banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya.”
            Bahu Sakura kembali turun. Lagi-lagi pertanyaan itu…. “Naruto kembali ke Uzumakigakure, Sasuke-kun. Aku tidak begitu tahu kapan ia akan ke Konoha lagi.”
            “Punya dua rumah sepertinya membuatnya repot juga,” komentar Sasuke dengan senyuman tipis di bibirnya.
            Sakura jadi tambah sedih melihatnya. Ia tahu senyuman itu menandakan bahwa Sasuke senang Naruto telah kembali. Namun Sasuke sama sekali tidak tahu tentang perihal Naruto yang tidak sudi selamanya berada di dunia ini. Sakura tentu saja belum siap untuk menyampaikannya pada Sasuke.
            “Kalau Naruto ada di sini, tolong bilang padanya agar menjengukku. Dia sama sekali belum pernah menjengukku dari lusa kemarin.”
            “Tentu, Sasuke-kun.” Sakura pun berjalan mendekati Sasuke. “Aku harus kembali melaksanakan tugasku, apa kau mau kembali ke kamarmu?”
            Sasuke langsung menggeleng. “Nanti saja. Aku berharap aku orang yang pertama mengetahui Hinata siuman.”
            Sakura sampai terhenyak mendengarnya. Apalagi saat ia menyadari ada senyuman tipis yang tersulam di bibir Sasuke. Namun kemudian ia jadi ikut tersenyum pula. “Kalau begitu aku akan kemari lagi nanti sore.” Ia bergegas ke arah pintu, namun sebelum itu ia kembali menatap Sasuke yang membelakanginya. Tak kusangka Ino mengatakan hal yang benar.
.
.
            Naruto memandang ke sekelilingnya dengan terguncang. Konoha yang memiliki simbol api, kini malah dilalap api. Api-apinya begitu membumbung tinggi, hingga ia tidak tahu apa yang terjadi di depan sana. Asap dari api itu masuk ke matanya dan membuat perih. Pandangannya pun mengabur. Ia tidak tahu apa yang ia hadapi sekarang. Yang ia tahu tenggorokannya pun tercekat karena dicekik sebuah tangan hitam.
            Mata Naruto menangkap sosok serba hitam di depannya yang ia tidak kenali. “Le-lepaskan aku, Bren-gsek…!”
            “Naruto!”
            Mata Naruto membesar ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Ia menengok ke sumber suara. Wanita berambut merah jambu itu berlari ke arahnya dengan kepanikan tak terkira. Namun sebenarnya yang lebih panik adalah dirinya. “T-tidak…. Jangan ke-kemari…!”
            Teriakan Naruto tidak dipedulilan wanita itu.
            “Penganggu memang harus langsung dimusnahkan,” ujar sosok serba hitam itu seraya terbahak-bahak.
            Yang Naruto lihat selanjutnya adalah darah merah yang menggenang di tanah di dekatnya dan di lehernya yang semakin menjadi.
            “Hentikan!” Naruto terbangun dari tidurnya. Ia langsung dalam posisi duduk. Matanya yang nyalang melihat ke sekitarnya dan ia menyadari ia tengah berada di kamarnya di Rumah Besar Uzumakigakure. Tangannya meremas bagian dada. Ia menunduk dan merasakan peluh dari dahinya berjatuhan di selimutnya. “Mimpi?” lirihnya.
            Namun yang tadi terasa sangat nyata. Mata Naruto pun membesar. Ia lalu bangkit dari tempat tidurnya dan segera keluar kamar. Kakinya berlari ke kamar Kushina, tanpa mengetuk dulu, ia langsung menghambur ke dalam kamar ibunya. “Kaa-sama!”
            Kushina yang tengah menyisir rambutnya yang panjang sampai nyaris terjungkal dari kursinya. “Naruto! Apa kau tahu caranya mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar orang lain?”
            Namun Naruto tidak mempedulikan omelan ibunya. Dahinya mengerut. Napasnya begitu memburu karena panik dan larinya tadi yang begitu cepat. “Dia … dia akan menyerang Konoha! Aku melihatnya dalam mimpiku!”
            Melihat wajah Naruto yang lebih pucat dibandingkan biasanya, Kushina pun mengerti. Memang mimpi seorang yousei, bukanlah mimpi biasa….
.
.
            Hari keempat setelah Sasuke gagal dieksekusi….
            Sakura kini tengah berada di kamar Sasuke. Hari ini perban yang menutupi mata Sasuke sudah bisa dibuka. Karena itu ia pun berniat melakukan hal itu. “Kau siap, Sasuke-kun?”
            “Hn.”
            Sakura tahu jika itu artinya Sasuke menyatakan ‘ya’. Tangannya pun meraih ujung perban yang merekat di belakang kepala keturunan Uchiha terakhir. Perlahan ia menarik perban itu hingga seluruhnya terlepas dari dahi Sasuke. Tinggal dua kapas yang menempel di kelopak matanya. “Sasuke-kun, aku tidak bisa menjami operasi kemarin dapat mengembalikan penglihatanmu. Kita berdoa saja semoga matamu pulih. Tapi kemungkinan besar kau tidak bisa menggunakan sharingan-mu lagi.”
            “Tidak masalah.”
            Sakura jadi bingung melihat Sasuke. Ia tidak menyangka Sasuke akan tidak peduli dengan sharingan-nya. “Aku buka kapasnya ya, Sasuke-kun.”
            “Hn.”
            Tangan Sakura pun mengarah pada kapas yang menempel di kedua mata Sasuke. Ia membukanya perlahan hingga kelopak mata Sasuke terlihat. Ia pun mengambil napas dalam-dalam. “Nah, buka matamu perlahan, Sasuke-kun.”
            Sasuke lantas menuruti permintaan Sakura. Kelopak matanya membuka. Hal itu ia lakukan dalam waktu yang cukup lama karena rasa-rasanya kelopak matanya tengah mati rasa. Namun akhirnya matanya membuka penuh. Sasuke pun mengerjapkan matanya beberapa kali. “Buram.”
            “Apa kau bisa melihatku dengan jelas, Sasuke-kun?”
            Sasuke menggeleng. “Yang terlihat agak jelas hanya warna baju dan rambutmu. Sisanya samar-samar.”
            Bahu Sakura turun seketika. Sepertinya sari bunga mawar Kushina dan tanduk rusa Klan Nara tidak bisa menyembuhkan penglihatan Sasuke sepenuhnya. Atau mungkin bisa, tapi butuh waktu yang Sakura tidak tahu berapa lama.
            “Sasuke-kun aku punya kabar bagus untukmu!” tiba-tiba kepala Ino muncul dari pintu ruang inap Sasuke yang memang terbuka.
            Sasuke mendongak ke arah suara. “Ada apa?”
            “Hinata!” teriak Ino antusias.
            Wajah datar Sasuke tiba-tiba jadi cerah. Ia tersenyum kecil. “Aku ingin ke kamarnya sekarang.”
            Sakura yang menyadari perubahan wajah Sasuke pun jadi ikut tersenyum juga. “Aku akan mengantarmu ke sana.”
.
.
            “Bagaimana keadaan Sasuke-kun, Neji-niisan?”
            Dahi Neji mengerut mendengar pertanyaan yang pertama Hinata lontarkan setelah ia terbangun dari tidurnya selama empat hari. Ia melirik pada Hiashi yang berdiri di sebelahnya. “Sebaiknya kau mengkhawatirkan keadaanmu sendiri, Hinata-sama.”
            Hinata tersenyum kecil. “Itu artinya Sasuke-kun baik-baik saja ya.”
            Hiashi menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Kau sampai seperti ini apa memang tugas atau memang keinginanmu sendiri, Hinata?”
            Mata sayu Hinata mengarah pada ayahnya. “Aku melakukannya untuk Naruto-kun.”
            “Ngomong-ngomong soal Naruto. Dia sudah kembali ke Konoha,” ucap Neji tiba-tiba.
            “Eh?” Mata Hinata pun membesar. “Ba-bagaimana bisa?”
            “Ceritanya panjang, tapi Naruto sedang tidak ada di Konoha. Kalau dia kembali, aku akan menyuruhnya menjengukmu.”
            Hinata lalu memandangi langit-langit di atasnya. Ia tidak menyangka rupanya Naruto benar-benar hidup. Meski ia harus memastikan dengan matanya sendiri, namun ia rasa Neji tidak akan setega itu membohonginya. Ia lantas mengusap matanya yang mengeluarkan beberapa bulir air. “Syukurlah.” Naruto kembali, lalu Sasuke pun lolos dari hukuman mati. Ia tentu saja pantas mengeluarkan air mata bahagia itu.
            “Kalau begitu aku harus kembali ke rumah dulu. Ada yang harus kuurusi,” tukas Hiashi. Ia memberi sinyal pandangan pada Neji agar mengikutinya keluar.
            “Terima kasih, Otou-sama.” Hinata hanya bisa memandangi ayahnya dan Neji yang keluar dari kamar. Ia lalu melihat bagian bawah tubuhnya dan berusaha menggerakan tangan. “Masih kaku, aku memang harus bersabar dulu.”
            Sementara itu di koridor rumah sakit yang agak sepi, Hiashi menghentikan langkah kakinya. Ia menatap Neji dengan tegas. “Sejak kapan Hinata dekat dengan Uchiha Sasuke, Neji?”
            Neji yang diberi pertanyaan itu terang saja kaget. Namun ia tetap menjawab. “Seingat saya, sejak Naruto menghilang dari Konoha.”
            Hiashi memejamkan matanya rapat-rapat. Ia menatap Neji dengan mata nyalang. “Jangan sampai para tetua kita menyadarinya, Neji. Ini akan berbahaya pada Hinata. Sebisa mungkin kau juga menjauhi Hinata dari Sasuke.”
            Neji tentu tahu mengapa Hiashi berkata seperti itu. “Akan saya usahakan. Tapi saya sulit menemukan alasan yang tepat agar Uchiha itu menjauh dari Hinata-sama. Karena sepenglihatan saya dia juga tidak macam-macam pada Hinata-sama.”
            “Pokoknya kau harus mengawasi Hinata. Jika tetua kita tahu hal itu, aku sebagai pemimpin Klan Hyuuga pun tidak akan mampu melindungi Hinata. Aku tidak mau nasib Hinata serupa dengan Hikari-sama.”
            Dahi Neji semakin mengerut. “Tentu saja saya tidak mau kejadian naas itu terulang lagi,” ujung suaranya bergoyang. Ia memang pernah mendengarkan langsung kisah Hyuuga Hikari, mengingatnya saja membuat hatinya gelisah. Ia lantas mengantar Hiashi hingga gerbang rumah sakit. Sayangnya ia tidak berani memberi tahu bahwa untuk sementara waktu ia tidak bisa menjaga Hinata karena tadi ia mendapatkan kabar untuk pergi ke Kumogakure.
.
.
            “Naruto apa ada yang kau lihat selain Konoha yang diselimuti dengan api?” Kushina dan Naruto kini tengah berada di jalan dimensi lain yang akan mengantarkan mereka ke Rumah Sakit Konoha, mereka ingin mengunjungi Tsunade kembali. Mereka tengah terbang bersisian.
            Tanpa melirik Kushina, Naruto berujar, “Tanpa aku mengatakannya, Kaa-sama juga bisa melihatnya, kan?”
            Dahi Kushina mengerut. Ia mencoba membaca pikiran Narutp. Matanya pun membesar. “Siapa dia? Berbeda sekali dengan Madara.”
            “Aku juga merasa dia bukan Madara, tapi selain dia siapa lagi yang ingin menyerang Konoha? Apa ia sama seperti musuh yang sudah-sudah?”
            Kushina menggeleng. “Aku tidak pernah melihatnya.”
            “Mungkin hal itu bisa kita pikirkan nanti. Yang jelas dia sangat kuat, aku sampai tidak berkutik dibuatnya.” Suara Naruto bergetar.
            “Tapi ada yang berniat menolongmu, dia—”
            “Kaa-sama,” potong Naruto. “Dari apa yang telah Kaa-sama alami, bisakah kita mencegah hal itu terjadi?” suara Naruto terdengar lebih berat. Menandakan ia sangat merisaukan apa yang dilihatnya dalam mimpi.
            “Tidak bisa,” jawab Kushina. “Namun kita masih bisa melakukan sesuatu terhadapnya. Kau akan menemukan celah di sana.”
            “Aku tidak ingin ada yang mati lagi,” ujar Naruto.
            “Semua orang pasti sependapat denganmu.”
            Namun Naruto tahu di setiap peperangan, pasti akan memakan korban, dan ia akan kembali merasakan kehilangan.
.
.
            Kakashi, Shikamaru, dan Neji kini tengah berada di ruangan Tsunade. Mereka mendapatkan misi ke Kumogakure.
            “Tolong berikan ini pada Raikage,” Tsunade menyerahkan batang bambu yang memiliki penutup pada Kakashi. “Kalian harus membuat mereka mau menerimanya. Sebisa mungkin hindari pertikaian secara langsung. Semoga dengan ini Raikage bisa cepat sembuh.”
            Kakashi pun menyimpan batang bambu itu di kertas segelnya, yang kemudian ia simpan di kantong jaketnya. “Baiklah, kami akan berangkat sekarang juga.”
            Tsunade mengangguk. “Semoga misinya sukses.”
            Ketiga shinobi itu menunduk pada pemimpin mereka dan keluar dari sana.
            Tsunade menarik napas dalam-dalam. Ia menatap keluar jendela. Esok ia sudah berencana akan keluar dari rumah sakit, meski belum sembuh benar. “Entah apa yang akan terjadi ke depannya. Apa yang harus kulakukan?”
            “Baa-chan!” tiba-tiba Naruto muncul di daun pintu kamar Tsunade.
            Membuat Tsunade kaget setengah mati. Ia lalu melemparkan bantal tepat ke kepala Naruto.
            “Eits!” Namun Naruto dengan cepat berjongkok. Bantal itu pun malah melayang keluar.
            DUG
Kushina yang berdiri di belakang Naruto pun melayangkan tinju ke kepala anaknya. “Sudah kubilang kau harus bilang permisi dulu!”
            “Adu-duh!” Naruto mengusap kepalanya.
            “Maaf, Tsunade-sama. Kami kembali.” Kushina membungkuk dalam-dalam.
            Tsunade menghembuskan napas banyak. “Kalian pulang tanpa bilang permisi.” Ia menatap Naruto dengan garang. “Sekarang muncul tanpa bilang permisi dulu.”
            “Ini karena Naruto menolak cinta seorang perempuan. Dia jadi dilema,” Kushina pun berjalan mendekat ke Tsunade.
            “Eh?” Alis Tsunade terangkat sebelahnya.
            “Namanya juga anak muda Tsunade-sama.”
            Sementara Naruto hanya manyun. Kaa-sama mengolok-ngolokku.
            “Apa ada yang ingin kau sampaikan padaku?” Tsunade mengalihkan pembicaraan.
            Wajah Kushina dan Naruto berubah serius.
            “Kemungkinan besar akan terjadi serangan besar-besaran di Konohagakure. Naruto melihatnya dalam mimpi,” jelas Kushina yang langsung ke inti permasalahan.
            Tsunade terdiam sejenak. Ia juga pernah mempelajari tentang kemampuan istimewa Klan Uzumaki ini. Ia tersenyum tipis. “Naruto sepertinya sudah menjadi yousei sepenuhnya ya.”
            Naruto tetap memasang wajah serius. “Kita akan melawan musuh yang sangat berbahaya dan mematikan, Baa-chan.”
            “Lalu apa yang kau lihat?”
            Naruto hanya mengatakan tentang musuhnya yang memiliki seringai mengerikan dan berpenampilan serba hitam. Lalu ia melanjutkan, “Aku akan melakukan penyegelan bijuu di sini karena itu untuk berjaga-jaga aku ingin di bawah tanah Konoha dibuat pola seperti ini.” Naruto mengeluarkan secarik kertas dari kantong kunainya.
            Tsunade pun mengambil kertas itu dari tangan Naruto. Di sana ada sebuah gambar lingkaran besar yang di tengah-tengahnya terdapat bentuk bulan sabit. Lalu di masing-masing sudut atas, bawah, dan bagian kiri-kanan, terdapat pola yang sama, namun lebih kecil. “Apa ini, Naruto?”
            “Pola segel empat penjuru mata angin. Segel yang dulu Rikudou Sennin gunakan untuk menyegel para bijuu di Lingkar Luar Uzumakigakure.”
            Tsunade jadi agak bingung. “Kau yakin bisa melakukannya, Naruto?”
            “Aku sudah membersihkan diriku. Jadi, kemungkinan berhasilnya sangat besar,” jelas Naruto tanpa ekspresi.
            Tsunade tiba-tiba tercengang. Namun ia tersenyum lebar. “Kalau sudah begini jadinya, sepertinya aku bisa cepat lengser dari jabatanku.”
            “Kau tidak perlu melakukannya, Baa-chan. Menjadi Hokage … itu sekarang sudah menjadi mimpi masa kecilku.”
            “Naruto kau terlalu cepat memutuskan,” komentar Kushina.
            Tsunade sendiri tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ia hanya mampu membuka-menutup mulutnya. Ia lantas menarik napas dalam-dalam. “Kupikir kau masih saja sama dengan Naruto yang kukenal, ternyata kau banyak berubah.”
            “Perubahan itu diperlukan, Baa-chan. Apalagi ini memang ditugaskan padaku seorang. Aku tidak boleh gagal. Bijuu-bijuu itu harus dikembalikan ke tempat semula agar dunia jadi seimbang dan tidak akan ada lagi yang memanfaatkannya.”
            Tsunade menatap Naruto sejenak. Ia jadi berharap bahwa Naruto tetap Naruto kecil yang ia kenal, tapi sepertinya ia harus siap melepaskan, meski sebenarnya tidak terlalu rela. “Baiklah. Aku akan menghubungi Klan Akimichi untuk melakukannya.”
            “Selebihnya aku melihat musuh yang akan mematikan kita semua. Aku belum tahu apa yang harus kulakukan untuk mengalahkannya. Aku tidak tahu siapa dia.”
            Tsunade mengangguk paham. “Kita akan bersiap-siap. Mungkin dengan ini kita bisa mengurangi banyak korban. Aku akan melakukan evakuasi segera.”
            “Tunggu, Baa-chan!”
            “Hm?”
            Naruto menggaruk pipinya sendiri. “Aku sendiri tidak tahu kapan hal itu terjadi.” Ia tersenyum sangat lebar.
            Tsunade yang dongkol setengah mati akhirnya melayangkan bantal ke wajah Naruto sampai dia terpelanting ke lantai.
.
.
Sasuke tidak pernah selega ini dalam hidupnya. Ia memang tidak bisa melihat Hinata dengan jelas. Namun ia kaget juga Hinata sudah bisa terduduk di tempat tidurnya. Ia duduk di samping tempat tidur Hinata. Sementara Ino dan Sakura berdiri di dekat jendela. “Apa masih ada yang sakit, Hinata?”
            Hinata menggeleng. Senyuman kecil mengembang di bibirnya. “Aku tidak tahu apa yang tim medis lakukan, padahal tadi aku kesulitan menggerakan tubuhku. Sekarang aku bahkan bisa duduk.” Malu-malu ia menatap Sasuke-kun, namun ia melihat ada yang aneh dengan gerak mata Sasuke. “Kau masih belum bisa melihat, Sasuke-kun?”
            Sasuke menyentuh satu matanya. “Sebenarnya bisa, tapi masih tidak jelas.” Sebenarnya ada hal yang sangat ingin ia ucapkan, namun ia terlalu gengsi untuk mengungkapkannya.
            “Oh ya, kalian sudah bertemu dengan Naruto-kun? A-aku ingin sekali bertemu dengannya.” Pipi Hinata semakin bersemu merah.
            Syukurlah Hinata sepertinya masih menyukai Naruto, Ino tampak lega dalam hatinya. Ia tersenyum kecil.
            Sakura yang berdiri di sebelahnya pun menyenggol bahu Ino agar tidak mengeluarkan ekspresi macam-macam.
            “Naruto baru tiba di sini. Ia sedang di kamar Tsunade-sama. Mungkin setelah itu ia akan kemari.”
Mata Sakura melebar mendengarnya. Diikuti tangannya yang kemudian mengepal.
Tiba-tiba muncul Shizune dari pintu. Ia masuk dengan membawa papan yang menempel sebuah kertas di atasnya. “Syukurlah kau sudah siuman Hinata.”
            “Shizune-san, terima kasih sudah merawat saya,” Hinata membungkuk sejenak.
            “Itu sudah menjadi tugas tim medis,” ujar Shizune seraya tersenyum. Matanya kemudian beralih pada Ino dan Sakura. “Sakura, Ino, sebaiknya kalian melanjutkan tugas. Biarkan saja Sasuke di sini dulu, sepertinya ia ingin mengobrol lama dengan Hinata.”
            Hinata langsung menatap Sasuke dengan wajah penuh kejut.
            Dahi Sasuke tiba-tiba mengerut.
            “Apalagi Sasuke datang setiap hari ke sini untuk menjengukmu,” lanjut Shizune lagi.
            Wajah Hinata merona serupa udang rebus.
Sasuke hanya bisa terdiam, namun kedua alisnya kini benar-benar menyatu di tengah dahinya.
Sementara itu Sakura mengangguk paham, namun Ino yang tidak begitu setuju. Membuat Sakura menarik paksa tangannya dan keluar cepat-cepat dari kamar Hinata.
            “Lepaskan tanganku, Sakura!”
            “Berisik! Kau seharusnya bisa membaca situasi!”
            Sakura dan Ino malah bertengkar di koridor.
            Shizune hanya tertawa kecil mendengar suara adik seperguruannya itu. “Aku ingin memeriksamu sebentar, Hinata.”
            Hinata mengangguk paham. Lalu membiarkan Shizune melakukan tugasnya. Hanya 20 menit.
Setelah itu Shizune langsung pamit keluar. “Kau tenang saja, Sasuke. Ino dan Sakura nanti akan mengantarmu kembali ke kamar.”
Sasuke tidak membalasnya. Ia merasa Shizune tengah mengusilinya. Namun baguslah, karena dia, Ino dan Sakura keluar juga dari ruangan ini. Karena Sasuke tidak ingin ada yang mendengar ucapannya setelah ini. “Apa aku mengganggumu, Hinata?”
“E-eh? S-sama sekali tidak.” Telapak tangan Hinata bergoyang di udara.
Sasuke mengembuskan napasnya sejenak. Ia tidak mengerti mengapa Hinata jadi terbata-bata lagi, namun ia ingin sekali mengatakannya. “Aku … aku ingin berterima kasih karena kau telah melindungiku kemarin. Aku benar-benar berutang budi padamu.” Sasuke yang meskipun tengah duduk, menunduk dalam-dalam.
Hinata kembali salah tingkah. “K-kau tidak perlu membungkuk, Sasuke-kun. Aku … aku melakukannya dengan sepenuh hatiku, demi janjiku pada Naruto-kun.”
Sasuke kembali menegakkan tubuhnya. “Naruto yang memintamu untuk melindungiku?”
Hinata mengangguk. “Aku menyangka waktu itu adalah hari terakhir aku bertemu dengan Naruto-kun, maka dari itu aku ingin sekali mengabulkan permintaan terakhirnya.”
“Saat Naruto diculik oleh Akatsuki?”
Hinata mengangguk perlahan.
Sasuke tentu saja sudah mengetahuinya. Sebenarnya kejadian Naruto diculik oleh Akatsuki tidak pernah disangka oleh banyak orang. Namun sejak pertama Naruto memang berniat mati untuk mendonorkan jantungnya sendiri agar Sasuke selamat dari maut….
“Aku … sebenarnya tidak pantas mendapatkan pertolongan kalian.”
            Hinata menggelengkan kepalanya. “Aku memang tidak terlalu mengenalimu, namun setelah berbicara denganmu seperti ini, aku tahu sebenarnya kau adalah lelaki yang baik, Sasuke-kun.”
            Sasuke tertegun mendengarnya. Meski tidak begitu jelas, namun ia bisa membayangkannya dengan jelas. Wajah di depannya itu memberikan senyuman yang begitu tulus padanya.
            “Sekarang Tim 7 jadi lengkap kembali. Aku benar-benar senang melihatnya.”
            Sasuke tersenyum kecil. “Ya.”
            “Sasuke-teme! Untuk apa kau ada di kamar Hinata?!” Naruto tanpa permisi masuk ke dalam ruangan.
            Hinata yang melihatnya langsung mematung.
            Sementara Sasuke hanya mampu mengenali warna rambut Naruto yang sangat terang itu.
            “Syukurlah kau baik-baik saja, Hinata. Aku tidak menyangka kau berbuat seperti itu demi si brengsek ini. Aku benar-benar sangat berterima kasih.” Naruto menunduk dalam-dalam.
            Hinata kembali merona merah. “A-ah i-itu tidak m-masalah, Naruto-kun. A-aku melakukannya dengan ikhlas.”
            Naruto kembali menegakan tubuhnya. “Kau memang keren, Hinata!” Ia mengarahkan jempolnya pada Hinata.
            “Kau membuat repot Hinata saja, Naruto,” ujar Sasuke dengan nada sinis.
            “Diam kau, Sasuke! Kau utang nyawa pada Hinata, tahu! Camkan itu!” Naruto malah serius menanggapi Sasuke.
            “Tentu saja.” Sasuke jadi acuh tak acuh.
            “Pelankan suaramu sedikit!” Lagi-lagi Kushina yang baru muncul di kamar Hinata memukul kepala Naruto.
            “Sakit! Kaa-sama, hari ini kau sudah memukulku dua kali.”
            “Ini rumah sakit! Jangan berisik!” teriakan Kushina membahana di ruang inap Hinata.
            Mereka sama-sama berisik, gerutu Sasuke dalam hatinya.
            “Bagaimana keadaan kalian, Hinata, Sasuke?” Kushina mendekatkan dirinya di samping tempat tidur Hinata.
            “Penglihatanku masih belum jelas. Sepertinya aku akan buta untuk selamanya,” jelas Sasuke.
            Sementara itu Hinata terdiam memandangi Kushina. Ia belum pernah melihat wanita cantik yang penampilan serba merah itu.
            “Ah, kau memang belum pernah melihatku ya. Perkenalkan, namaku Uzumaki Kushina. Aku ibunya Naruto.”
            “H-hah?” Hinata sampai sulit mengeluarkan kata.
            “Mungkin kalau ada waktu nanti Naruto akan bercerita padamu. Maafkan aku, tapi aku punya urusan dengan Sasuke.” Kushina kini menatap Sasuke.
            “Ada yang ingin Anda bicarakan, Kushina-san?”
            “Begitulah. Tapi kita bicara di sini saja.” Kushina membawa tangannya melipat di depan dada. “Jika kau ingin bisa melihat kembali kau harus tinggal di Uzumakigakure.”
            Dahi Sasuke mengerut. “Untuk apa?”
            Hinata yang mendengarnya tiba-tiba langsung bersedih. Ia sendiri tidak tahu mengapa jadi bersedih. Matanya pun terarah pada Sasuke.
            “Agar matamu bisa sembuh kau melakukan kontrak dengan dia. Tapi sebagai gantinya, kau harus tinggal selamanya di Uzumakigakure, menjadi penjaga segel.”
            Sasuke berpikir sejenak. “Dengan siapa aku melakukan kontrak?”
            “Suzaku, si pelindung api selatan.”
            Sasuke tercenung mendengar namanya, tentu saja ia mengenal burung titisan dewa yang melegenda itu. Dulu Itachi sering menceritakan kisahnya sebagai pengantar tidur ketika ia masih kecil. “Jadi dia benar-benar ada ya.”
            “Aku membutuhkanmu untuk bisa mengendalikannya. Ia hanya mau menurut pada shinobi yang memiliki kekuatan api yang kuat.” Kushina menatap Naruto sejenak lalu mengembalikan pandangannya ke Sasuke. “Peranmu sangat dibutuhkan di pertarungan besar berikutnya.”
            “Maksud Anda?”
            “Akan terjadi pertumpahan darah di Konoha. Kau tentu tahu Madara masih ada di luar sana.”
            Alasan yang Kushina utarakan cukup masuk akal. Selama Madara masih hidup, teror di muka bumi ini tentu saja akan selalu ada. Namun Sasuke masih ragu. Tinggal selamanya di Uzumakigakure … masih ada yang belum ia pahami.
            “Setelah perang usai, aku sama sekali tidak bisa keluar dari Uzumakigakure?”
            “Tidak bisa, Sasuke. Setelah perang usai, Uzumakigakure akan disegel dan disimpan di dimensi yang tidak akan pernah ada yang bisa menyentuhnya. Kau yang menjaganya.”
            “Kenapa bukan Naruto atau anggota Klan Uzumaki yang lain yang melakukannya? Aku adalah orang luar—”
            “Klan Uchiha sebenarnya berasal dari Uzumaki, Sasuke. Uzumaki Akio, salah satu anak Rikudou Senni, kau adalah keturunannya.”
            Sasuke tidak tahu harus berkomentar apa. Namun ia tahu ia harus bisa memutuskan.
            Sementara itu Hinata menggigit bibirnya sendiri. Ia hanya mampu melihat Sasuke dan Kushina yang saling melemparkan kata dengan wajah serius.
            Kushina kembali berbicara. Ia ingin Sasuke bisa bertindak cepat. “Kau juga pasti menyadarinya, Sasuke. Banyak orang yang tidak terima kau masih hidup. Mereka tidak akan berdiam diri, perlawanan mereka belum berakhir. Maka dari itu untuk sekarang kau harus lari dari sini dan mempersiapkan diri untuk pertarungan selanjutnya.”
            “Kaa-sama, Sasuke butuh waktu untuk memikirkannya,” Naruto menginterupsi.
            “Dan kita tidak memiliki waktu yang banyak,” Kushina tetap pada pendiriannya.
            Akhirnya Sasuke pun menegakan tubuhnya. “Baiklah aku siap melakukannya.”
            “Kalau begitu bersiaplah. Lusa kau akan ke Uzumakigakure.”
            Sasuke hanya mengangguk.
            Dan Hinata tahu mungkin ini adalah terakhir kalinya ia melihat Sasuke. Naruto memang kembali, tapi ternyata ada yang harus pergi. Ternyata kebahagiaan yang ia rasakan tadi tidak bersarang terlalu lama di hatinya….
.
.
            “Maaf Sasuke, ibuku jadi memaksamu seperti itu,” ucap Naruto. Ia dan Sasuke kini berada di balkon yang letaknya di luar kamar inap Sasuke. Mereka sudah mengobrol sejak satu jam lamanya.
            “Untuk apa kau meminta maaf? Seperti bukan si super bodoh saja,” balas Sasuke dengan santai.
            “Kau ini memang menyebalkan!” Naruto mendengus kesal.
            “Tapi aku masih heran, bukan karena aku tidak mau. Kenapa bukan kau yang menjadi penjaga segel itu?”
            “Aku akan pergi ke tempat lain setelah perang ini usai.”
            “Hm?”
            Naruto menggaruk belakang kepalanya. “Sebenarnya aku juga belum tahu apa aku bisa selamat dalam perang itu. Jadi, ya … karena menurut ibuku kau akan selamat, ibuku pun meminta bantuanmu.”
            Sasuke terang saja kaget dengan pernyataan pesimis Naruto. “Memangnya ibumu bisa meramal masa depan?”
            Naruto menggeleng. “Masa depan yang kelam itu sendiri yang datang padanya. Terkadang padaku juga.”

Bersambung….





 

Judul : Dae-Ho’s Delivery Service
Harga : 48.000
Tebal halaman : 226
Terbit tanggal : 14 September 2015
Sinopsis :
Han Dae-Ho memutuskan tinggal sendiri di Seoul setelah ia mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung dari kedua orang tua yang ia sayangi.
Dua bulan setelah menetap di Seoul, Dae-Ho mendapatkan pekerjaan sebagai pengantar surat. Dae-Ho akhirnya tahu ia bukanlah pengantar surat biasa.
Choi Hyun-Ki, bosnya, menyuruhnya menjamin bahwa si penerima surat membaca surat itu.
Karena surat-surat itu adalah surat yang tidak pernah disangka akan didapatkan si penerima....
Dae-Ho sangat menikmati pekerjaannya. Meski begitu ia tetap sulit melupakan keluarganya. Termasuk Hana, gadis blasteran Korea dan Amerika Serikat yang sangat disukainya. Semakin Dae-Ho lari dari masa lalunya, masa lalu itu ternyata tiba-tiba datang di hadapannya.
Dae-Ho pun bertanya-tanya, mengapa ia memerankan sebuah drama yang tidak pernah ingin dilakoninya ini?

Share:

1 komentar